LOGINSenin. 08:30 WIB.
Bagi Ezra, hari Senin adalah hari yang sakral. Itu adalah hari di mana alam semesta kembali pada porosnya yang benar setelah jeda akhir pekan yang sedikit tidak teratur. Itu adalah hari di mana keteraturan, produktivitas, dan data kembali berkuasa. Apartemennya senyap saat ia pergi, setiap bantal sofa sudah kembali ke posisi sudut 45 derajat yang sempurna, tidak ada satu pun cangkir kopi yang tertinggal di wastafel. Di dalam mobilnya, alunan musik klasik yang menenangkan mengalun lembut, sebuah latar yang sempurna untuk memproses rencananya minggu ini. Perjalanan ke Curug Sentosa kemarin terasa seperti sebuah proyek yang berhasil diselesaikan. Memang, ada beberapa deviasi dari jadwal—semuanya disebabkan oleh "Variabel Anya"—tetapi secara keseluruhan, tujuannya tercapai, semua risiko termitigasi, dan mereka kembali dengan selamat. Ia bahkan sudah membuat folder di komputernya berjudul "Evaluasi Proyek: Curug Sentosa," lengkap dengan catatan tentang apa yang bisa ditingkatkan untuk perjalanan berikutnya. Saat ia melangkah masuk ke lobi kantornya yang berlantai marmer dan berpendingin udara, ia merasakan gelombang kepuasan. Inilah dunianya. Dunia di mana setiap orang punya peran, setiap tugas punya tenggat waktu, dan setiap masalah punya solusi yang bisa dipetakan. Sebagai Manajer Proyek Senior di sebuah perusahaan konsultan teknologi ternama, Ezra adalah seorang dirigen dalam orkestra efisiensi. Ia adalah orang yang mengubah ide-ide kacau dari tim kreatif menjadi produk yang fungsional, tepat waktu, dan sesuai anggaran. "Pagi, Pak Ezra," sapa seorang resepsionis dengan ramah. "Pagi, Dian," balas Ezra dengan senyum tipis yang terukur. Meja kerjanya adalah cerminan dari pikirannya. Monitor ganda berdiri sejajar dengan presisi milimeter. Papan tulis putih kecil di sisinya bersih, siap untuk diagram alur dan jadwal baru. Tumpukan dokumen di nampan suratnya sudah ia antisipasi sejak hari Jumat. Semuanya terkendali. Ia baru saja selesai membalas tiga email dan menyusun agenda rapat untuk timnya saat sebuah pesan instan muncul di layarnya. Dari atasannya, Pak Santoso. [09:15] Santoso: Ezra, bisa ke ruangan saya sebentar? Ada yang perlu kita diskusikan. Ezra sedikit mengerutkan kening. Tidak ada jadwal rapat di kalendernya. Sebuah pertemuan dadakan. Ini adalah sebuah anomali kecil, tapi tidak mengkhawatirkan. Mungkin ada proyek mendesak yang baru masuk. Ia merapikan kemejanya dan berjalan menuju ruangan Pak Santoso di sudut lantai. Ruangan itu luas, dengan jendela kaca dari lantai ke langit-langit yang menyuguhkan pemandangan cakrawala kota. Pak Santoso, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di pelipis, tidak sedang duduk di balik meja besarnya. Ia berdiri di dekat jendela, membelakangi pintu. Di atas meja, hanya ada dua cangkir kopi dan selembar amplop cokelat. "Pagi, Pak," sapa Ezra, menutup pintu di belakangnya. "Ah, Ezra. Pagi. Silakan duduk," kata Pak Santoso, suaranya terdengar sedikit berbeda dari biasanya. Lebih datar, kurang bersemangat. Ezra duduk, punggungnya tegak. Ia merasakan ada yang tidak beres. Suasana di ruangan itu terasa berat. Ini bukan suasana diskusi proyek baru. Pak Santoso akhirnya berbalik dan duduk di hadapannya. Ia tidak menatap mata Ezra secara langsung, melainkan fokus pada cangkir kopinya. "Bagaimana kabarmu, Ra?" "Baik, Pak. Baru kembali dari perjalanan akhir pekan yang menyenangkan. Saya siap untuk memulai proyek kuartal keempat." Ezra mencoba menjaga suaranya tetap profesional, meskipun alarm internalnya mulai berbunyi. Pak Santoso menghela napas panjang. "Ezra, kamu sudah bersama kami selama tujuh tahun. Kamu adalah salah satu manajer proyek kami yang paling andal. Kamu tahu itu, kan?" "Saya selalu berusaha memberikan yang terbaik, Pak." "Aku tahu. Aku tahu," potong Pak Santoso cepat. Ia akhirnya mengangkat wajahnya, dan Ezra bisa melihat kelelahan di matanya. "Perusahaan sedang melewati masa transisi yang sulit. Kamu pasti sudah dengar rumor tentang restrukturisasi global." Ezra mengangguk pelan. Tentu saja ia sudah dengar. Ia bahkan sudah membuat analisis risiko pribadinya tentang dampak potensialnya pada departemen mereka. Kesimpulannya saat itu: departemen mereka aman, terlalu vital untuk disentuh. Rupanya, perhitungannya salah. "Manajemen pusat telah memutuskan untuk... mengoptimalkan sumber daya," lanjut Pak Santoso, menggunakan jargon korporat yang dingin dan impersonal. "Mereka akan menggabungkan beberapa divisi dan merampingkan alur kerja. Sebagai bagian dari proses ini, beberapa posisi... menjadi berlebihan." Dunia Ezra berhenti berputar. Kata "berlebihan" menggantung di udara yang dingin, terasa tajam dan brutal. Otaknya yang biasa bekerja cepat kini terasa macet. Ia mencoba memproses informasi ini seperti sebuah data proyek, tapi gagal. Tidak ada diagram alur untuk ini. Tidak ada rencana kontingensi. "Posisi saya?" tanya Ezra, suaranya nyaris tak terdengar. Pak Santoso mendorong amplop cokelat itu ke seberang meja. "Semua detailnya ada di dalam, Ezra. Surat referensi, rincian pesangon... Semuanya sudah diurus sesuai prosedur. Ini bukan karena kinerjamu. Tolong pahami itu. Ini murni keputusan bisnis." Ezra menatap amplop itu. Amplop cokelat biasa yang kini terasa seberat batu bata. Tujuh tahun hidupnya, semua rencana kariernya, semua prediksinya, kini tereduksi menjadi selembar kertas di dalam amplop itu. Perasaan aman yang selama ini ia bangun dengan susah payah, tembok keteraturan yang melindunginya, baru saja runtuh berkeping-keping. Ia tidak marah. Ia tidak sedih. Perasaan yang pertama kali muncul adalah... kebingungan total. Seolah-olah ia sedang membaca peta, dan tiba-tiba daratan di bawah kakinya menghilang. Ia adalah seorang perencana tanpa masa depan untuk direncanakan. Seorang manajer tanpa proyek untuk dikelola. "Saya mengerti," hanya itu yang bisa ia katakan, meskipun ia sama sekali tidak mengerti. Ia berdiri, mengambil amplop itu. Tangannya terasa kaku. "Terima kasih atas kesempatannya selama ini, Pak." "Jaga dirimu, Ra. Aku sungguh berharap yang terbaik untukmu," kata Pak Santoso, terdengar tulus. Ezra berjalan keluar dari ruangan itu seperti dalam keadaan linglung. Ia melewati meja kerjanya, menatap monitornya yang masih menampilkan jadwal yang kini tak lagi relevan. Ia berjalan melewati rekan-rekannya yang menatapnya dengan campuran rasa ingin tahu dan kasihan. Ia tidak berhenti untuk membereskan barang-barangnya. Ia hanya terus berjalan, keluar dari lobi, keluar dari gedung yang selama tujuh tahun menjadi pusat dunianya. Di luar, panasnya matahari dan deru lalu lintas Jakarta terasa menyengat, kontras dengan keheningan dingin di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ezra tidak tahu apa langkah selanjutnya. Tidak ada daftar. Tidak ada jadwal. Hanya ada kekosongan yang menganga.Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra. "Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol." Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'." "Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis." "Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?" "Sejak seorang investor pote
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan
Keheningan yang ditinggalkan oleh Pak Wira terasa lebih nyaring daripada kebisingan jalanan Jakarta.Anya dan Ezra berdiri mematung di tengah kamar kos yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Udara dipenuhi oleh gema dari proposal yang luar biasa itu: Pameran tunggal. Warisan Ombak. Lelang donasi. Dua bulan.Anya adalah yang pertama bergerak. Ia mengeluarkan suara aneh, campuran antara pekikan dan isak tangis yang tertahan, lalu ia melompat dan memeluk Ezra dengan kekuatan seorang badai kecil."Ra! Apa ini nyata?" serunya, suaranya teredam di bahu Ezra. "Cubit aku! Atau jangan, kalau ini mimpi aku tidak mau bangun!"Ezra, yang masih sedikit syok, tertawa—tawa yang dalam dan lega. Ia balas memeluk Anya, mengangkatnya dari lantai dan memutarnya sedikit, sebuah gerakan spontan yang sangat bukan dirinya. Untuk sesaat, semua logika dan perencanaannya lenyap, digantikan oleh kegembiraan murni yang meluap-luap."Ini nyata, Nya," katanya, menurunkannya kembali. Tangannya masih memegang l
Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan semuanya, matanya
Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra."Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol."Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'.""Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis.""Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?""Sejak seorang investor potensial memutuskan untuk datang ke kantor pusat kita,"
Ezra mengambil ponsel itu darinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka email itu. Ia membacanya dalam diam, matanya bergerak cepat dari baris ke baris. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menunjukkan sebuah emosi yang jarang terlihat: keterkejutan yang tulus."Apa?" desak Anya, tidak tahan lagi dengan ketegangan itu. "Apa isinya? Apa dia menolaknya?"Ezra tidak menjawab. Ia hanya memulai ulang dari awal dan membacakan email itu dengan suara keras, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran di dalamnya."Untuk Anya Larasati,Terima kasih atas email Anda yang tidak biasa dan sangat menyegarkan. Di tengah lautan proposal pameran yang terasa seperti ditulis oleh robot, cerita Anda terasa seperti sebuah hembusan angin laut yang sesungguhnya.Saya sudah melihat portofolio digital yang Anda lampirkan. Lukisan Anda memiliki kekuatan yang mentah, sebuah kejujuran emosional yang langka. Terutama 'Lampu Jalanan Pukul 3 Pagi'. Saya bisa merasakan keheningan dan harapan di dalamnya







