Empat jam telah berlalu, tapi keheningan antara Alexa dan Arsenio seolah menebal tanpa terpecahkan. Mereka masuk ke pintu belakang mobil, duduk bersebelahan dengan jarak yang begitu dekat. Mobil melaju pelan, sementara mata Arsenio tak pernah beranjak dari sosok Alexa di sisinya — pandangan itu tajam, penuh pertanyaan dan rahasia yang belum terungkap.
‘Kenapa gadis ini bisa buta? Dia banyak bicara, tapi tak pernah membicarakan tentang penyebab kebutaannya,’ batin Arsenio tiba tiba penasaran. "Pak, antar aku ke tempat biasa, ya!” pinta Alexa kepada supirnya yang sudah tua itu. "Baik, Nona,” sahut sang supir singkat. Dahi Arsenio berkerut, hatinya penuh tanda tanya, ‘Kemana dia akan pergi? Apakah dia akan pergi memeriksa aset-asetnya? Bagus… Dengan begitu aku akan segera tau, dan aku akan segera pergi setelah mendapatkan bagianku.’ Tak lama kemudian, supirnya berhenti di depan sebuah toko mainan besar yang bersebelahan dengan toko makanan ringan. “Kita sudah sampai, Nona,” ucapnya datar. "Oke, Pak. Ini kartunya.” Alexa menyodorkan sebuah kartu hitam ke arah depan. “Baik, Nona." Supir itu mengambil kartu dari tangan Alexa, kemudian keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam pertokoan itu. Menandakan itu bukan yang pertama kalinya. Arsenio mengernyit semakin dalam, kembali dibuat penasaran dengan apa yang akan Alexa beli. “Arsen, supirku akan segera berhenti bekerja karena usianya. Kamu bersediakan menjadi supirku sekaligus?” tanya Alexa. “Ya! Itu memang tugasku,” jawab Arsenio datar. "Arsen, apakah kamu lapar?” Alexa mencoba mencairkan suasana. "Tidak.” Arsenio menjawab singkat. Namun pandangannya terlaku pada mata indah gadis itu, bayangan cahaya dari luar terpantul di bola mata beningnya. “Baiklah,” sahut Alexa dengan senyum tipis. Tak lama kemudian, pak supir dan juga seorang karyawan toko keluar dengan tumpukan mainan warna-warni di dalam keranjang dorong. Dengan gerakan hati-hati namun tegas, mereka memasukkan semua ke dalam bagasi mobil. #Blug "Nona, ini kartunya,” suara pak supir memecah kesunyian, sambil menyerahkan kembali black card milik majikan mereka. Namun, tangan Alexa terangkat ke arah yang salah, hampir membuat kartu itu terjatuh. Dalam sekejap, Arsenio cepat tanggap, meraih kartu itu dan meletakkannya langsung ke tangan Alexa dengan penuh perhatian. “Oke, ayo kita berangkat, Pak! Aku sudah tak sabar bertemu mereka,” kata Alexa dengan semangat yang menggelegak. Tanpa menunggu lama, supir itu segera menyalakan mesin, membelah jalanan yang mulai terbalut keramaian senja. Deru kendaraan bersamaan dengan lampu kota yang mulai menyala. ‘Mereka? Siapa yang ingin dia temui? Mainan, makanan? Arsen tergulung dalam pusaran pertanyaan yang tak kunjung terjawab, rasa penasarannya menggebu semakin dalam. Mereka akhirnya tiba di sebuah bangunan sederhana; bangunan tua bercat putih dengan halaman yang luas, dikelilingi oleh rumput hijau yang dipenuhi oleh warna-warni bunga yang mekar sempurna. Pemandangan itu mengingatkan Arsenio pada memori masa lalunya. "Kak Alexa... Kak Alexa...!" Seruan gembira bergema dari puluhan anak yang berlarian mendekat, menyambut kedatangan Alexa. Kilatan senyum lepas menghiasi wajah Alexa saat ia mendengar panggilan penuh kasih tersebut. Arsenio terpaku, untuk pertama kalinya menjadi saksi senyuman Alexa yang terbebas dari kepura-puraan, ia menyaksikan kebahagiaan yang tulus mencerminkan dari sudut bibirnya. "Arsen, maukah kau membantuku membawakan mainan dan makanan untuk mereka?" pinta Alexa dengan mata yang tulus, tanpa melepas senyumannya itu. "Baiklah," jawab Arsenio. Mereka berdua pun turun dari mobil, Alexa disambut pelukan hangat anak-anak yang telah menunggu. "Kak, ayo kita duduk di taman!" ajak mereka dengan riang. Dengan langkah-langkah yang penuh antusiasme, anak-anak menggiring Alexa menuju sebuah kursi taman itu. Alexa, tanpa sedikit pun menolak, membiarkan dirinya dipimpin dan duduk di kursi tersebut, tersenyum lebar, seakan setiap sentuhan tulus mereka menghapus seluruh kekhawatiran di hatinya. Arsenio, dari kejauhan, tak lepas menatap Alexa, sikapnya berubah drastis. Saat itu, di hadapan anak-anak yatim piatu, dia terlihat lugu dan polos; ceria dan bebas, selayaknya gadis muda seusianya. Seakan semua beban yang membebani bahunya sirna entah kemana.Empat jam telah berlalu, tapi keheningan antara Alexa dan Arsenio seolah menebal tanpa terpecahkan. Mereka masuk ke pintu belakang mobil, duduk bersebelahan dengan jarak yang begitu dekat. Mobil melaju pelan, sementara mata Arsenio tak pernah beranjak dari sosok Alexa di sisinya — pandangan itu tajam, penuh pertanyaan dan rahasia yang belum terungkap. ‘Kenapa gadis ini bisa buta? Dia banyak bicara, tapi tak pernah membicarakan tentang penyebab kebutaannya,’ batin Arsenio tiba tiba penasaran. "Pak, antar aku ke tempat biasa, ya!” pinta Alexa kepada supirnya yang sudah tua itu. "Baik, Nona,” sahut sang supir singkat. Dahi Arsenio berkerut, hatinya penuh tanda tanya, ‘Kemana dia akan pergi? Apakah dia akan pergi memeriksa aset-asetnya? Bagus… Dengan begitu aku akan segera tau, dan aku akan segera pergi setelah mendapatkan bagianku.’ Tak lama kemudian, supirnya berhenti di depan sebuah toko mainan besar yang bersebelahan dengan toko makanan ringan. “Kita sudah sampai,
Kring Kring Kring Tiba tiba Arsenio dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. "Tuan Thomas,” gumamnya. Ia mengintip sejenak ke ruang kerja, terlihat Alexa dengan wajah serius sedang meraba tulisan di atas kertas, kemudian menandatanganinya. Arsenio segera mengangkat panggilan itu dan pergi menjauhi ruangan Alexa. "Ya! Ada apa?” sahut Arsenio. "Arsen, kamu mencabut semua kamera di kamar Alexa, kan? " tanya Tn. Thomas terdengar marah. "Ya! Memang kenapa?" jawab Arsenio kemudian balik bertanya. "Kenapa kamu melakukan itu! Aku perintahkan kamu untuk memasangnya kembali!” bentak Tn. Thomas. "Tidak!” tegas Arsenio. "Kurang ajar! Kamu berani menentang aku. Ingat! Aku yang akan membayarmu nanti!" Tn. Thomas naik pitam. "Aku dibayar untuk menjadi bodyguardnya, dan untuk mengetahui di mana gadis buta itu menyimpan semua aset- asetnya. Selain itu aku menolak!” jawab Arsenio dengan nada tegas dan datar. "Sial!” Tn. Thomas tak bisa bicara apapun lagi. "Ak
Ini... ini..." Pelayan itu bergetar hebat. "Cepat katakan! Jika tidak, aku akan membunuhmu!" ancam Arsenio. “Anda tak bisa membunuhku, karena ini perintah dari Tuan Thomas," ucap sang pelayan. "Apa? Tuan Thomas?" Arsenio terperangah, "Lalu, apa Nyonya Audrey mengetahuinya?" sambungnya bertanya, dahinya berkerut dalam. "Tidak, Tuan Thomas menyuruhku merahasiakannya dari siapapun, termasuk Nyonya Audrey." Dengan ragu pelayan itu menjawab. "Berikan itu padaku!" Arsenio merebut obat itu dari tangan pelayan dengan kasar. Ia mencicipi sedikit dari obat serbuk itu, "Ini obat perangsang? Apa maksudnya dengan ini?" sambungnya bergumam, kedua alisnya bertaut ketat. "Tapi, Tuan. Nanti Tuan Thomas akan marah padaku," ujar pelayan itu dengan suara bergetar. "Masalah Tuan Thomas biar aku yang urus. Jangan pernah berikan obat ini pada Nona Alexa lagi! Paham?!" tegas Arsenio. "Ba-baiklah, Tuan," jawab pelayan itu ketakutan. "Sejak kapan kamu memberikan obat ini pada Nona Alexa?" tanya
"Ini adalah kamarmu, kepala pelayan akan mempersiapkan semuanya untukmu, dari mulai pakaian dan juga makanan, dan kamarku tepat ada di depan kamar ini," jelas Alexa. Mata Arsenio menelusuri setiap detail ruangan luas itu. Sejenak ia berdecak takjub melihat kamarnya yang dua kali lipat lebih mewah dari kamarnya yang berada di kediaman Tn. Albert. "Apakah kamu sudah tahu apa saja tugasmu?" tanya Alexa kemudian. "Tentu, aku sudah tahu," sahut Arsenio. "Baiklah, sekarang bersiaplah! Antar aku shopping!" seru Alexa dengan semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, memacu tongkatnya—melangkah pergi ke keluar dari ruangan itu. "Shopping? Oke! Aku ingin tahu, bagaimana gadis buta berbelanja," gumam Arsenio sambil menggelengkan kepalanya. Singkat cerita, mereka pun tiba di mall terbesar di kota itu, semangat Alexa tak terbendung. Meski kehilangan penglihatannya, setiap aroma dan suara di sekitar menghidupkan imajinasinya. Dia tahu persis arah toko langganannya, tongkat d
Keesokan harinya... "Kamu sudah siap, Arsenio. Kamu... kembali tampan sekarang. Hahaha," ucap Tn. Albert, seperti biasa, tawanya selalu mengiringi ucapannya. Pria dingin itu, mencukur rambut dengan gaya Caesar Cut, gaya rambut yang klasik dan simple, membuatnya semakin gagah, aura dingin dan sangar semakin terpancar. Ia juga menghilangkan semua bulu di wajahnya, mempertegas garis wajahnya yang maskulin. Ditambah dengan setelah jas serba hitam dan sepatu pentofel mengkilat yang menambah kesan wibawanya. "Ya" Dan seperti biasa, jawabannya sangat singkat. Wajah Tn. Albert berubah serius, suaranya serak saat berkata: "Nyonya Audrey, Tuan Thomas dan juga Nona Alexa si gadis buta putri konglomerat itu sudah menunggumu di sana, kamu sudah tahu tugasmu, kan, Arsen?" "Ya, aku mengerti," sahut Arsenio. Tanpa menunggu lama, Arsenio dengan penuh keyakinan dalam mengemban tugas yang telah diperintahkan, pergi menuju Kediaman megah milik Alexa Jennifer. 'Aku harus berhasil menyeles
Suara jeruji besi yang berderit menggema di seluruh ruangan yang lembab dan gelap, menciptakan atmosfer yang mencekam. Tiba-tiba, suara seorang sipir memecah kesunyian, "Tahanan nomor 165, keluarlah! Kamu bebas hari ini," serunya lantang. Seorang pria yang sedang duduk tertunduk perlahan mengangkat kepalanya—Arsenio Alvier, manusia berdarah dingin melekat setiap kali namanya disebut, pria tinggi dan kekar berumur 27 tahun itu berdiri tegak kemudian berjalan melangkah keluar dari balik Jeruji besi yang sudah ia diami selama 7 tahun setelah dituduh melakukan satu pembunuhan. Kedua bola matanya yang coklat berkeliling menatap suasana di luar gedung tinggi dan tertutup itu, kedua alisnya bertaut ketat saat sinar matahari menerpa kedua matanya. Rambutnya yang gondrong berantakan, serta kumis dan juga janggut tipis membuat wajah tampannya terlihat liar dan sangar. Sreeeeetttttttttttt Tiba tiba, sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan Arsenio. Kaca hitam jendela belakang mobi