Sunny menyesal telah membuat janji gila tak masuk akal seperti itu pada bibi Joyce. Bila pada akhirnya itu akan memisahkan dia dengan orang terkasihnya. Namun, Sunny juga cukup sadar bahwa perjanjian itu menyelamatkan nyawa ibunya.
Sunny tidak bisa berbuat apa pun selain menurut. Dia mengemasi beberapa lembar pakaian terbaik yang dia punya, menyiapkan obat herbal untuk ibunya minum nanti, dan membuat daftar pekerjaan untuk Rury. Sunny menaruh harapan pada adiknya itu, kendati sunny sedikit ragu, namun dia yakin Rury dapat dipercaya. “Mama jangan menangis lagi,” ujar Sunny. “Aku baik-baik saja. Doakan saja aku selalu sehat di sana. Aku akan mengirimi surat pada mama nanti jika aku sudah sampai dan—aku menyayangi kalian berdua.” Sunny mendekap Jane sangat erat seolah itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Sunny melirik Rury dan berkata, “Kakak percayakan semua padamu. Jagalah mama kita. Jangan menangis, kau pria tangguh.” Rury mengangguk patuh. “Aku akan menjaga mama. Aku akan merindukanmu, Kak.” “Jika hal buruk terjadi pada Sunny, aku sendiri yang akan menghabisimu, Joyce,” ancam Jane dengan ekspresi tidak terduga. Menanggapi hal itu, bibi Joyce hanya memberikan seringai misterius. Seolah dia menyembunyikan niat tersembunyi lainnya. Dan akhirnya mereka berdua pergi ke kota setelah mengucapkan selamat tinggal yang tidak diinginkan. Perjalanan mereka cukup hening. Sunny enggan berbicara pada Bibi Joyce, dia terlalu sibuk memikirkan keadaan ibu dan adiknya. Di antara pikirannya itu, terselip juga ketakutan yang mendalam terhadap Marco. Sunny masih ingat perkataan bibi Joyce tentang Marco, dia pria brengsek dan gila. Bintil-bintil kengerian mendadak timbul di tengkuk Sunny, ketika dia membayangkan dirinya menikah dengan pria seperti itu. Dia akan jadi rempeyek! Oh, mungkin kabar buruknya dia akan disiksa setengah mati! Bibi Joyce tidak melepaskan pandangannya dari Sunny. Dia memandanginya dengan sorot licik dan itu membuat Sunny sedikit risih. Sunny hampir saja melabrak bibi Joyce, tetapi mobil mereka mendadak berhenti di sebuah rumah bergaya klasik nan megah. Seluruh bangunannya ditutupi warna putih gading. Halamannya dipenuhi oleh tanaman palem hias dan beberapa pria stelan hitam berdiri di ambang pintu. Sunny menduga di sinilah tujuan akhir mereka. Sebelum mereka turun, Bibi Joyce buru-buru mengeluarkan lipstik merah muda dari dalam tasnya. “Kau harus tampak cantik. Marco tidak suka gadis yang polos.” Kemudian dia mengoles bibir Sunny dengan lembut. Namun, Sunny tidak suka memakai benda krim lengket itu di bibirnya. “Ini bukan seleraku,” ujar Sunny kesal. Dia hendak menyeka lipstik itu dari mulutnya, akan tetapi bibi Joyce segera menangkap tangan Sunny. “Sudah kubilang hidup ibumu bergantung padaku. Jadi jangan macam-macam,” bibi Joyce tersenyum. “Setidaknya kau terlihat lebih menarik dari sebelumnya.” Bibi Joyce menurunkan kaki kurusnya dengan elegan tanpa cela ketika sang supir membukakan pintu untuknya. Dia mengangkat dagu tinggi, kemudian menoleh sekilas ke arah Sunny, seolah memberikan isyarat untuk keluar dari mobil. Sunny mengikuti bibi Joyce dengan enggan. Dia tidak terlalu penasaran oleh kemegahan rumah itu, Sunny lebih banyak menundukkan muka sembari melihat kakinya melangkah. Seolah dia tidak memiliki jiwa, kosong dan sepi. Satu langkah penyesalan. Satu langkah lagi kerinduan pada ibunya dan satu langkah yang lain, dia hendak putar arah dan berlari. Tiba-tiba seorang pria mendadak muncul dengan mata yang mengawasi. “Tuan sudah lama menunggu anda, madam. Dia sangat gelisah sampai-sampai kemarahannya itu membuat semua orang panik,” ujar seorang pria setengah baya ketika melihat kehadiran bibi Joyce dan Sunny. “Jadi dia putrimu? Tapi kalian seolah orang lain. Kau terlihat necis dan dia sangat polos. Ah, jangan-jangan anda ingin bermain trik dengan tuan?” “Berhentilah ikut campur. Itu bukan urusanmu, Don. Bawa saja kami pada Marco.” Bibi Joyce menyahut ketus perkataan pria itu. Lelaki yang disebut Don itu mengulas senyum kecut. Dia adalah kepala pelayan di rumah Marco, juga orang yang bertanggung jawab dengan keperluan bisnis kotor Marco. Don menuntun mereka berdua ke lantai atas melewati tangga putar berkarpet merah. Sehingga suara ketukan langkah mereka teredam. Ketika mereka tiba di anak tangga terakhir, ruangan besar menyambut pandangan Sunny. Di sana, di antara jendela terbuka, Marco sudah menunggu kedatangannya sembari menggenggam sekaleng bir. Fitur wajahnya yang maskulin tampak semakin keras saat dia menyadari kehadiran bibi Joyce dan Sunny. Marco menekuri bentuk tubuh Sunny. Dia memperhatikan setiap lekuk tubuh Sunny dan itu membuat Sunny tidak nyaman, seolah dia telah ditelanjangi. Kemudian, sudut bibir Marco terangkat membentuk senyum tipis. “Kau membuatku kesal, Joyce,” ujar Marco pada akhirnya, sesaat dia beranjak malas ke sofa coklat kayu yang berjarak semeter dari sisinya. Don segera meninggalkan ruangan itu, setelah dia memberikan hormat pada Marco. Marco Edith, dia adalah sosok yang paling menonjol di antara para pebisnis night club lainnya. Selain memiliki lounge, dia juga menjalankan bisnis rentenir yang kini menjerat bibi Joyce. Dia terkenal dengan kekejamannya dalam menagih uang miliknya, bahkan Marco tidak segan-segan untuk melenyapkan korbannya jika itu diperlukan. Sunny menatap wajah Marco beberapa saat lamanya dan dia menyadari satu hal, Marco memiliki wajah menawan yang angkuh. Tubuhnya yang kekar terlihat jelas dari balik kemeja putih yang dia pakai. Lengan tergulung, kancing dada terbuka, dan celana panjang segelap malam seolah menunjukan betapa senangnya pakaian itu berada di tubuh Marco.Tanpa diduga, Marco menangkap pandangan penasaran Sunny. “Aku tahu kalau wajahku ini menarik, tapi kau tidak boleh menatapku dengan tatapan itu. Matamu bisa saja hilang.”Marco tidak bercanda, dia serius dan itu membuat Sunny bergidik ngeri.“Jangan menakutinya,” potong bibi Joyce tiba-tiba. “Aku menepati janjiku. Kumohon beri aku kesempatan, dia akan berada di sini bersamamu sampai aku mendapatkan uang.”Marco kehilangan minatnya untuk menyesap bir yang dia genggam. Dia memutar pandangan kepada Sunny dan sekali lagi memperhatikan rupa wajah Sunny. Marco menyadari betapa Sunny terlalu polos untuk menjadi putri bibi Joyce. Kaus krem longgar dan celana denim panjang yang dikenakan Sunny berbanding terbalik dengan penampilan bibi Joyce yang necis nan elegan. Bahkan Marco tidak melihat adanya kemiripan antara mereka.Marco tersenyum simpul. “Dia bukan putrimu. Kau tidak bisa membohongi aku, Joy. Bagaimana bisa aku mengambilnya sebagai jaminan. Kau bisa saja kabur— dan aku tidak sebodoh itu.”Jaminan? Satu kata itu menampar wajah Sunny. Dia yakin bahwa dia berada di sini untuk menikah dengan Marco, tapi kenyataannya dia hanyalah jaminan yang tidak lebih dari tawanan.Detak jantung Sunny terasa menyakitkan di dadanya. Dia telah dijebak. Seharusnya dia tidak boleh mempercayai bibi Joyce.“Dia putriku. Uh, setidaknya kami masih memiliki hubungan darah. Dia memang keponakanku yang berharga. Aku sangat menyayanginya seperti putriku sendiri,” ujar bibi Joyce gugup, namun dia menutupinya dengan tersenyum sembari memeluk Sunny.Perut Sunny mendadak melilit oleh perkataan bibi Joyce. Itu adalah dusta yang menjijikkan. Hampir saja Sunny mendorong bibi Joyce dari tubuhnya, namun tindakan itu terhenti ketika bibi Joyce membisikkan Sunny untuk tetap berpura-pura.“Aku tidak suka kebohongan. Ini sudah jatuh tempo—dan aku tidak berminat untuk mengulur waktu.”“Kumohon beri aku kesempatan. Tengah malam nanti aku akan membawa uangnya.”Marco terkekeh, “jika tidak, kau dan gadis ini akan mati.”“Ma-mati?” Sunny akhirnya berbicara setelah susah payah mendapatkan suaranya yang hampir tenggelam oleh kengerian. Marco hanya memberikan senyum simpul, sekejap berubah menjadi senyum manis nan mengerikan. “Benar— mati! Maka mintalah wanita ini untuk melunasinya segera,” sahut Marco.Sunny menoleh bibi Joyce dan memberikan sorot kecewa. “Teganya bibi ... ”Lagi-lagi Bibi Joyce hanya memberikan alasan yang menyakitkan. “Aku tidak punya pilihan. Sudah terjadi dan tidak perlu menyesal.” Bibi Joyce segera meninggalkan ruangan itu setelah mendapat izin dari Marco. Kali ini dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Bodoh sekali dia jika harus mengkhawatirkan Sunny. Itu sudah menjadi rencananya, bibi Joyce memang sengaja menjebak Sunny dan dia punya kesempatan untuk kabur selagi Marco mempercayainya.Marco bodoh, gumam bibi Joyce.Sunny berusaha membuat tubuhnya tetap tenang, walau sebenarnya dia cemas dengan ancaman Marco. Bulu-bulu di tubuhnya merinding ketika dia membayangkan dirinya b
Ryuse menoleh dengan sorot keterkejutan. Dia tidak menduga Sunny akan meminta hal rumit seperti ini.Sunny berlari menghampiri Ryuse dan dia berujar, “tolong aku, tuan. Aku tidak mau di sini bersamanya. Aku harus pulang ke tempat ibuku.”Ryuse menatap mata coklat Sunny lamat-lamat. Seakan mata itu memohon kepadanya, sunny tidak berbohong, dia ketakutan dan sedih.“Aku tidak bisa ... Kau milik pria itu,” Ryuse melirik Marco. “Aku tidak mencuri kepunyaan orang lain. Selesaikan saja urusanmu dengannya.”Ryuse memutar tubuhnya, berjalan kembali menuju tangga yang diikuti oleh Gordon dan Marvin. Mereka sudah terlambat untuk urusan lainnya. Tidak ada waktu untuk memikirkan yang bukan urusannya.“Dasar gadis gila. Kembali ke sini kau. Tidak akan kulepaskan. Don! Bawa dia kemari!” pekik Marco.“Aku mungkin akan dibunuhnya. Kumohon ... ibuku membutuhkan aku.” Sekali lagi Sunny memohon. Kali ini dia bertaruh pada keberuntungan. Sunny hampir menangis. Mati-matian dia menahan air mata dan suaran
Bibi Joyce mati! Bibi Joyce mati! Kata-kata itu bergaung dalam benak Sunny. Selanjutnya mungkin dirinya akan menyusul bibi Joyce. Bibi Joyce terlentang di lantai, tidak ada luka yang berarti, hanya ada bekas jerat di leher bibi Joyce. Rambut ikal gonjesnya terlihat berantakan, bibir membaranya tidak lagi semerah yang Sunny ingat, dan sarung tangan renda hitam sudah terkoyak, seakan itu menunjukkan perlawanan bibi Joyce dari maut. Sunny masih ingat rambut kebanggaan bibinya itu masih tersisir rapi ketika meninggalkan rumah Marco. Sekarang yang kembali hanyalah tubuh dingin dan kaku. Sunny tersungkur. Dia meratapi kematian bibinya. Dia telah berusaha sangat keras untuk tidak menyalahkan perlakuan bibi Joyce selama ini padanya, tapi situasi yang dia hadapi kini jauh lebih serius dan membuatnya marah. Dia marah karena bibi Joyce menjebaknya dan meninggalkannya. Dia juga marah karena kematiannya ini membuat dirinya berada dalam situasi sulit. Dia marah karena Marco mengambil salah
“Kakak Ryu, mengapa kau termenung?” Marvin menepuk pundak Ryuse yang tengah menatap hampa pemandangan di luar jendela. Ryuse mendesah dalam diam panjang. Dia melirik Marvin yang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ryuse memutar langkah, dia kembali ke meja kerjanya. Kaki terangkat ke atas meja, kepala bersandar pasrah pada bahu kursi, dan dia memejamkan mata sejenak. “Tidak ada.” Hanya itu yang keluar dari mulut Ryuse. Datar dan tanpa ekspresi. “Sungguh? Tapi kau terlihat berbeda belakangan ini. Tsssk ... apa ada yang mengganjal di hatimu?” Mata Marvin membulat besar ketika dia membayangkan penyebab kegelisahan Ryuse karena wanita. “Apa kau menyukai seseorang? Oh, ayolah kau bisa bertukar pikiran denganku. Aku cukup berpengalaman.” Marvin memainkan mata menggoda Ryuse. “Pergilah! Mulutmu berisik sekali.” “Sikapmu semakin mencurigakan. Baiklah jika kak Ryu tidak mau berbagi, maka aku akan mencari tahu sendiri,” ujar Marvin sembari terkekeh. Dia berjalan ke pintu dengan lagak k
“Tuan-tuan, silakan duduk dengan tenang dan bersabar. Kalian bisa memiliki gadis ini asal kesepakatan harga kita cocok. Lihatlah, betapa wajah ini begitu lugu.” Marco menyentuh wajah Sunny. “Dan—dia masih polos, sangat polos seperti kertas yang belum dicoret.”Ryuse merasakan tekanan darah di dalam tubuhnya meningkat drastis. Dia sangat marah kepada Marco, marah pada situasi Sunny yang menyedihkan, dan dia marah karena tidak bisa melakukan apapun pada gadis itu. Ryuse sadar, Sunny bukan urusannya dan juga bukan tanggung jawabnya. Namun, sesuatu yang disebut empati masih ada dalam hatinya. Dia memang tidak lebih baik, tapi soal nurani—Ryuse lebih baik dibandingkan Marco.Marco kembali berujar, “bayangkan saja dia tidur di samping kalian, menatap matanya yang indah, senyumnya yang menawan dan dia sedikit galak. Oh, betapa itu kombinasi yang menggiurkan.”Ryuse tidak tahan lagi. Kali ini saja dia akan membiarkan dirinya ikut campur, melanggar aturan yang dibuat, dan menerima konsekuensi
“Aku tak akan peduli soal ketakutanmu atau pun keberanianmu padanya,” Sunny berusaha meyakinkan Marco bahwa dirinya tidak tertekan oleh ancaman apapun. “Aku hanya peduli dengan bagaimana kau jatuh.”“Kau ... ”Marco hampir memukul wajah Sunny, namun Ryuse cekatan menangkap tangan Marco dan menghempaskannya.“Pria sejati tidak memukul wanita,” Ryuse berkata dengan nada tenang nan menghanyutkan, lalu menyembunyikan Sunny ke balik punggungnya.“Sial! Kau selalu ikut campur,” Marco mengeluh, lalu melangkah mendekati salah satu pengawal dan meninju perutnya keras. “Kalian tidak berguna!”Marco menjadi frustrasi. Dia tidak bisa melakukan apapun, melawan atau bahkan menyerang balik Ryuse. Dia menyadari kemampuan bertarung Ryuse bukan tandingannya. Bahkan dia menyesal telah memiliki banyak pengawal, namun tidak seorang pun yang sebanding dengan Ryuse. Marco berteriak, kesal bercampur marah yang berujung mengacak-acak rambutnya dengan kasar.“Kau menyebalkan ...” Marco menunjuk Ryuse sembari t
Ryuse mendekati Sunny dan berjongkok di depannya. “Kau tidak tahu jalan pulang, bukan?” Sunny menatap mata Ryuse yang tengah melihat wajahnya. Tatapan Ryuse terasa menenangkan dan itu membuat Sunny mendadak merona. Sunny berusaha menyembunyikan kegembiraannya karena kehadiran Ryuse, namun itu mustahil. Sebab Ryuse berhasil memergokinya. Alih-alih bertanya lebih jauh, Ryuse melepaskan jasnya dan menutupi pundak terbuka Sunny. “Bajumu terlalu terbuka.” “Tapi ... kau lebih terbuka,” Sunny merona lagi saat melihat tubuh Ryuse yang tidak memakai apa pun di badannya, yang tersisa hanya celana burgundinya. “Sebaiknya kau saja yang pakai ini.” Ryuse berdiri dan mengulurkan tangan pada Sunny. “Aku sudah terbiasa seperti ini.” Sunny menerima uluran Ryuse. Dia meletakkan tangannya di dalam genggaman pria itu. Sekali lagi jantungnya bergulung oleh debaran yang aneh. Sampai-sampai dia khawatir Ryuse akan mendengar suara dadanya yang berdentam-dentam. Ryuse berusaha keras untuk mengabaikan S
“kurasa itu cocok untukmu,” pungkas Ryuse. Ryuse tidak memiliki alasan kuat, dia hanya mengucapkan apa yang terlintas dalam benaknya ketika melihat mata Sunny bersinar polos. Yang seharusnya hanyalah sebuah ucapan sopan berubah menjadi nama panggilan yang lebih terdengar seperti ajakan tersirat untuk lebih dekat. Sunny tidak berniat untuk terpesona dengan panggilan itu, namun dia tidak bisa menolak untuk jatuh pada suara maskulin Ryuse ketika menyebut namanya. Sunny berhasil menenangkan jantungnya yang berdebar lagi lalu tersenyum kepada Ryuse. “Aku ... akan beristirahat,” ungkap Sunny gugup. Lalu dia buru-buru menutup pintu kamar, bersandar di balik pintu sembari menyentuh jantungnya yang berdentam-dentam. Debaran aneh dari jantungnya semakin tidak terkendali. Sunny berusaha mengingat debaran itu sama ketika dia memikirkan ibunya, namun perasaan yang bergejolak di balik paru-parunya itu terasa jauh lebih dahsyat seolah dia telah mendambakan itu sejak lama. Sunny mengintip dari ce