LOGIN"Kamar dua kosong satu. Dia adalah milikmu. Selamat menikmati." Richard tersenyum senang saat mendapat uang hasil dari menjual wanita. Sedangkan Maria, gadis yang baru saja ia tipu menangis sesegukan di dalam kamar. Dua hari bergelut dengan ketakutan, membuat gadis malang tersebut berusaha untuk melarikan diri. Tanpa ia sadari, dua hari itu pula ada seorang pria tengah mengawasi dirinya. Tidur di sisi gadis tersebut tanpa ada yang tahu. Adalah Mark, Si pria dingin dengan sejuta pesona yang dimiliki. Sayangnya pesona itu tak mampu mendukung kisah asmaranya. Sang mantan kekasih tega meninggalkan ia di hari pertunangan. Sehingga menyebabkan pria tersebut menderita insomnia berkepanjangan. Akankah Maria berhasil menyembuhkan luka hati sekaligus penyakit Mark? Dan bagaimana reaksi Mark ketika Sang mantan datang secara tiba-tiba untuk memintanya kembali?
View More[April 2007]
"Hei, hei. Kamu nggak papa?"
Pertanyaan itu terus terdengar samar-samar di telinga Grace. Namun matanya terlalu berat untuk terbuka, kepalanya terlalu pusing untuk sadar. "Tolong, selamatkan Bunda," ucapnya lirih.
Sore itu hujan deras. Langit tampak amat kelabu. Mobil-mobil yang tidak berani melaju dengan kencang dan memadati jalanan satu arah itu, kini menjadi tidak bergerak sama sekali akibat kecelakaan yang melibatkan tiga pengendara sepeda motor. Sementara Grace dan ibunya tergeletak, seorang anak laki-laki penyebab kejadian naas ini melarikan diri.
Pernah ada di posisi yang sama, Evan tidak mempedulikan baju mahalnya basah dan kotor. Ia hanya ingin menolong para korban. Jika dulu ia ditolong oleh seorang asing dan bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup, ia pun ingin meneruskan kebaikan itu pada orang lain yang sedang membutuhkannya.
"Tolong! Panggil ambulans!" Evan berteriak pada siapapun orang yang ada di sekelilingnya. Ia melepaskan tasnya dan menjadikannya bantalan untuk kepala gadis yang tak berdaya itu. "Kamu tunggu di sini ya."
Setelah itu ia meninggalkan Grace dan menuju pada wanita paruh baya di tepi jalan. Penampakannya tidak baik. Ada darah yang mengalir dari bagian belakang kepalanya. Evan merasa bahwa wanita ini membutuhkan pertolongan secepat mungkin.
"Dokter! Ada dokter di sini? Kalau ada, tolong kemari! Wanita ini butuh pertolongan cepat," seru Evan beberapa kali.
Entah bagaimana pesan tersebut berjalan dari titik kejadian sampai ke suatu lokasi yang agak jauh. Seorang wanita tiga puluh tahunan berlari-lari mendekat.
"Separah apa?" tanya wanita itu begitu berjongkok di dekat Evan. Ia langsung menangkap situasi buruk yang terjadi.
"Nggak tahu. Yang pasti darahnya cukup banyak," beritahu Evan yang buta mengenai hal medis. "Apa yang harus aku bantu?"
Wanita itu melihat ke sekelilingnya lalu pada Evan. "Tolong cari kain apapun yang tidak basah, kalau ada alkohol, dan juga payung," katanya.
Dengan sigap Evan berdiri dari tempatnya. Tidak peduli sesulit apa untuk mendapatkannya, ia mulai berteriak di sekitaran mobil-mobil di sana. Ia berlarian ke sana kemari, melewati orang-orang yang tidak cukup peduli untuk membantu.
Payung dan kaos bersih dengan mudah didapatkannya, tetapi tidak dengan alkohol. Mengerti bahwa dua benda di tangannya sangat diperlukan, Evan berlari kembali ke lokasi kejadian. Ia memberikan kaos bersih itu sementara memayungi dokter muda dan wanita tersebut.
Beruntung seseorang datang menawarkan diri untuk membantu. Evan langsung memintanya untuk memegangi payung. Ia tahu gadis yang masih tergeletak di dekat motornya tidak bisa dibiarkan sendirian juga.
Dengan terburu-buru Evan membopong tubuh Grace ke bawah naungan pohon. Dibiarkannya gadis itu berbaring dalam dekapannya. Kemudian ia mengambil jaket dari dalam tasnya untuk digunakan memayungi sang gadis tak berdaya itu.
"Ya Tuhan, selamatkan mereka." Evan menyampaikan permohonan doanya dengan suara yang samar-samar terdengar.
Meskipun hampir tidak sadarkan diri, rupanya perkataan lelaki itu mampu menggoreskan senyuman di wajah Grace.
[Desember 2011]
Dua plastik besar berisi sate bakso pedas dan cilok ada di tangan Grace. Ia membawanya dengan sedikit terburu-buru karena hendak melihat kembang api dari atap rumahnya. Tradisi tutup tahun ini sudah dilakukannya selama hampir tiga tahun terakhir bersama dengan sahabatnya.
"Evan! Bantuin!"
Yang dipanggil langsung menoleh dan datang mendekat. "Kebiasaan ya. Beli kebanyakan kamu," ucapnya. Ia menengok isi dari plastik-plastik tersebut.
"Yah kan biasanya kita di sini sampai subuh. Jadi perlu banyak amunisi," sahut Grace riang, terlebih ketika kembang api besar yang pertama sudah diletuskan. "Ah, udah mulai!" Bukannya memberikan salah satu dari plastik itu, ia justru memberikan semuanya kemudian berlari ke tepi atap.
Evan menggeleng-geleng heran akan kelakuan gadis itu. Ia meletakkan dua jenis makanan favorit mereka berdua ke atas meja yang ada di sana. Kemudian ia berdiri menyebelahi Grace.
Seruan Grace yang seperti anak kecil itu tidak berhenti untuk beberapa waktu lamanya. Ia memang paling suka berteriak sekencang mungkin di saat suara kembang api meledak begitu keras. Seolah-olah ia ingin adu suara.
Tentu saja kesempatan seperti ini tidak pernah Evan lewatkan. Ia merekam tingkah lucu sahabatnya itu dengan handycam-nya. Entah mengapa ia menikmati pemandangan ini tanpa bosan. Lebih tepatnya, tidak pernah bosan.
Grace menoleh, mendapati apa yang sedang Evan lakukan. Ia tersenyum lalu tertawa, berpose ala model tak berpengalaman. "Sini, sini. Gantian aku yang rekam kamu," katanya lalu mengambil perekam video itu dari sahabatnya.
Namun Evan mengarahkan benda itu hingga bukan hanya dirinya melainkan juga Grace yang tertangkap dalam bingkai monitor. "Jadi, nona Grace Melody, tolong jawab pertanyaan saya," katanya.
Terkekeh-kekeh, Grace menjawab, "Baiklah. Silakan."
"Apakah Anda siap menyambut tahun 2012?" Tangan Evan mengepal seolah membawa mikrofon yang disodorkan pada narasumbernya.
Dengan anggukan penuh kepastian Grace menyahut, "Tentu saja. Apapun yang akan terjadi, saya siap menghadapinya! Apa lagi di sisi saya ada sahabat seperti Anda, Bapak Evan William."
Perkataan itu membuat Evan menghela napas sebelum menimpali perkataan Grace. "Tapi kalau saya tidak ada, tetaplah semangat menjalani hidup, nona Grace!" serunya diiringi ledakan keras kembang api terbesar malam itu.
Demi mendengar hal itu, air muka Grace berubah. Tangannya yang memegang handycam langsung turun tanpa dimatikan. Ia berpaling pada Evan dengan tatapan serius. "Apa itu maksudnya? Kenapa kamu bilang gitu?" tanyanya.
Evan pun perlahan menoleh pada sahabatnya. "Aku ... harus pergi ke Inggris, Grace," beritahunya lemas.
"Kapan?"
"Lusa."
Grace terperanjat tidak percaya. "Kenapa kamu baru bilang, Van?" serunya kecewa. "Dan bukannya kamu pernah bilang kalau kamu mutusin untuk tetap di Bali? Kuliah dan kejar karir kita di sini sama-sama?"
Evan mengangguk. "Ya. Memang. Itu yang aku mau. Tapi ... kondisinya sulit, Grace. Aku harus pergi. Papaku sakit dan aku harus hidup di sana selama papa jalani pengobatan," katanya.
Kekecewaan, kesedihan, kemarahan bercampur menjadi satu di dalam dada Grace. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Namun ia tidak bisa melarang kepergian sahabatnya itu. Ini masalah yang berat. Jika ada di posisi Evan, ia pasti tidak punya pilihan lain juga. Sedekat apapun mereka sebagai sahabat, anggota keluarga tentunya jauh lebih penting.
"Tapi tolong janji, Van. Jangan pernah putus komunikasi dari aku ya," pinta Grace yang mulai terisak. Kedua tangannya menggenggam lengan kaos Evan yang kanan dan kiri. Kepalanya juga bersandar pada dada lelaki itu.
Dengan hati yang hancur, Evan pun menarik Grace ke dalam pelukannya. Ia juga tidak ingin meninggalkan sahabatnya, tetapi takdir berkata lain. "Aku janji, Grace. Aku janji."
Di malam tahun baru itu, kebanyakan orang bergembira menyambut lembaran baru. Tetapi Grace dan Evan justru tenggelam dalam kesedihan. Keduanya seperti ikatan rantai kuat yang dengan paksa dipisahkan. Masing-masing diam-diam berharap bahwa perpisahan tidak perlu terjadi.
Hanya saja itu tidak mungkin.
[Juni 2018]
"Udah waktunya move on, Grace. Berapa tahun ini?"
Grace melirik sekilas pada Nita, teman sekantornya yang paling dekat, saat membereskan kertas-kertas yang ada di mejanya. "Jangan mulai deh," sahutnya singkat.
"Ya habisnya lo tuh nungguin cowok yang nge-ghosting lo bertahun-tahun. Kita ketemu sejak empat tahun lalu kan, dia udah menghilang. Padahal lo cerita kalau setahun kalian pisah, kalian udah nggak komunikasi. Artinya dia emang udah punya kehidupannya di sana, dan mau ngelupain lo. Jadi lo jangan berharap dia balik lah." Panjang lebar Nita mengutarakan pendapatnya, merasa gemas melihat temannya melakukan hal yang tidak masuk akal.
"Kerjaan udah selesai belum? Jangan ngurusin hidup orang deh," tukas Grace, tidak mau membahas tentang topik tersebut.
Nita mendesah kesal. "Lo udah gue anggep kaya saudara sendiri, Grace. Jadi maaf nih kalau gue rese. Tapi ini untuk kebaikan lo juga kali," ujarnya. "Daripada lo berkutat sama tuh cowok, siapa? Evan? Nah, mending sama Mario aja lah. Lo berdua tuh udah deket. Dia juga care sama lo. Tinggal say yes aja sama dia. Hidup bahagia sana. Lo berhak bahagia."
Meja kerja Grace kini tampak rapi. Ia bersiap untuk meninggalkan kantor, mengingat jam kerja hampir selesai. Adalah kebiasaannya untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu agar ia tidak terlambat pulang.
"Kurang apa Mario? Posisi dia di sini udah manajer loh, Grace. Hidup lo sama dia tuh udah pasti mapan. Kalau gue belum nikah, gue pasti sabet kesempatan yang lo sia-siain ini." Nita masih terus berbicara, berusaha menggoyahkan pendirian kuat kawannya.
Grace memutar kursinya menghadap pada wanita berambut pendek itu. "Udah khotbahnya?" sahutnya sedikit sarkastik. Telinganya sudah gatal mendengarkan perkataan itu.
Merasa diabaikan tapi tidak tersinggung, Nita pun menyentuh lengan Grace dan berkata, "Gue akan berusaha lakuin yang terbaik untuk bikin lo bahagia untuk balas kebaikan besar lo dalam hidup gue, Grace."
"Terusin kebaikan itu ke orang lain aja. Aku nggak bantu kamu untuk minta balasan kok." Grace tersenyum, menolak halus bantuan Nita untuk mendekatkannya dengan Mario. "Dan tolong catat ini. Aku nggak suka orang kaya."
Kali ini Nita dibuat tidak berkutik. Perkataan Grace terdengar serius. Kedekatannya dengan gadis itu membuatnya tahu kapan harus berhenti bicara.
Alarm HP Grace menyala dalam mode getar, memberitahunya bahwa jam kantor telah selesai. Grace bangkit dari kursinya dan berpamitan pada Nita. Ia berjalan menuju ke lift, meninggalkan area kerjanya.
Matahari masih bersinar, rona keemasan menghiasi langit barat. Begitu berjalan keluar melewati lobi gedung hotel kenamaan di Bali ini, Grace menerima sorotan cahaya bak selebriti di atas panggung. Belum lagi ditambah angin sepoi-sepoi yang menerbangkan rambut coklatnya yang panjang ke samping. Jika saja ada fotografer handal di sekitarnya, sudah pasti posenya akan sempurna tertangkap oleh kamera.
Namun realita kehidupan tidak seindah fantasi. Karena terbutakan oleh sinar matahari, kaki Grace melangkah terlalu lebar dan mendarat di dua anak tangga berikutnya sekaligus. Tidak awas akan situasi ini, tubuhnya oleng ketika.
"Ah!" seru Grace, pasrah jika pada akhirnya akan mencium jalanan.
Hanya saja keberuntungan sedang berpihak pada Grace. Sepasang lengan yang kuat menangkapnya ke dalam dekapan hangat, menyelamatkannya dari rasa sakit dan malu yang mungkin menimpa.
Akibat sinar matahari, wajah pria yang menolongnya samar-samar terlihat. Namun ia bertanya, "Nona baik-baik saja?"
Masih tidak sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi, Grace pun mengangguk.
Pria itu menegakkan kembali posisi tubuh sang gadis ceroboh. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia berbalik pergi.
"Terima kasih!" seru Grace ketika sadar bahwa ia belum mengatakannya.
Tetap berjalan ke depan, tangan sang pria terangkat setengah tiang, menunjukkan jempolnya pada Grace.
"Apa itu tadi? Aneh-aneh aja. Kaya di drakor. Mimpi kali aku." Grace berkata-kata pada dirinya sendiri sambil menggeleng-geleng. "Udah lah. Lupain. Bunda udah nunggu di rumah."
[SK]
Hari yang ku nantikan akhirnya datang juga. "Selamat siang, Tuan Mark. Apa benar kau yang memanggilku?" Akhirnya wanita licik itu masuk dalam perangkapku. Dia datang seorang diri. "Silahkan duduk, Nona Monika. Aku memang ingin bertemu denganmu." Ya, wanita itu adalah Monika. Wanita yang selama tiga bulan terakhir ku curigai kehadirannya. Setiap kali melangkah, wanita itu pasti ada dimana-mana. Bukankah ini sesuatu yang mencurigakan? Bahkan pertemuan kami pun seolah direncanakan dengan matang. "Ada apa, Tuan Mark? Apa kau merindukanku?" Kali ini Monika tak segan menunjukkan jati dirinya. Dia membelai pundak serta dahiku. Seakan hendak menggoda. Faktanya adalah aku tidak tertarik sama sekali. "Tentu saja aku merindukanmu. Kalau tidak, untuk apa aku capek-capek memintamu datang?" Aku sungguh muak terhadap diriku sendiri. Menyentuh paha wanita selain Maria, membuatku jijik dan ingin muntah. "Benarkah? Kalau begitu tunggu apa lagi? Silahkan jamah aku." Aku sudah duga, Monika past
Tiga bulan sudah istriku menjalani tahap pemulihan. Dan hari ini akhirnya kami diizinkan kembali ke rumah.Senang rasanya bisa melangkah bersama seperti ini. Menghirup udara serta aroma khas rumah yang telah lama dirindukan.Sewaktu berada di rumah sakit, Maria kerap menanyakan rumah ini. Maklum saja, dua tahun koma tentu membuatnya melupakan banyak hal. Selalu yang diingat hanyalah peristiwa enam tahun silam.Tapi tidak masalah, yang terpenting adalah dia telah kembali padaku. Sisanya biar takdir yang urus.Aku tidak ingin hal lain mengusik ketenangan kami. Sudah cukup aku melihat air mata di pipi Maria. Sekarang waktunya dia bahagia."Sayang, berapa lama aku koma? Mengapa semuanya tampak sama? Bukankah kau bilang, bahwa aku koma selama dua tahun? Tapi kau dan aku masih terlihat sama."Entah apa maksud dari pertanyaan ini. Maria duduk di depan cermin rias miliknya. Sedangkan aku meletakkan tas milik istriku itu."Apa menurutmu ada yang berbeda dari rumah ini? Atau cermin itu yang ber
Aku masih menunggu hasil pemeriksaan Maria. Tiba-tiba sosok wanita asing datang menghampiriku."Tuan Mark? Ah, benar itu Anda. Tadinya aku ragu untuk menyapa, takut salah orang. Tapi rupanya benar-benar Anda," ucap wanita yang nyaris membuatku lupa siapa dia."Ah ya, Nona...""Monika."Bahkan aku melupakan namanya saking tidak pentingnya dia. Entah wanita ini datang dari sudut mana, tiba-tiba berdiri di depanku dengan senyuman yang menurutku mencari perhatian."Ah, benar. Monika," gumamku acuh.Tuhan, Kau bisa tahu betapa aku tidak menyukai interaksi ini. Aku sungguh canggung dan merasa aneh."Mark, dia..."Leo menghampiri kami dengan tatapan penuh tanyanya."Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang tak sengaja bertemu. Aku nyaris menabraknya sewaktu menjemput Leo tadi siang. Entah mengapa kami selalu bertemu dimana-mana," jelasku bernada sedikit kesal.Entah mengapa, semenjak Maria siuman. Aku lebih sensitif terhadap wanita lain... Maksduku adalah aku tidak suka ada perempuan lain di
Mark Pov.Setelah sekian lama menyaksikan istriku terbaring koma tak berdaya di rumah sakit yang ku bangun sendiri, kini akhirnya ia kembali pulih.Mungkin Tuhan telah bosan mendengar doa serta keluhanku. Atau mungkin Maria sakit hati setelah aku mengancamnya menikah lagi.Sungguh, aku tersenyum gemas ketika mengingat hari itu. Andai bukan di rumah sakit. Andai kondisinya telah membaik seperti dulu. Maka aku akan menciumnya secara bertubi-tubi. Lalu mengajaknya bercinta sepanjang hari.Maria, istriku itu sangat suka menggoda ketika usianya beranjak lebih dewasa. Bukan tanpa usaha, dia semakin bijaksana dan berwibawa.Sampai detik ini, aku masih belum percaya, bahwa Tuhan akhirnya mengabulkan segala hajat yang ku panjatkan.Pun Joe, Putra kami satu-satunya. Anak itu tak pernah berhenti mendoakan Ibunya yang sekarat. Walau sempat kecewa serta nyaris putus asa karena Maria tak kunjung sadar juga. Akan tetapi, Joe berhasil melalui itu semua.Harus aku akui, Anak itu sungguh luar biasa ber












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.