"Kau melakukannya dengan sengaja, Key?" tuduh Kahfi, sembari mengemudikan kendaraan kami.
"Apa maksudmu?"
"Aku tak suka jika kau melakukannya karena hanya ingin membuat Erik cemburu."
Oke! Kahfi bukan pria bodoh. Dan dia memahami maksud dan tujuanku menciumnya tadi.
"Sorry." Aku mengaku salah.
"Jangan membuatku semakin ragu, Key. Semakin kau menantang Erik, semakin ingin dia mendapatkanmu. Aku tak suka itu."
"Aku sudah bilang maaf, bodoh! Kenapa kau masih terus membahasnya?"
"Kalau begitu jangan lagi menemuinya!" Dia memukul keras klakson mobil, meski tak ada sesuatu yang menghalangi jalannya.
"Kau membentakku, Fi?" Aku menoleh ke arahnya.
Dia terdiam. Bisa kulihat rasa amarah yang kini sedang menguasainya. Ah, benar. Dia seperti tak bisa lagi membendung rasa cemburunya. Dan aku benci terlibat pertengkaran lagi.
"Aku tak akan datang lagi ke hotel. Kau puas?" Aku mengentakkan kepala
Ya, Tuhan.Pertanyaan bodoh macam apa itu. Dia bahkan tahu, bukan hanya dengan Erik, aku pernah dekat. Dan semuanya pernah melakukan hal itu kepadaku.Kenapa dia menjebakku dengan pertanyaan konyol macam ini. Erik adalah cinta pertamaku, dan dialah laki-laki pertama yang sudah mencium, bahkan mencumbuku meski tak terlalu dalam.Haruskah aku berbohong dan menyangkal semuanya? Atau aku harus berkata jujur dan menambah luka di hati suamiku? Bukankah ini tidak adil? Lalu bagaimana dengan dia?Apa dia tidak pernah mencium si jalang Ara? Gadis belia yang masih segar, dan pasti sangat manis rasa bibirnya. Oh, shit. Bahkan memikirkannya saja sudah membuat hatiku jadi membara."Kenapa diam?" lirihnya."Bunuh saja aku, Fi. Aku tak mau menjawab pertanyaan konyol itu.""Kau tak ingin menyangkalnya?""Kau dan aku sama-sama memiliki masa lalu, dan kau mengenal semua pria-pria yang pernah berkencan denganku
Ah, ya. Semua kembali seperti semula. Baik-baik saja seperti tidak terjadi masalah di antara kami. Dia kembali berangkat ke hotel untuk melanjutkan tugasnya. Dan dia bilang, Erik benar-benar tulus membantunya.Aku hanya mengiyakan. Tak berani membantah, apalagi sampai mengumpat. Pembicaraan kami tentang keluarga itu telah selesai.Lalu soal Elena... dia malah membalas menusuk-nusuk kepalaku karena telah menuduhnya sampai sejauh itu. Dan kurasa, belum waktunya aku memberitahukan masalah Elena, sampai aku mendapatkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk membongkarnya.Asal itu bukan anak Kahfi, aku tak lagi peduli. Akan kubuat malu dia di depan seluruh keluarganya, termasuk Papa.Papaku harus tahu, seperti apa gadis yang sudah dipeliharanya di rumah itu. Menghalalkan berbagai cara, demi bisa menghasilkan uang. Aku yakin sekali, pria tua itu juga punya istri.Oh, shit! Bermain dengan suami orang? Sepertinya dia yang lebih pantas m
Dengan perlahan, aku membuka mata yang masih terasa berat. Rasa pusing dan juga sakit di area bawah kepala juga masih sangat terasa. Ah, shit. Apa aku baru saja siuman dari pingsan? Aku masih hidup?Aku memperhatikan sekeliling, tempatku berbaring saat ini. Sebuah ruangan sempit, yang hanya tertutup tirai berwarna putih. Aku mengucek, dan membenarkan mata yang kurasa sudah salah posisi.Apa bola mataku kini berada di atas? Aku melihat seseorang yang seharusnya tak mungkin kulihat. Ah, pandanganku masih saja berkunang-kunang.Seorang laki-laki berpostur tinggi tegap, sedang duduk di sebuah kursi, di sudut ruangan tak jauh dari tempatku berbaring. Dahinya mengernyit, matanya benar-benar menyipit memperhatikan aku yang sedang menggeliat sekarang ini."Kau sudah sadar?" tanyanya kemudian.Oh, shit. Ini bukan lagi mimpi. Suara itu nyata dan bukan lagi halusinasi, atau hanya sebuah penampakan. Entah kekuatan dari mana, aku
"Di tempat seperti ini?" Dia kembali tertawa. "Kau sungguh-sungguh berpikir aku serendah itu, Key?""Lalu apa maksudnya dengan ucapanmu tadi, sialan?""Aku hanya bercanda." Dia kembali tertawa. "Apa kau menganggapnya serius? Tahu begitu, kubawa saja kau ke hotel.""Dasar kau....""Cukup, Key!" sergahnya. "Aku menggendongmu. Membawamu kesana kemari, sampai mendapatkan puskesmas di tempat terpencil ini, karena khawatir kau kenapa-napa. Tak bisakah, kau berterima kasih sedikit saja padaku?""Oh, shit! Kau hanya sedang menakut-nakutiku, Erik? Apa maumu? Kau ingin minta imbalan, karena menyelamatkanku dari klinik sialan itu?""Tidak! Aku hanya ingin kita saling menutup mulut. Itu saja. Kau bisa membantuku?""Apa maksudmu?" Mataku mulai liar menatap dan menangkap maksudnya."Aku tahu apa yang ingin kau cari di sana. Soal Elena, biar aku sendiri yang mengurusnya.""Soraya mengatakannya?""Lain k
Ada banyak hal yang memang sering tak berjalan seperti apa yang kita inginkan. Tentang kebohonganku saat ini misalnya. Ini kali pertama aku berdusta, meski sungguh terasa berat.Aku benar-benar harus merahasiakan sesuatu pada Kahfi, dan kuharap tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. Rasa takutku akan amarahnya terasa lebih besar, ketimbang menutup mulutku yang selama ini tak bisa berbasa-basi, apalagi sampai menyimpan rahasia padanya. Inikah efek dari saling menjaga hati?Ya, kurasa aku benar-benar jatuh cinta, dan takut kehilangan sesosok yang selama ini sudah sangat kukenal. Dia jadi jauh lebih sensitif, dan mudah terbakar cemburu, sejak mengakui segala perasaannya.Tapi aku suka itu. Aku suka dia yang jujur, dan mengakui semua apa yang dia rasakan. Terasa lebih panas, dan juga menggoda. Seperti tadi malam misalnya.Aku tak ingin dia kembali kehilangan rasa itu. Hasrat yang selalu dia tahan sejak dulu, karena tahu bagaimana
"Ini gaji pertamaku. Ada yang kau inginkan?" Kahfi menyambut gembira kedatanganku di hotel.Aku sengaja menunggunya di lobi bawah, agar tak bertemu siapa pun, dan bisa langsung mengajaknya pulang."Benarkah? Kau sudah mengeceknya?" Aku meyakinkan."Tentu saja. Pahaku langsung bergetar saat ada notifikasi masuk dari ponselku."Aku tertawa lebar. Begitu bahagia, melihatnya yang kini kian bersemangat."Aku mau memasang AC di kamar kita. Kau tidak keberatan?"Dia terdiam. Kemudian menekan kepalaku seperti anak kecil."Kenapa tak katakan dari kemarin? Sudah kubilang, buat dirimu merasa nyaman. Apa selama ini kau kepanasan?""Sudahlah. Aku memintanya, karena kau menawarkan sesuatu padaku. Ayo pulang!"Aku merangkul lengannya, dan mengajaknya keluar untuk pulang bersama..I love it when you call me "señorita"I wish I could pretend I didn't need yaBut every touc
Aku membesarkan bola mata pada sesosok itu. Tak menyangka kalau ia akan sampai datang ke rumah ini.Matanya terus memandang sinis, menatap aku dan Kahfi secara bergantian. Lalu menatap semua bawaan yang ada di tangan suamiku. Dia bangkit dan berdiri, menghampiri kami yang saat ini sedang tak berkutik."Akhirnya, kau dan keluargamu berhasil mendapatkan apa yang selama ini kalian impikan, ha?" ucapnya kembali, ke hadapan Kahfi. "Apa kau merasa derajatmu sudah naik, setelah selama ini menempel seperti benalu pada putriku?"Aku menoleh ke arah pria yang kini berdiri tepat di sampingku. Wajah sendu itu tampak memerah menahan emosi dan juga amarah. Kulihat tangannya kini mengepal sekuat tenaga.No, Kahfi. Jangan terpancing. Kata-katanya tak ada hubungannya dengan perasaanku sedikit pun."Kau merasa tidak sia-sia, ya? Setelah mendapatkan putriku, kini kau mulai mengincar perusahaan Papanya. Kau serakah sekali, Boy. Apa kalian putus asa,
Aku mengangkat wajah dan menatap dalam matanya."Kau, mengusir Mama?" tanyaku dengan wajah yang penuh dengan air mata."Kau marah?" Aku langsung menggeleng dengan kuat.Kahfi berhak marah. Aku yang bukan putri kandungnya pun, ikut sakit melihat Ibu diperlakukan seperti itu."Maaf, Key. Bukan maksudku untuk bersikap tak sopan. Hanya saja....""No, Kahfi. Aku tak marah." Aku menerkam tubuhnya, mengeratkan pegangan hingga ke pinggang belakangnya. "Aku yang seharusnya minta maaf. Mama sudah keterlaluan. Tak seharusnya Mama menghina kau dan juga Ibu." Aku kembali sesenggukan."Kenapa memikirkan hal itu? Aku hanya kesal karena dia memukulmu. Kau sama sekali tak pantas diperlakukan seperti itu, Key." Dia melepaskan pelukanku, kemudian mendongakkan dan mengusap pipiku, bekas pukulan tadi."Kau lakukan itu demi aku?" Air mataku tak henti-hentinya mengalir."Kau milikku sekarang," u