Share

Partner Ranjang

Author: Suharni
last update Last Updated: 2023-12-08 21:32:05

Melihat Maria yang tak pandai memotong stik, terpaksa Mark memberi potongan miliknya.  "Ambillah, kau hanya akan menghambat tidurku," cetus pria itu.

"Terimakasih." Mark memang pria arogan sekaligus misterius. Namun, dibalik sifatnya itu rupanya masih tersimpan rasa simpatik.

Dua anak manusia beda generasi itu makan dalam diam. Hanya suara deru hujan yang menemani mereka. Maria masih belum terbiasa dengan jenis makanan yang tersaji. Rasanya memang sungguh nikmat, tetapi tidak mengenyangkan.

Dahulu kedua orang tuanya menyiapkan roti serta daging ayam sebagai menu makan malam mereka. Keluarga kecil nan sederhana itu menghabiskan makanan sesuka hati. Berbeda dengan Mark yang makan dalam porsi sedikit.

Seperti kebanyakan orang kaya, usai makan malam mereka langsung menikmati wisky sebagai hidangan penutup. Tak lupa pula buah-buahan melengkapi.

Mark menekan tombol di sebelah kiri meja. Lima menit kemudian datanglah seorang pelayan dengan sepiring stik dan juga kentang goreng. Tak lupa pula roti keju mozarela turut serta.

Semua menu itu disajikan untuk Maria. Seolah tahu, bahwa gadis itu masih lapar. "Ini untukku?" tanyanya.

"Jika kau lihat makanan itu tersaji di depanku, maka itu untukku," sahut Mark ketus. Sehingga membuat Maria berdecak kesal. Namun, dalam hati ia berterimakasih. Setidaknya malam itu ia bisa makan sesuka hati.

Mark mengambil alih stik Maria untuk dipotongnya. Lantas memberi kembali pada gadis tersebut. "Makanlah," titahnya.

"Terimakasih." Mereka pun kembali makan dengan khidmat. Seolah melupakan perjanjian di antara mereka. Sepertinya rasa lapar sukses menyita perhatian dua anak manusia itu.

"Nikmatilah makananmu, aku mau mandi," ucap Mark setelah menghabiskan makannya. Alhasil membuat Maria seketika turut berhenti. Pikirannya mulai berkelana. Membayangkan apa yang hendak dilakukan Mark menjelang tidur.

"Apakah makanan ini hanya sebagai umpan? Sial! Bukankah seekor kambing sebelum disembeli harus diberi makan terlebih dahulu? Apakah aku juga demikian?" pikir Maria semakin menjadi-jadi.

Merasa resah, akhirnya gadis itu menyudahi makan malamnya. Menyisakan setengah daging. Padahal beberapa saat lalu wanita itu masih merasa lapar yang luar biasa.

"Aku harus bagaimana sekarang? Apakah aku harus menyiapkan diri juga?" Maria kian gelisah mengingat kesepakatan antara dirinya dan Mark. Dalam hati perempuan berdarah manis tersebut berharap dapat memutar waktu agar kembali seperti dulu lagi.

Hampir setengah jam Maria berkelana dalam dunia khayal. Sampai akhirnya Mark keluar dari kamar mandi dengan wajah segar lagi wangi. Alhasil Maria terkesima oleh penampilan pria tampan tersebut.

Mark memang merupakan lelaki gagah nan menawan. Banyak wanita yang menginginkannya. Namun, Maria masih tahu diri, bahwa ia bukan berasal dari dunia pria tersebut. Di sisi lain, usia di antara mereka cukup jauh, yakni tujuh belas tahun.

Mengingat itu, kesadaran Maria mulai kembali. Ia berdecak menelan salivanya. "Apa kau tiba-tiba sakit gigi? Mengapa belum menghabiskan makananmu? Bukankah setelah ini tugasmu berikutnya adalah menemaniku tidur?" Mark sungguh pandai membuka topik yang sukses membuat Maria senam jantung.

Lidahnya benar-benar lincah. "Tidur bersama? Pria ini pasti sudah gila!" gumam Maria.

"Cepat habiskan makanmu. Lalu mandilah. Aku tidak suka wanita berbau daging sapi!" Lihatlah betapa tajamnya ujung lidah Mark. Hingga Maria berdecak kesal alih-alih kagum padanya.

Gadis malang itu tidak menyahut. Ia menyudahi makan malam itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa canggung sekaligus takut.

"Mandi saja di sini, aku sudah menyiapkanmu pakaian." Lagi-lagi Maria dibuat tercengang tak percaya. Bagaimana bisa Mark menyiapkan segalanya dengan begitu sempurnah?

Maria datang ke rumah itu dengan tangan kosong. Hanya pakaian di badan yang menjadi satu-satunya milik perempuan tersebut.

"Tidak! Aku mau mandi di kamarku. Bukankah Anda telah menyiapkan segalanya di sana untukku?" sahut wanita itu dengan gemetar.

Lagi-lagi ia meremas jemarinya. Ada peluh di sudut kening mulai bercucuran. Padahal cuacanya sedang dingin akibat dari derasnya hujan.

Belum sempat Mark menyahut, Maria meninggalkan kamar itu terlebih dahulu. "Huft. Pria itu benar-benar membuatku takut." Setibanya di kamar, Maria mengembuskan napas lega, walau setelah ini ia harus melayani Mark.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Benarkah kesucian yang selama ini ku pertahankan dengan susah payah akan berakhir begitu saja di tangan pria yang bukan suamiku? Ya Tuhan, sebenarnya takdir apa yang sedang Kau mainkan? Mengapa peran-MU masih belum aku rasakan? Aku benar-benar takut, Tuhan." Maria mulai emosional. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah ruah.

Lantas ingatan wanita itu berkelana pada kedua orang tuanya di desa. Entah apa yang sedang mereka lakukan sekarang.

"Maafkan aku, Ma. Mama pasti kecewa padaku begitu tahu pekerjaan ini. kalian pasti tak akan pernah memaafkan diriku. Namun, percayalah, bahwa aku tak punya pilihan lain," lirih Maria masih menitihkan air mata.

"Mengapa kau masih belum siap? Apa kau sedang memikirkan rencana untuk melarikan diri?" Tiba-tiba Mark masuk ke dalam kamar Maria. Padahal suara pintu pun tidak terdengar sama sekali.

"Tuan Mark?" gumam wanita itu.

"Ya, ini aku," sahutnya dengan tatapan menakutkan.

Maria menelan salivanya dengan susah payah. Betapa tidak, saat ini Mark tengah mengenakan jubah mandi yang sama. Dengan rambut setengah basah, pria itu terlihat sungguh mempesona. Namun, bukan itu intinya. Melainkan rasa tidak nyaman yang dimiliki oleh darah cantik tersebut.

Mark mulai melangkah pelan mendekati Maria. Sedangkan gadis itu mundur secara perlahan.  Sialnya, tubuhnya tak mampu menembus kuatnya ranjang. Alhasil ia pun terjatuh di atas tempat tidur tersebut.

Posisi Mark semakin mendekat. Bibirnya diarahkan ke kuping Maria, hingga membuat gadis malang itu kian ketakutan.

ia pun menutup mata, tak berani menatap netra tajam Mark. "Aku tidak suka menunggu," bisik Mark akhirnya.

Maria terkesiap membuka mata. Dilihatnya wajah Mark yang sungguh dekat. Sialnya, wajah lelaki itu benar-benar tampan dan karismatik. Tak ada pori-pori sama sekali. Sebagai seorang pria, ia terlalu sempurnah fisiknya.

"Bersihkan tubuhmu. Kau benar-benar bau daging sapi!" Mark menarik diri sembari mencela aroma tubuh gadisnya.

"Tunggu apa lagi? Apa kau ingin ku bantu membersihkan diri?" imbuh lelaki itu.

"Tidak!"

"Kalau begitu jangan membuatku menunggu!" tukas Mark mulai kesal.

Sontak Maria masuk ke dalam kamar mandi. Lantas memegang dadanya yang berdegup kencang. "Pria itu benar-benar menakutkan," gumamnya.

Sementara itu, Mark kembali ke dalam kamarnya menanti Maria di sana. "Baiklah, aku paham. Kau kirim data itu lewat email. Aku akan memeriksanya di sana." Setibanya di kamar, Mark menerima panggilan telpon dari seseorang terkait bisnis yang ia geluti.

Mark merupakan pendiri perusahaan telekomunikasi, jual beli saham, dan juga perhotelan. Bisnisnya mulai menggurita saat ia berusia dua puluh tiga tahun. Sudah lebih dari satu dekade ia menggeluti bisnisnya.

Tujuh tahun lalu ia mendirikan rumah sakit yang diberi nama 'Cleopatra Hospital.' Dan masih banyak lagi cabang usaha yang ia geluti. Maka tak heran bila ia melahirkan pundi-pundi uang yang tak sedikit setiap hari. Sehingga menjadikannya sebagai orang terkaya di kota tempatnya bermukim.

Bukan hal mustahil pula bila ia sanggup menebus Maria dengan angka dua belas digit.

"Tuan." Maria.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Dua Belas Digit   Akhir Dari Segalanya (Tamat)

    Hari yang ku nantikan akhirnya datang juga. "Selamat siang, Tuan Mark. Apa benar kau yang memanggilku?" Akhirnya wanita licik itu masuk dalam perangkapku. Dia datang seorang diri. "Silahkan duduk, Nona Monika. Aku memang ingin bertemu denganmu." Ya, wanita itu adalah Monika. Wanita yang selama tiga bulan terakhir ku curigai kehadirannya. Setiap kali melangkah, wanita itu pasti ada dimana-mana. Bukankah ini sesuatu yang mencurigakan? Bahkan pertemuan kami pun seolah direncanakan dengan matang. "Ada apa, Tuan Mark? Apa kau merindukanku?" Kali ini Monika tak segan menunjukkan jati dirinya. Dia membelai pundak serta dahiku. Seakan hendak menggoda. Faktanya adalah aku tidak tertarik sama sekali. "Tentu saja aku merindukanmu. Kalau tidak, untuk apa aku capek-capek memintamu datang?" Aku sungguh muak terhadap diriku sendiri. Menyentuh paha wanita selain Maria, membuatku jijik dan ingin muntah. "Benarkah? Kalau begitu tunggu apa lagi? Silahkan jamah aku." Aku sudah duga, Monika past

  • Gadis Dua Belas Digit   Dan Ternyata

    Tiga bulan sudah istriku menjalani tahap pemulihan. Dan hari ini akhirnya kami diizinkan kembali ke rumah.Senang rasanya bisa melangkah bersama seperti ini. Menghirup udara serta aroma khas rumah yang telah lama dirindukan.Sewaktu berada di rumah sakit, Maria kerap menanyakan rumah ini. Maklum saja, dua tahun koma tentu membuatnya melupakan banyak hal. Selalu yang diingat hanyalah peristiwa enam tahun silam.Tapi tidak masalah, yang terpenting adalah dia telah kembali padaku. Sisanya biar takdir yang urus.Aku tidak ingin hal lain mengusik ketenangan kami. Sudah cukup aku melihat air mata di pipi Maria. Sekarang waktunya dia bahagia."Sayang, berapa lama aku koma? Mengapa semuanya tampak sama? Bukankah kau bilang, bahwa aku koma selama dua tahun? Tapi kau dan aku masih terlihat sama."Entah apa maksud dari pertanyaan ini. Maria duduk di depan cermin rias miliknya. Sedangkan aku meletakkan tas milik istriku itu."Apa menurutmu ada yang berbeda dari rumah ini? Atau cermin itu yang ber

  • Gadis Dua Belas Digit   Wanita Itu Datang Lagi

    Aku masih menunggu hasil pemeriksaan Maria. Tiba-tiba sosok wanita asing datang menghampiriku."Tuan Mark? Ah, benar itu Anda. Tadinya aku ragu untuk menyapa, takut salah orang. Tapi rupanya benar-benar Anda," ucap wanita yang nyaris membuatku lupa siapa dia."Ah ya, Nona...""Monika."Bahkan aku melupakan namanya saking tidak pentingnya dia. Entah wanita ini datang dari sudut mana, tiba-tiba berdiri di depanku dengan senyuman yang menurutku mencari perhatian."Ah, benar. Monika," gumamku acuh.Tuhan, Kau bisa tahu betapa aku tidak menyukai interaksi ini. Aku sungguh canggung dan merasa aneh."Mark, dia..."Leo menghampiri kami dengan tatapan penuh tanyanya."Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang tak sengaja bertemu. Aku nyaris menabraknya sewaktu menjemput Leo tadi siang. Entah mengapa kami selalu bertemu dimana-mana," jelasku bernada sedikit kesal.Entah mengapa, semenjak Maria siuman. Aku lebih sensitif terhadap wanita lain... Maksduku adalah aku tidak suka ada perempuan lain di

  • Gadis Dua Belas Digit   Jangan Menikah Lagi

    Mark Pov.Setelah sekian lama menyaksikan istriku terbaring koma tak berdaya di rumah sakit yang ku bangun sendiri, kini akhirnya ia kembali pulih.Mungkin Tuhan telah bosan mendengar doa serta keluhanku. Atau mungkin Maria sakit hati setelah aku mengancamnya menikah lagi.Sungguh, aku tersenyum gemas ketika mengingat hari itu. Andai bukan di rumah sakit. Andai kondisinya telah membaik seperti dulu. Maka aku akan menciumnya secara bertubi-tubi. Lalu mengajaknya bercinta sepanjang hari.Maria, istriku itu sangat suka menggoda ketika usianya beranjak lebih dewasa. Bukan tanpa usaha, dia semakin bijaksana dan berwibawa.Sampai detik ini, aku masih belum percaya, bahwa Tuhan akhirnya mengabulkan segala hajat yang ku panjatkan.Pun Joe, Putra kami satu-satunya. Anak itu tak pernah berhenti mendoakan Ibunya yang sekarat. Walau sempat kecewa serta nyaris putus asa karena Maria tak kunjung sadar juga. Akan tetapi, Joe berhasil melalui itu semua.Harus aku akui, Anak itu sungguh luar biasa ber

  • Gadis Dua Belas Digit   Habis Gelap, Terbitlah Terang

    Hari itu Mark dan Joe tengah merayakan ulang tahun Maria yang ketiga puluh satu. Walau wanita itu masih setia dengan tidur panjangnya.Selang infus dan oksigen menjadi saksi bisu mereka merayakan hari kelahiran Ibu satu Anak tersebut. Seolah hendak mengatakan kepada dunia, bahwa meski dalam situasi dan kondisi apapun, mereka tetap setia menanti kehadiran Maria di tengah-tengahnya.Walau entah kapan waktu itu akan segera datang. Yang pasti baik Mark maupun Joe, keduanya kompak tidak ingin putus asa."Happy birthday to you... Happy birthday too you... Happy birthday to you... Happy birthday... Happy birthday to you..."Mark dan Joe menyanyikan lagu selamat ulang tahun kepada Maria."Maaf, aku terlambat... Belum dimulaikan acara tiup lilinnya? Maaf, tadi aku mampir di butik teman untuk membeli gaun ini sebagai hadiah. Nanti kalau Mommy dari cucuku yang tampan ini sembuh, bisa langsung dikenakan."Sementara Mely datang terlambat, karena masih harus mencari hadiah ulang tahun untuk menantu

  • Gadis Dua Belas Digit   Munculnya Wanita Lain

    Entah dengan jurus doa apa lagi harus Mark dan Joe panjatkan kepada Tuhan agar Maria segera sadar dari komanya.Telah berbagai macam cara dilakukan. Akan tetapi, hasilnya masih tetap sama. Sampai akhirnya memasuki tahun kedua."Mark, apa kau tidak berencana untuk menikah lagi? Maaf sebelumnya, bukan aku tidak menghormati istrimu. Akan tetapi, bila melihat situasi dan kondisinya saat ini. Sangat sulit untuk selamat. Sebaiknya kau mengambil keputusan cepat. Apa kau tidak memikirkan Putramu? Dia juga menginginkan sosok Ibu," ucap Wilyam."Terimakasih atas nasehatmu, Bro. Aku tahu kau peduli padaku, tapi maaf. Aku tidak bisa. Berbicara mengenai Putraku, tentu saja aku memikirkan masa depannya. Namun, bukankah sangat egois bila aku meminta restunya untuk menikah lagi demi memberi Ibu baru? Sementara Ibu kandungnya masih terbaring tak berdaya di rumah sakit... Maaf, aku tidak bisa," jawab Mark, menolak tegas usulan Wilyam."Baiklah, aku tidak keberatan. Aku hanya ingin menyampaikan gagasank

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status