Share

GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian
GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian
Author: KIKHAN

Pendalaman

Bulan sabit bersinar tengah malam, meski langit gelap terasa terang. Yang dilihat oleh gadis bernama Kiran Nawasena hanya kegelapan, bukan sinar bulan yang biasanya menarik perhatian orang. Hal itu menjelaskan dirinya.

Perempuan kelahiran tahun 2002 yang kini bekerja sebagai buruh pabrik mengakui semakin dia bersinar maka kegelapan mengelilinginya.

Banyak orang berbisik tentang Kiran. Percuma punya paras cantik kalau auranya suram. Penolakan berteman membuat mereka kapok dekat-dekat Kiran. Ada saja momen apes kalau berani menjahilinya.

Satu-satunya cara Kiran bertahan di dunia fana ini ialah diam dan memendam segalanya seorang diri. Membiarkan awan hitam menyelimutinya supaya tidak menarik perhatian makhluk gaib.

Sejak usia 4 tahun Kiran menyadari tidak semuanya manusia di alam yang ia pijaki. Mendiang ayahnya ketar-ketir berlarian mencari cara memutus kutukan Kiran.

Penglihatan Kiran bukanlah anugerah. Kematian Tarendra Nawasena disebabkan karena kegagalan dalam usaha tersebut.

Roh jahat yang bersemayam dalam tubuh Kiran disebut Gataka yang artinya kesengsaraan. Sudah hampir 10 tahun ia kehilangan kontrol tubuhnya. Seringkali gadis itu dirasuki kemudian sadar di tempat lain.

Gataka tak hanya satu di dunia ini. Lebih dari ribuan orang kehidupannya hancur karena Gataka. Ekonomi yang rusak, kegagalan hubungan, ketidakharmonisan keluarga, perceraian, kekerasan, semua itu tugasnya. Membuat manusia terjebak dalam kesengsaraan sampai putus asa hingga mengakhiri hidup.

Bekerja sebagai buruh pabrik tidak seindah ekspektasi. Bahkan Kiran baru-baru ini mengetahui banyak kasus perceraian dan perselingkuhan di lingkungan kerja. Dominan aura mereka dilingkupi warna hitam pekat.

Gataka betul-betul menghinggapi para perempuan. Sekarang pun ... Tangan mereka bekerja namun isi kepala mereka berbagai tumpukan masalah.

"Jangan melamun. Nanti tangan kamu kena mesin."

Kedipan mata Kiran menandakan dia tak lagi melamun. Wanita di sebelah yang barusan bicara namanya Ria, usia 26 tahun. Enam tahun lebih tua dari Kiran. Ria dalam proses bercerai dengan suaminya yang entah berada di mana.

"Apa kamu mau makan bersamaku di kantin? Dari hari pertama mereka masuk kerja, Ria sering mengajak Kiran makan di kantin tapi selalu ditolak.

Entah mengapa hari ini Kiran sangat kasihan pada sosok Ria. Senyum cerah tak selaras dengan kegundahan hati. Manusia pandai menyembunyikan namun tidak di depan Kiran yang mampu melihat sifat asli dan celahnya.

"Suami Mbak menyesal."

"Apa?" Ria kurang mendengar jelas karena suara mesin sekeliling sangat berisik. Suara lembut milik Kiran jelas kalah.

Kiran sedikit mencondongkan tubuhnya ke samping. Kepalanya maju mendekat ke telinga Ria.

Ria meneguk ludah usai mendengar ucapan Kiran yang sangat memukul hatinya.

Tanpa berkata apa-apa, mereka kembali fokus melakukan pekerjaan.

*

Biasanya saat jam istirahat Kiran hanya beli kopi dan duduk di kursinya sambil main game sendirian. Ia menoleh terkejut dihampiri Ria yang memberi sebungkus roti selai coklat di mejanya.

Ria menarik kursinya untuk menghadap Kiran selagi yang lain belum masuk line.

"Kamu tahu dari siapa?" Ria penasaran.

Kiran sedikit kurang nyaman. "Kebetulan."

Ria menatap selidik gadis muda misterius nan pendiam di depannya yang tadi pagi berbisik aneh.

Kiran berkata, "Semoga perceraian kalian dimudahkan demi kebaikan Mbak. Suami Mbak menyesal dulu bersikap buruk."

Ria tersentuh disemangati oleh Kiran. "Gak ada yang tahu aku lagi urus berkas di pengadilan. Aku gak pernah cerita suami berbuat buruk. Kamu tahu dari siapa, ayo ngaku."

"Mbak ngaku ke orang lain masih single padahal sudah menikah."

"Jangan keras-keras!" Ria panik keburu menutup mulut Kiran.

Kiran melihat kekosongan sekitar. "Gak ada siapa-siapa."

"Iya tapi takut ada yang dengar. Huh, untung sepi. Kamu seperti dukun bisa tahu semuanya."

"Perbuatan suami Mbak sangat buruk?"

"Keluargaku sudah sakit hati sama dia. Aku juga malas komunikasi. Kami gak cocok lagi. Lebih baik cerai daripada diinjak-injak oleh keluarganya."

Kiran melihat Ria berusaha keras menutupi kekecewaan meski berlinang air mata kala menjawab pertanyaannya. Semua orang punya cerita. Bilik kebahagiaan dan tangis pun berbeda.

"Mbak gak salah. Suami Mbak juga menyesal. Aku harap kalian berpisah tanpa ada dendam."

"Dendam? Gak ada lah." Ria tertawa hambar lalu berhenti ketika melihat sudut bibir Kiran tertarik membentuk senyum tipis. "Kamu masih muda, Kiran. Sering tertawa dan berbahagialah."

Mulai dari situ Kiran dan Ria berteman. Kini mereka sangat akrab dan biasa berpergian ke tempat jauh.

Pada akhirnya Ria melihat ada yang salah di diri Kiran kala fase bulan purnama.

Malam bulan purnama adalah kutukan sesungguhnya. Kiran lupa hari itu shift malam dan berkeliaran tanpa sadar bulan purnama penuh. Biasanya tiap bulan purnama ia ambil cuti tahunan atau alasan sakit padahal sehat.

Kiran harus mengurung diri demi keselamatan orang di luar sana. Karena di waktu itulah Gataka merasuk dan mengambil alih raganya.

Tepat ketika awan yang menutupi purnama menampakkan bentuk bulan seutuhnya, Kiran yang sedang tertidur di samping Ria kala jam istirahat terbangun dengan tatapan kosong.

Kiran berdiri kemudian mendongak ke atas, memainkan lampu satu gedung hingga berkedap-kedip tanpa menekan sakelar.

Seluruh karyawan shift malam yang menyadari keanehan menyeramkan terjadi langsung heboh berbondong-bondong ke luar gedung.

"Kiran, lampunya aneh!"

Bukan hanya itu, satu per satu lampu pecah bergantian. Ria menarik tangan Kiran yang tubuhnya kaku.

"Kamu ngapain masih di sini?! Ayo keluar! Kiran!!"

Leher Kiran memutar seraya menyeringai ke arah Ria. "Aku lagi main di sini, kenapa harus pergi ke luar?"

Ria membeo, "Main?" Semua panik menyelamatkan diri dia sebut sedang main? Sudah gila Kiran.

"Sekian lama aku menunggu. Akhirnya kamu membuka pintu kebebasan untukku."

"Kamu ngomong apa sih! Kita ke luar dulu!"

Ria sama sekali tidak paham dia menunggu apa dan pintu kebebasan apa maksudnya. Di otak Ria sekarang mereka harus ke luar dan menunggu arahan selanjutnya.

Tepat setelah Ria berhasil menyeret Kiran ke luar gedung berkumpul dengan yang lain, atasan mengumumkan karyawan dipulangkan lebih cepat karena kerusakan jaringan listrik butuh perbaikan berjam-jam.

Ria merasa aneh dengan Kiran yang sekarang senyum-senyum sendiri ke sembarang arah.

Ria bawa kresek kecil berisi air mineral milik Kiran. "Aku boleh mampir ke rumah kamu, kan?"

"Hm."

Bahkan Ria sudah jalan lima langkah di depan, Kiran tetap diam di tempat.

"Ayo!!" Ria agak teriak, kesal anak itu tidak fokus mendengar perintahnya dari awal.

Kiran membuntuti Ria di belakang sembari bersenandung entah lagu apa.

"Kamu di sana bukan main, tapi kerja. Semua sudah ke luar menyelamatkan diri tapi kita masih di dalam. Kamu gak takut?"

Jarak dari pabrik ke rumah Kiran lumayan dekat 500 meter. Jalannya terbilang ramai pedagang 24 jam. Baru kali ini Kiran diam dan membolehkan Ria main ke rumahnya. Selama ini Ria tak diizinkan sekadar tahu alamatnya.

"Betul ini jalannya?" tanya Ria.

Baru menoleh ke belakang, Ria kaget Kiran lewat di sampingnya memimpin jalan di depan.

Dari jauh Ria mengawasi rumah mana yang dituju Kiran, ada seorang pria berpakaian seragam pabrik seperti mereka sedang menunggu depan rumah pagar kecil.

Baik Ria maupun Kiran sama bingungnya melihat pria itu berbalik atas kedatangan mereka.

Kiran berhadapan dengan pria itu, sementara Ria berdiri di belakang Kiran.

Ria maju. "Kamu gak pernah bilang punya kakak laki-laki. Nama saya Ria, Mas. Sahabat Kiran." Dia sangat percaya diri mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan pria yang dia sangka kakak Kiran.

"Saya bukan kakaknya," ujar si pria terus menatap Kiran.

"Ada tamu baru," sambut Gataka.

"Bukan saya, tapi kamu tamu baru yang membuat keributan di pabrik."

Ria melirik Kiran. "Dia? Kiran maksudnya?" Ria membatin bukankah Kiran sudah cukup lama bekerja di sana. Kenapa disebut tamu baru?

Bak sudah tahu apa yang dimaksud pria di depannya. Gataka tidak takut melainkan tersenyum takjub kehadirannya terlihat dan diakui untuk pertama kali.

Bulan purnama masih tampak jelas dan akan berakhir menjelang fajar. Sekarang pukul dua pagi. Pria bernama Ranu itu mengecam Kiran.

"Kita pasti bertemu lagi bulan depan," ujar Ranu. Ia mengalihkan pandangan ke Ria yang plonga-plongo. "Kamu cuma antar dia, kan? Langsung pulang ke rumah."

"I-iya ..." Ria menunduk malu. Tadinya mau menginap di rumah Kiran karena sebentar lagi matahari terbit. Berhubung lelaki tampan dan keren menyuruhnya pulang, ya sudah. "Maaf aku langsung pulang, Kiran. Dadah.. "

Ria meletakkan kresek hitam di aspal kemudian menyusul pria yang berjalan di jalan yang sama ke luar gang.

"Sekarang semakin menarik," imbuh Kiran melihat kepergian mereka hingga tertelan belokan jalan.

**

Ria gencar mengajak ngobrol pria di sampingnya. "Nama kamu siapa?"

"Ranu," singkat Ranu.

"Saya kira Mas kakaknya Kiran karena berdiri di depan rumahnya, ternyata bukan. Kiran teman Mas Ranu juga?"

"Kapan kalian mulai dekat?" tanya Ranu tak pandai bertele-tele.

Ria cukup kaget ditanya pertemanan mereka. "Lumayan. Sekitar ... tiga bulan."

"Gak merasa ada yang aneh selama berteman?"

"Kiran memang aneh, makanya saya gak heran." Ria ketawa kencang tetapi segera membungkam mulutnya lantaran Ranu memicing aneh. Dia pasti dicap perempuan gila karena sangat blak-blakan. "Tapi serius, Mas. Hari ini dia sangat aneh. Di saat semua orang panik ke luar gedung, Kiran senyam-senyum liat lampu kedap-kedip. Selain hari ini, dia selalu larang saya main ke rumahnya."

"Dia pasti sangat senang karena bulan purnama."

"Apa hubungannya?"

Ranu berhenti dikarenakan sampai huniannya. "Tanya ke dia besok."

"Mas, ngekos di sini?"

"Iya. Kalau begitu saya masuk dulu." Ranu mengurungkan niat pergi gara-gara mata Ria berbinar terang. "Kamu juga ngekos di sini?"

"Iya, saya di sebelah sana yang khusus perempuan." Ria tersenyum malu bahagia tiada tara. "Kita bisa berangkat bersama dong."

"Perkenalan kita baru hari ini. Berhubung saya asisten manajer kamu, kalau berangkat bersama saya takut ada rumor aneh. Permisi." Ranu mantap masuk kos dan menutup pagar.

"Gak masalah, yang penting tinggal berdekatan pasti ada peluang berangkat sama-sama," gumam Ria.

**

Sadar terakhir berada di pabrik, Kiran tidak ingat apa pun ketika bangun dari tempat tidur.

Catatan kalender kemarin bulan purnama langsung mengheningkan suasana. Kiran berpikir keras apa yang terjadi semalam akibat berkeliaran.

"Kiran!"

Lamunannya buyar ketika mendengar suara Ria dari luar rumah. Kiran bergegas ke luar menemui Ria.

Ria melambaikan tangan riang menyapa sahabat yang beberapa langkah dari kosan. "Sudah bangun ternyata."

"Mbak tahu rumah aku?" Kiran mendadak bodoh.

"Kamu sendiri yang nunjuk jalan semalam. Kosan aku di depan sana tuh." Ria menunjuk ujung jalan.

"Semalam?" Mereka masuk shift malam, harusnya Ria bilang pagi tadi saat waktunya pulang.

"Ingat semalam aku jadi takut masuk nanti. Merinding."

Kiran memegang kepalanya dengan satu tangan sedikit meremas rambut gusar. "Semalam kenapa, Mbak?"

"Gak ingat? Lampu di gedung pada kedip-kedip terus pecah. Gelap gulita. Tapi, Kiran ... Semalam kamu aneh."

"Anehnya?" Kiran melukai orang lain atau lebih parah dari itu? Jantungnya berdetak kencang.

"Intinya kamu aneh."

"Aku gak apa-apain orang lain, kan?"

"Kenapa juga kamu apa-apain orang lain? Cuma aku teman kamu," kekeh Ria.

Kiran bersyukur tidak melukai orang, tetapi tetap merasa bersalah merusak properti. Seharian main bersama Ria membuat Kiran tidak sadar semalam adalah bulan purnama. Sebetulnya ia cepat sadar jika awan hitam tak menutupi bulan semalam.

"Kiran. Sejak kapan kamu kenal Mas Ranu?"

"Hah? Siapa?"

"Asisten manajer kita di gedung A1."

"Aku gak kenal," sanggah Kiran jujur.

Mengapa Ria melantur bertanya Ranu pada Kiran yang tidak kenal siapa pun di pabrik, terlebih asisten manajer. Dengan leader bagiannya sendiri saja Kiran jarang bicara.

"Semalam Mas Ranu berdiri depan rumah kamu."

Pemilik rumah pun kaget. "Sedang apa berdiri di sini?"

Ria menggeleng tak tahu. "Cuma bilang kamu tamu baru yang bikin ribut di pabrik. Terus katanya kalian pasti bertemu bulan depan." Garukan kepala Kiran membuat Ria ikut bingung. "Kamu gak kenal sama sekali?"

"Nggak."

"Lalu, dari mana dia kenal kamu?"

Tap! Tap! Tap!

Dari jauh terdengar langkah kaki semakin dekat. Ria menengok ke kiri sedangkan menoleh ke kanan lantaran posisi mereka berhadapan.

Benak Kiran heran ada orang jogging jam 2 siang. Sudut matanya gagal fokus lihat rahang bawah Ria akan jatuh akibat menganga lihat lelaki tampan lewat.

Ria menunggu momen dia lewat. "Mas Ranu!" panggilnya ceria.

Ranu memakai setelan pakaian olahraga warna abu-abu serta sepatu putih. Sudah menjadi rutinitasnya jogging sebelum bekerja. Tempo hari kesibukan menghampiri Ranu. Baru sekarang ada luang waktu olahraga.

"Dia?" Kiran jadi tahu rupa Ranu yang barusan diceritakan Ria.

Sosok Ranu yang diceritakan Ria ada di depan mereka. Tinggi sekitar 170 cm, kulitnya kuning langsat bersih, berwajah rupawan, hidung mancung, rahang tegas, dan berpenampilan menarik. Pantas jadi atasan di pabrik. Biasanya jadi incaran mbak-mbak bermake up tebal atau ibu-ibu genit di pabrik.

Bukan kata Kiran deskripsi sosok Ranu. Kiran bisa membaca pikiran Ria tentang Ranu ini. Ria sangat memuji penampilannya. Dari pancaran matanya mungkin keluar emotikon love yang sering ada di keyboard gawai.

Meski tak mau, Ranu sempatkan berhenti sekadar menyapa balik. "Ya."

"Kenapa gak ajak kita jogging juga?" Ria tiba-tiba mulai pemanasan di tempat.

"Biasanya perempuan susah diajak olahraga."

"Saya gampang kok."

Ranu ajak Ria langsung. "Ayo, saya masih tiga putaran lagi." Niat jahilnya muncul.

Tiga putaran setara tiga kilometer. Kiran menarik pelan ujung lengan baju Ria. "Mbak, ingat umur sudah gak memadai buat jogging terlalu lama. Tiga kilo gak dekat."

Ria mendekatkan tubuhnya ke Kiran. "Aku cuma basa-basi padahal." Mana tahu diajak sungguhan.

"Mbak Ria bilang Mas semalam berdiri di depan rumah saya. Ada apa ya?"

"Menunggu kamu," singkat Ranu.

Ria curiga Ranu ada something ke sahabatnya, semacam perasaan khusus? Ikatan batin? Pokoknya, percakapan mereka canggung sekali.

"Apa maksudnya," batin Kiran. "Saya gak kenal sama Mas. Bulan depan kita bertemu lagi, maksudnya?"

"Tepat bulan purnama."

Kerutan di dahi Kiran pudar seiring bulan purnama terlontar dari mulut Ranu. Lelaki itu tahu tentang Gataka.

"Kamu mau saya bicara di sini langsung?" imbuh Ranu tanpa menunggu jawaban Kiran. "Dia rawan kerasukan." Telunjuknya bahkan mengacung lurus ke wajah Kiran.

"Ohh ... Apa?!" Ria terkejut bak kena setrum listrik.

Ranu tersenyum sungging. "Bukan kamu yang mau saya temui, tapi roh jahat dalam diri kamu."

Kiran menjawab dengan tenang, "Mas yakin bisa mengatasi semua yang akan terjadi?"

"Apa resiko terkecil dan terbesarnya?"

"Kesengsaraan berujung kematian."

Ranu serius mendalami perkataan dari Kiran. Gataka, roh pemberi kesengsaraan. Penerima roh Gataka akan mati, jika tidak, maka orang-orang di sekitarnya lah yang menjadi korban.

Ranu bertanya ke lubuk hatinya, apakah perbuatannya benar?

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status