"Atau memang mereka nggak ada hubungan, Mon. Kamunya aja yang lagi sensitif kali. Lagian Mama tahu betul, Bryan nggak mungkin melakukan hal keji dan murahan itu. Dia sama kayak Papanya setia. Jadi kamu nggak usah bersuudzon lagi sama anak Mama yang satu itu, ya." Mama menghentikan aktivitasnya dan menoleh padaku. Anak tak bermoral begitu di bela mati-matian. Percuma."Hehehe, iya kali ya Ma. Aku mungkin yang sensitif kali ya." tambahku lagi."Papa setia ya, Ma?" tanyaku, padahal mengejek."Oh tentu, Mama dan Papa itu hampir tiga puluh tiga tahun menikah tak pernah sekalipun Papa itu selingkuh." Belanya."Oh iyakah, Ma. Hebat ya, Ma." pujiku rasanya mau muntah mendengarnya. Bertolak belakang dengan foto-foto mesranya dengan Rara."Aku ke minimarket dulu, Ma." pamitku. Lebih baik ngecek minimarket ketimbang banyak berbincang dengan nenek tua ini."Iya,"***Keesokan harinya...Pagi ini aku sudah rapi tanpa berkutat di dapur memasak sarapan ataupun bikin lauk-pauk untuk makan siang. Hari
"Baik, Bu. Sebentar, saya cek dulu." Dia mengambil gawai yang sedari berada di atas meja seperti mau menelepon seseorang."Ririn, ke ruangan saya sebentar!" perintahnya dalam sambungan telepon."Sebentar ya, Bu. Saya tunggu staff administrasi dulu." pintanya. Lantas Pak kepala mengecek komputer selingan dengan mengecek buku nikah yang kuserahkan tadi. Keningnya tampak mengerut, mungkin bingung.Tok... Tok... Tok..."Masuk!" sahut Pak kepala."Permisi, Pak. Ada apa ya memanggil saya?" aku tidak menoleh ke sumber suara. Tapi perempuan itu berjalan ke arah Pak kepala dan sekarang berdiri di samping kiri Pak Bobby."Ibu ini memberi tahu jikalau suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Kamu bisa check-in kelengkapan berkas yang diserahkan oleh Bapak Bryan dan Ibu Mayora? Kebetulan mereka menikah kurang lebih sebulan yang lalu." Ririn sang staff administrasi mengangguk paham."Saya cari dulu ya, Pak. Nanti saya ke sini lagi.""Oke," lalu Ririn meninggalkan ruangan."Mohon ditunggu sebe
"Yuk, Bryan. Kita ke rumah Mayora saja. Untung saja kamu masih punya Mayora dan sebentar lagi kalian juga bakalan punya anak. Tentu hidup kalian lebih bahagia pastinya. Daripada kamu sama Mona, udah enam bulan belum juga hamil. Beda sama Mayora enam bulan lagi dia bakalan lahirin anakmu, Nak. Ayuk kita kemasi," ajak Mama sambil menarik tangan Bryan untuk mengemasi barang-barang."Apa? Mayora hamil? Enam bulan lagi bakalan lahiran? Jadi ...? Pantas saja Bryan tersedak ketika Mama membahas perihal kehamilan kala itu, dasar nenek lampir kupikir dia ... ah sudahlah, sabar Mon, semuanya sudah berlalu, masa depanmu masih panjang.""Harusnya dari dulu aku tidak memaksakan diri untuk menikah dengan kamu, Mon," ujar Mas Bryan yang tengah mengeluarkan barang-barang pribadi miliknya."Nggak usah banyak bacot, beresin saja secepatnya. Aku jijik lihat kalian masih di sini,""Mas Bryan ... Mama Merta ... kok ini ..." aku melengah ke sumber suara, ada gundik Mas Bryan ternyata."Eh, gundik canda gun
"Pak, tolong angkat ibu ini ke mobil saya ya, biar saya antar ke rumah sakit terdekat,""Baik, Bu,"Ada tiga orang lelaki yang menggotong ibu ini ke dalam mobilku karena tubuh ibu ini agak berisi.Tak lupa aku mengucapkan terima kasih dan meminta maaf atas yang terjadi. Ini karena pikiranku kalut jadi membawa mobil jadi tidak konsentrasi. Padahal untuk sampai di rumah Yuyul tinggal menempuh perjalanan 10 menit lagi. Tapi yang namanya ujian kadang tidak akan memberi kode terlebih dahulu."Bu, aku anterin ke rumah sakit dulu ya biar ibu diobatin dulu. Abis itu aku akan antar ibu pulang ke rumah," jelasku. Ibu berjilbab dalam itu pun menjawab dengan anggukan saja. Bagaimanapun aku harus tanggung jawab dulu walaupun pikiranku masih memikirkan Rara. Lagian Rara juga di rumah Yuyul yang kurasakan dia akan aman di sana.Untung didekat kejadian tadi ada rumah sakit, Ibu Eti pun ditindak cepat oleh beberapa perawat. Setelah semuanya selesai aku mengantar Ibu Eti ke rumahnya, ternyata rumahnya
"Ya sudah sekarang kita pulang, motor kamu tinggal di sini dulu.""Apa nggak sebaiknya tidur di sini saja, Mon. Apalagi sudah mala gini," ujar Yuyul."Nggak usah, Yul. Aku dan Rara pulang saja, maaf sudah merepotkan kamu," aku menuntun Rara untuk berdiri.Sepanjang jalan aku hanya diam, sedangkan Rara masih menangis tersedu, aku sengaja tak menanyakan lagi soal kejadian itu. Takut mentalnya makin terguncang, lagian aku juga harus fokus mengemudi supaya tidak terjadi hal yang sama seperti tadi. Masih untung aku dan Bu Eti selamat. Bagaimana kalau tidak, tamat sudah hidupku.Sesampainya di rumah Rara langsung masuk ke dalam rumah mungkin masuk ke kamarnya, masih ada isakan tangisnya ketika turun dari mobil. Aku masih memarkir mobil, sekilas tadi tampak rumah gundikku sudah sepi tidak ramai ketika aku pergi menjemput Rara tadi.Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh yang begitu lelah, sebagian sendi ada yang sakit akibat kejadian tadi yang hampir menabrak Bu Eti.***Deringan
Part Lanjutan Menggunakan PoV 3 ya 🫶"Nggak ... Nggak ... Kalau aku kerja dan notabenenya seperti ini, pasti akan timbul hal lain. Aku tidak ingin embel-embel seorang wanita independen diketahui nantinya."Monalisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada rasa trauma baginya."Aku harus jadi Monalisa yang baru, sederhana tanpa kemewahan yang kumiliki ini." Dia bergumam sendiri.Sesampainya di hotel, Monalisa langsung mengemasi barang-barangnya. Kemudian, mandi dengan air hangat. Dan, setelahnya menikmati hidangan makan malam yang ada di hotel.Dia duduk di bangku paling depan, pemandangannya sungguh indah. Hamparan lautan yang bercahaya oleh kapal yang sedang berlayar. Kembali dirinya teringat akan masa-masa indah dengan Bryan yang hanya sekejap mata dirasakannya. Namun, detik kemudian dia kembali diingatkan bagaimana perlakuan mantan suaminya itu.Menjelang tidur, Monalisa mencoba melamar pekerjaan melalui situs aplikasi. Di sana terpampang beraneka ragam posisi jabatan yang dibutuhkan k
Monalisa lekas beranjak dan membukakan pintu utama."Papa!" sentak Monalisa yang masih memanggil mantan mertuanya itu dengan sebutan papa."Bisa kita berbicara?" tanya Burhan langsung pada tujuannya."Boleh, masuk, Pa, eh, Pak!"Burhan pun melangkahkan kaki masuk dan duduk di sofa single. Kemudian, menyisir pandangan."Mau dipanggilkan, Rara?" tanya Monalisa."Nggak, tujuan saya ke sini bahkan bukan untuk menemui Rara. Melainkan tentang Bryan dan mama mertua kamu.""Tujuan? Apa itu?""Saya ingin kamu mencabut laporan, nanti bilang saja kalau sudah damai.""Hmm, gimana ya, Pak. Agaknya saya nggak akan lakukan itu deh. Soalnya udah pada keterlaluan." Monalisa menjawab santai."Apa kamu nggak kasian sama mertua dan Bryan?"Di dalam kamar, Rara yang sedang tertidur karena kepalanya begitu pusing, tiba-tiba tersentak saat mendengar suara dari luar kamar.Dia beranjak dan mendekatkan telinga ke pintu kamar."Dia? Ngapain dia ke sini?""Apa aku keluar dan menemuinya?""Nggak ... Nggak ... Bu
Monalisa terus disemangati oleh Namira. "Rezeki nggak ada yang tahu, umur juga bukan patokan."Malam harinya, mata Monalisa terasa sulit dipejamkan. Tidak terhitung pula dia bertukar posisi tidur."Mata panda kamu kelihatan, Mon. Nggak nyenyak ya tidurnya semalam?"Kedua wanita dewasa ini sedang berada di stasiun menunggu kereta api."Susah, aku kepikiran soal interview nanti.""Wajar sih, hal normal kok. Pake ini aja." Namira merogoh sebuah benda berbentuk bulat dan panjang, rata-rata perempuan memakai ini."Nggak menor ntar, Na?" Monalisa tampak ragu menerima benda itu."Nggak kok. Coba aja dulu. Ntar kalau nggak nyaman bisa dihapus. Atau solusi lain pake kacamata."Dari rumah, Monalisa hanya memakai sunscreen, bibir di poles dengan lipstik berwarna merah bata, serta matanya dipakaikan eyeliner.Sebelum kereta jurusan mereka datang, Monalisa sibuk merias diri, memberi cushion dan concelear di wajahnya."Nah, gitu kan lebih cantik. Mata panda nya jadi lenyap," puji Namira setelah se