Ada banyak hal yang memang sering tak berjalan seperti apa yang kita inginkan. Tentang kebohonganku saat ini misalnya. Ini kali pertama aku berdusta, meski sungguh terasa berat.
Aku benar-benar harus merahasiakan sesuatu pada Kahfi, dan kuharap tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. Rasa takutku akan amarahnya terasa lebih besar, ketimbang menutup mulutku yang selama ini tak bisa berbasa-basi, apalagi sampai menyimpan rahasia padanya. Inikah efek dari saling menjaga hati?
Ya, kurasa aku benar-benar jatuh cinta, dan takut kehilangan sesosok yang selama ini sudah sangat kukenal. Dia jadi jauh lebih sensitif, dan mudah terbakar cemburu, sejak mengakui segala perasaannya.
Tapi aku suka itu. Aku suka dia yang jujur, dan mengakui semua apa yang dia rasakan. Terasa lebih panas, dan juga menggoda. Seperti tadi malam misalnya.
Aku tak ingin dia kembali kehilangan rasa itu. Hasrat yang selalu dia tahan sejak dulu, karena tahu bagaimana
"Ini gaji pertamaku. Ada yang kau inginkan?" Kahfi menyambut gembira kedatanganku di hotel.Aku sengaja menunggunya di lobi bawah, agar tak bertemu siapa pun, dan bisa langsung mengajaknya pulang."Benarkah? Kau sudah mengeceknya?" Aku meyakinkan."Tentu saja. Pahaku langsung bergetar saat ada notifikasi masuk dari ponselku."Aku tertawa lebar. Begitu bahagia, melihatnya yang kini kian bersemangat."Aku mau memasang AC di kamar kita. Kau tidak keberatan?"Dia terdiam. Kemudian menekan kepalaku seperti anak kecil."Kenapa tak katakan dari kemarin? Sudah kubilang, buat dirimu merasa nyaman. Apa selama ini kau kepanasan?""Sudahlah. Aku memintanya, karena kau menawarkan sesuatu padaku. Ayo pulang!"Aku merangkul lengannya, dan mengajaknya keluar untuk pulang bersama..I love it when you call me "señorita"I wish I could pretend I didn't need yaBut every touc
Aku membesarkan bola mata pada sesosok itu. Tak menyangka kalau ia akan sampai datang ke rumah ini.Matanya terus memandang sinis, menatap aku dan Kahfi secara bergantian. Lalu menatap semua bawaan yang ada di tangan suamiku. Dia bangkit dan berdiri, menghampiri kami yang saat ini sedang tak berkutik."Akhirnya, kau dan keluargamu berhasil mendapatkan apa yang selama ini kalian impikan, ha?" ucapnya kembali, ke hadapan Kahfi. "Apa kau merasa derajatmu sudah naik, setelah selama ini menempel seperti benalu pada putriku?"Aku menoleh ke arah pria yang kini berdiri tepat di sampingku. Wajah sendu itu tampak memerah menahan emosi dan juga amarah. Kulihat tangannya kini mengepal sekuat tenaga.No, Kahfi. Jangan terpancing. Kata-katanya tak ada hubungannya dengan perasaanku sedikit pun."Kau merasa tidak sia-sia, ya? Setelah mendapatkan putriku, kini kau mulai mengincar perusahaan Papanya. Kau serakah sekali, Boy. Apa kalian putus asa,
Aku mengangkat wajah dan menatap dalam matanya."Kau, mengusir Mama?" tanyaku dengan wajah yang penuh dengan air mata."Kau marah?" Aku langsung menggeleng dengan kuat.Kahfi berhak marah. Aku yang bukan putri kandungnya pun, ikut sakit melihat Ibu diperlakukan seperti itu."Maaf, Key. Bukan maksudku untuk bersikap tak sopan. Hanya saja....""No, Kahfi. Aku tak marah." Aku menerkam tubuhnya, mengeratkan pegangan hingga ke pinggang belakangnya. "Aku yang seharusnya minta maaf. Mama sudah keterlaluan. Tak seharusnya Mama menghina kau dan juga Ibu." Aku kembali sesenggukan."Kenapa memikirkan hal itu? Aku hanya kesal karena dia memukulmu. Kau sama sekali tak pantas diperlakukan seperti itu, Key." Dia melepaskan pelukanku, kemudian mendongakkan dan mengusap pipiku, bekas pukulan tadi."Kau lakukan itu demi aku?" Air mataku tak henti-hentinya mengalir."Kau milikku sekarang," u
"Kau masih belum bisa berdamai dengan Papa, Key?" Tanya Kahfi, pada suatu malam. Di dalam kamar minimalis kami, yang seperti kamar anak kost tentunya.Aku memijat tubuh bagian belakang, yang aku pikir sangat lelah sekarang ini. Dengan tugas-tugas baru di hotel, yang pastinya membuat dia harus ekstra sabar dan berhati-hati.Dia begitu menikmati pijatanku. Ah, ya. Aku berlagak jadi istri yang baik saat ini. Membuatnya merasa dihargai. Bukan malah menganggap dirinya sebagai pelayanku."Kau lihat sendiri, aku tak pernah lagi membuat ulah. Apa itu cukup?" sahutku cuek, dari balik punggungnya."Ou... kau sudah benar-benar dewasa sekarang.""Dan kau masih saja ingin aku bersikap baik pada Papa," ketusku. "Aku tak perlu melakukan itu. Aku masih membencinya, kau tahu?""Kenapa? Aku tak pernah melihat kesalahan dalam dirinya. Kau saja yang berlebihan.""Wah, wah, wah. Lihat siapa yang sedang berbicara sekar
Aku baru saja sampai di hotel, tempat Mama menginap. Atas izin Kahfi aku mengalah, dan mencoba menuruti permintaan Mama. Pintu lift terbuka, hingga kulihat adegan yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya.Gadis itu terpojok. Wajahnya pucat, penuh rasa takut saat Mama menantang dengan sorot matanya yang nyalang, dan benar-benar buas. Aku keluar dari lift, saat gadis itu menyadari kehadiranku. Bertambah-tambahlah rasa takut itu, dan nyaris berjalan mundur.Elena. Apa yang dia lakukan di hotel tempat Mama menginap. Apa dia, sedang tertangkap basah oleh wanita yang telah merebut Papanya itu? Aku mengitari ruangan di sekitar, tak banyak orang yang berlalu lalang. Hampir tak ada, bahkan pria tua yang seharusnya bersama Elena di tempat ini."Hai, sweety. Lihat siapa yang ada di sini," sapa Mama, begitu tahu aku sudah berdiri di belakangnya.Wajahnya tampak sumringah, seolah-olah baru saja memenangkan sebuah undian. Mataku
"Apa pun itu, katakan sekarang, Elena. Aku tak punya banyak waktu untuk mendengarkan tangisanmu!" ucapku tegas. Kurasa aku sudah terlalu sabar menghadapinya untuk hari ini.Dia masih saja sesenggukan. Lalu meraih telapak tanganku dan menggenggamnya dengan begitu erat.What the fuck!"Berhenti bersikap konyol, Elena. Aku bukan teman, apalagi saudaramu. Jadi jangan coba-coba sok akrab denganku. Katakan apa yang terjadi antara kau dan Mama, agar aku tak hanya mendengarnya dari sebelah pihak saja.""Tolong aku!" tangisnya tertahan. Seperti tak ingin didengar oleh semua orang. Napasnya naik turun, seperti menahan sesuatu."Apa yang terjadi denganmu? Mana bedebah tua itu? Kenapa dia lari dan meninggalkanmu sendirian?""Orang itu, dia, dia, selalu, memaksaku," ucapnya dengan terbata-bata. Dahiku mengernyit mendengar ucapannya. Orang itu siapa?"Mama? Dia memaksamu?" tudingku.Elena men
"Kenapa melamun?" Sentuhan tangan Kahfi tarasa di pundakku."Kau baru pulang rupanya," sambutku, di depan kolam ikan hias di samping halaman."Ya. Banyak pekerjaan." Dia duduk di sampingku." Hari menjelang malam."Kau lelah?""Ya. Tapi hilang setelah bertemu denganmu.""Gombal!" Aku mendorong bahunya dengan bahuku."Terjadi sesuatu lagi dengan Mama?""Entahlah.""Kau hanya melihat kolam ini saat sedang marah dan juga kecewa. Ikan-ikan di sini hafal betul tingkahmu itu.""Benarkah? Tapi aku tak pernah bicara pada mereka. Mereka pasti menguping pembicaraan kita. Hewan yang tidak punya sopan santun." Dia tertawa mendengar aku menggerutu, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celananya.Aku memandangi aksinya, tahapan demi tahapan hingga gulungan tembakau itu mengeluarkan asap dari ujungnya. Dia benar-benar menikmati, dan menghembuskannya tepat di wajahku."Kau senga
"No, Kahfi. Bukan itu maksudku." Aku membantah dengan cepat, sambil mengusap air mata. Tak ingin kami kembali salah paham, dan dia bertingkah dan membuatku seperti orang gila.Aku menatap wajah yang penuh dengan tanda tanya itu. Kenapa lagi-lagi masalah Erik dan keluarganya selalu saja mengusik dan membuat masalah di antara hubunganku dengan Kahfi. Bukankah sejak saat itu, aku sudah tak peduli lagi dengan urusan mereka?Perasaan iba terhadap Elena membuatku secara tidak sadar menceritakan hal itu. Sesuatu yang hampir sama dengan yang pernah kualami. Hanya saja aku punya banyak cara untuk menolak, bahkan dengan cara kasar sekali pun.Aku juga pernah terlibat perkelahian. Memukul laki-laki kurang ajar dengan vas bunga di sebuah vila, meski saat itu aku kalah, dan babak belur di buat bajingan itu.Aku benar-benar mengadu pada Kahfi. Laki-laki berpostur tinggi tegap itu langsung datang begitu aku bercerita, dan memberi pelajara