“Lo yakin Mond? Gak kan tiba-tiba kabur di akad nanti?”, tanya Ayara sambil berkeliling di butik baju pengantin berkelas yang sudah disepakati.
“Kenapa emang?”
“Gue cuma gak mau malu-maluin diri aja nanti pake baju penganten sendiri tapi lakinya ternyata gak ada. Lebih tepatnya gak mau malu-maluin keluarga gue.”
“Aman Ra. So far gue gak kepikiran untuk berubah pikiran…Justru gara-gara lo ingetin barusan. Gue jadi punya ide…”, Raymond
“Awas lo ya Mond! Klo lo mau mundur, mundur sekarang…”
“Enggak Ayara calon istri gue yang ternyata baweeeell…”, kata Raymond mencubit pipi Ayara dengan lembut sehingga Raymond tersadar bahwa wajah Ayara ternyata cukup lucu dan menggemaskan.
“Silahkan mbak…”, pelayan butik segera memanggilnya bersiap-siap mencoba pakaiannya. Ayara mengikutinya ke area privat untuk mengganti baju.
Raymond duduk di sofa butik dengan kemeja dan celana chinonya. Asik menunggu sambil mengutak atik kerjaannya di ponsel.
Di ruangan privat
yang ditutupi tirai, Ayara memandang pantulan dirinya di cermin butik pengantin. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya dengan manis. Tidak ada payet berlebihan, tidak ada ekor panjang, hanya satin lembut yang jatuh sampai lantai. Clean. Minimalis. Aman.Tirai dibuka. Raymond duduk, kaki disilangkan, memainkan ponsel sambil sekali-sekali melirik sekilas dan terpesona dengan apa yang ia lihat.
“Mond, aneh gak?”
Raymond mengangkat kepalanya dan terkagum-kagum dengan teman masa kecilnya yang ternyata cukup cantik. Pakaian pengantin yang dipilihnya sederhana tapi malah terlihat klasik dan berkelas. Ayara yang cantik apa adanya sangat terpancar di pakaiannya…
“Ternyata lo cantik juga Ra…”, ucap Raymond dengan tulus dan spontan. Kata-kata itu cukup membuat Ayara tersipu.
Mereka pindah ke fitting jas. Raymond masuk ke ruang ganti, keluar dengan jas abu-abu yang pas di bahu. Ayara, yang sedang menyeruput air mineral, terpaksa mengakui dalam hati: Oke… dia lumayan keren juga.
“Tuh kan, lo ngeliatin gue,” Raymond menyeringai.
“Lo juga cakep ko Mond…Cocok lah jadi suami gue sementara…”
“Sialan lo Ra…”
***
Ayara dan Raymond duduk di meja makan restoran bergengsi di Jakarta. Mereka menanti test food yang sudah dipilihkan keluarga mereka.
“Aneh ya…Nikah tanpa pacaran, tanpa lamaran… bahkan tanpa cincin.”
“Cincin kan bisa nyusul. Lagian ini cuma kontrak,” jawab Raymond santai. “Lo mau pakai karet gelang juga gue nggak protes.”
Ayara mendengus, lalu melirik ekspresi Raymond di pantulan cermin. Dia terlihat terlalu santai untuk ukuran orang yang mau nikah sebulan lagi. Tidak ada gugup, tidak ada antusiasme. Dan entah kenapa, itu malah membuat Ayara sedikit lega.
“Tapi ya Mond, gue masih gak ngerti kenapa lo mau,” gumamnya.
Raymond menurunkan ponselnya. “Karena lo… gampang.”
Ayara menoleh cepat. “Excuse me?!”
“Maksudnya gampang diajak kompromi,” Raymond mengangkat tangan, menahan tawa. “Lo nggak ribet mau dekor apa, catering apa, bahkan tempat nikahnya aja kita sepakat dalam lima menit. Gue nggak sanggup sama cewek yang mau meeting WO tiap minggu.”
Ayara memutar bola mata. “Jangan GR, Mond. Gue cuma nggak mau buang waktu. Kita kan udah tahu ini… ya… formalitas.”
Ponsel Ayara dan Raymond berbunyi pesan masuk dari sebuah grup yang baru saja dibuat. GRUP HONEYMOON IMPIAN.
“Ya ampun Mond…grup apaa ini?!”, sontak Ayara
Bunyi notifikasi.
Bunda Ayara
Kalian mau honeymoon ke mana? Mau di villa kita di Lombok atau yang di Maldives biar intimate. Hihihi…
Ayara
Gak tahu…gak ada honeymoon kayanya…
Ayah Raymond
Pikirin cepat. Mumpung masih hot-hotnya ya…
Raymond hampir tersedak minumnya. Ayara pura-pura fokus pada puding mangga di piringnya.
Di mobil pulang, hening cukup lama. Sampai Raymond berkata pelan, “Lo sadar nggak, ini semua udah kebablasan?”
“Bukan kebablasan. Ini cuma… kita terlalu komit sama ide gila.”
Raymond tertawa kecil. “Gila sih, iya. Tapi gue penasaran. Nanti kalau kita bener-bener tinggal serumah, lo bakal segalak apa?”
Ayara menatapnya sekilas. “Tergantung. Eh kamar apt lo ada 2 gak Mond?”
“Cuma satu. Tapi…gak apa-apa lah ya. Akhirnya gue jadi punya temen sekasur. Bisa bobok dengan nyenyak…”
“Porno lo ya Mond…”
Ayara menghela napas. Dia tidak mau mengakuinya, tapi dalam hati ada sesuatu yang mulai berubah. Bukan cinta. Belum. Tapi ada rasa penasaran yang pelan-pelan merayap.
Seminggu terakhir sebelum pernikahan, mereka mulai sering telepon malam-malam. Awalnya membahas vendor, lalu jadi ngobrol soal film, musik, bahkan cerita masa kecil yang tidak pernah mereka bagi sebelumnya.
Suatu malam, Raymond berkata, “Lo inget gak waktu kita SD, lo pernah dorong gue ke kolam renang?”
Ayara tertawa. “Lo lupa ya, itu gara-gara lo nyolong es mambo gue?”
Raymond ikut tertawa. “Lo masih sama kayak dulu. Nggak suka kehilangan apa yang lo anggap ‘punya lo’.”
Ayara terdiam sebentar. “Mungkin itu makanya gue sakit hati banget sama Alex.”
Raymond tidak langsung menjawab. Hanya terdengar napasnya di seberang telepon. “Kalau sama gue, lo nggak perlu khawatir.”
“Mond, kita gak salah langkah kan?”, ucap Ayara mulai khawatir.
“Udah gak ada jalan buat mundur Ra…kita hadapin aja lah…udah kepalang…Lagian siapa tahu aja satu tahun ini malah jadi selamanya Ra…hahahha…”
“Bisa jadi…”
Ayara tersenyum. Dadanya hangat.
Ayara menutup telepon malam itu dengan pikiran yang tidak bisa didefinisikan. Ia mengingat kembali gaun putih di butik, jas abu-abu Raymond, pohon flamboyan di galeri… dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya—apakah kontrak ini akan se-‘simple’ yang mereka pikirkan?
Sore di Reykjavik mulai redup. Cahaya matahari musim dingin hanya tersisa sedikit, membuat langit berwarna oranye pucat. Di sebuah bar kecil dekat pelabuhan, Erik duduk santai di kursi tinggi, satu tangan memutar gelas whiskey, sementara matanya sibuk menatap layar ponsel. Senyum tipisnya muncul sesekali—senyum khas Erik yang entah untuk siapa, tapi selalu berhasil menyalakan rasa penasaran orang di sekitarnya.Freya masuk. Rambut pirangnya diikat setengah, mantel panjang wolnya menutupi tubuh mungil tapi anggun. Begitu melihat Erik, ia langsung menegang. Ada banyak pria di kota ini, tapi hanya Erik yang bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan.“Hey,” sapa Freya, mencoba tenang, meski senyumannya agak ragu.Erik menoleh, lalu tersenyum lebar seolah benar-benar baru sadar ada dunia selain ponselnya. “Freya! Duduk sini. Pas banget waktunya.”Freya duduk, jantungnya berdetak makin kencang. “Kamu selalu sibuk, ya?” tanyanya.Erik tertawa kecil. “Bukan sibuk. Hanya… banyak yang butuh
Pagi itu Reykjavik diselimuti kabut tipis. Dari jendela apartemen, terlihat burung-burung beterbangan rendah, mencari santapan ikan di danau. Raymond sudah duduk di meja kerja, laptop terbuka dengan tiga jendela zoom meeting sekaligus. Rambutnya agak acak-acakan, matanya fokus penuh.“Gue harus rapat sampai jam makan siang, sayang. Lo mau ngapain hari ini?” tanya Raymond tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Ayara mengikat syal di lehernya, tersenyum kecil. “Gue harus ke pasar. Mau beli bahan makanan. Biar lo gak kerja sambil ngeluh lapar terus.”Raymond mengangkat alis sekilas, lalu tersenyum hangat. “Hati-hati ya honey. Jangan nyasar. Pake google maps.”“Siap, boss.” Ayara mencium cepat pipi Raymond sebelum mengambil tote bag kanvas besar.Pasar Reykjavik bukan seperti pasar di Jakarta yang bising dan penuh teriakan. Di sini, deretan kios kayu berwarna pastel menjual ikan segar, sayur organik, dan roti hangat. Bau laut bercampur dengan aroma kopi hitam dari gerobak kecil di ujung
Pagi itu Ayara terbangun di pelukan Raymond dengan telanjang bulat. Ia tersenyum melihat wajah tampan suaminya yang sangat seksi itu. Ayara berencana untuk menjauhkan diri dari dada bidang dan berorot Raymond. Tapi gerakannya malah justru membangunkan suaminya."Morning sayang..." kata Raymond sambil mengecup bahu dan leher istrinya."Ih geli sayang...""Ra, liat pemandangannya indah banget ya..." Raymond menatap jendela kamar mereka yang langsung dapat melihat bagaimana sinar matahari pagi menerangi hamparan padang rumput yang beberapa bagian tertutupi salju dan danau yang cukup besar di depan mereka dengan tenang. "Gue mau lo bangun tiap hari kaya gini Ra...""Tenang, kita tinggal di sini sebulan sayang...kenyang-kenyangin deh liat pemandangan ini...mau dua bulan juga bisa...apa mau pindah juga bisa...", jawab Ayara tengil.“Ra...” Raymond berbisik. “Ini pertama kalinya setelah semua drama akhir-akhir ini, gue ngerasa... ringan.”Ayara menggeser tubuhnya, kepalanya bersandar di bahu
Raymond tersenyum nakal, lalu menindihnya di atas kasur dengan bulu-bulu lembut yang memberikan sensasi berbeda, siap membuktikan bahwa bahkan di Reykjavik yang dingin, mereka bisa bikin panas dunia mereka sendiri. Kepalanya dengan sekejap sudah diselusupkan di ceruk leher Ayara dan membuat bulu roma Ayara berdiri karena kenikmatan.Ayara tersenyum menikmati setiap sentuhan yang diberikan Raymond. Jemarinya mengelus leher Fajar, seolah menyampaikan pesan bahwa Ayara sangat menginginkannya malam itu."Ahh...Raymond...suami gue...", suara Ayara manja dan mendesah di telinga Fajar yang sedang asik menikmati lehernya. Ia bisa merasakan tangan Raymond sudah mulai bermain ke dadanya."Gue ijin perk*sa lo ya Ra...""Please lakuin Mond...Suami seksi gue...""Lo bakal gue nikmatin malem ini sayang...desah aja sekuat lo karena di bukit dan danau ini cuma ada kita...gak punya tetangga..." desah Raymond."Mau dong digerayangin Raymond Maharadja..." ucap Ayara genit.Raymond saling menatap Ayara i
Pesawat mendarat mulus di bandara Keflavík. Udara dingin langsung menyergap wajah Ayara begitu ia keluar dari pintu pesawat, membuat pipinya memerah. Di kejauhan, hamparan salju luas berkilau memantulkan cahaya pucat matahari musim dingin. Angin asin dari laut utara menusuk, tapi juga memberi sensasi segar yang tak bisa ia temukan di Jakarta.Raymond menarik koper mereka sambil melirik istrinya yang masih terpaku menatap langit kelabu. “Lo nggak salah pilih, Ra. Reykjavik emang pas banget buat kita kabur. Jauh dari mana-mana...sepi...”Ayara menoleh, tersenyum kecil. “Iya, gue sengaja pilih sini. Paling jauh, paling dingin, dan nggak ada keluarga atau tetangga yang bisa tiba-tiba ngetok pintu cuma buat nanya ‘udah isi apa belum’.”Mereka memilih Reykjavik bukan tanpa alasan. Ayara menemukan artikel tentang kota ini: tenang, kecil, tapi modern. Cocok untuk mereka yang ingin “menghilang” tanpa benar-benar hilang. Dari sini, mereka bisa bekerja secara remote—Ayara dengan laptop editing n
Ayara dan Raymond memasuki sebuah ruangan VIP resto kelas atas. Belakangan mereka tahu kalau restoran ini adalah milik Davin. Ia adalah pewaris tunggal usaha restoran orang tuanya yang punya bisnis dimana-mana. Dindingnya berlapis kayu panel yang diukir cantik dan klasik seperti dinding istana-istana kecil di Eropa. Pelayan resto berpenampilan rapih menarik kursi mereka, sambil mempersilahkan mereka berdua untuk duduk."Makasih mas, kami berdiri aja..." ucap Ayara sambil tersenyum ke pelayan itu. "Kita gak kan lama ko mas..."Kedua tangan Raymond dan Ayara berpegangan erat. Ia tidak menyangka ternyata hidup mereka akan cukup rumit. Semua ini gara-gara Maya sialan pikir Ayara.Tidak lama Davin datang. Davin memberikan sinyal untuk pelayan keluar ruangan dan menutup pintu setelah selesai mengisi gelas-gelas mereka dengan wine mahal yang ia pisan. Sepertinya Davin berkeinginan untuk meninggalkan kesan bahwa dia seseorang yang berpengaruh, tapi itu sama sekali tidak menggetarkan hati Ayar