"Hm, jadi saat aku menyelamatkan kalian dari gancet, aku telah merekam pose kalian saat gancet."
Mas Adi mendelik. Sedangkan Lidia tampak ketakutan."Dasar licik! Bagaimana kamu bisa melakukan hal itu?""Yah, tentu saja untuk mengantisipasi kamu agar tidak mengancamku seperti ini. Sekarang, talak aku sekarang juga agar kita resmi cerai secara agama dan biarkan Verico ikut denganku secara damai.Dan kamu juga harus tanda tangan untuk harta yang kita kumpulkan selama menikah, agar menjadi harta milik anak kita. Untuk persidangan sampai surat cerai keluar, biar kita serahkan pada pengacara."Mas Adi memandangku dengan tatapan memelas."Kenapa? Jangan ruwet Mas, tadi kamu bilang mau menceraikan aku. Sekarang aku kabulkan permintaan mu untuk bercerai dengan ku tapi kamu harus merelakan harta yang telah kita hasilkan bersama selama ini untuk anak kita.""Tapi itu tidak adil, Ma! Papa tidak akan mendapat banyak harta padahal Papa yang telah bekerja keras selama ini!" seru Lidia."Hei Lidia, dengarkan aku baik-baik. Satu, jangan panggil aku Mama. Dua, aku tidak akan pernah rela untuk membagi semua harta yang telah kuhasilkan untuk kamu nikmati! Paham?!""Aku juga keberatan, Hes! Bagilah dengan adil harta gono gini dan Verico ikut aku!""Hah? Apa kamu tidak tahu malu? Kamu mau Verico ikut pengkhianat seperti kalian? Tidak! Kamu harus menyerahkan harta gono gini ini atas nama aku untuk Verico, atau kamu harus mau menanggung malu karena video ini tersebar di media sosial, kantor bupati dan ... sekolah Lidia.""Astaga! Kamu benar-benar licik!""Pa, aku takut! Aku tidak mau dikeluarkan dari sekolah. Aku hanya perlu ujian saja dan lulus. Aku enggak mau dikeluarkan dari sekolah sekarang, Pa."Lidia dengan tidak tahu malunya memeluk lengan suamiku. Tapi aku sedikit pun tidak cemburu. Hanya ada rasa sesal karena pernah sempat mencintai orang tidak setia seperti dia."Tenang Sayang, aku akan melindungi kamu."Mas Adi lalu menoleh padaku, "Tunjukkan dulu padaku video yang sudah kamu rekam!"Aku tersenyum. "Wow, kamu meragukan ancaman aku? Oke, sekarang aku kirim video yang sudah kurekam saat di hotel tadi."Aku lalu mengirimkan video ke ponsel Mas Adi dan Lidia dan seketika mereka terkejut. Melihat video saat karyawan membuka pintu hotel sampai aku memisahkan mereka yang sudah pingsan."Kapan kamu merekam kami?" tanya Mas Adi parau."Hm, ada deh. Sekarang bagaimana? Mau video ini tersebar atau kamu penuhi permintaan ku?" tanyaku dengan tangan bersidekap di depan dada.Mas Adi menghela nafas. "Baiklah. Aku turutin semua mau kamu. Verico dan harta gono-gini menjadi milik kamu. Dan sekarang di hadapan semua keluarga kita, aku ... aku menyatakan bahwa kamu bukan istriku lagi karena telah jatuh talak satu ku padamu.""Astaga, Hesti, Adi! Jangan bercerai, Nak!"Mertuaku histeris dan seketika ambruk ke lantai ruang tamu."Mama!"Serentak mas Adi mendekat ke arah Mamanya yang sedang pingsan. Aku dan kedua orang tua ku juga mengerumuni Mami."Hesti! Ini gara-gara kamu ya! Awas saja kalau terjadi sesuatu pada Mamaku, aku akan balas dendam padamu!"Kutatap mas Adi dengan tatapan mencemooh. "Mas, benar-benar enggak ngaca ya?! Sekarang Mas bagaikan buruk muka cermin dibelah!" desisku tertahan sambil mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi ambulance dari rumah sakit tempatku bekerja.Mas Adi masih melirikku dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tak akan memaafkan kamu, kalau terjadi sesuatu pada Mama karena kamu minta cerai!""Hei, ngaca dong! Seharusnya kamu tuh yang harus malu pada diri kamu sendiri. Lagipula siapa sih yang mau pernikahan nya dikhianati oleh suami?" tanya Mami membelaku."Mas Adi, kamu memang lucu sekali. Sudahlah, yang penting aku sudah lega bisa berpisah dari kamu. Dan untuk saat ini kamu fokus dulu saja pada keselamatan TANTE MIRNA, bukan pada permintaan cerai kita. Oke?!"Mas Adi mendelik saat mendengar ucapanku yang memanggil mamanya dengan sebutan 'tante.''Ah, bodo amat. Sekarang toh kami tidak ada hubungan apapun.'***Aku baru saja menyerahkan Tante Mirna pada dokter UGD yang saat ini sedang bertugas, saat mas Adi menghampiri ku."Sudah puas kamu melihat Mamaku terkapar lemah di rumah sakit?" tanyanya dengan penuh kekesalan."Heh, kamu benar-benar nggak ngaca ya, Di!"Aku memegang bahu Papi yang sedari tadi terdiam saat Papi bergerak maju ke arah mas Adi. Aku tidak ingin Papi membuat keributan di rumah sakit."Mas Adi, asal Mas tahu saja ya. Aku meminta cerai sama sekali tidak berharap Tante Mirna akan pingsan. Itu hanya konsekuensi dari kelakuan kamu yang tidak tahu malu dan berkhianat padaku.Kamu sudah cukup beruntung karena aku tidak langsung mengadukan kamu ke tempat kamu bekerja. Kalau kamu mau menyalahkan, salahkan saja diri kamu sendiri. Ngaca dulu sebelum menyalah kan orang lain. Sudahlah, semoga Mama kamu cepat sembuh."Mas Adi terlihat hendak membuka mulut, saat aku lebih dulu bersuara. "Dan Lidia, kamu sekarang harus mulai belajar untuk mengurus calon mertua kamu. Eh, tapi itu urusan kamu pribadi sih. Aku cuma menyarankan saja agar belajar untuk mengurus suami dan mertua. Karena nikah itu enggak cuma ngurus ranjang saja."Lidia terlihat termenung dan tercengang dengan perkataanku. Dan dia hanya bisa tertunduk."Oh iya, sesuai janji, kamu hanya pergi dengan menggunakan harta bawaan. Yaitu mobil kamu. Harta gono-gini berupa rumah akan kujual untuk tabungan Verico. Lagipula, aku tidak mau untuk menempati rumah yang hanya membuat ku terluka saja.Ingat, jangan mengingkari janji. Karena video Mas pasti akan kusebarluaskan kalau menyalahi janji tentang harta gono-gini yang hanya untuk Verico. Karena harus Mas tahu aku tidak akan pernah ikhlas kalau rumah yang sebagian merupakan hasil jerih payah ku dinikmati oleh pelakor itu!" seruku sambil menunjuk ke arah Lidia.Mas Adi kehilangan kata-kata. Tangannya mengepal dan wajahnya memerah. Tapi aku tidak peduli lagi."Ayo kita pergi dulu Pi, Mi," ajakku melenggang keluar dari koridor rumah sakit.Aku menghentikan langkahku sejenak dan menoleh lagi pada mas Adi. "Baju kamu dan baju Lidia, akan kukirim ke rumah Mama," ucapku singkat dan tanpa menunggu tanggapan dari Mas Adi, aku kembali berjalan menuju ke halaman parkir rumah sakit.***"Hesti, apa Verico tidak bertanya kemana Ayahnya?" tanya Mami saat kita sedang makan bersama.Aku mengangguk seraya menghela nafas."Yah, Verico memang bertanya kenapa ayahnya tidak ikut kesini.""Lalu, kamu jawab apa?""Hm, Hesti cuma menjawab kalau ayahnya menjaga nenek yang sedang opname di rumah sakit."Mami dan Papi terlihat mengangguk-angguk. "Dimana Verico sekarang?" tanya Mami seraya celingukan mencari cucu bungsunya."Tadi sih taman depan, Mi. Bersama Mbok Yem.""Hm, sebenarnya Mami penasaran dengan gancet dan penyebabnya. Emang apa sih gancet itu?" tanya Mami penasaran.Kulirik wajah Papi pun juga menandakan rasa ingin tahu. Orang tuaku memang bukan dari lingkungan medis.Papi dan Mami dulu merupakan ASN tenaga pendidik di sebuah SMA yang baru saja pensiun."Jadi gancet itu artinya adalah saat organ reproduksi laki-laki tersangkut dalam organ reproduksi wanita dan tidak bisa terlepas satu sama lain."Terlihat Mami dan Papi bergidik ngeri dan berpandangan."Terus penyebabnya apa? Serem amat sih? Terus apa semua pasangan bisa mengalami hal itu?" tanya Mami penasaran.Aku tersenyum."Ada macam-macam sebabnya sih, Mi. Pertama, gancet atau disebut pen*s captivus itu bisa terjadi saat organ reproduksi laki-laki terisi darah dan terus membesar secara berlebihan dsaat melakukan hubungan. Sedangkan pada organ reproduksi wanita terjadi v*ginismus. Yaitu organ reproduksi wanita yang mengembang dan berkontraksi secara berlebihan saat melakukan hal itu. Sehingga akhirnya nyangkut.""Waduh, kenapa bisa berlebihan kontraksi nya?" tanya Mami."Yah bisa saja. Tadi pagi, Hesti nemu obat kuat dan obat pengencang organ reproduksi wanita di tempat sampah hotel. Pasti mas Adi dan Lidia minumnya terlalu banyak jadi keduanya over dosis. Untung saja enggak sampai jantung, efek sampingnya."Mami dan Papi manggut-manggut. "Sepertinya di hotel tadi bukan merupakan pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami istri."Tamu lelaki itu tersenyum dan berkata, "Saya kurir, Bu. Hendak mengantarkan buket bunga."Hesti memandangi sekeliling ruang tamu nya dengan terheran-heran. Masalahnya tidak ada satupun buket bunga ada terlihat di ruangan itu. "Buket bunga? Dimana?"Kurir itu tersenyum. "Buketnya besar. Ada di dalam mobil kami. Sebentar saya ambil dulu."Lelaki itu tanpa menunggu persetujuan Hesti keluar dari ruang tamunya dan menuju ke halaman, tempat mobilnya terparkir. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruang tamu dengan seorang temannya."Ini Bu."Lelaki itu menyerahkan sebuah standing buket bunga besar dengan isi mawar merah segar, uang seratus ribu rupiah berlembar-lembar, dan beberapa batang coklat silverqueen. Berbungkus kertas cellophane berwarna hitam dan putih bening. Dan menggunakan penyangga kayu. Mata Hesti membulat melihat buket bunga yang dibawa oleh kedua kurir tersebut. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Hesti dengan rasa yang masih tercengang. "Ada dalam kertas pengirim di dala
Hesti dan Narendra serentak menoleh dan terkejut melihat kedatangan Adi. "Kamu?!""Iya aku. Kenapa? Kalian kaget?" tanya Adi dengan tertatih berjalan mendekat ke arah Hesti dan Narendra."Kamu ngapain ke sini Mas?" tanya Hesti. "Aku kangen dengan Verico. Memang kenapa? Aku kan ayah kandungnya, apa tidak boleh aku menemuinya?" tanya Adi ketus.Hesti dan Narendra saling berpandangan. "Halo Pa? Papa darimana?" tanya Verico mendekat ke arah Adi."Dari rumah saja. Kamu mau ikut Papa ke rumah Papa?" tanya Adi penuh harap. Sementara Hesti terlihat keberatan tapi menahan diri untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Verico menggeleng kan kepalanya dengan cepat. Lalu beralih mendekati Hesti. "Verico di sini saja sama Mama dan Eyang," tukas bocah lelaki itu sambil memeluk lengan Mamanya. Adi terlihat berdecak kesal. Tapi tanpa putus asa, dia terus berusaha merayu Verico untuk ikut dengannya. "Kenapa kamu tidak mau, Nak? Di sana kan ada Eyang juga? Ada Papa juga. Apa selama ini Mama meng
"Bu Ayu. Bu Ayu ini kan, ibunya Lidia?" tanya Mami Adi seraya menunjuk kan ponsel Adi pada sang suami.Papi Adi mengangguk. "Coba angkat aja telepon nya. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh ibunya Lidia."Mami Adi menoleh pada Anaknya. "Gimana, Di? Boleh kah Mami terima telepon nya?"Adi terlihat berpikir sejenak. "Oke. Boleh, Mi.""Halo," sapa Mami Adi setelah menekan tombol hijau. "Halo. Adi nya ada? Saya ingin meminta tolong. Ini berkaitan dengan Lidia," sahut suara Ibu Lidia panik. Mami Adi melihat ke arah anaknya. Adi mengangguk. Mami Adi lantas menekan tombol loud speaker lalu mendekatkan nya ke arah Adi yang sedang berbaring. "Halo, Adi. Tolong Lidia. Lidia dua Minggu lagi menghadapi persidangan.""Lalu kenapa?" tanya Adi aduh tak acuh. "Loh, kok tanya kenapa sih? Bantuin dong Nak Adi, kamu kan calon suami Lidia."Adi nyaris tertawa mendengar perkataan ibu Lidia. Tapi rasa nyeri setelah dioperasi dan perasaan kaget pasca mengetahui bahwa dirinya mengalam
Dan detik berikutnya, Adipun terguling jatuh dari dua puluh lima anak tangga!!!Hesti dan Narendra tak kalah terkejutnya saat melihat Adi jatuh terguling. "Astaghfirullah, Mas Adi!" seru Hesti berlari mendekat ke tangga."Hes, hati-hati! Kamu memakai high heels!" seru Narendra. Ketiga asisten Narendra yang sedang mengejar Adi juga berlarian turun dari tangga. Adi yang terjatuh terguling sampai di tangga paling bawah mendarat dengan telentang. Ada cairan kental berwarna merah saat Hesti dan yang lainnya sampai di dekat tubuh Adi. "Hesti, darah! Apa kita harus membawa Adi ke rumah sakit sekarang?" tanya Narendra yang berjongkok di samping tubuh temannya. Hesti menghela nafas panjang. Dia sering bertemu dengan pasien yang mengalami luka lebih parah daripada Adi. Tapi saat melihat kondisi mantan suaminya seperti ini, apalagi setelah insiden di aula tadi, mau tidak mau jantung nya berdebar lebih kencang juga. "Jangan, biar aku telepon ambulance saja. Ada perdarahan di otaknya. Aku j
Flash back On :"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur? Sebentar lagi kan ulang tahun show room kamu? Kenapa malah sedih?" tanya Mami Narendra sambil menyentuh bahu anaknya saat melihat Narendra sedang duduk sendiri di kursi taman belakang rumahnya. Narendra menoleh dan tampak Maminya sedang tersenyum. Tapi di matanya tersirat rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan.Lelaki itu ikut tersenyum dan menyentuh tangan sang Ibu yang berada di atas bahunya. Lalu menarik sang ibu untuk duduk di sebelah nya. "Rendra ingin tiduran sejenak di pangkuan Ibu," tutur Rendra lirih sambil meletakkan kepalanya di paha ibunya. Ibunya menghela nafas. "Ada masalah apa? Kenapa sampai membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Ibunya sambil mengelus rambut sang anak. "Lah Mami juga, kenapa belum tidur?""Wah, anak ini, ditanya kok nanya balik. Ibu belum tidur karena rindu pada mendiang ayah kamu.""Hm, sama. Hanya aku juga sedang merindukan seseorang yang masih hidup.""Hesti kan?" tebak Mami Rendra. Rendra men
Adi tertegun melihat Verico yang menghambur ke pelukan Narendra. Ada rasa iri yang menusuk di dalam hatinya. "Verico Sayang, kenapa kamu lebih memilih untuk memeluk Om Narendra?! Kenapa kamu tidak memilih memeluk Papa? Papa juga rindu sama kamu," ujar Adi sambil merentangkan kedua tangannya. Meminta pelukan pada sang anak. "Enggak mau. Papa pernah membuat Mama menangis dan sekarang Papa sudah membuat Om Rendra terluka. Verico nggak mau sama Papa!" seru Verico sambil mengeratkan pelukan pada Rendra.Rendra merasakan bibirnya berkedut nyeri setelah mendapat bogem mentah dari Adi. Tapi lelaki itu menyunggingkan senyumnya. 'Kamu terlalu mudah emosi, Di. Sekarang kamu lihat kan bahkan anak kamu pun menjauhi kamu,' bisik Narendra dalam hati. Adi mengepalkan tangannya. "Verico, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Om Rendra itu jahat. Dia punya niat tidak baik pada mu dan Mama.""Adi."Terdengar suara Papi Hesti memanggil nama mantan menantunya. Adi menoleh. "Pi, apa Papi juga akan me
"Berdiri dan pulanglah saja. Daripada saya ikut melaporkan kalian ke polisi dengan tuduhan bekerja sama dalam melakukan tindakan kriminal!" seru Narendra yang mendadak masuk dari pintu gerbang, membuat ibu Lidia tercengang."Pak Narendra tidak bisa seenaknya saja menuduh saya. Bapak tidak punya bukti untuk melaporkan saya pada polisi," seru ibu Lidia mendadak berdiri.Narendra tersenyum. "Kata siapa saya tidak punya bukti? Kalau Ibu mengetahui rencana Lidia untuk menculik Verico tapi diam saja dan tidak melaporkan ke polisi untuk mencegahnya, sama saja Ibu mendukung perbuatan Lidia.""Tapi saya benar-benar tidak tahu kalau Lidia hendak menculik Verico!""Hm, benarkah? Bagaimana kalau Lidia sudah mengaku pada polisi bahwa dia sudah menceritakan tentang semua rencana nya pada keluarga nya? Kalian bisa ikut diperiksa kan?"Ibu Lidia menelan ludah. "Lidia tidak akan mengatakannya. Dia tidak akan menyeret ibu dan kedua adik yang sangat disayanginya walaupun saya tahu rencana nya," tukas I
"Dia tampak lelah sekali ya, Pi?" tanya Narendra pada Papi saat melihat Hesti yang tertidur pulas di samping Verico."Iya. Semalam katanya dia telah menangkap Lidia, saat Lidia mencoba melukai nya," sahut Papi seraya tersenyum melihat cucu dan anaknya yang sedang berbagi ranjang pasien untuk tidur berdua. "Iya. Saat Hesti menghubungi saya untuk meminta bantuan menelepon polisi, Lidia telah diikat dengan baik oleh satpam rumah sakit. Rekaman video yang menunjukkan bahwa Lidia berusaha menyerang Hesti secara membabi buta pun telah diamankan oleh pihak kepolisian.""Lalu bagaimana kelanjutan hukuman Lidia?"Narendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah Pi. Yang jelas Lidia dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari penculikan anak, penyalahgunaan obat, penganiayaan, entahlah kalau ada pasal lainnya," sahut Narendra. Papi manggut-manggut. "Hm, Rendra, biarkan Hesti istirahat dulu. Ayo kita keluar dari sini. Ke kantin rumah sakit. Ada yang ingin Papi bicarakan padamu sebagai sesama lelaki."Na
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak