Share

Mencari Tahu

GAIRAH CINTA TERLARANG

PART 3

Aku mencoba mencari suaminya Karmila. Namun, itu pekerjaan sia-sia. Ratusan lelaki berada dalam ruangan saat ini. Hampir sebagian tidak terdeteksi olehku.

"Kamu sendiri ke sini, Karmila?" tanyaku ingin tahu.

"Iya Mbak, suami saya sedang ada dinas luar Mbak." Ada rasa tidak suka saat melihat Karmila melirik Mas Satriaku.

Mas Satria pun terkesan curi-curi pandang ke arah Karmila. Ah! Sungguh menyebalkan berada dalam situasi seperti ini.

"Ya sudah, Misya biar aku gendong, kamu makan saja dulu," ujar Mas Satria lembut. Jantungku berdebar mendengar lembutnya suara Mas Satria.

"Baik, Mas, eh, Pak." Netraku menatap lekat ke arah Mas Satria. Tatapanku mengisyaratkan aku butuh jawaban atas keanehan ini. Karmila berlalu di hadapanku. Berjalan anggun ke arah meja makanan.

Perhatianku beralih pada Mas Satria yang sibuk menatap ke arah Karmila. 

"Sepertinya kamu sangat dekat dengan Karmila," ujarku dengan wajah kesal. Mas Satria terlihat panik dengan pertanyaanku.

"Mama cemburu, ya?" Mas Satria masih saja mengodaku.

"Entahlah!" Aku semakin tidak nyaman melihat Misya berada di gendongan Mas Satria.

"Kamu sering gendong anaknya Karmila, ya, Pa?" Selidikku dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Kadang-kadang Ma, kalau kami meeting, Karmila sering membawa  Misya, Ma," jelas Mas Satria tanpa menolehku, netranya tertuju pada Misya.

Alasannya sama sekali tidak logis. Bagaimana ceritanya mau meeting bawa anak. Sangat tak masuk akal. Namun, aku tidak membantah. Situasinya sangat tidak tepat.

"Ooh begitu!" Rasa dongkol mulai menguasai diri.

Aku mulai mencari keberadaan Roby. Aku tidak rela Mas Satria mengendong bayi itu terus menerus.

"Roby!" teriakku ke arah Roby yang sedang berjalan keluar.

Segera badannya berbalik menuju ke arahku. Langkahnya terlihat cepat, beberapa detik, Roby berdiri tepat di hadapanku.

"Iya, Bu. Ada apa?" tanyanya cepat.

"Tolong gedong bayi ini!" Aku mengambil Misya dari gendongan mas Satria dan menyerahkan kepada Roby.

"Biar papa saja yang gendong, Ma," protes mas Satria. Ada ekspresi kesal, saat aku mengambil paksa Misya dalam gendongannya. 

"Papa itu bukan babysitter, Papa urus para tamu undangan!" ujarku seraya menarik lengannya untuk bangun. 

Mas Satria pintar membalikkan keadaan. Wajah kesalnya berganti semringah secepat kilat. Tersenyum manis ke arahku. Ah! Mas, terlalu pintar  meredakan emosi yang merangkak dalam jiwa.

"Siap, istriku sayang, senyumnya mana? jangan cembelut!" Goda mas Satria, berjalan setengah berlari menjauhiku yang sebelumnya telah melayangkan kecupan hangat di keningku. 

Aku mendekati Roby yang sibuk bercengkrama dengan Misya. Dia pun terlihat tidak asing dengan bayi mungil dalam gendongannya. Keanehan semakin terlihat. Namun, aku belum menemukan jawaban atas semua ini.

"Rob, kamu kenal dengan wanita itu?" Tunjukku ke arah Karmila yang tengah mengambil minuman.

"Yang mana, Bu?" Roby celingak-celinguk mencari sosok yang aku tuju.

"Itu lho, yang pake baju hampir sama dengan saya." Tunjukku lagi ke arah Karmila.

"Ibu Karmila maksud Ibu, ya?" tanya Roby cepat.

"Heemmm," desisku mengiyakan.

"Terus ...." 

"Terus apanya, Rob?" Aku berbalik bertanya kepadanya.

"Ya, kenapa dengan Bu Karmila, Bu?" Roby tidak melirik ke arahku dia sibuk dengan Misya.

"Siapa sebenarnya Karmila? Perasaan saya mengatakan dia begitu dengan suami saya," ujarku berusaha mengartikan keadaan yang baik-baik saja, tetapi batinku bergejolak.

"Bu Karmila rekan bisnis Pak Satria, Bu," sahut Robi dengan tatapan ke arah Karmila.

Rasanya sulit mempercayainya.

"Sekedar rekan bisnis, tidak lebih, 'kan?" Rasa ingin bertanya kepada Roby semakin menjadi.

"Iyalah Bu, Bapak kan sayang sekali kepada Ibu." Ucapannya sedikit menenangkan hatiku. Perlakuan Mas Satria terhadapku diketahui semua orang. Dimanjakan bak ratu dalam istana.

"Suami Karmila kerja dimana dan namanya siapa?" Pertanyaanku menghentikan aktivitas  Roby yang sedang bercengkrama dengan Misya. 

"Itu ... i--itu ..."

"Itu apa, hah?" Selaku cepat.

"Ada apa ini, kok sepertinya serius banget pembicaraanya, Mbak?" tanya Karmila yang tiba-tiba datang tanpa kusadari.

"Ah, nggak kok Bu, Bu Tania menanyakan tentang suami Ibu." Kalimat yang keluar dari mulut Roby membuatku merasa tidak hati dengan Karmila.

"Oh, suami saya bekerja di perusahaan dia sendiri, namanya Agung Purnomo," jawab Karmila santai.

Roby melirik ke arah Karmila. Ada gurat tidak suka yang netra kutangkap dari wajah lelaki yang menemaniku dan suami selama tujuh tahun.

"Rob, bawa sini Misya!" Perintah Karmila. Gaya bicara Karmila pada Roby mengisyaratkan mereka sudah lama saling mengenal.

"Baik, Bu!" Roby menyerahkan bayi mungil itu ke pelukan Karmila.

Beberapa saat kemudian Mama Rina datang menemuiku. Seperti biasa, wajahnya selalu ceria. Mertua yang paling baik sedunia. Gambaran Mama Rina bagiku.

"Nak, ibu-ibu pengajian ingin bertemu kamu dan Arisya," ujar Mamanya Mas Satria pelan.

"Baik, Bu!" Aku menetralkan perasaan untuk sejenak. Rasa cemburu sangat cepat bersarang di hatiku. Membuat kosentrasi terpecah

"Ini siapa, Nak?" tanya Mamanya Mas Satria seraya menepuk pelan bahu Karmila.

"Ini rekan bisnis Satria, Bu." Mas Satria tiba-tiba datang dari arah yang tidak aku ketahui.

"Saya Karmila, Bu." Karmila memeluk erat Mamanya Mas Satria. Lalu, mencium tangannya takzim. Raut wajah Karmila terlihat berbeda saat dekat dengan Mamanya Mas Satria. Terlihat bahagia sekali.

"Ya sudah, nanti kita bicara lagi, nak, Ya," ujarnya kepada Karmila.

"Ayo, Nak!" Ajak mama Rina yang sudah sigap mengendong Arisya untuk di bawa ke ruang tengah.

Aku mengikuti mama dari belakang. Tidak rela rasanya meninggalkan Karmila dengan Mas Satria meski ratusan orang lain ada di rumah ini. 

"Kenapa cemburu ini terlalu cepat menjalari hatiku?" Batinku.

Tidak bisa dipungkiri semejak Roby salah bicara tentang jumlah anak kami, hatiku tidak tenang seperti ada yang menganjal dalam hati.

Aku mengedarkan netra ke sekeliling untuk memantau Mas Satria. Namun, wujudnya tidak mampu tertangkap netraku karena terhalang tembok rumah yang berdiri kokoh memisahkan ruangan.

Prosesi yang dilakukan ibu-ibu pengajian sangat lamban. Aku tidak fokus dengan do'a yang mereka lantunkan untuk Arisya dan keluargaku. Hati dan pikiranku tertuju kepada mas Satria dan Karmila.

Satu jam kemudian acara selesai. Aku menitipkan Arisya pada Mamanya Mas Satria. Aku bergegas mencari Mas Satria dan Karmila. Beberapa menit mencari ke sana ke mari mereka juga belum tertangkap oleh indera penglihatanku.

"Roby, dimana Pak Satria?" tanyaku dengan nafas tersenggal.

"Pak Satria ... Pak Satria di luar Bu," ucapnya seperti orang ketakutan.

"Kenapa kamu, Rob? Akhir-akhir saya lihat kamu banyak berubah." Rasa penasaranku terhadap perubahan sikap Robi membuncah di dada.

"Tidak apa-apa, Bu," jawab Roby, tatapannya lurus ke depan.

"Kamu tidak bisa membohongi saya, ada yang kamu sembunyikan dari saya, Rob?" Selidikku dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Tidak ada bu," Roby terkekeh sendiri. "Ayo, kita cari Pak Satria!" Ajak Roby

Aku tidak menjawab ajakan Roby, sikap Roby sangat aneh. Biasanya dia riang dan bersemangat. 

"Ah, semuanya bikin pusing," kesalku dalam hati.

"Papa!" Panggilku saat melihat Mas Satria di parkiran mobil. Mas Satria tersenyum manis seraya melambaikan tanganya ke arah mobil yang berjalan di sampingnya.

"Iya, Ma!" Mas Satria berlari ke arahku.

"Papa, ngapain di luar?" tanyaku ketus.

"Papa antar Karmila, Ma" jawabnya tanpa rasa bersalah.

"Perhatian kali Papa pada wanita itu!" Aku mencebik kesal.

"Dia itu mitra bisnis Papa, Papa kerja sama dengannya, Ma." Mas Satria membela diri.

"Entahlah!" Aku membuang muka.

"Mama ... mama mau tau rahasia nggak?" bisiknya di telingaku.

"Rahasia apa, Pa?" Jawabku cepat.

"Penasaran, ya?" Mas Satria mencubit perutku manja.

"Apaan sih, Pa? Cepetaan," pintaku setengah berteriak dengan memasang wajah kesal.

"Tidak ada satu wanita pun yang mampu mengantikan Mama di hati papa Satria," teriaknya sehingga beberapa orang melihat heran ke arahku dan mas Satria berdiri.

"Ah, Papa, malu tahu," protesku dengan mencubit lengannya.

"Oouuuchhhh, sakit sayang!" Ringgis Mas Satria manja.

"Malu apa senang, Ma? Tu pipi bakpao sudah memerah, hahahhahah." Mas Satria meledekku dengan tertawa terbahak-bahak.

"Papaaaa ...."

"Apa papa, Ma? Mau digendong atau dipeluk ni?" 

Perlakuan mas Satria yang seperti ini membuatku mencintainya. Dia sangat lihai dalam mengembalikan mood-ku yang jelek menjadi bersemangat lagi.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status