Share

Tak Henti

Author: Miss Wang
last update Last Updated: 2025-12-22 15:25:51

Pagi itu Paris tetap cantik—dan justru karena itulah ketegangan terasa semakin ganjil.

Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai. Alexa terbangun lebih dulu, merasakan kehangatan yang familiar di punggungnya. Lengan Arsenio melingkar pelindung, napasnya teratur, namun ada kekakuan kecil pada tubuhnya—seperti seseorang yang tidur dengan setengah kesadaran.

Alexa menoleh perlahan, menatap wajah pria itu. Ada garis tipis di antara alis Arsenio yang tak ada kemarin. Ia mengusapnya pelan.

“Arsen,” bisiknya.

Arsenio membuka mata seketika. Terlalu cepat untuk seseorang yang benar-benar tidur.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya langsung.

Alexa tersenyum kecil. “Kamu terdengar seperti baru bangun dari mimpi buruk.”

Arsenio menarik napas, lalu menurunkan bahunya. “Mungkin aku hanya terlalu terbiasa berjaga.”

Alexa menggenggam tangannya. “Kita di Paris. Aku ingin kamu menikmati ini… bersamaku.”

Arsenio mengangguk. “Tentu saja.”

Mereka sarapan di kamar. Alexa memilih roti dan buah, Arseni
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Gelora Gadis Buta & Bodyguard Dingin   Mimpi Buruk

    Penjaga itu menatap wanita lusuh di depannya dengan ragu. Wajahnya pucat, matanya cekung, tubuhnya kurus seperti tak pernah cukup makan. Bau tanah dan debu menempel di pakaiannya. Namun tatapannya—tajam dan aneh—membuat bulu kuduk berdiri.“Maaf, Bu,” kata penjaga dengan sopan tapi tegas. “Tidak ada tamu tanpa izin. Silakan pergi.”Wanita itu menggeleng pelan. Rambutnya yang kusut menutupi sebagian wajahnya. “Anakku… dia di dalam,” bisiknya lagi, kali ini lebih lirih, nyaris seperti gumaman orang kehilangan arah.Penjaga menghela nafas, memberi isyarat pada rekannya. “Kami sudah bilang. Tidak boleh masuk.”Wanita itu melangkah maju satu langkah, tangannya terulur. “Tolong… aku hanya ingin melihatnya.”Namun penjaga segera menghalangi. Dengan hati-hati, mereka mengarahkannya menjauh dari gerbang. Wanita itu tidak melawan, tapi matanya… matanya menatap mansion itu dengan penuh luka dan kerinduan.Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi. Tatapannya tertuju pada atas balkon. Se

  • Gelora Gadis Buta & Bodyguard Dingin   Menata Ulang

    Langit sore keesokan harinya begitu cerah, seolah ikut merayakan sesuatu yang sempat tertunda terlalu lama.Mansion kembali ramai, namun bukan oleh ketegangan seperti sebelumnya—melainkan oleh suasana canggung yang hangat, penuh harap, dan sedikit gugup.Meja panjang di ruang tengah kembali ditata rapi. Bunga-bunga segar menghiasi sudut ruangan. Aroma teh hangat dan kue tradisional mengisi udara.Acara lamaran… dimulai kembali.Kali ini, tanpa paksaan. Tanpa tatapan merendahkan.Ayah dan ibu Kelvin duduk berseberangan dengan Alexa dan Arsenio. Wajah mereka jauh berbeda dari pertemuan sebelumnya—tidak ada lagi sorot arogan, tidak ada lagi sikap menghakimi. Yang tersisa hanya wajah orang tua yang menyesal dan ingin memperbaiki kesalahan.Ibu Kelvin berdiri lebih dulu. Tangannya gemetar saat ia menatap Dania yang duduk di samping Alexa.“Kami… datang untuk meminta maaf,” ucapnya lirih. “Bukan sebagai orang tua Kelvin saja, tapi sebagai manusia yang pernah menyakiti hati orang lain.”Ia m

  • Gelora Gadis Buta & Bodyguard Dingin   Takut Kehilangan

    Dania duduk sendiri di bangku taman kampus saat senja mulai turun. Langit jingga mengabur, angin mengusap rambutnya pelan, namun dadanya tetap terasa sesak. Kata-kata Kelvin masih terngiang di kepalanya—cara ia berdiri membela, cara matanya menatap seolah dunia bisa runtuh asal Dania baik-baik saja.Tapi justru itulah yang menakutkan.Ia menunduk, jemarinya saling meremas.Ia mencintai Kelvin. Itu kenyataan yang tak bisa lagi disangkal.Namun cinta baginya selalu beriringan dengan kehilangan.Ia pernah berharap, pernah percaya… lalu ditinggalkan oleh keadaan, oleh dunia yang tak pernah adil pada anak tanpa orang tua.“Kalau aku terlalu dekat… apa aku akan jatuh lagi,” bisiknya lirih.Dan ia tidak yakin bisa bangkit untuk kesekian kalinya.***Hari-hari berikutnya berlalu dengan pola yang sama.Setiap pagi, sebelum Dania memasuki gedung fakultas, Kelvin sudah ada di sana. Kadang bersandar di mobilnya, kadang berdiri sambil membawa dua gelas kopi hangat. Ia tak memaksa bicara, hanya men

  • Gelora Gadis Buta & Bodyguard Dingin   Membujuk

    Pagi datang dengan langkah yang tidak ramah bagi Dania.Langit kampus cerah, matahari menyinari gedung-gedung tinggi dan pepohonan rindang, tetapi di dada Dania, awan kelabu tak juga pergi. Ia melangkah pelan menyusuri koridor fakultas, tas selempang tergantung di bahu, wajahnya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang semalam menangis hingga matanya bengkak.Ia mencoba tampak biasa.Namun bisik-bisik itu… selalu ada.“Katanya dia tinggal di panti dulu.”“Iya, kasihan sih. Tapi kok dia bisa kuliah di sini ya?”“Anak yatim piatu, kan? Dia cocoknya di Fakultas biasa aja.”Tawa kecil terdengar. Pelan, tapi cukup tajam untuk menusuk.Dania menggenggam tali tasnya lebih erat. Ia berjalan lebih cepat, berpura-pura tak mendengar. Tapi setiap kata seolah menempel di punggungnya, berat, menyakitkan.Di kelas, ia duduk di bangku paling belakang. Tatapan-tatapan menyusup, ada yang penasaran, ada yang meremehkan, ada pula yang terang-terangan mencibir. Seorang mahasiswi di barisan depan menole

  • Gelora Gadis Buta & Bodyguard Dingin   Lamaran yang Gagal

    Keheningan yang menggantung itu akhirnya pecah oleh langkah pelan. Ibu Kelvin berdiri, wajahnya pucat, kedua tangannya saling menggenggam erat—tak lagi ada nada defensif, hanya kegelisahan yang nyata.“Kami… kami minta maaf,” ucapnya lirih. Suaranya bergetar, seolah setiap kata harus ditarik dari tenggorokan yang kering. “Kami tidak bermaksud merendahkan. Kami hanya—takut. Takut kehilangan anak kami satu-satunya. Tapi cara kami salah.”Ayah Kelvin ikut berdiri, menunduk. “Kami terlalu fokus pada kekhawatiran kami sendiri, sampai lupa bahwa perasaan orang lain bisa terluka. Maafkan kami.”Alexa menatap mereka lama. Dadanya masih sesak, amarahnya belum sepenuhnya reda, tetapi matanya melembut—bukan karena setuju, melainkan karena memilih dewasa. “Saya memaklumi ketakutan orang tua,” katanya tenang namun tegas. “Tapi ketakutan tidak memberi hak untuk melukai. Dan Dania—dia bukan ‘kekurangan’ yang perlu ditimbang-timbang.”Ibu Kelvin mengangguk cepat, air mata menggenang. “Kami mengerti.

  • Gelora Gadis Buta & Bodyguard Dingin   Yatim Piatu Bukanlah Aib

    Malam turun perlahan di mansion, menyelimuti halaman luas dengan cahaya lampu taman yang lembut. Udara terasa tenang—tenang yang rapuh, seolah kebahagiaan sedang menahan napas agar tidak pecah terlalu keras.Alexa duduk di ruang keluarga kecil dekat jendela, mengenakan cardigan tipis. Tangannya bertumpu di perut, jemarinya mengusap pelan, refleks yang kini selalu hadir setiap kali pikirannya melayang. Pintu diketuk pelan.“Masuk,” ucapnya lembut.Dania muncul di ambang pintu. Gadis itu berdiri kikuk, kedua tangannya saling menggenggam, mata menunduk lalu menatap lagi—ragu, gugup, dan jelas menyimpan sesuatu. Alexa tersenyum, menggeserkan duduknya.“Kenapa berdiri di situ? Duduklah.”Dania melangkah mendekat, duduk di tepi sofa dengan punggung tegak namun bahu tegang. Beberapa detik berlalu tanpa suara. Lalu Dania menarik napas dalam-dalam.“Alexa,” katanya pelan, nyaris berbisik. “Aku… aku mau bilang sesuatu.”Alexa menoleh, senyumnya hangat. “Katakan.”Wajah Dania memerah. Ia menundu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status