Share

Penyelidikan

GAIRAH CINTA TERLARANG

PART 7

Untuk apa Thalita membagikan hal beginian. 

Hufhh! 

Aku mengusap wajahku kasar. 

Ini sangat aneh menurutku, wanita secantik dan semuda Thalita menyukai postingan yang sangat dibenci kebanyakan kaum perempuan.

"Bu, Arisya haus, Bu." Suara babysitter Arisya membuatku terkejut.

"Oh, ya! Baik, saya segera ke kamar Arisya," jawabku, untuk sejenak melupakan pikiran yang menyakitiku dan fokus pada buah hatiku.

Aku melangkah gontai menuju kamar. Hal baru saja aku temukan cukup membuat pikiranku berkelana tak tentu arah.

***

"Ma, Assalamualaikum!" Suara mas Satria terdengar lantang di balik pintu.

"Waalaikumsalam," jawabku cepat yang sedari tadi sudah menunggunya di ruang depan.

Begitu pintu terbuka, Mas Satria terlihat dengan senyum indahnya. Roby berdiri di belakang Mas Satria dengan dua tas di tangannya. Roby melirikku dengan ekor matanya. Kemudian, berlalu menuju paviliun belakang. Netraku mengikuti langkah Roby yang terus berjalan tanpa menoleh kebelakang.

"Sangat aneh," gumamku pelan.

"Apa yang aneh, Ma?" tanya Mas Satria.

"Tidak ... tidak ada, ayo masuk!" Aku mengambil kedua tas yang diletakkan oleh Roby di depan pintu.

"Papa mau mandi, Ma," ujarnya seraya menaiki tangga menuju kamar kami. Aku mengikutinya dari belakang.

Aku harus menemukan sesuatu untuk menghilangkan rasa penasarannku. Berada dalam kegelisahan sangat menyiksa. 

Tenang Tania, tenang, jangan gegabah.  Ucapku  pada diri sendiri untuk menenangkan jiwa dan perasaanku.

Aku memilih berdiam diri di sisi ranjang. Menatap ke arah kamar mandi. Mas Satria berada di balik kaca transparan yang hanya memperlihatkan siluet tubuh kekarnya.

Selang beberapa menit, Mas Satria keluar dengan balutan handuk di pinggangnya. Mengulas senyum indah ke arahku. 

Setelah mandi, Mas Satria langsung tertidur. Dia terlalu lelah bekerja, hingga tidak sempat istirahat. Ini kesempatanku untuk mengotak-atik ponselnya.

"Maafkan mama, Pa," lirihku saat mengambil ponselnya di atas nakas di samping ranjang.

Secepat mungkin aku membuka kontak mencari nama Talitha dan Karmila, lalu, menyalin ke ponselku. Membuka aplikasi messenger, tidak ada pesan yang aneh dari perempuan lain.

Aplikasi whatsaap pun sama, tidak ada pesan dari Thalita maupun Karmila. Apa jangan-jangan memang tidak ada hubungan apa-apa antara mereka. Mungkinkah ini hanya kecemburuanku semata. Oh Tuhan! Berikan petunjukmu.

"Apa aku salah sudah curiga padamu, Pa?" tanyaku pada nuraniku.

Aku buka aplikasi f******k, mencari nama Karmila. Postingan Karmila terlihat. Banyak sekali foto dengan anaknya, tidak ada sama sekali foto suaminya. Baju yang dia pakai pun kebanyakan warna biru dan putih seperti kesukaanku dengan Mas Satria.

[Sampai kapan aku harus menunggu? Terlalu sabar aku dalam penantian. Aku juga ingin hak yang sama dengannya.] Ditambah emoticon orang menangis. 

Postingannya itu menarik perhatianku, hari diposting pun sama dengan Mas Satria cuma berbeda jam saja.

"Ma!" Suara Mas Satria mengejutkanku, buru-buru kumatikan ponselnya dan menyembunyikan di balik bantal sofa yang sedang aku duduki.

"Iya pa!" Aku mendekatinya. Bersikap setenang mungkin untuk meminimalisir kecurigaannya.

"Mama kenapa belum tidur?" Mas Satria menarik pergelangan tanganku.

"Baru jam sembilan, Mama belum ngantuk, Pa," kilahku. Kuusap pucuk kepalanya pelan.  Aku ingin dia segera tertidur kembali. Tak kuasa menatap wajah polosnya yang serasa tak berdosa.

"Mama ke kamar mandi dulu."

Kutarik pelan tanganku dari gengamannya. Perasaanku tidak dapat aku bohongi. Semua rasa bercampur dalam hati mencoba mematikan logika dan akalku. Menghindar untuk sementara darinya, mencoba menata hati, bahwa, tidak ada yang terjadi.

Saat aku kembali mendekat ke arah Mas Satria, dia sudah tertidur pulas dengan dengkuran halus yang menghiasi mulutnya. 

Kesempatan untuk melanjutkan aksi penyelidikanku. Aku mulai melangkah ke aplikasi bankingnya untuk melihat riwayat tranferan yang Mas Satria lakukan. Tidak juga ada nama Thalita atau pun Karmila. Nama Roby Hermawan menjadi rekening yang sering sekali Mas Satria kirimkan uang.

Aku tercengang melihat nominal tranferan Mas Satria untuk Roby. Dia mengirimkan puluhan juta bahkan pernah ratusan juta untuk Roby. Aku butuh penjelasan untuk semua ini. Terlalu berlebihan rasanya. Jika, Mas satria memberikan begitu banyak uang untuk Roby.

Kuurungkan untuk bertanya pada Mas Satria. Aku takut dia menyerangku balik dengan beraninya mengotak-atik ponsel tanpa sepengetahuannya. Rumah tanggaku akan menjadi taruhan, jika, aku gegabah dalam mengambil langkah.

Keluar dari kamar untuk menuju paviliun yang Roby tempati. Aku rasa Roby memiliki jawaban atas pertanyaanku.

"Rob, Roby!" Panggilku pelan.

"Iya, Bu!" Terdengar suaranya dari dalam.

"Buka pintunya cepat!" perintahku.

"Ada apa, Bu?" Netranya mengitari sekelilingku. "Bapak mana, Bu?" tanyanya lagi.

"Ada yang ingin saya bicarakan boleh saya masuk?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaanya.

"Silahkan!" Roby mempersilahkanku masuk dan menutup pintu.

Roby mempersilakan kududuk. Namun sayang, aku tidak tertarik sama sekali. Aku hanya butuh jawabannya.

"Tumben Ibu kesini, ada apa, Bu?" Roby menatapku lekat.  Gusar telihat dari manik mata cokelatnya. 

"Saya ingin kamu menjelaskan tentang uang yang Pak Satria kirimkan ke rekening kamu."

Ucapanku membuat Roby mengusap kasar wajahnya dan beranjak menjauh dariku.

"Saya tidak bisa menjawabnya, tanyakan saja sama bapak," tegas Roby tanpa melihat ke arahku.

"Saya minta kamu yang mengatakannya," ucapku tidak mau kalah.

"Saya tidak punya hak untuk menjelaskan kepada ibu," ujarnya  pelan.

"Tolong saya," Rengekku pada Roby.

"Bu, tolong mengerti posisi saya, saya hanya seorang bawahan, kerjaan saya di tangan Pak Satria. Jangan mempersulit hidup saya!" Suara Roby meninggi.

"Tolong saya, saya mohon,"  pintaku dengan suara lembut, dengan harapan Roby akan luluh.

Namun, Roby mengatakan tidak bisa membantuku. Nada bicaranya mulai meninggi dibalut emosi.

Aku tidak tinggal diam. Merampas paksa ponsel miliknya. 

"Lepas Bu!" Dia menarik paksa ponsel yang sudah berada di tanganku.

"Kamu mau saya pecat!" teriakku kesal.

"Silahkan, itu yang saya mau, pergi jauh dari rumah ini!" teriaknya dengan meninju tembok di hadapannya.

"Tidak ada yang menahanmu, silahkan keluar dari rumahku," tukasku dengan menunjuk pintu keluar.

"Suamimu yang membuatku terjerat dalam persoalan yang menyakitkanku," ucapnya dengan menatap tajam ke arahku.

"Apa Maksudmu?" tanyaku cepat.

Roby diam seribu bahasa. Dia membalikkan badannya dari arahku. Sepertinya dia berusaha menahan emosi.

"Roby lihat saya!" Aku menarik lengan roby agar aku dapat menatapnya.

"Ibu kembali ke dalam rumah, saya tidak ingin Pak Satria salah paham," perintah Roby seraya mengusap mata dengan punggung tangannya.

"Apa yang kamu ketahui tentang suami saya?" tanyaku seraya mengoyang-goyangkan pundak Roby.

"Cukup, Bu," bentak Roby kasar.

"Masuk ke dalam sekarang juga, jangan sampai rasa hormat saya hilang kepada anda," pungkasnya. Raut wajahnya memerah. 

"Tolong saya!" Aku merendahkan diri bersimpuh di lantai.

"Bangun!" Pinta Roby.

"Tidak! Aku tidak akan sampai kamu menjelaskan kepadaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku." Sikap keras kepalaku muncul di saat yang tidak teapt.

"Bu, kembali ke dalam, saya janji akan menjelaskan semuanya kepada Ibu, tapi, tidak malam ini. Takutnya, Pak Satria mencari ibu," ujarnya padaku.

"Janji ya," pintaku dengan tatapan penuh harap.

"Iya, sekarang keluar dari kamar saya," perintah Roby dengan membuka pintu kamarnya lebar.

Aku mengalah keluar dengan seribu tanda tanya yang membelenggu pikiran.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status