Share

2 | Menurutlah, jika ingin ibumu selamat

“Ada apa? Mengapa kau kemari?” teriak Sunny, dia memegang erat batang kelapa sebab Sunny hampir terjatuh. Tangisan Rury merusak perhatiannya pada kelapa-kelapa itu. “Dan—mengapa kau menangis?”

“Mama tidak sadar, Kak. Aku—aku menemukannya tergeletak di lantai. Aku sudah membangunkannya tapi dia tidak mendengar suaraku. Mama—” Rury tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Dia takut membuat Sunny panik dan berakhir jatuh.

Sunny sadar dia harus segera turun dari atas sana, menenangkan tangisan Rury dan mendekapnya. Sementara hatinya porak-poranda, dia gelisah bercampur cemas dengan kondisi ibunya. Dalam kekhawatiran itu, Sunny turun tergesa-gesa bahkan dia tidak sadar telapak tangannya sudah lecet oleh gesekan kasar dari batang pohon kelapa.

Dan ketika Sunny mendapatkan langkah terakhirnya, dia berujar kepada pemilik kelapa, “paman, aku harus segera pulang. Besok saja kerjaan hari ini.”

“Tapi—” pria tua belum selesai berbicara, namun Sunny sudah berlari bersama Rury.

Sunny tahu, dia tidak boleh terlambat. Dia terus berlari walau napasnya sudah hampir habis. Dia tidak peduli jika tubuhnya sangat lelah. Pikirannya terus membayangkan hal buruk yang mungkin terjadinya pada ibunya, namun berulang kali dia membuang pemikiran seperti itu dari benaknya.

Pada akhirnya, mereka tiba di rumah. Namun, pemandangan yang terlihat tidak seperti yang Rury katakan. Dia mendapati bibi Joyce duduk di sebelah ibunya sembari memegang sebuah suntik.

“Rury, ada apa ini?” Sunny bertanya tanpa menoleh, pandangannya terkunci pada wajah bibi Joyce. “Kau bilang ibu tidak sadar, tapi mengapa bibi Joyce ada di sini? Ibu juga terlihat baik-baik saja. Mengapa kau berbohong?”

Rury tidak mampu mengeluarkan satu kata pun dari mulutnya. Dia hanya menangis yang lebih terdengar seperti penyesalan dan rasa bersalah.

“Oh, jangan marahi bocah itu. Aku yang menyuruhnya untuk berbohong. Semua ini hanya untuk membuatmu datang ke sini. Bagaimana? Menyenangkan bukan dipermainkan oleh kekhawatiran?” bibi Joyce terkekeh.

Sunny menatap bibi Joyce dengan geram. Dia kesal melihat tindakan bibi Joyce yang berlebihan.

“Apa mau bibi sebenarnya? Bukankah sudah kukatakan jangan pernah mengusik kami? Menjauhlah dari ibuku.” Sunny bergegas mendekati ibunya dan berusaha menarik tubuh ibunya dari sisi bibi Joyce. “Mama baik-baik saja, kan?”

Jane mengangguk lemah. “Maaf membuatmu khawatir— mama tidak berdaya dengan perbuatan bibi Joyce. Mama sudah berusaha mencegah Rury, tapi—”

Bibi Joyce segera menaruh mata jarum di kulit leher Jane dan itu membuat lidahnya kelu. “Bergerak lagi, maka ibumu hanya tinggal nama,” ancam bibi Joyce. “Ini adalah obat henti jantung. Jika kusuntikkan pada kakak iparku yang malang ini, menurutmu akankah dia tetap hidup?” Bibi Joyce terkekeh dengan senyum jahatnya.

“Beraninya kau.” Sunny sudah kehilangan rasa hormatnya pada bibi Joyce.

“Astaga, kasar sekali. Kau harus bersikap hormat pada bibimu ini, Sunny. Aku hanya ingin kau menikah dengan Marco. Kau tahu, si brengsek itu tidak akan pernah berhenti menerorku sampai aku memberinya uang.”

“Itu urusan bibi. Bibi bisa memberinya Anne.”

“Aku sudah menjual semua asetku termasuk tanah peninggalan ayahmu. Ah, rasanya semua uang itu tidak cukup untuk melunasi hutang. Aku tidak berniat memberikan putri kesayanganku, karena Marco seorang bajingan.”

“Bajingan? Lantas, aku bukan keponakan bibi? Sampai-sampai bibi tidak merasa bersalah dan kasihan untuk menyerahkan aku pada lelaki macam itu. Bibi sangat picik dan kejam sekali.”

Bibi Joyce terdiam sejenak. Dia tahu bahwa tindakannya sudah melebihi batas, akan tetapi itu tidak masalah baginya. Bibi Joyce menempatkan uang dalam urutan tertinggi dibanding dengan garis hubungan darah. Terlebih dia sudah jatuh tempo. Bibi Joyce harus segera membayar uang yang banyak kepada Marco atau dia akan mendapatkan tubuhnya berada dalam peti mati.

Marco benar-benar menakutkan bagi bibi Joyce.

“Ya, kau benar. Aku sudah lama kehilangan empati sejak semua harta itu merasuki pikiranku. Pokoknya, kau harus menuruti kemauan bibi, sayang. Tidak ada negoisasi lagi.” Bibi Joyce menusukkan ujung jarum sedalam satu cm di kulit leher Jane, namun dia belum menyuntikkan cairan di dalamnya. “Ucapkan selamat tinggal pada ibumu.”

“Kumohon jangan lakukan itu. Biarkan ibuku hidup,” ujar Sunny, dia memeluk Jane dengan erat. “Apapun yang bibi mau akan kulakukan. Tapi tolong jangan sakiti ibuku.”

Sunny hampir saja kehilangan kendali atas air matanya. Dia menahan diri untuk tidak menangis. Dia berusaha menunjukkan pada ibu dan adiknya bahwa dia bukan pribadi yang lemah. Sunny perlu menunjukkan sisinya yang tegar pada Bibi Joyce agar bibi Joyce tidak bisa sembarang melukai mereka dikemudian hari.

Jane menyela dengan tangisan, “tidak. Kau tidak boleh melakukan itu, Sunny. Mama tidak apa-apa, jangan pedulikan mama. Pikirkan saja dirimu. Kau tidak boleh.”

Sunny menggeleng, “aku hanya ingin Mama dan Rury tetap di sisiku. Kalian berdua satu-satunya tujuan hidupku. Jika mama tiada, aku akan mengutuki diriku seumur hidup. Kumohon, jangan khawatirkan aku, Ma.”

Rury mendadak berlari dan mendekap bibi Joyce dan berujar, “bibi biarkan mama hidup. Jangan sakiti mama. Aku janji akan menuruti semua keinginan bibi.”

Tetapi bibi Joyce masih tidak tersentuh dengan tangisan Rury. “Astaga! Drama keluarga yang menyebalkan,” ucap bibi Joyce sembari mendorong Rury menjauh darinya.

Bibi Joyce menarik kembali suntik itu dari leher Jane dan menyimpannya ke dalam tas jinjing semerah darah. Kemudian dia melemparkan senyum seringai puas atas keberhasilannya dalam mengancam Sunny.

“Kau sudah berjanji. Jadi tidak boleh melanggar. Berkemaslah, kau ikut denganku ke kota sore ini.” Bibi Joyce berdiri dan berjalan mendekati jendela sambil mengibaskan tangan ke wajah. “Di sini panas sekali, bahkan penyejuk ruangan pun kalian tidak punya. Untuk itulah kau perlu menuruti bibimu, Sunny. Tersenyumlah! Kau akan menikah dengan orang kaya.”

Ekspresi wajah Sunny mendadak suram. Dia tidak mengira bahwa bibi Joyce akan membawanya secepat ini. Tidak boleh. Sunny tidak bisa meninggalkan ibu dan Rury sendirian. Rury hanya laki-laki remaja yang sedang puber, pencarian jati diri dan sedikit pembangkang. Bagaimana mungkin Rury bisa menjaga ibunya? Sedangkan Jane, dia lemah dan sakit-sakitan. Siapa yang akan merawat mereka berdua?

Sunny melepaskan pelukannya dari Jane. Dia mendekati bibi Joyce dan berkata, “bisakah aku pergi lusa saja? Mama kurang sehat, dan Rury harus sekolah. Aku harus membereskan banyak hal dan—”

“Aku akan merawat mereka. Tenang saja, jangan dipikirkan. Anne pulang dari luar negeri tiga hari lagi. Jadi, dia akan membantu sedikit di sini,” tukas bibi Joyce datar.

Perkataan bibi Joyce sangat meragukan. Dia tidak sebaik ucapannya dan itu mengganggu pikiran Sunny.

Bibi Joyce tidak mungkin berbohong. Tidak, dia licik. Dia pasti berpura-pura. Sunny berusaha membuang pikiran aneh itu dari kepalanya.

Sunny masih berat hati, dia melirik ibunya dengan cemas. “Tapi—”

“Oh, ayolah, pembicaraan selesai. Ingat, kau sudah berjanji Sunny. Aku yang pegang kendali,” tukas bibi Joyce.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mannae
ceritanya menarik. nambah lagi favorit bacaanku
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status