Share

Kado Mewah

GAIRAH CINTA TERLARANG

Part 4

"Pa, lihat ni!" Panggilku dengan memperlihatkan bingkisan seperangkat perhiasan anak-anak kepada Mas Satria.

Sebuah kotak perhiasan anak-anak yang harganya puluhan juta berada di tanganku. Sebuah kado yang sangat berlebihan menurutku. 

"Cantik ya, Ma?" Respon yang diberikan Mas Satria cukup membuatku terperangah. Dia tidak kaget sama sekali. Seakan dia sudah tahu akan isi kotak di tanganku.

"Terlalu cantik dan pastinya mahal, Pa," balasku. 

"Pastinya, Ma. Harganya sampai 50 juta lebih, Ma," ujar Mas Satria, tanganya terus merobek kertas bingkisan yang para tamu berikan untuk Arisya.

"Kok Papa bisa tahu harganya segitu, Papa tahu ini hadiah dari siapa?" Selidikku cepat. Tatapan tajam kuarahkan padanya. Namun, Mas Satria sama sekali tidak menoleh ke arahku.

"Hadiah dari Karmila, 'kan?" tanyanya padaku. Ekspresi dan gaya bicaranya terkesan santai tanpa beban.

"Iya, kok Papa tahu? atau jangan-jangan dia sudah kasih tahu Papa sebelumnya," ketusku dengan membanting kotak perhiasan di tanganku.

Beruntung, kami sedang berada atas ranjang. Kotak perhiasannya tidak rusak, karena terbentur dengan empuknya ranjang.

"Mama, jangan dibanting! Rusak nanti, kan sayang," protes Mas Satria.

Dia segera meraih kotak perhiasan tersebut. Meletakkannya atas nakas di samping ranjang. Dia menghentikan aktivitasnya. Mulai fokus merayu seperti yang selalu dia lakukan. 

"Abisnya, Mama tidak suka dengan Karmila!" Aku melongos kesal. Kucubit pinggangnya berulang kali.

"Cemburu boleh, Ma, tapi ... jangan seperti ini, Papa sayang sama Mama." Mas Satria menarikku dalam pelukannya.

Mas Satria menyibak mayang hitamku yang menutup mata indahku. Kecupan hangan dia labuhkan di keningku. Hangat dekapannya bagai tersengat litrik.

"Mama sayang sama Papa, Mama tidak rela Papa dekat-dekat dengan wanita lain," Tandasku dengan nada sedih. Mendonggakkan wajahnya untuk lrbih leluasa menatap wajah tampan penuh pesona. 

"Lihat mata Papa, meskipun, di luaran sana banyak wanita yang lebih segalanya dari Mama, yakinlah tidak ada satu wanita pun yang bisa menggantikan posisi Mama di hati papa," jelas Mas Satria dengan tatapan penuh arti. 

Jenak-jenak kebisuan tercipta. Hanya bahasa tubuhnya yang mengungkapkan cinta. Aku melepas pelan pelukannya. Hati belum tenang dengan segala prahara yang aku rasa sedang membayangi bahtera rumah tanggaku.

"Bersumpahlah padaku, Pa," pintaku cepat. 

Tidak ada hal lain yang terlintas dalam otakku selain mendengar sumpah dari suamiku. Terkesan gila. Namun, itulah yang terjadi, kala logika tak mampu lagi berfungsi. Saat, cemburu menguasai hati dan jiwa. Maka, di saat itulah kegelisahan mengurung jiwa dalam kekalutan yang tiada akhir.

"Papa tidak suka, Ma. Seperti anak kecil, dikit-dikit sumpah, kita sudah sama-sama dewasa. Saling percaya sayang." Mas Satria mengusap pucuk kepalaku lembut. Ucapannya tidak ada yang salah. Namun, cukup membuat rasa penasaran semakin menjadi.

"Berarti Papa bohong sama Mama," ujarku seraya membuang muka. Mendorong tubuhnya menjauh. Meciptakan jarak yang pada dasarnya tak pernah kuinginkan.

"Ma, tatap mata papa." Mas Satria membingkai wajahku dengan kedua tanganya. Berusaha merayu dengan penuh cinta.

"Papa cinta sama Mama, sampai kapan pun Papa tidak akan meninggalkan Mama," ucapnya penuh keyakinan. Namun, ada keraguan dengan ucapannya. Resah itu bertandang begitu saja tanpa diundang.

"Akhir-akhir ini Mama resah, Mama takut Papa macam-macam di luar sana." Jujurku pada Mas Satria.

Kuungkapkan segala hal yang membebani dada. Segala praduga yang meresahkan hari-hariku. Jujur lebih baik, dari pada memendam yang menyebabkan hati semakin penuh dengan hal yang tak kan pernah terpecahkan selama tak diungkapkan.

"Ma, percaya sama papa, Papa akan selalu ada di samping Mama, Papa tidak akan kemana-mana, Ma." Hatiku kembali tentram mendengar penuturan manis dari mulut Mas Satria.

"Mama, jangan suka marah-marah, nanti, cantiknya hilang," Candanya tanpa beban.

"Maafin mama, ya, Pa?" 

Kata maaf itu keluar begitu saja. Sikapku yang mencurugainya membuat kami berdua sama-sama tak nyaman.

"Pastinya, sebelum Mama minta maaf, udah papa maafin," ujarnya  lembut. Kembali merangkulku penuh cinta. 

Tangannya memeluk pinggangku erat. Bibirnya terus saja mengecup pipi dan keningku. Tangannya terus beraktivitas membelai setiap inci tubuhku. 

"Kita lanjut buka kadonya, Pa," ajakku lembut.

"Jangan," balasnya singkat, matanya melirik nakal ke arahku. 

Aku tahu maksudnya dan tujuannya. Namun, aku pura-pura tidak tahu tentang maksud yang ingin disampaikannya. 

"Kenapa, Pa?" tanyaku seraya meletakkan kado di tanganku.

"Buka kadonya besok saja, ada yang lebih penting yang ingin papa lakuin sama Mama," ujarnya genit.

"Apa itu, Pa?" Aku merebahkan kepalaku di pundaknya.

"Sini dekat lagi!" pintanya lembut. 

Tanpa sadar, aku sudah berada di pangkuannya. Tangan mulai kulingkarkan di lehernya. Hampir dua bulan kami tidak bermesraan seperti ini. Jantungku berdetak bagai genderang yang ingin perang.

"Papa pengen, Ma," bisiknya di telingaku. Tangannya mulai menjelajah area sensitif. Senyum nakal dengan memasang wajah mesum. 

"Nggak mau, Mama capek, Pa," Protesku manja. Seharian lelah menjalani setiap prosesi akikahan Arisya. Tubuh terasa lelah dan segera ingin bertemu dengan ranjang. 

"Ma, nggak sayang sama Papa, hampir tiga bulan lho, Ma," Rengeknya manja. 

"Sekali saja, ya, ya,ya!" Pintanya seraya mengedip-ngedipkan mata. Wajahnya memelas. Aku menahan tawa melihat ekspresinya. 

"Sekali saja, ya?" Rasa sayangku kepada Mas Satria membuatku harus siap melayaninya kapan saja dia mau. Bakti seorang istri pada suami. 

"Horeeeee!" teriaknya tertahan, Mas Satria takut anak-anak terbangun mendengar teriakannya.

"Apa sih, Pa, macam anak kecil aja, tidak pantas lagi!" Aku pura-pura kesal dengan sikapnya, padahal aku sangat bahagia melihat tingkahnya.

"Papa ikutin gurunya Papa, Ma." Ucapannya membuat keningku berkerut.

"Guru, apa, Pa? Bigung Mama jadinya." Mas Satria tersenyum melihat wajahku yang terlihat seperti orang linglung.

"Mama gurunya," jawabnya dengan tertawanya lepas. 

"Kok, jadinya Mama sih? Makin bingung ni, Pa." Aku mulai kesal dengan Mas Satria.

"Mama kalau Papa berikan sesuatu atau Papa ngajak jalan-jalan, selalu teriak "hore" seperti anak kecil. Banyak yang bilang nggak pantas lagi Mama seperti itu, sudah tua," ledeknya seraya tertawa.

"Papaaaaa!" Aku mencubit perutnya lembut. 

"Jadinya Mama nggak boleh manja lagi sama Papa, Mama nggak boleh lagi pecicilan sama Papa, gitu maksud Papa, 'kan?" Aku menarik nafas kasar. Memanyunkan mulutku lima centi. Berpura-pura kesal untuk mendapatkan seluruh perhatiannya.

"Salah lagi, lelaki memang selalu salah." Mas Satria menepuk jidatnya.

"Boleh ... boleh, bagi Papa, gimana pun Mama, Papa selalu mencintai Mama setulus hati Papa," gombalnya padaku. Suasana hangat semakin tercipta. Mas Satria terus saja memacingku untuk membalas sentuhannya.

"Hemmm," desisku pelan.

"Ma, jangan ngambek lagi lah, ayo!" 

Mas Satria mengendongku menuju kamar kami. Beruntung semua penghuni rumah terlelap dibuai mimpi karena kelelahan. 

Mas Satria merebahkan tubuhku di atas ranjang. Suasana hangat dan penuh cinta tercipta. Menikmati hangatnya pangutan bibirnya. Sentuhannya berhasil memancing hasratku yang selama ini membuncah untuk disalurkan.

Malam ini aku menunaikan kewajibanku sebagai istri yang tertunda sekian lama. Rasanya tidak adil, jika aku terus menolak Mas Satria. Takutnya dia tergoda dengan wanita lain. Aku harus memberikan pelayanan yang terbaik untuknya.

Seperti menurut pendapat sebagian orang. Kehidupan ranjang adalah hal terpenting dalam sebuah ikatan pernikahan. Kebanyakan para pelaku selingkuh mengaku kekurangan kebutuhan biologis dari pasangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status