Share

BAB 7

Author: Danker
last update Last Updated: 2025-10-07 12:23:26

Di belahan lain kota, pada hari yang sama. 11:45 WIB.

  Di dunia Anya, hari Senin tidak ada bedanya dengan hari Sabtu atau Rabu. Waktu adalah konsep yang cair, ditentukan oleh inspirasi, bukan oleh jam dinding. Apartemen kosnya adalah sebuah medan pertempuran kreatif yang indah. 

  Kanvas yang setengah jadi bersandar di dinding, kuas-kuas tergeletak di dalam stoples selai yang sudah kosong, dan aroma cat minyak bercampur dengan wangi teh melati yang baru diseduh.

  Anya sedang duduk bersila di lantai, benar-benar tenggelam dalam dunianya. Di hadapannya, terhampar sebuah buku sketsa besar. 

  Ia tidak sedang melukis air terjun seperti yang ia lihat kemarin. Sebaliknya, ia sedang mencoba menerjemahkan gemuruh air itu menjadi bentuk dan warna. Sapuan cat air berwarna biru kobalt, abu-abu arang, dan percikan perak memenuhi halaman, membentuk pola abstrak yang berdenyut dengan energi. Ia sedang "melukis suara", dan ia merasa sangat hidup.

  Ia baru saja akan mencelupkan kuasnya ke dalam air saat suara ketukan di pintu membuatnya terlonjak kaget.

  "Paket!" seru sebuah suara dari luar.

  Anya mengerutkan kening. Ia tidak ingat memesan apa pun. Mungkin salah alamat. Dengan sedikit enggan, ia beranjak dan membuka pintu. Seorang kurir berdiri di sana, menyodorkan sebuah clipboard dan sebuah amplop tebal berdokumen resmi.

  "Untuk Cik Anya Larasati?"

  "Ya, saya sendiri," jawab Anya, sedikit bingung.

  Ia menandatangani tanda terima dan menerima amplop itu. Terasa kaku dan penting. Di sudut kiri atas, ada logo sebuah firma hukum yang tidak ia kenali. Jantungnya mulai berdebar sedikit lebih cepat.

  Mungkinkah ada masalah dengan sewa kosnya?

  Ia menutup pintu dan duduk kembali di lantai, meletakkan amplop itu di samping palet catnya yang berwarna-warni. Benda itu tampak sangat tidak pada tempatnya. Setelah menatapnya selama beberapa menit, rasa penasarannya akhirnya menang. Ia merobek segelnya dengan hati-hati.

  Di dalamnya ada beberapa lembar kertas yang penuh dengan bahasa hukum yang sulit ia mengerti. Kata-kata seperti "ahli waris", "akta wasiat", dan "harta peninggalan" melompat-lompat di depan matanya. Ia membacanya sekali, lalu sekali lagi, lebih lambat.

  Perlahan, potongan-potongan informasi mulai terbentuk.

  Surat itu dari pengacara yang mewakili mendiang nenek dari pihak ibunya. Seorang nenek yang hampir tidak pernah ia temui, seorang seniman eksentrik yang memutuskan hubungan dengan keluarga bertahun-tahun yang lalu. Neneknya, Salima Wijaya, telah meninggal dunia sebulan yang lalu. Dan rupanya, ia telah meninggalkan sesuatu untuk Anya. Satu-satunya warisan yang ia tinggalkan.

  Sebuah properti. Sebuah vila tua di sebuah desa nelayan terpencil di pesisir selatan Jawa, bernama "Vila Senja."

  Anya ternganga. Vila? Ia bahkan tidak tahu neneknya punya vila.

  Lalu ia membaca bagian yang paling penting, yang digarisbawahi dengan tinta hitam tebal.

  "Sesuai dengan wasiat terakhir almarhumah Ibu Salima Wijaya, satu-satunya ahli waris yang ditunjuk, yaitu saudari Anya Larasati, diwajibkan untuk mengklaim properti tersebut secara langsung di kantor notaris setempat selambat-lambatnya tiga puluh (30) hari terhitung sejak tanggal surat ini dikeluarkan. Apabila dalam kurun waktu tersebut ahli waris tidak hadir, maka properti akan secara otomatis dihibahkan kepada dewan desa setempat."

  Anya melirik tanggal di bagian atas surat. Surat itu sudah dikeluarkan seminggu yang lalu. Itu berarti ia hanya punya waktu tiga minggu untuk pergi ke ujung pulau, menemukan desa antah-berantah ini, dan mengurus semua legalitasnya.

  Reaksi pertamanya bukanlah kepanikan. Bukan juga kesedihan atas nenek yang tak ia kenal. Reaksi pertamanya adalah sebuah percikan kegembiraan yang aneh. Sebuah petualangan baru saja jatuh dari langit ke pangkuannya. Sebuah vila misterius! Sebuah misi dengan tenggat waktu! Ini seperti plot dalam sebuah film.

  Namun, saat euforia itu sedikit mereda, realitas mulai merayap masuk. Logistik. Ia harus mencari tahu di mana tepatnya desa itu. Bagaimana cara ke sana? Naik apa? Menginap di mana? Berapa biayanya? Dan yang paling menakutkan dari semuanya: dokumen. Ia harus berurusan dengan notaris, akta tanah, dan tumpukan kertas yang membuatnya pusing bahkan hanya dengan memikirkannya.

  Tiba-tiba, petualangan yang mendebarkan itu terasa seperti sebuah tugas sekolah raksasa yang tidak ia mengerti cara mengerjakannya. Kekacauan kreatif adalah keahliannya. Kekacauan birokrasi adalah mimpi buruknya.

  Ia membutuhkan bantuan. Ia membutuhkan seseorang yang bisa mengubah kekacauan ini menjadi serangkaian langkah yang logis. Seseorang yang bisa membuat peta, jadwal, dan daftar. Seseorang yang bisa menghadapi tumpukan dokumen tanpa berkedip.

  Hanya ada satu orang di planet ini yang terlintas di benaknya.

  Anya meraih ponselnya yang tergeletak di antara noda-noda cat. Jari-jemarinya dengan cepat mencari sebuah nama di kontaknya.

  "Ezra si Manusia Presisi."

  Ia menekan tombol panggil, sama sekali tidak menyadari bahwa di ujung telepon sana, orang yang ia andalkan untuk menyusun kembali dunianya baru saja menyaksikan dunianya sendiri hancur lebur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 43

    Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra. "Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol." Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'." "Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis." "Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?" "Sejak seorang investor pote

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 44

    Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 42

    Keheningan yang ditinggalkan oleh Pak Wira terasa lebih nyaring daripada kebisingan jalanan Jakarta.Anya dan Ezra berdiri mematung di tengah kamar kos yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Udara dipenuhi oleh gema dari proposal yang luar biasa itu: Pameran tunggal. Warisan Ombak. Lelang donasi. Dua bulan.Anya adalah yang pertama bergerak. Ia mengeluarkan suara aneh, campuran antara pekikan dan isak tangis yang tertahan, lalu ia melompat dan memeluk Ezra dengan kekuatan seorang badai kecil."Ra! Apa ini nyata?" serunya, suaranya teredam di bahu Ezra. "Cubit aku! Atau jangan, kalau ini mimpi aku tidak mau bangun!"Ezra, yang masih sedikit syok, tertawa—tawa yang dalam dan lega. Ia balas memeluk Anya, mengangkatnya dari lantai dan memutarnya sedikit, sebuah gerakan spontan yang sangat bukan dirinya. Untuk sesaat, semua logika dan perencanaannya lenyap, digantikan oleh kegembiraan murni yang meluap-luap."Ini nyata, Nya," katanya, menurunkannya kembali. Tangannya masih memegang l

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 41

    Ia mengambil draf manifesto yang tergeletak di meja. "Saya datang karena ini," katanya sambil mengangkat kertas itu. "Saya datang karena cerita tentang Salima Wijaya. Sekarang, ceritakan tentang mimpi kalian."Ini adalah isyarat bagi Ezra. Ia melangkah maju, berdiri di samping Anya. Untuk satu jam berikutnya, mereka berdua mempresentasikan mimpi mereka. Mereka adalah tim yang sempurna.Anya berbicara tentang "mengapa". Ia berbicara tentang jiwa Salima, tentang warisan ketahanan, dan tentang visinya untuk menciptakan sebuah "tebing" bagi para seniman lain yang tersesat. Ia berbicara dengan bahasa hati, bahasa puisi.Kemudian, Ezra berbicara tentang "bagaimana". Ia membuka tabletnya, menunjukkan denah awal, sketsa paviliun baru yang ramah lingkungan, dan diagram alur tentang bagaimana residensi itu bisa mandiri secara operasional. Ia menunjukkan bahwa di balik puisi Anya, ada sebuah fondasi logika yang kokoh. Ia berbicara dengan bahasa cetak biru.Pak Wira mendengarkan semuanya, matanya

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 40

    Malam sebelum kedatangan Pak Wira terasa seperti malam sebelum ujian akhir yang paling penting dalam hidup mereka. Adrenalin dan kafein menjadi bahan bakar mereka. Kamar kosan Anya yang tadinya merupakan ekosistem kekacauan yang organik, kini menjadi sebuah lokasi proyek yang diatur dengan presisi militer di bawah komando Ezra."Zona satu, area penyambutan," kata Ezra, menunjuk ke area kecil di dekat pintu. "Harus bersih total. Tidak ada sepatu, tidak ada tumpukan buku. Hanya satu kursi dan meja kecil untuk menaruh minum. Kesan pertama harus menunjukkan ketenangan dan kontrol."Anya, yang sedang sibuk memilih lukisan, hanya mengangguk sambil bergumam. "Ketenangan dan kontrol. Mengerti. Sesuatu yang sangat tidak 'aku'.""Justru itu," sahut Ezra. "Kita tidak menjual kekacauanmu. Kita menjual visimu. Kekacauan itu untuk proses kreatif, bukan untuk presentasi bisnis.""Sejak kapan ini jadi presentasi bisnis?""Sejak seorang investor potensial memutuskan untuk datang ke kantor pusat kita,"

  • GARIS PATAH LOGIKA   BAB 39

    Ezra mengambil ponsel itu darinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka email itu. Ia membacanya dalam diam, matanya bergerak cepat dari baris ke baris. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menunjukkan sebuah emosi yang jarang terlihat: keterkejutan yang tulus."Apa?" desak Anya, tidak tahan lagi dengan ketegangan itu. "Apa isinya? Apa dia menolaknya?"Ezra tidak menjawab. Ia hanya memulai ulang dari awal dan membacakan email itu dengan suara keras, suaranya mantap meskipun ada sedikit getaran di dalamnya."Untuk Anya Larasati,Terima kasih atas email Anda yang tidak biasa dan sangat menyegarkan. Di tengah lautan proposal pameran yang terasa seperti ditulis oleh robot, cerita Anda terasa seperti sebuah hembusan angin laut yang sesungguhnya.Saya sudah melihat portofolio digital yang Anda lampirkan. Lukisan Anda memiliki kekuatan yang mentah, sebuah kejujuran emosional yang langka. Terutama 'Lampu Jalanan Pukul 3 Pagi'. Saya bisa merasakan keheningan dan harapan di dalamnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status