"Aku hanya ada 50 juta, Dam. Kira-kira gimana?" tanyaku pada pria yang sedang duduk dihadapanku itu. Sejenak dia terdiam, seperti sedang berpikir. "Han, kamu masih suka gambar-gambar desain? Aku ingat dulu kamu suka banget gambar design pakaian kan?" "Iya dulu. Tapi udah nggak pernah lagi. Kok kamu masih inget sih, Dam?" "Ya ingat lah, orang yang lainnya pada rapat kamunya malah sibuk gambar kan?" tawa Adam pecah, sepertinya dia teringat masa-masa itu. Saat kami sering berkumpul bersama para pemuda karang taruna. "Kenapa nggak coba bisnis fashion aja? Kamu ngikutin trend fashion kekinian kan?" tanyanya lagi. Aku menggigit bibir mencoba mencerna arah pembicaraannya. "Lumayan ngikutin sih. Tapi gimana caranya? Aku nggak tau, Dam. Jujur aku awam banget masalah bisnis." "Itulah gunanya aku," kata dia bangga. Kumonyongkan bibir demi mendengar kesombongannya itu. Lagi-lagi dia tertawa. "Jadi gini, Han. Aku ada kenalan konveksi. Dia profesional, sering teri
Wanita tua itu sudah berada di teras rumahku dengan angkuhnya. Dia mungkin belum tahu kalau rumah ini sudah menjadi milikku. "Mau apa lagi kemari, Mi?" tanyaku sudah tak ada respect sedikitpun padanya. Kelakuannya yang membuatku sangat muak untuk masih tetap menganggapnya sebagai orang tua. "Eh, eh, kok melarang Mami kesini. Ini kan rumah anak Mami. Mau kamu bilang apa tetap saja ini rumah Reyfan." Aku tersenyum kecut mendengar celotehnya. Nggak cuma Mami. Ternyata adik iparku, Irwan pun ada di rumah ini. Dia sedang duduk menatap kami yang berseteru di teras dari ruang tamu. "Kemarikan kunci mobil kamu sama suratnya, Han!" "Lhoh mau buat apa, Mi?" tanyaku pura-pura keheranan. "Itu kan mobil yang beli Reyfan. Ya mau Mami jual lah. Memangnya mau diapakan lagi?" "Enak saja mami ngomong begitu." Tanpa mempedulikan Mami lagi, aku bergegas masuk. Malu kalau sampai perseteruan kami dijadikan tontonan para tetangga. Mami mengikutiku masuk. Tak kuhiraukan
"Kamu mau kemana, Han?" Sore itu Mas Reyfan yang baru saja memarkirkan mobilnya di halaman rumah, nampak panik bukan main melihatku, Keenan, dan Mbok Jum sudah bersiap-siap akan pergi dengan beberapa koper yang sudah kami seret ke teras. "Apa-apaan ini? Kalian mau kemana?" Mbok Jum yang melihat Mas Reyfan marah, langsung menggendong Keenan, mengajaknya masuk. Sementara aku mengajak Mas Reyfan duduk di kursi teras setelah menghela nafas panjang mempersiapkan apa yang akan kukatakan padanya. "Aku akan pindah sementara ke rumah Bapak, Mas." "Apa? Tidak boleh! Aku tidak mengijinkanmu, Han." Mas Reyfan bertambah panik. Wajahnya merah bersemu marah mendengar ucapanku. "Tapi ini demi keselamatanku dan Keenan. Kamu nggak mau aku atau Keenan celaka karena ulah ibu atau adikmu 'kan? Kamu lihat sendiri kan Mas apa yang mereka lakukan padaku kemarin?" Aku mencoba mengingatkannya. "Mereka tidak akan bisa berbuat itu lagi. Ada aku, Hani. Aku yang akan melindungi
Adam mengajakku melihat tempat yang akan kami sewa. Dari sekian banyak tempat yang sudah kami kunjungi, sepertinya tempat terakhir yang paling cocok untukku. Lokasinya strategis di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai, ruangan utamanya di lantai bawah juga sangat luas bisa digunakan untuk melakukan banyak pekerjaan jika nanti usaha kami maju. Sedangkan di lantai atas, terdapat 3 buah kamar tidur, kamar mandi, dapur dan sebuah ruang lagi yang cukup besar untuk dijadikan ruang tamu dan dan ruang bersantai. "Kalau rumah ini kujadikan tempat tinggal saja gimana menurutmu, Dam?" "Tempat tinggal? Maksudnya?" "Ya tempat tinggal. Jadi aku sekalian tinggal disini, di lantai atas. Sementara lantai bawah buat kantor. Jadi nggak harus bolak balik ke rumah bapak. Lebih hemat waktu dan tenaga 'kan?" Mataku berbinar menatap Adam. Dan dia memicingkan matanya ke arahku. "Ide yang bagus, sepakat," katanya sambil menjabat tanganku. Lalu kembali memasukkan kedua tangannya lagi
"Senyum, Sayang!" perintahku pada Keenan. Anak itu segera saja memamerkan gigi-gigi kecilnya yang berderet rapi, dan .. 'Klik' Jadilah foto kami berdua yang sedang tersenyum manis menatap ke arah kamera dengan kepala saling berdempetan. Keenan, anak lelakiku ini memang sangat tampan. Dia mewarisi senyum manis papanya dan mata beningnya membuat wajahnya semakin terlihat cerah. Ditambah lagi rambutnya yang hitam legam dan lebat membuat kulitnya semakin terlihat bersih. Aku dan Keenan sedang berada di dalam kamar malam itu, berselfie ria sebelum tidur. Keenan terlihat puas memandangi foto dirinya di ponsel. Jam baru menunjuk pukul 8 saat kami merebahkan diri di atas ranjang tadi. "Keenan!" teriak ibu dari luar kamar. Mendengar panggilan eyangnya, segera saja anak itu lari tunggang langgang keluar kamar. Sebelum tidur adalah jadwal ibuku memanjakan Keenan dengan suapan susu hangat. Aku tersenyum melihat tubuh kecilnya yang berlari tanpa menoleh lagi ke arahku.
Daniel mengajakku makan siang di rumahnya. Dan ini benar-benar membuatku sangat kaget. Kupikir tadi kami hanya akan makan siang di restoran seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya. Aku dan Adam juga sering makan bareng. Tapi dia lebih suka mengajakku ke restoran, bukan di rumahnya seperti ini. Sedikit kikuk saat Tasya, putri Daniel itu memperlakukanku dengan sangat akrab. Setelah berkenalan, dia bahkan tidak segan menggandeng tanganku untuk masuk ke rumah. Dan seorang perempuan paruh baya bernama Bi' Marni menyambut kami di ruang tamu dengan ramah. Ternyata wanita itu pun telah menyiapkan makan siang untuk kami. Menu yang menurutku terlalu special untuk ukuran makan di rumah. "Maaf ya Bi', saya jadi merepotkan," kataku dengan nada tak enak pada perempuan paruh baya yang kulihat begitu menyayangi putri Daniel itu. "Tidak merepotkan, Bu. Saya justru senang Pak Daniel mengajak ibu kesini." Cara bicara perempuan itu sangat sopan, mengingatkanku pada Mbok Jum.
Seminggu setelah itu, aku sudah pindah menempati kontrakan yang akan kujadikan tempat bisnis dan tempat tinggal itu. Ibu sebenarnya berat melepaskanku tinggal berpisah darinya, tapi aku tak ingin selamanya bergantung pada orang tuaku. Aku pindah bersama Keenan dan Mbok Jum. Dua hari berikutnya setelah kami pindah, sudah ada dua orang karyawan yang berhasil direkrut Adam sebelumnya sebagai admin untuk bisnis kami. Mereka gadis-gadis muda fresh graduate bernama Santi dan Hera. Adam ternyata memang memiliki selera yang bagus. Gadis-gadis ini cantik seperti rata-rata karyawan wanita yang bekerja di kantornya. Aku menggoda Adam saat dia sedang sibuk mengajarkan job description pada dua gadis cantik itu. Kulihat keduanya memang seperti punya ketertarikan dengan Adam. "Apa senyum-senyum gitu?" tanya Adam berbisik saat kembali ke kursi kerjanya disampingku. "Apa? Nggak papa kok. Memangnya senyum dilarang?" kataku sewot. "Nggak, tapi senyummu aneh dan menyebalkan,"
Beberapa hari setelah pertemuan kami, Daniel tak pernah lagi mengirimiku pesan seperti biasanya. Mungkin dia memang benar-benar marah padaku. Bahkan dia melupakan janjinya sendiri waktu itu yang katanya akan menjemputku dan Keenan untuk liburan bersama Tasya, putrinya. Dan anehnya, aku justru merasa kehilangan perhatiannya yang walau terkesan sangat kaku itu. "Kamu lihat kan tadi, San? Nggak mungkin deh aku salah lihat. Dia melihat terus kesini." "Masa' sih? Tapi aku belum yakin, Her." Aku tersadar dari lamunanku tentang Daniel saat mendengar bisik-bisik dari kedua karyawanku yang sedang duduk di meja kerja mereka masing-masing. "Ada apa?" tanyaku penasaran. Keduanya nampak saling pandang sebelum akhirnya Santi berbicara. "Ini Mbak, masa' kata Hera dia melihat ada orang yang mengawasi rumah ini. Katanya melihat orang itu terus disekitaran sini beberapa hari ini." Dahiku berkerut. Ada yang mengawasi rumah ini? Apa itu Irwan? "Bagaimana ciri-ciri orang