Share

3 | Sebuah kebohongan, awal buruk bagi Sunny

Sunny menyesal telah membuat janji gila tak masuk akal seperti itu pada bibi Joyce. Bila pada akhirnya itu akan memisahkan dia dengan orang terkasihnya. Namun, Sunny juga cukup sadar bahwa perjanjian itu menyelamatkan nyawa ibunya.

Sunny tidak bisa berbuat apa pun selain menurut. Dia mengemasi beberapa lembar pakaian terbaik yang dia punya, menyiapkan obat herbal untuk ibunya minum nanti, dan membuat daftar pekerjaan untuk Rury. Sunny menaruh harapan pada adiknya itu, kendati sunny sedikit ragu, namun dia yakin Rury dapat dipercaya.

“Mama jangan menangis lagi,” ujar Sunny. “Aku baik-baik saja. Doakan saja aku selalu sehat di sana. Aku akan mengirimi surat pada mama nanti jika aku sudah sampai dan—aku menyayangi kalian berdua.” Sunny mendekap Jane sangat erat seolah itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka.

Sunny melirik Rury dan berkata, “Kakak percayakan semua padamu. Jagalah mama kita. Jangan menangis, kau pria tangguh.”

Rury mengangguk patuh. “Aku akan menjaga mama. Aku akan merindukanmu, Kak.”

“Jika hal buruk terjadi pada Sunny, aku sendiri yang akan menghabisimu, Joyce,” ancam Jane dengan ekspresi tidak terduga.

Menanggapi hal itu, bibi Joyce hanya memberikan seringai misterius. Seolah dia menyembunyikan niat tersembunyi lainnya.

Dan akhirnya mereka berdua pergi ke kota setelah mengucapkan selamat tinggal yang tidak diinginkan. Perjalanan mereka cukup hening. Sunny enggan berbicara pada Bibi Joyce, dia terlalu sibuk memikirkan keadaan ibu dan adiknya. Di antara pikirannya itu, terselip juga ketakutan yang mendalam terhadap Marco.

Sunny masih ingat perkataan bibi Joyce tentang Marco, dia pria brengsek dan gila. Bintil-bintil kengerian mendadak timbul di tengkuk Sunny, ketika dia membayangkan dirinya menikah dengan pria seperti itu. Dia akan jadi rempeyek! Oh, mungkin kabar buruknya dia akan disiksa setengah mati!

Bibi Joyce tidak melepaskan pandangannya dari Sunny. Dia memandanginya dengan sorot licik dan itu membuat Sunny sedikit risih. Sunny hampir saja melabrak bibi Joyce, tetapi mobil mereka mendadak berhenti di sebuah rumah bergaya klasik nan megah. Seluruh bangunannya ditutupi warna putih gading. Halamannya dipenuhi oleh tanaman palem hias dan beberapa pria stelan hitam berdiri di ambang pintu.

Sunny menduga di sinilah tujuan akhir mereka.

Sebelum mereka turun, Bibi Joyce buru-buru mengeluarkan lipstik merah muda dari dalam tasnya. “Kau harus tampak cantik. Marco tidak suka gadis yang polos.”

Kemudian dia mengoles bibir Sunny dengan lembut. Namun, Sunny tidak suka memakai benda krim lengket itu di bibirnya.

“Ini bukan seleraku,” ujar Sunny kesal. Dia hendak menyeka lipstik itu dari mulutnya, akan tetapi bibi Joyce segera menangkap tangan Sunny.

“Sudah kubilang hidup ibumu bergantung padaku. Jadi jangan macam-macam,” bibi Joyce tersenyum. “Setidaknya kau terlihat lebih menarik dari sebelumnya.”

Bibi Joyce menurunkan kaki kurusnya dengan elegan tanpa cela ketika sang supir membukakan pintu untuknya. Dia mengangkat dagu tinggi, kemudian menoleh sekilas ke arah Sunny, seolah memberikan isyarat untuk keluar dari mobil.

Sunny mengikuti bibi Joyce dengan enggan. Dia tidak terlalu penasaran oleh kemegahan rumah itu, Sunny lebih banyak menundukkan muka sembari melihat kakinya melangkah. Seolah dia tidak memiliki jiwa, kosong dan sepi.

Satu langkah penyesalan. Satu langkah lagi kerinduan pada ibunya dan satu langkah yang lain, dia hendak putar arah dan berlari. Tiba-tiba seorang pria mendadak muncul dengan mata yang mengawasi.

“Tuan sudah lama menunggu anda, madam. Dia sangat gelisah sampai-sampai kemarahannya itu membuat semua orang panik,” ujar seorang pria setengah baya ketika melihat kehadiran bibi Joyce dan Sunny.

“Jadi dia putrimu? Tapi kalian seolah orang lain. Kau terlihat necis dan dia sangat polos. Ah, jangan-jangan anda ingin bermain trik dengan tuan?”

“Berhentilah ikut campur. Itu bukan urusanmu, Don. Bawa saja kami pada Marco.” Bibi Joyce menyahut ketus perkataan pria itu.

Lelaki yang disebut Don itu mengulas senyum kecut. Dia adalah kepala pelayan di rumah Marco, juga orang yang bertanggung jawab dengan keperluan bisnis kotor Marco.

Don menuntun mereka berdua ke lantai atas melewati tangga putar berkarpet merah. Sehingga suara ketukan langkah mereka teredam.

Ketika mereka tiba di anak tangga terakhir, ruangan besar menyambut pandangan Sunny. Di sana, di antara jendela terbuka, Marco sudah menunggu kedatangannya sembari menggenggam sekaleng bir. Fitur wajahnya yang maskulin tampak semakin keras saat dia menyadari kehadiran bibi Joyce dan Sunny.

Marco menekuri bentuk tubuh Sunny. Dia memperhatikan setiap lekuk tubuh Sunny dan itu membuat Sunny tidak nyaman, seolah dia telah ditelanjangi. Kemudian, sudut bibir Marco terangkat membentuk senyum tipis.

“Kau membuatku kesal, Joyce,” ujar Marco pada akhirnya, sesaat dia beranjak malas ke sofa coklat kayu yang berjarak semeter dari sisinya.

Don segera meninggalkan ruangan itu, setelah dia memberikan hormat pada Marco.

Marco Edith, dia adalah sosok yang paling menonjol di antara para pebisnis night club lainnya. Selain memiliki lounge, dia juga menjalankan bisnis rentenir yang kini menjerat bibi Joyce. Dia terkenal dengan kekejamannya dalam menagih uang miliknya, bahkan Marco tidak segan-segan untuk melenyapkan korbannya jika itu diperlukan.

Sunny menatap wajah Marco beberapa saat lamanya dan dia menyadari satu hal, Marco memiliki wajah menawan yang angkuh. Tubuhnya yang kekar terlihat jelas dari balik kemeja putih yang dia pakai. Lengan tergulung, kancing dada terbuka, dan celana panjang segelap malam seolah menunjukan betapa senangnya pakaian itu berada di tubuh Marco.

Tanpa diduga, Marco menangkap pandangan penasaran Sunny. “Aku tahu kalau wajahku ini menarik, tapi kau tidak boleh menatapku dengan tatapan itu. Matamu bisa saja hilang.”

Marco tidak bercanda, dia serius dan itu membuat Sunny bergidik ngeri.

“Jangan menakutinya,” potong bibi Joyce tiba-tiba. “Aku menepati janjiku. Kumohon beri aku kesempatan, dia akan berada di sini bersamamu sampai aku mendapatkan uang.”

Marco kehilangan minatnya untuk menyesap bir yang dia genggam. Dia memutar pandangan kepada Sunny dan sekali lagi memperhatikan rupa wajah Sunny. Marco menyadari betapa Sunny terlalu polos untuk menjadi putri bibi Joyce.

Kaus krem longgar dan celana denim panjang yang dikenakan Sunny berbanding terbalik dengan penampilan bibi Joyce yang necis nan elegan. Bahkan Marco tidak melihat adanya kemiripan antara mereka.

Marco tersenyum simpul. “Dia bukan putrimu. Kau tidak bisa membohongi aku, Joy. Bagaimana bisa aku mengambilnya sebagai jaminan. Kau bisa saja kabur— dan aku tidak sebodoh itu.”

Jaminan? Satu kata itu menampar wajah Sunny. Dia yakin bahwa dia berada di sini untuk menikah dengan Marco, tapi kenyataannya dia hanyalah jaminan yang tidak lebih dari tawanan.

Detak jantung Sunny terasa menyakitkan di dadanya. Dia telah dijebak. Seharusnya dia tidak boleh mempercayai bibi Joyce.

“Dia putriku. Uh, setidaknya kami masih memiliki hubungan darah. Dia memang keponakanku yang berharga. Aku sangat menyayanginya seperti putriku sendiri,” ujar bibi Joyce gugup, namun dia menutupinya dengan tersenyum sembari memeluk Sunny.

Perut Sunny mendadak melilit oleh perkataan bibi Joyce. Itu adalah dusta yang menjijikkan. Hampir saja Sunny mendorong bibi Joyce dari tubuhnya, namun tindakan itu terhenti ketika bibi Joyce membisikkan Sunny untuk tetap berpura-pura.

“Aku tidak suka kebohongan. Ini sudah jatuh tempo—dan aku tidak berminat untuk mengulur waktu.”

“Kumohon beri aku kesempatan. Tengah malam nanti aku akan membawa uangnya.”

Marco terkekeh, “jika tidak, kau dan gadis ini akan mati.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mannae
kok ada ya bibi macam ini. untungnya ini hanya dalam cerita ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status