Di belahan lain kota, pada hari yang sama. 11:45 WIB.
Di dunia Anya, hari Senin tidak ada bedanya dengan hari Sabtu atau Rabu. Waktu adalah konsep yang cair, ditentukan oleh inspirasi, bukan oleh jam dinding. Apartemen kosnya adalah sebuah medan pertempuran kreatif yang indah. Kanvas yang setengah jadi bersandar di dinding, kuas-kuas tergeletak di dalam stoples selai yang sudah kosong, dan aroma cat minyak bercampur dengan wangi teh melati yang baru diseduh. Anya sedang duduk bersila di lantai, benar-benar tenggelam dalam dunianya. Di hadapannya, terhampar sebuah buku sketsa besar. Ia tidak sedang melukis air terjun seperti yang ia lihat kemarin. Sebaliknya, ia sedang mencoba menerjemahkan gemuruh air itu menjadi bentuk dan warna. Sapuan cat air berwarna biru kobalt, abu-abu arang, dan percikan perak memenuhi halaman, membentuk pola abstrak yang berdenyut dengan energi. Ia sedang "melukis suara", dan ia merasa sangat hidup. Ia baru saja akan mencelupkan kuasnya ke dalam air saat suara ketukan di pintu membuatnya terlonjak kaget. "Paket!" seru sebuah suara dari luar. Anya mengerutkan kening. Ia tidak ingat memesan apa pun. Mungkin salah alamat. Dengan sedikit enggan, ia beranjak dan membuka pintu. Seorang kurir berdiri di sana, menyodorkan sebuah clipboard dan sebuah amplop tebal berdokumen resmi. "Untuk Cik Anya Larasati?" "Ya, saya sendiri," jawab Anya, sedikit bingung. Ia menandatangani tanda terima dan menerima amplop itu. Terasa kaku dan penting. Di sudut kiri atas, ada logo sebuah firma hukum yang tidak ia kenali. Jantungnya mulai berdebar sedikit lebih cepat. Mungkinkah ada masalah dengan sewa kosnya? Ia menutup pintu dan duduk kembali di lantai, meletakkan amplop itu di samping palet catnya yang berwarna-warni. Benda itu tampak sangat tidak pada tempatnya. Setelah menatapnya selama beberapa menit, rasa penasarannya akhirnya menang. Ia merobek segelnya dengan hati-hati. Di dalamnya ada beberapa lembar kertas yang penuh dengan bahasa hukum yang sulit ia mengerti. Kata-kata seperti "ahli waris", "akta wasiat", dan "harta peninggalan" melompat-lompat di depan matanya. Ia membacanya sekali, lalu sekali lagi, lebih lambat. Perlahan, potongan-potongan informasi mulai terbentuk. Surat itu dari pengacara yang mewakili mendiang nenek dari pihak ibunya. Seorang nenek yang hampir tidak pernah ia temui, seorang seniman eksentrik yang memutuskan hubungan dengan keluarga bertahun-tahun yang lalu. Neneknya, Salima Wijaya, telah meninggal dunia sebulan yang lalu. Dan rupanya, ia telah meninggalkan sesuatu untuk Anya. Satu-satunya warisan yang ia tinggalkan. Sebuah properti. Sebuah vila tua di sebuah desa nelayan terpencil di pesisir selatan Jawa, bernama "Vila Senja." Anya ternganga. Vila? Ia bahkan tidak tahu neneknya punya vila. Lalu ia membaca bagian yang paling penting, yang digarisbawahi dengan tinta hitam tebal. "Sesuai dengan wasiat terakhir almarhumah Ibu Salima Wijaya, satu-satunya ahli waris yang ditunjuk, yaitu saudari Anya Larasati, diwajibkan untuk mengklaim properti tersebut secara langsung di kantor notaris setempat selambat-lambatnya tiga puluh (30) hari terhitung sejak tanggal surat ini dikeluarkan. Apabila dalam kurun waktu tersebut ahli waris tidak hadir, maka properti akan secara otomatis dihibahkan kepada dewan desa setempat." Anya melirik tanggal di bagian atas surat. Surat itu sudah dikeluarkan seminggu yang lalu. Itu berarti ia hanya punya waktu tiga minggu untuk pergi ke ujung pulau, menemukan desa antah-berantah ini, dan mengurus semua legalitasnya. Reaksi pertamanya bukanlah kepanikan. Bukan juga kesedihan atas nenek yang tak ia kenal. Reaksi pertamanya adalah sebuah percikan kegembiraan yang aneh. Sebuah petualangan baru saja jatuh dari langit ke pangkuannya. Sebuah vila misterius! Sebuah misi dengan tenggat waktu! Ini seperti plot dalam sebuah film. Namun, saat euforia itu sedikit mereda, realitas mulai merayap masuk. Logistik. Ia harus mencari tahu di mana tepatnya desa itu. Bagaimana cara ke sana? Naik apa? Menginap di mana? Berapa biayanya? Dan yang paling menakutkan dari semuanya: dokumen. Ia harus berurusan dengan notaris, akta tanah, dan tumpukan kertas yang membuatnya pusing bahkan hanya dengan memikirkannya. Tiba-tiba, petualangan yang mendebarkan itu terasa seperti sebuah tugas sekolah raksasa yang tidak ia mengerti cara mengerjakannya. Kekacauan kreatif adalah keahliannya. Kekacauan birokrasi adalah mimpi buruknya. Ia membutuhkan bantuan. Ia membutuhkan seseorang yang bisa mengubah kekacauan ini menjadi serangkaian langkah yang logis. Seseorang yang bisa membuat peta, jadwal, dan daftar. Seseorang yang bisa menghadapi tumpukan dokumen tanpa berkedip. Hanya ada satu orang di planet ini yang terlintas di benaknya. Anya meraih ponselnya yang tergeletak di antara noda-noda cat. Jari-jemarinya dengan cepat mencari sebuah nama di kontaknya. "Ezra si Manusia Presisi." Ia menekan tombol panggil, sama sekali tidak menyadari bahwa di ujung telepon sana, orang yang ia andalkan untuk menyusun kembali dunianya baru saja menyaksikan dunianya sendiri hancur lebur.Keheningan yang menyusul setelah ledakan itu terasa berbeda. Bukan keheningan yang canggung atau tegang. Itu adalah keheningan yang hampa, keheningan dari kekalahan total. Mereka duduk di sana selama hampir satu jam, masing-masing tenggelam dalam reruntuhan argumen mereka sendiri.Anya terus menangis dalam diam, air matanya mengalir tanpa suara. Ezra hanya menatap ke depan, ke lampu-lampu rest area yang kabur, pikirannya kosong. Argumen itu tidak menyelesaikan apa-apa. Itu hanya membuka luka yang lebih dalam.Perlahan-lahan, bagian analitis dari otak Ezra mulai kembali online. Bukan lagi bagian yang panik atau marah, tetapi bagian yang tenang dan metodis. Bagian yang selalu ia andalkan dalam krisis. Ia mulai memecah masalah ini menjadi komponen-komponen yang lebih kecil, seperti yang selalu ia lakukan.Masalah: Validitas tujuan perjalanan diragukan.Sumber Data 1: Ibu Anya (Kredibilitas: Tinggi. Hubungan: Keluarga dekat. Pernyataan: Vila tidak ada).Sumber Data 2: Surat Wasiat (K
Kata-kata itu menggantung di udara yang pengap di dalam mobil, lebih berat dan lebih mematikan daripada keheningan manapun yang pernah mereka alami."Nenekku tidak pernah punya vila."Untuk sesaat, otak Ezra menolak untuk memprosesnya. Rasanya seperti sebuah kesalahan data, sebuah syntax error dalam program realitas. Seluruh spreadsheet yang telah ia bangun dengan susah payah—tujuh tab yang diberi kode warna, ratusan baris data, puluhan rencana kontingensi—semuanya berlandaskan pada satu asumsi fundamental: bahwa tujuan mereka itu nyata. Dan kini, asumsi itu baru saja dihancurkan.Ia melihat wajah Anya. Pucat pasi, matanya membelalak dengan campuran antara kengerian dan kebingungan. Ini bukan lagi kekecewaan karena goa yang tutup atau kepanikan karena ban bocor. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Ini adalah keruntuhan sebuah narasi, sebuah pencabutan jangkar dari masa lalunya yang baru saja mulai ia temukan.Suara klakson dari truk di belakang mereka menyentak Ezra kembali
Gema di Ruang HampaPagi hari keempat dimulai bukan dengan keajaiban, melainkan dengan kecanggungan.Keheningan yang semalam terasa seperti pemahaman bersama kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah jarak yang canggung. Saat Ezra dan Anya bertemu di lobi hotel, mereka saling melempar senyum yang terlalu sopan, terlalu hati-hati, seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang baru bertemu, bukan dua sahabat yang telah berbagi segalanya. Pengakuan kerapuhan mereka di kedai kopi kemarin telah membuka sebuah pintu, tetapi di saat yang sama, juga telah membangun sebuah dinding tipis yang tak terlihat di antara mereka. Dinding yang terbuat dari ketakutan yang tak terucap dan realitas yang tak terhindarkan."Sudah siap?" tanya Ezra, suaranya terdengar lebih formal dari biasanya. Ranselnya tersandang rapi di punggung, dan di tangannya ia memegang kunci mobil dan selembar tanda terima dari bengkel."Siap, Kapten," jawab Anya, mencoba memanggil kembali keceriaan lamanya, tetapi nadanya terdeng
Pertemuan Kembali: Kopi, Kenyataan, dan Ketakutan.Mereka bertemu pukul empat sore di sebuah kedai kopi yang tersembunyi di salah satu gang, tidak jauh dari tempat Anya belajar membatik. Tempat itu nyaman dan artistik, sebuah perpaduan sempurna antara dunia mereka berdua.Ezra sudah duduk di sebuah meja di sudut saat Anya tiba, membawa sebuah gulungan kain kecil hasil karyanya."Lihat!" kata Anya bangga, membentangkan kain itu di atas meja. Kain itu menampilkan coretan-coretan lilin yang tidak beraturan, tapi di tengahnya ada beberapa garis dan titik yang mulai terlihat percaya diri. "Ini adalah bukti bahwa aku bisa menjadi sedikit lebih teratur!"Ezra tersenyum tulus. "Dan aku mengunjungi Keraton," katanya. "Dan menyadari bahwa keteraturan yang sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar spreadsheet."Mereka memesan kopi dan menghabiskan satu jam berikutnya bertukar cerita tentang pengalaman mereka masing-masing. Anya menceritakan tentang filosofi batik Ibu Puji. Ezra menceritakan
Dunia Ezra: Keteraturan dalam Sejarah.Setelah mengantar mobilnya ke bengkel terdekat, Ezra memutuskan untuk berjalan kaki menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia memesan tiket dan melangkah melewati gerbangnya, dan seketika ia merasa seperti melangkah ke dunia lain. Di luar, kota Yogyakarta adalah sebuah entitas yang sibuk dan modern. Tapi di dalam tembok keraton, waktu seolah-olah berjalan lebih lambat.Aroma dupa yang dibakar samar-samar tercium di udara, bercampur dengan wangi bunga kenanga. Suara gamelan yang dimainkan secara langsung oleh para niyaga mengalun lembut dari sebuah pendopo, menciptakan suasana yang meditatif dan agung.Semua terasa tenang, terhormat, dan yang terpenting bagi Ezra: teratur.Ia berjalan melewati halaman-halaman yang luas dan pendopo-pendopo dengan pilar-pilar berukir indah. Ia mengamati arsitekturnya, setiap detailnya memiliki makna filosofis, setiap bangunan ditempatkan sesuai dengan kosmologi Jawa. Ini adalah sebuah sistem yang telah diranc
Pagi hari ketiga dimulai dengan sebuah keajaiban kecil: keheningan.Bukan keheningan canggung seperti di dalam mobil setelah insiden Goa Pelangi, atau keheningan tegang setelah ban bocor. Ini adalah keheningan yang damai, yang terasa diperoleh dengan susah payah. Di kamar hotel mereka di Yogyakarta yang sederhana namun bersih, satu-satunya suara adalah dengkuran pelan dari Anya dan desis lembut AC.Ezra sudah bangun sejak subuh, seperti biasa. Tapi untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini—atau mungkin dalam hidupnya—ia tidak langsung meraih laptopnya untuk meninjau spreadsheet. Sebaliknya, ia hanya duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar ke arah jalanan kota yang perlahan-lahan terbangun.Sinar fajar yang pucat mulai mewarnai langit, mengubahnya dari hitam menjadi ungu, lalu menjadi oranye lembut di ufuk timur. Itu adalah pemandangan yang indah, sebuah lukisan fajar yang Anya pasti akan suka.Kejadian semalam telah meninggalkan jejak yang dalam pada dirinya. Kemenangan kec