Share

BAB 6

Penulis: Danker
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-07 12:19:33

Senin. 08:30 WIB.

Bagi Ezra, hari Senin adalah hari yang sakral. Itu adalah hari di mana alam semesta kembali pada porosnya yang benar setelah jeda akhir pekan yang sedikit tidak teratur. Itu adalah hari di mana keteraturan, produktivitas, dan data kembali berkuasa.

Apartemennya senyap saat ia pergi, setiap bantal sofa sudah kembali ke posisi sudut 45 derajat yang sempurna, tidak ada satu pun cangkir kopi yang tertinggal di wastafel.

Di dalam mobilnya, alunan musik klasik yang menenangkan mengalun lembut, sebuah latar yang sempurna untuk memproses rencananya minggu ini. Perjalanan ke Curug Sentosa kemarin terasa seperti sebuah proyek yang berhasil diselesaikan. Memang, ada beberapa deviasi dari jadwal—semuanya disebabkan oleh "Variabel Anya"—tetapi secara keseluruhan, tujuannya tercapai, semua risiko termitigasi, dan mereka kembali dengan selamat.

Ia bahkan sudah membuat folder di komputernya berjudul "Evaluasi Proyek: Curug Sentosa," lengkap dengan catatan tentang apa yang bisa ditingkatkan untuk perjalanan berikutnya.

Saat ia melangkah masuk ke lobi kantornya yang berlantai marmer dan berpendingin udara, ia merasakan gelombang kepuasan.

Inilah dunianya. Dunia di mana setiap orang punya peran, setiap tugas punya tenggat waktu, dan setiap masalah punya solusi yang bisa dipetakan. Sebagai Manajer Proyek Senior di sebuah perusahaan konsultan teknologi ternama, Ezra adalah seorang dirigen dalam orkestra efisiensi.

Ia adalah orang yang mengubah ide-ide kacau dari tim kreatif menjadi produk yang fungsional, tepat waktu, dan sesuai anggaran.

"Pagi, Pak Ezra," sapa seorang resepsionis dengan ramah.

"Pagi, Dian," balas Ezra dengan senyum tipis yang terukur.

Meja kerjanya adalah cerminan dari pikirannya. Monitor ganda berdiri sejajar dengan presisi milimeter. Papan tulis putih kecil di sisinya bersih, siap untuk diagram alur dan jadwal baru. Tumpukan dokumen di nampan suratnya sudah ia antisipasi sejak hari Jumat. Semuanya terkendali.

Ia baru saja selesai membalas tiga email dan menyusun agenda rapat untuk timnya saat sebuah pesan instan muncul di layarnya. Dari atasannya, Pak Santoso.

[09:15] Santoso: Ezra, bisa ke ruangan saya sebentar? Ada yang perlu kita diskusikan.

Ezra sedikit mengerutkan kening. Tidak ada jadwal rapat di kalendernya. Sebuah pertemuan dadakan. Ini adalah sebuah anomali kecil, tapi tidak mengkhawatirkan.

Mungkin ada proyek mendesak yang baru masuk. Ia merapikan kemejanya dan berjalan menuju ruangan Pak Santoso di sudut lantai.

Ruangan itu luas, dengan jendela kaca dari lantai ke langit-langit yang menyuguhkan pemandangan cakrawala kota. Pak Santoso, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di pelipis, tidak sedang duduk di balik meja besarnya. Ia berdiri di dekat jendela, membelakangi pintu.

Di atas meja, hanya ada dua cangkir kopi dan selembar amplop cokelat.

"Pagi, Pak," sapa Ezra, menutup pintu di belakangnya.

"Ah, Ezra. Pagi. Silakan duduk," kata Pak Santoso, suaranya terdengar sedikit berbeda dari biasanya. Lebih datar, kurang bersemangat.

Ezra duduk, punggungnya tegak. Ia merasakan ada yang tidak beres. Suasana di ruangan itu terasa berat. Ini bukan suasana diskusi proyek baru.

Pak Santoso akhirnya berbalik dan duduk di hadapannya. Ia tidak menatap mata Ezra secara langsung, melainkan fokus pada cangkir kopinya. "Bagaimana kabarmu, Ra?"

"Baik, Pak. Baru kembali dari perjalanan akhir pekan yang menyenangkan. Saya siap untuk memulai proyek kuartal keempat." Ezra mencoba menjaga suaranya tetap profesional, meskipun alarm internalnya mulai berbunyi.

Pak Santoso menghela napas panjang. "Ezra, kamu sudah bersama kami selama tujuh tahun. Kamu adalah salah satu manajer proyek kami yang paling andal. Kamu tahu itu, kan?"

"Saya selalu berusaha memberikan yang terbaik, Pak."

"Aku tahu. Aku tahu," potong Pak Santoso cepat. Ia akhirnya mengangkat wajahnya, dan Ezra bisa melihat kelelahan di matanya. "Perusahaan sedang melewati masa transisi yang sulit. Kamu pasti sudah dengar rumor tentang restrukturisasi global."

Ezra mengangguk pelan. Tentu saja ia sudah dengar. Ia bahkan sudah membuat analisis risiko pribadinya tentang dampak potensialnya pada departemen mereka. Kesimpulannya saat itu: departemen mereka aman, terlalu vital untuk disentuh. Rupanya, perhitungannya salah.

"Manajemen pusat telah memutuskan untuk... mengoptimalkan sumber daya," lanjut Pak Santoso, menggunakan jargon korporat yang dingin dan impersonal.

"Mereka akan menggabungkan beberapa divisi dan merampingkan alur kerja. Sebagai bagian dari proses ini, beberapa posisi... menjadi berlebihan."

Dunia Ezra berhenti berputar. Kata "berlebihan" menggantung di udara yang dingin, terasa tajam dan brutal. Otaknya yang biasa bekerja cepat kini terasa macet. Ia mencoba memproses informasi ini seperti sebuah data proyek, tapi gagal. Tidak ada diagram alur untuk ini. Tidak ada rencana kontingensi.

"Posisi saya?" tanya Ezra, suaranya nyaris tak terdengar.

  Pak Santoso mendorong amplop cokelat itu ke seberang meja. "Semua detailnya ada di dalam, Ezra. Surat referensi, rincian pesangon... Semuanya sudah diurus sesuai prosedur. Ini bukan karena kinerjamu. Tolong pahami itu. Ini murni keputusan bisnis."

  Ezra menatap amplop itu. Amplop cokelat biasa yang kini terasa seberat batu bata. Tujuh tahun hidupnya, semua rencana kariernya, semua prediksinya, kini tereduksi menjadi selembar kertas di dalam amplop itu. Perasaan aman yang selama ini ia bangun dengan susah payah, tembok keteraturan yang melindunginya, baru saja runtuh berkeping-keping.

  Ia tidak marah. Ia tidak sedih. Perasaan yang pertama kali muncul adalah... kebingungan total. Seolah-olah ia sedang membaca peta, dan tiba-tiba daratan di bawah kakinya menghilang. Ia adalah seorang perencana tanpa masa depan untuk direncanakan. Seorang manajer tanpa proyek untuk dikelola.

  "Saya mengerti," hanya itu yang bisa ia katakan, meskipun ia sama sekali tidak mengerti.

  Ia berdiri, mengambil amplop itu. Tangannya terasa kaku. "Terima kasih atas kesempatannya selama ini, Pak."

  "Jaga dirimu, Ra. Aku sungguh berharap yang terbaik untukmu," kata Pak Santoso, terdengar tulus.

  Ezra berjalan keluar dari ruangan itu seperti dalam keadaan linglung. Ia melewati meja kerjanya, menatap monitornya yang masih menampilkan jadwal yang kini tak lagi relevan. Ia berjalan melewati rekan-rekannya yang menatapnya dengan campuran rasa ingin tahu dan kasihan. Ia tidak berhenti untuk membereskan barang-barangnya. Ia hanya terus berjalan, keluar dari lobi, keluar dari gedung yang selama tujuh tahun menjadi pusat dunianya.

  Di luar, panasnya matahari dan deru lalu lintas Jakarta terasa menyengat, kontras dengan keheningan dingin di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ezra tidak tahu apa langkah selanjutnya. Tidak ada daftar. Tidak ada jadwal. Hanya ada kekosongan yang menganga.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 19

    Keheningan yang menyusul setelah ledakan itu terasa berbeda. Bukan keheningan yang canggung atau tegang. Itu adalah keheningan yang hampa, keheningan dari kekalahan total. Mereka duduk di sana selama hampir satu jam, masing-masing tenggelam dalam reruntuhan argumen mereka sendiri.​Anya terus menangis dalam diam, air matanya mengalir tanpa suara. Ezra hanya menatap ke depan, ke lampu-lampu rest area yang kabur, pikirannya kosong. Argumen itu tidak menyelesaikan apa-apa. Itu hanya membuka luka yang lebih dalam.​Perlahan-lahan, bagian analitis dari otak Ezra mulai kembali online. Bukan lagi bagian yang panik atau marah, tetapi bagian yang tenang dan metodis. Bagian yang selalu ia andalkan dalam krisis. Ia mulai memecah masalah ini menjadi komponen-komponen yang lebih kecil, seperti yang selalu ia lakukan.​Masalah: Validitas tujuan perjalanan diragukan.​Sumber Data 1: Ibu Anya (Kredibilitas: Tinggi. Hubungan: Keluarga dekat. Pernyataan: Vila tidak ada).​Sumber Data 2: Surat Wasiat (K

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 18

    Kata-kata itu menggantung di udara yang pengap di dalam mobil, lebih berat dan lebih mematikan daripada keheningan manapun yang pernah mereka alami.​"Nenekku tidak pernah punya vila."​Untuk sesaat, otak Ezra menolak untuk memprosesnya. Rasanya seperti sebuah kesalahan data, sebuah syntax error dalam program realitas. Seluruh spreadsheet yang telah ia bangun dengan susah payah—tujuh tab yang diberi kode warna, ratusan baris data, puluhan rencana kontingensi—semuanya berlandaskan pada satu asumsi fundamental: bahwa tujuan mereka itu nyata. Dan kini, asumsi itu baru saja dihancurkan.​Ia melihat wajah Anya. Pucat pasi, matanya membelalak dengan campuran antara kengerian dan kebingungan. Ini bukan lagi kekecewaan karena goa yang tutup atau kepanikan karena ban bocor. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Ini adalah keruntuhan sebuah narasi, sebuah pencabutan jangkar dari masa lalunya yang baru saja mulai ia temukan.​Suara klakson dari truk di belakang mereka menyentak Ezra kembali

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 17

    Gema di Ruang HampaPagi hari keempat dimulai bukan dengan keajaiban, melainkan dengan kecanggungan.Keheningan yang semalam terasa seperti pemahaman bersama kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah jarak yang canggung. Saat Ezra dan Anya bertemu di lobi hotel, mereka saling melempar senyum yang terlalu sopan, terlalu hati-hati, seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang baru bertemu, bukan dua sahabat yang telah berbagi segalanya. Pengakuan kerapuhan mereka di kedai kopi kemarin telah membuka sebuah pintu, tetapi di saat yang sama, juga telah membangun sebuah dinding tipis yang tak terlihat di antara mereka. Dinding yang terbuat dari ketakutan yang tak terucap dan realitas yang tak terhindarkan."Sudah siap?" tanya Ezra, suaranya terdengar lebih formal dari biasanya. Ranselnya tersandang rapi di punggung, dan di tangannya ia memegang kunci mobil dan selembar tanda terima dari bengkel."Siap, Kapten," jawab Anya, mencoba memanggil kembali keceriaan lamanya, tetapi nadanya terdeng

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 16

    Pertemuan Kembali: Kopi, Kenyataan, dan Ketakutan.​Mereka bertemu pukul empat sore di sebuah kedai kopi yang tersembunyi di salah satu gang, tidak jauh dari tempat Anya belajar membatik. Tempat itu nyaman dan artistik, sebuah perpaduan sempurna antara dunia mereka berdua.​Ezra sudah duduk di sebuah meja di sudut saat Anya tiba, membawa sebuah gulungan kain kecil hasil karyanya.​"Lihat!" kata Anya bangga, membentangkan kain itu di atas meja. Kain itu menampilkan coretan-coretan lilin yang tidak beraturan, tapi di tengahnya ada beberapa garis dan titik yang mulai terlihat percaya diri. "Ini adalah bukti bahwa aku bisa menjadi sedikit lebih teratur!"​Ezra tersenyum tulus. "Dan aku mengunjungi Keraton," katanya. "Dan menyadari bahwa keteraturan yang sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar spreadsheet."​Mereka memesan kopi dan menghabiskan satu jam berikutnya bertukar cerita tentang pengalaman mereka masing-masing. Anya menceritakan tentang filosofi batik Ibu Puji. Ezra menceritakan

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 15

    Dunia Ezra: Keteraturan dalam Sejarah.​Setelah mengantar mobilnya ke bengkel terdekat, Ezra memutuskan untuk berjalan kaki menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia memesan tiket dan melangkah melewati gerbangnya, dan seketika ia merasa seperti melangkah ke dunia lain. Di luar, kota Yogyakarta adalah sebuah entitas yang sibuk dan modern. Tapi di dalam tembok keraton, waktu seolah-olah berjalan lebih lambat.​Aroma dupa yang dibakar samar-samar tercium di udara, bercampur dengan wangi bunga kenanga. Suara gamelan yang dimainkan secara langsung oleh para niyaga mengalun lembut dari sebuah pendopo, menciptakan suasana yang meditatif dan agung.​Semua terasa tenang, terhormat, dan yang terpenting bagi Ezra: teratur.​Ia berjalan melewati halaman-halaman yang luas dan pendopo-pendopo dengan pilar-pilar berukir indah. Ia mengamati arsitekturnya, setiap detailnya memiliki makna filosofis, setiap bangunan ditempatkan sesuai dengan kosmologi Jawa. Ini adalah sebuah sistem yang telah diranc

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 14

    Pagi hari ketiga dimulai dengan sebuah keajaiban kecil: keheningan.​Bukan keheningan canggung seperti di dalam mobil setelah insiden Goa Pelangi, atau keheningan tegang setelah ban bocor. Ini adalah keheningan yang damai, yang terasa diperoleh dengan susah payah. Di kamar hotel mereka di Yogyakarta yang sederhana namun bersih, satu-satunya suara adalah dengkuran pelan dari Anya dan desis lembut AC.​Ezra sudah bangun sejak subuh, seperti biasa. Tapi untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini—atau mungkin dalam hidupnya—ia tidak langsung meraih laptopnya untuk meninjau spreadsheet. Sebaliknya, ia hanya duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar ke arah jalanan kota yang perlahan-lahan terbangun.​Sinar fajar yang pucat mulai mewarnai langit, mengubahnya dari hitam menjadi ungu, lalu menjadi oranye lembut di ufuk timur. Itu adalah pemandangan yang indah, sebuah lukisan fajar yang Anya pasti akan suka.​Kejadian semalam telah meninggalkan jejak yang dalam pada dirinya. Kemenangan kec

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status