공유

Perawan Tua

작가: Tutur K. S
last update 최신 업데이트: 2025-07-22 22:41:22

“Ra, kamu itu udah umur 30 lebih. Mau nunggu sampai kapan lagi? Sampai jadi perawan tua?”

Kalimat itu meluncur dari mulut Bunda, tepat saat Ayara baru mulai menyendok soto. Uap soto langsung kehilangan wibawa. Suasana meja makan yang semula hangat, berubah tegang seperti sinetron jam sembilan malam. Ya Tuhan, padahal baru beberapa bulan yang lalu Ayara cerita kalau ia putus dengan Alex, mantannya yang brengsek.

Di meja makan panjang, dua keluarga—keluarga Ayara dan keluarga Raymond—duduk berdampingan. Tradisi makan liburan rutin ini sudah berlangsung sejak mereka masih pakai seragam SD. Orang tua mereka bersahabat sejak zaman ngekos bareng di Bandung tahun 90-an, dan kini membangun kerajaan bisnis bersama.

Semua anak sudah menikah. Semua cucu sudah lahir.

Kecuali dua orang: Ayara dan Raymond.

Dan itu, menurut keluarga, adalah KRISIS NASIONAL.

“Mama dulu umur 25 udah ngelahirin Kak Arum. Kamu sekarang 35. Nanti mau punya anak umur berapa?” lanjut Bunda.

“Ngejar cita-cita dulu, Bun,” jawab Ayara, nyengir tipis. “Kan katanya disuruh kejar cita-cita setinggi langit.”

“Langit ke berapa? Langit ke-12?”, kata Bunda ngeledek.

“Seru banget tuh kayanya”, seru Raymond datar, sambil nyendok sambel.

“Kamu juga sama, Ray,” giliran Mama Raymond. “Umur hampir 40, kerja oke, rumah ada. Masih jomblo?! Malu-maluin…Masih aja ngejar-ngejar Maya. Heran!”

“Masih audisi yang lain, Ma. Terlalu banyak kandidat. Sayangnya Ayara nggak masuk longlist,” sahut Raymond.

“Hah? Gue juga nggak minat ya!” semprot Ayara.

“Pokoknya, karena kami tahu kalian lagi sama-sama patah hati... dan sama-sama tua,” Bunda menatap serius, “Kami... sepakat. Kalian. Dijodohkan.”

Ayara dan Raymond saling pandang.

Lalu, nyaris bersamaan:

“APA?!”

“Najis.”

“Ogah.”

Gelak tawa pecah di antara para orang tua. Tapi Ayara dan Raymond tidak tertawa.

“Padahal dulu waktu kecil kalian mandi bareng,” kenang Mama Raymond sambil ketawa geli.

“Dulu, Ma. Sekarang beda dunia. Dia suka jazz, gue suka koplo,” jawab Ayara.

“Lebay lo,” sahut Raymond.

“Sok cool lo.”

“Udah, udah...biarin aja anaknya sadar sendiri ya…ibu-ibu…” potong Papa Raymond. 

Kegiatan adu mulut di area meja makan selesai. Para orang tua kembali ke ruang TV dan mulai menyalakan alat karaokenya.  Ayara membantu Bunda membereskan meja. Raymond sudah merencanakan beribu alasan untuk bisa ijin pergi lebih awal. Tapi…

“Mond, tolong ambilin charger Papa di kamar ujung ya.”

“Ah. Ok, Pa...” jawab Raymond pasrah.

Papa Raymond mengedipkan mata ke para orang tua. Skenario sudah dimulai.

Raymond jalan ke kamar villa paling ujung. 

Di sisi lain, Bunda minta Ayara tolong ambil HP-nya yang katanya ketinggalan di kamar di ujung. Di tempat dimana Raymond berada.

Dan begitu Ayara masuk—

Klik. Pintu dikunci dari luar.

Gelak tawa dari luar langsung pecah seperti anak-anak SMA yang senang sekali menjahili adik kelas mereka.

“Woy! Apa-apaan ini!” Raymond loncat dari kasur.

“Bundaaa! Jangan gini dong!” jerit Ayara dari balik pintu.

Suara Bunda terdengar nyaring, penuh semangat:

“Ngobrol dulu dong berdua! Kalian tuh jarang bonding. Siapa tahu... klik! Kan kayak sinetron—awalnya benci, lama-lama cinta! Mau bikin cucu duluan juga boleeh…”

“SELAMAT MENIKMATI QUALITY TIME YA NAKS!”

Suara langkah menjauh. Hening.

Tinggal Ayara dan Raymond di kamar.

Ayara mendengus, melempar tas ke sofa. “Gila ya. Nih orang tua-orang tua ini akalnya gak ada abisnya...”

Raymond malah dengan santai naik ke kasur, nyender santai sambil buka ponsel dan colok earphone. “Gue malah kasihan sama kita Ra. Segini desperate-nya hidup sampai perlu diginiin sama mereka...”

Beberapa menit hening. Hanya ada suara jangkrik dan AC.

“Lo katanya putus sama Alex ya?” Raymond akhirnya membuka mulut.

“Hm. Iya…” gumam Ayara.

“Ooh…” Raymond mengangguk, lalu ikut diam.

“Lo gimana sama Maya? Masih digantung-gantung aja? Apa lo yang pengecut gak ada nyali nyatain?”

“Bukan urusan lo Ra…”

Ayara melirik Raymond dari sudut mata. Raymond dingin. Sebenarnya, ia masih ingin pura-pura cuek. Tapi diam-diam, kepalanya penuh pikiran.

Pacarnya selama bertahun-tahun ternyata brengsek dan selingkuh. Temannya yang menikah dengan cinta matinya malah curhat kalau pernikahan itu penuh drama dan gak bahagia. Semua itu membuat kata nikah dan cinta di kepalanya terdengar seperti hal yang sudah tidak lagi sakral atau indah. Tapi di saat yang sama… tekanan keluarga makin menggila. Ia sudah bosan mendengarnya. Dari dikenalkan orang A, Orang B, teman mamah yang A, dan lain-lain yang membuat otaknya hampir pecah.

Bayangan akan makan malam keluarga berikutnya, dengan tatapan kasihan sekaligus gosip terselubung, membuat perutnya mual. Ia lelah jadi bahan obrolan. Lelah dengan tatapan “ada apa sih sama dia?” setiap kali datang ke acara keluarga sendirian.

“Mond... Lo capek gak sih?” suaranya akhirnya keluar, lirih.

Raymond mengangkat kepala. “Capek gimana?”

Ayara memandang lurus ke depan. “Tiap buka I*******m, isinya stroller, test pack garis dua, couple goals, liburan keluarga. Tapi aslinya...tau gak itu semua banyak yang palsu. Trus buat apa ya orang buang-buang waktu kenalan, pacaran, tapi ternyata ujung-ujungnya juga zonk.”

“Sejujurnya sih Ra…Gue muak banget. Sampe sempet uninstall sosmed segala.”

Ayara tertawa hambar. “Gue jadi kepikiran tau kalau cinta itu omong kosong doang, Mond. Temen-temen gue kelihatan bahagia banget di sosmed sama pasangannya, dia nikah dengan cinta matinya, pacaran dah lama, tapi gue tahu mereka ribut tiap malam. Malah hampir cerai. Dia sampe bilang ‘semua cowok sama aja. nyesel nikah. ilang kebebasan. dll.’. Padahal katanya cinta…”

Raymond menarik napas. “Gue tujuh tahun jagain Maya. Dengerin semua curhat seneng, sedih, nangis, patah hati. Tapi dia malah mau nikah sama cowok yang baru dia kenal dua bulan. Gue? Cuma jadi tempat mampir.”

Ayara menatapnya. Matanya jernih, tapi lelah.

Hening.

“Gue capek sebenernya, Mond...Apa sih yang orang-orang mau? Katanya serius tapi gak dateng-dateng ke rumah…sayang tapi ujungnya minta ‘jatah’, nafsu doang…Setia tapi selingkuh sama kliennya. Bullshit emang!”

“Hey! Gak semua cowok ya kaya gitu! Gue enggak! Itu sih lo aja yang lagi apes Ra.”, ucap Raymond sambil memiringkan kepala, memperhatikan Ayara lebih lama dari biasanya.

“Tapi dipikir-pikir ya Mond. Kita udah saling tahu. Gak perlu jaim. Gak usah repot cari orang baru yang bisa nerima masing-masing. Kita tinggal hidup satu atap tapi idup masing-masing. Biasa aja. Simple banget kalau kita gak pake expectation. Bener ga sih?”

Ayara terperangah. Gila… apa ini sebenarnya ide yang lumayan waras?

Hening. Pikiran Ayara melayang, menimbang-nimbang. Nikah tanpa cinta? Awalnya kedengaran bodoh. Tapi kayanya pernikahan penuh cinta juga bisa berakhir jadi bencana? Kalau ini cuma kontrak sosial, mungkin justru lebih aman.

“Mond, gue punya ide gila.”

Raymond mengangkat alis. “Tembak.”

Ayara menarik napas dalam. “Gimana kalau... kita nikah aja?”

“Lo gila?”

“1 tahun aja. Biar orang tua kita diem. Minimal kita bisa tenang sebentar aja dari rong-rongan mereka yang minta kita punya jodo. Nanti kita tinggal bilang pisah gak cocok, kaya artis-artis gitu yang suka bilang kita beda prinsip. Beres! Simple.”

Raymond diam. Sejenak berpikir Ayara bercanda. Tapi ekspresinya terlalu serius untuk lelucon.

“Coba aja dulu. Kalau cocok, lanjut. Kalau gak... ya udah. Gak usah drama. No overexpectation! Jadi diri sendiri aja…lo kaya sekarang, gue kaya sekarang.” kata Ayara tenang.

“Hmm…menarik...” bisik Raymond.

“Gimana?”

Raymond menatap langit-langit. Lalu bangkit duduk.

“Oke. Deal.”

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • GAIRAH LIAR PASANGAN MUDA   Sore di Reykjavik

    Sore itu Reykjavik berbau garam dan roti panggang. Angin dari pelabuhan menggigit telinga, tapi pasar akhir-pekan tetap ramai. Di deret paling ujung, Freya merapikan stand kecilnya: kotak-kotak poskort berilustrasi mercusuar, sketsa paus biru, dan seri “Aurora yang Tersesat”—gradasi hijau yang seolah patah di tengah.“Kalau gue jadi London, beneran nggak ada yang kangen?” gumamnya, menatap pesan pemesanan yang belum ia kirim.Suara tawa lelaki memecah pikirannya.Erik datang dengan coat hitam, scarf dililit asal, senyum yang terdengar seperti ajakan main. Freya mengangkat alis, datar tapi ramah. “Hari ini ‘open space’. Mau beli atau cuma bikin keributan?”Erik tertawa, mengambil satu set kartu pos. “Yang ini kayak kita.”“Kayak lo,” koreksi Freya. “Gue sih enggak.”Bel kafe di belakang mereka berdenting. Ayara masuk dengan syal krem dan tote bag kain. Raymond menyusul, telinganya memerah oleh dingin. Wajah mereka cerah tenang, seperti orang yang rajin mempraktikkan keputusan baru.“St

  • GAIRAH LIAR PASANGAN MUDA   One last kiss good bye

    Bar kecil di tepi pelabuhan itu hampir gelap seluruhnya. Hanya sisa dua lampu gantung kuning pucat yang bergoyang pelan tertiup hembus angin laut yang merembes lewat celah pintu. Rak botol memantulkan kilau samar; kaca-kaca tinggi berkabut tipis, menyisakan garis-garis lembap yang mengalir perlahan. Di luar, Reykjavik tertidur: denting tiang bendera, desir ombak halus menyapu dermaga, dan sesekali bunyi langkah turis yang tersesat malam-malam.Erik tertidur tengkurap di meja bar, pipi menempel pada lengan, rambut pirangnya acak-acakan. Nafasnya berat, menyisakan wangi bercampur antara whiskey, garam laut, dan parfum maskulin yang mahal. Di sampingnya, gelas kosong berderet seperti saksi nakal: terlalu banyak tawa, terlalu sedikit kendali. Lelaki itu tetap tampan bahkan dalam kekalahan kecil begini; sialnya, hal itulah yang membuat banyak hati—termasuk hati Freya—selalu memaafkannya.Freya berdiri beberapa langkah darinya. Mengenakan mantel wol abu-abunya yang bergelayut di bahu; dari

  • GAIRAH LIAR PASANGAN MUDA   Freya dan Erik

    Sore di Reykjavik mulai redup. Cahaya matahari musim dingin hanya tersisa sedikit, membuat langit berwarna oranye pucat. Di sebuah bar kecil dekat pelabuhan, Erik duduk santai di kursi tinggi, satu tangan memutar gelas whiskey, sementara matanya sibuk menatap layar ponsel. Senyum tipisnya muncul sesekali—senyum khas Erik yang entah untuk siapa, tapi selalu berhasil menyalakan rasa penasaran orang di sekitarnya.Freya masuk. Seorang wanita cantik mengenakan kemeja flanel motif kotak-kotak dan jeans keluar dari pantry. Tubuhnya kurus tapi payudaranya yang besar terlihat mencuat menantang diantara 2 kancing yang terbuka. Rambut pirangnya diikat setengah, mantel panjang wolnya menutupi tubuh mungil tapi anggun. Begitu melihat Erik, ia langsung menegang. Ada banyak pria di kota ini, tapi hanya Erik yang bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan.“Hey,” sapa Freya, mencoba tenang, meski senyumannya agak ragu.Erik menoleh, lalu tersenyum lebar seolah benar-benar baru sadar ada dunia sel

  • GAIRAH LIAR PASANGAN MUDA   Kamu Butuh Dibantu?

    Pagi itu Reykjavik diselimuti kabut tipis. Dari jendela apartemen, terlihat burung-burung beterbangan rendah, mencari santapan ikan di danau. Raymond sudah duduk di meja kerja, laptop terbuka dengan tiga jendela zoom meeting sekaligus. Rambutnya agak acak-acakan, matanya fokus penuh.“Gue harus rapat sampai jam makan siang, sayang. Lo mau ngapain hari ini?” tanya Raymond tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Ayara mengikat syal di lehernya, tersenyum kecil. “Gue harus ke pasar. Mau beli bahan makanan. Biar lo gak kerja sambil ngeluh lapar terus.”Raymond mengangkat alis sekilas, lalu tersenyum hangat. “Hati-hati ya honey. Jangan nyasar. Pake google maps.”“Siap, boss.” Ayara mencium cepat pipi Raymond sebelum mengambil tote bag kanvas besar.Pasar Reykjavik bukan seperti pasar di Jakarta yang bising dan penuh teriakan. Di sini, deretan kios kayu berwarna pastel menjual ikan segar, sayur organik, dan roti hangat. Bau laut bercampur dengan aroma kopi hitam dari gerobak kecil di ujung

  • GAIRAH LIAR PASANGAN MUDA   Rumah di Puncak Bukit Nafsu Menggelora

    Pagi itu Ayara terbangun di pelukan Raymond dengan telanjang bulat. Ia tersenyum melihat wajah tampan suaminya yang sangat seksi itu. Ayara berencana untuk menjauhkan diri dari dada bidang dan berorot Raymond. Tapi gerakannya malah justru membangunkan suaminya."Morning sayang..." kata Raymond sambil mengecup bahu dan leher istrinya."Ih geli sayang...""Ra, liat pemandangannya indah banget ya..." Raymond menatap jendela kamar mereka yang langsung dapat melihat bagaimana sinar matahari pagi menerangi hamparan padang rumput yang beberapa bagian tertutupi salju dan danau yang cukup besar di depan mereka dengan tenang. "Gue mau lo bangun tiap hari kaya gini Ra...""Tenang, kita tinggal di sini sebulan sayang...kenyang-kenyangin deh liat pemandangan ini...mau dua bulan juga bisa...apa mau pindah juga bisa...", jawab Ayara tengil.“Ra...” Raymond berbisik. “Ini pertama kalinya setelah semua drama akhir-akhir ini, gue ngerasa... ringan.”Ayara menggeser tubuhnya, kepalanya bersandar di bahu

  • GAIRAH LIAR PASANGAN MUDA   Ranjang yang Panas di Kota Es

    Raymond tersenyum nakal, lalu menindihnya di atas kasur dengan bulu-bulu lembut yang memberikan sensasi berbeda, siap membuktikan bahwa bahkan di Reykjavik yang dingin, mereka bisa bikin panas dunia mereka sendiri. Kepalanya dengan sekejap sudah diselusupkan di ceruk leher Ayara dan membuat bulu roma Ayara berdiri karena kenikmatan.Ayara tersenyum menikmati setiap sentuhan yang diberikan Raymond. Jemarinya mengelus leher Fajar, seolah menyampaikan pesan bahwa Ayara sangat menginginkannya malam itu."Ahh...Raymond...suami gue...", suara Ayara manja dan mendesah di telinga Fajar yang sedang asik menikmati lehernya. Ia bisa merasakan tangan Raymond sudah mulai bermain ke dadanya."Gue ijin perk*sa lo ya Ra...""Please lakuin Mond...Suami seksi gue...""Lo bakal gue nikmatin malem ini sayang...desah aja sekuat lo karena di bukit dan danau ini cuma ada kita...gak punya tetangga..." desah Raymond."Mau dong digerayangin Raymond Maharadja..." ucap Ayara genit.Raymond saling menatap Ayara i

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status