Share

Empat bulan saja

Enam tahun lalu,,,,

"Sudah tidur nona cantik?"

Sebuah pesan membuatku tersipu sendiri, pipiku merona.

"Belum Hen, masih belum ngantuk" jawabku singkat

Setelahnya Hendi selalu menelponku. Entah apa yang kami bicarakan hingga tak cukup 2 jam kami mengobrol. Banyak tawa di sela perbincangan, sangat menyenangkan.

Kadang sambungan telephon masih tersambung saat kami sudah sama-sama terlelap. Sampai layar tak lagi menyala, baterai habis.

"Gimana Nay? Sudah ada jawaban" Hendi selalu menanyakan hal itu di sela perbincangan.

Sudah beberapa kali Hendi mengutarakan perasaannya, jelas aku sangat senang. Jantungku seakan ingin keluar dari tempatnya, tapi aku masih tertahan. Ada sesuatu yang memberatkan jawabanku.

"Tapi Hen, gimana Mey? Aku nggak enak" jawabku

" Nay, aku dan Mey sudah tak punya hubungan. Dia yang mutusin aku" jelasnya

"Tapi Hen..." potongku

"Heemmss terserah lah Nay. Apapun itu aku, aku bakal nunggu jawaban kamu" Hendi menutup telephon.

Semakin sering Hendi menagih jawaban, aku semakin takut lama kelamaan ia akan lelah bertanya tanpa ada jawaban pasti. Sampai aku memutuskan untuk memberinya keputusan. Keputusan yang sangat aku ingin ungkapkan.

"Iya Hen, aku mau jadi pacar kamu" jawabku sumringah dari sambungan telephon.

"Yeess...!!" Jawabnya girang.

Aku membayangkan tingkahnya kala itu. Terdengar hentak kaki, seolah iya melompat lompat layaknya anak kecil yang kegirangan mendapat hadiah.

***** 

4 bulan hubungan kami, tapi aku masih kaku menyapa Hendi saat bersama teman temanku. Aku lebih nyaman menjalaninya dibalik mereka. Biar saja seperti ini, itu kata Hendi tiap kali aku mengeluhkan ketidaknyamanan yang aku rasakan.

Hubunganku dengan Hendi tak bisa kututupi lagi. Aku bermaksud mencari pendapat barangkali sahabatku bisa memberi solusi agar aku bisa bersama Hendi tapi tak menyakiti Mey.

"Nay, Hendi dan Mey pernah menjalin hubungan. Mey jelas masih menyimpan perasaan pada hendi. Bisa kah kamu mundur demi Mey, sahabatmu".

Deggg !!!

Permintaan Dini kala itu seperti melepasku dari persahabatan mereka. Bagaimana bisa dia menyuruhku meninggalkan Hendi untuk Mey dengan alasan karena kami bersahabat. Lantas apa aku ini bukan sabahatnya?

"Iya Din, aku bakal menjauh dari Hendi". Aku tersenyum, walau kecut.

"Makasih ya Nay. Kamu bakal dapet yang lebih baik dari Hendi kok" bujuknya.

"Iya din nggak papa kok" aku memeluk Dini.

Aku menahan diri agar terlihat biasa. Walau hatiku nyeri. Keronkonganku sakit seperti terganjal sesuatu.

Ini bukan kali pertama aku mendengar permintaan semacam ini. Hubungan kami terpisah tanpa keputusan. Aku tak pernah lagi merespon Hendi bahkan saat ia menawarkan tumpangan sepulang atau berangkat sekolah. Aku selalu mencari alasan.

Tapi Hendi terus saja mengejarku. Semakin aku menjauh semakin cepat dia mengejar. sampai aku benar benar mengungkapkan sesuatu yang hingga kini aku sesali.

Suatu saat aku berbicara dengan Hendi. Mengutarakan apa yang teman temanku sarankan, lebih tepatnya memaksakan.

"Hen, sebaiknya kita akhiri saja ya hubungan kita, saya nggak enak sama Mey. Aku nggak bisa njalanin semua ini dengan perasaan yang nggak enak" pintaku

"Baik, kalo itu maumu. Kita akhiri saja ini. Aku nggak mau maksa. Toh kamu sangat memeperdulikan sahabat yang tak memperdulikan perasaanmu" jawabnya kala itu

"Jangan pernah menyesal" ketusnya dengan raut marah.

Jelas aku sangat menyesal. Menyesal mengenalnya, jika saja aku tak mengenalnya mungkin tidak akan ada perasaan cinta. Menyesal mengakhiri, karena terlalu sakit melepasnya. Tapi lagi-lagi aku sangat takut hilangan sabahatku. Aku mengalah, memilih mundur.

*****

Sejak saat itu, Hendi menjadi orang asing. Bahkan saat berpapasan pun ia tak akan menyapa. Aku berusaha bersikap biasa walau selalu dibalas dengan tatapan marah. 

Tapi tak apa, aku menerimanya. Toh ia masih selalu hadir disetiap postingan media sosialku. Walau hanya sebatas tanda jempol yang mampir. Itu cukup membuktikan, ia masih ada keinginan sekedar memastikan keadaanku.

Kami berbalas pesan dengan status. Aku membuat status, lalu ia pun menjawabnya dengan status di berandanya. Begitu cara kami menuang rindu. 

Beberapa kali ia mencoba mengirim sms, pernah juga aku mendapati panggilan tak terjawab darinya. Tapi aku masih tak mau menggubris. Aku paham, jika sekali saja aku menanggapi ia akan kembali mengejar. Biar saja seperti ini.

Lucu, kami masih satu lingkungan. Tapi seperti ada jarak membentang.

Begitu seterusnya hingga berbulan bulan. Sampai suatu ketika....

*****

Sekolah hari ini terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin karena banyak tugas yang diberikan guru. Ditambah cuaca terik yang seakan mengulur waktu. 

Pukul 13.30 bel berbunyi, seperti menggiring para siswa yang seakan berebut untuk keluar dari sekolah. Teman-temanku berjalan mendahuluiku karena memang ada keperluan masing-masing. Aku berjalan pelan, langkahku seperti layu. Aku menyipitkan mata menajamkan pandangan yang entah kenapa mengabur. Dan...

"BRuukkkk!!!!" 

Aku terhuyung jatuh menabrak entah apa yang ada didepanku.

Mataku terpejam, tubuhku lunglai tanpa tenaga. Tapi, telingaku masih sedikit mendengar suara di sekitanya. Menangkap teriakan Hendi ketika pertama melihatku jatuh.

" Nay..Naayyy bangun Naay...minyak angin, minyak angin..air putihnya tolong ambilin air putih" teriaknya panik.

Seseorang membawaku entah kemana. Aku tak lagi mendengar suara siapapun.

*****

Aku berusaha membuka mata, masih berat rasanya. Cat tembok putih dengan horden biru sebagai pemisah menjadi pemandangan pertama yang aku lihat. 

"Rumah sakit" pikirku

"Nay, kamu nggak papa kan? Apanya yang sakit?" Tanya ilma yang ternyata sedari tadi di sebelahku.

Aku mengawasi sekitar. Ternyata ada Dini dan Mey tengah duduk d bangku panjang dibelakang ilma. Dini sibuk dengan handphonenya sampai tak sadar aku sudah siuman. Sedang Mey, dia menatap pada seseorang di luar. Sepertinya dua orang yang sedang berbicara 

Seseorang memasuki ruangan

"Nay,,,sudah bangun sayang?" Katanya seraya mendekat

"Aku kenapa ma?" Tanyaku pelan

"Kamu pingsan. Kata dokter cuma kecapean. Alhamdulillah nggak ada yang parah" terangnya

"Untung tadi Hendi cepet bawa kamu ke sini Nay. Dia gendong kamu, sambil lari. Pan n-nik ba-ng-eet" sambungnya tiba tiba terbata

ilma melirik pada Mey dan Dini lalu menghentikan kata katanya. 

"Bu dhe, Mey pulang dulu ya. Nayra kan udah  siuman juga. Papa nyuruh cepet pulang soalnya" Kata Mey seraya beranjak dan menyalami ibuku.

"Aku juga pamit ya bu dhe, cepet sehat ya Nay" sambung Dini sambil mengejar Mey yang lebih dulu meninggalkan ruangan.

Malam ini hanya ibu dan ilma yang menemaniku di Rumah sakit. Bosan rasanya, aku meminta ilma menemaniku berjalan jalan disekitaran rumah sakit.

"Pelan pelan Nay" kata ilma yang sedang membantuku duduk di kursi roda.

Ibu sudah tertidur di bangku panjang sebelah ranjang. Lelah sekali sepertinya.

*****

Suasana di luar gedung Rumah sakit sepi, hanya beberapa perawat yang lalu lalang ke beberapa ruangan.

"Hendi???!! il itu hendi kan???" Kataku dengan menunjuk pada sosok yang sedang berbaring di bangku depan ruanganku.

Ilma mendorongku mendekat. Kutatap sosok itu sebentar. Wajahnya teduh.

"Kasian, pasti dia lelah" gumamku 

"Ayo Nay,, biarin Hendi istirahat" kata ilma 

Aku meng iyakan saja. Kami duduk di taman rumah sakit. Tenang sekali, hanya lalu lalang kendaraan dijalan yang terlihat dari balik pagar.

"Apa benar il kalau Mey masih berharap pada Hendi? Dini bilang aku harus menjauhinya" aku memulai percakapan

"Iya Nay,,, tapi kan kita nggak mungkin memaksakan Hendi buat balikan sama Mey. Apa jangan jangan....." katanya terhenti, ia menatapku.

Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang belum dia lanjutkan. Aku paham apa yang akan dia katakan.

Tiba tiba ponselku berdering. Lama aku menjawabnya seperti tengah menikmati nada.

"Siapa Nay?"

"Dini il, aku jawab dulu ya" jawabku dengan tersenyum.

"Assalamu'alaikum din, ada apa?" Tanyaku

"W*'alaikum sallam Nay,,, maaf ni yaa. Bisa nggak si kamu njaga perasaan sahabat kamu sendiri? Bisa bisanya kamu cari kesempatan biar Hendi kuatir sama kamu. Sampe sampe dia nginep di sana" bentaknya dari seberang telepon

"Astaghfirulloh,,, aku nggak bermaksud ......."

"Udah lah Nay,,, kamu itu sahabat macam apa sii? Kalo kamu masih nganggep kita sahabat, jauhi Hendi. Suruh dia peduli sedikit aja sama Mey!" Kalimatku terpotong oleh ocehan Dini.

Sambungan telepon terputus. Aahh syukurlah, aku malas menjawab omongannya. Dia memintaku mengerti perasaan sahabatku, tapi mereka tak mengerti hati sahabatnya yang rela mengalah. Aahh aku bukan sahabatnya. Aku hanya seperti sahabat.

ilma menatapku iba mendorongku kembali. Mendekat pada Hendi yang entah dari kapan sudah berdiri dibelakang kami. Lalu, ia meninggalkan kami berdua.

"Itu alasan kamu? Jangan bilang kamu mau nyuruh aku balikan sama Mey. Memang salah kalau aku mencintai sahabat Mey, mantanku? Eehh bukan dia jelas bukan sahabatmu. Sahabat tidak seegois itu." 

" tapi Hen, aku mohoon" aku mengiba denang menagkupkan dua telapak tanganku d depan dada. Kutatap dalam wajahnya.

" oke...kalo itu mau kamu. Jangan kamu jangan nyesel" katanya lagi seraya meninggalkanku.

Aku memutar roda kursi yang ku duduki. Perlahan hingga sampai di ruangan tempat aku di rawat.

Kutatap ilma dan ibu tertidur dengan posisi duduk. Terlihat sangat lelah. Sepertinya malam ini aku tak tidur. Obat yang diberikan dokter pun tak memberi efek apa apa pada mataku. Atau mungkin pikiranku yang terlalu kacau?

Entah lah

Sejak saat itu Hendi tak terlihat lagi menampakkan dirinya. Sepertinya dia kesal dengan ucapanku. Begitupun dengan Mey dan Dini, mereka tak mengunjungiku. Hanya Ilma yang setia menemani ibu menjagaku.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status