Share

Bab 6. Si 'Tuan Besar'?

Tanisha terbangun karena suhu air conditioner yang terasa menembus permukaan kulitnya. Kenapa dingin sekali? Perasaan suhu AC di kamarnya tidak pernah sedingin ini. Kelopak mata wanita itu terbuka secara perlahan. Rasanya berat sekali. Apakah dia tidur seharian? Tapi tidak mungkin. Dia masih ingat kalau tadi malam dia lembur di kantor perkara kena SP 3 dari Kennedy.

“Ssssshhhh.” Gadis itu memegangi kepalanya. Kenapa dia bisa sampai se pusing ini? Seperti ada bom aktif yang akan meledak di dalam sana.

Wait wait wait!

Kenapa seperti ada yang aneh?

MANA PAKAIANNYA?!

Jarum penunjuk kesadaran Tanisha seakan melompat dari angka terendah ke angka tertinggi. Semua sakit kepala itu mendadak hilang karena menyadari kalau dirinya sedang telanjang. TELANJANG!! SHITTT! Gadis itu refleks terduduk di atas kasur dengan selimut yang membalut tubuh hingga sebatas dada. Dia juga baru menyadari kalau ini bukan kamarnya.

Di mana ini?

Jantung Tanisha tiba-tiba saja memukul dua kali lebih cepat. Dia tidak berani menebak-nebak apa yang terjadi sekarang. Dia dalam keadaan tidak berbusana, di dalam sebuah kamar mewah yang sama sekali belum pernah dia masuki. Dan ... perasaan apa ini?

“Akhhh!” Nisha meringis saat lagi-lagi menyadari ada yang tak biasa di salah satu bagian tubuhnya. Lebih tepatnya di area intim yang belum pernah dijamah oleh siapa pun. Nyeri, perih, pedas, sakit, semuanya terasa berkumpul menjadi satu.

Apa yang sudah terjadi kepadanya? Kenapa rasanya sakit sekali sampai ke dalam-dalam? Apakah ada yang berusaha memasukinya saat dia sedang tertidur? Oh Tuhan!

Tanisha memeluk dirinya sendiri dengan erat. Kakinya ditekuk untuk menahan sakit yang masih menggerogoti area selangkangannya. Dia belum pernah merasakan sakit sejenis ini, jadi dia sangat yakin kalau sesuatu telah terjadi di saat dia sedang ... mabuk! Ya! Akhirnya Tanisha mengingat kalau dia sempat menenggak beberapa cangkir alkohol yang membuatnya nyaris kehilangan kesadaran. Sepertinya bukan ‘nyaris’ lagi karena sesudah itu dia sama sekali tidak mengingat apa pun. Termasuk kenapa dia ada di sini.

Oh Tuhan, Tanisha tidak bisa mengingat apa-apa. Kedua matanya sampai berair lantaran kebingungan. Dilihatnya jam di dinding, sudah jam lima pagi. Jadi dia semalaman tidak pulang ke apartemen? Ya ampun! Ansell pasti mencarinya!

Gadis itu sampai mengabaikan rasa sakit di celah kedua paha demi mencari ponsel yang entah di mana rimbanya. Dia turun dari atas kasur dan menarik selimut berat itu ikut menyapu karpet. Mencari-cari sling bag berukuran sedang yang selalu dia pakai ke kantor. Seharusnya semua barang-barangnya ada di sini bukan?

Tapi kenapa tidak ada? Bahkan pakaiannya pun tidak terlihat sejauh mata memandang. Kalau begini ceritanya, bagaimana dia bisa pulang? Tanisha harus berbicara dengan seseorang! Siapa pun itu!

Gadis itu kembali berjalan menuju ranjang besar di tengah ruangan dan duduk di salah satu sisinya. Dia tidak tau ini di mana. Tidak ada tulisan apa pun atau semacam guest book kalau memang ini adalah sebuah hotel. Pada siapa dia harus berbicara? Hendak keluar, masak harus bawa-bawa selimut?

Tok ... tok ... tok.

Ah! Tanisha langsung berdiri. Akhirnya ada orang yang datang!

Sebentar, dia harus memperbaiki selimut yang melorot ini agar tidak membuat masalah saat dia membuka pintu. Hah! Lagian dia tidak akan memunculkan tubuhnya. Paling hanya mengeluarkan kepalanya saja.

“Selamat pagi, Nona Tanisha.” Seorang perempuan cantik, bertubuh langsing, memakai setelan serba hitam menyapa setelah gadis itu membuka sedikit pintu. Siapa dia? Kalau dari name tag-nya sih namaya Anggi.

“Selamat pagi, Bu Anggi. Boleh saya bertanya di mana saya sekarang?” Tanisha tidak menunggu lama untuk meluncurkan pertanyaan yang sejak tadi bercokol di dalam kepalanya.

“Nona berada di unit president suites di club ini.

“Club??”

Ya ampun! Jadi dia masih ada di club yang dia datangi tadi malam? Jadi siapa yang sudah berani-beraninya membawa dia ke dalam kamar president suit seperti ini?

“Apa Ibu Anggi tau kenapa saya bisa ada di sini? Dan di mana barang-barang saya?”

Perempuan itu mengangguk. Jelas dia tau. “Nona Tanisha dibawa oleh pria bertanggung jawab. Jangan khawatir. Dan mengenai barang-barang Nona, petugas akan membawanya setelah ini, bersama dengan sarapan Nona. Saya datang hanya untuk memastikan kalau Nona sudah bangun, karena saya harus melaporkannya ke Tuan Besar. Kalau begitu, saya permisi.”

“E—eh ... Bu.” Tanisha menahan langkah wanita bergaya elegan itu. Sepertinya dia bukan perempuan biasa. Apa dia ini sejenis kaki tangan orang yang membawanya ke tempat ini?

“Ada lagi yang bisa saya bantu, Nona?”

“Siapa ... Tuan Besar yang Ibu maksud?”

Wajah perempuan itu tetap tenang. Pertanyaan Tanisha yang straight to the point tak membuatnya bereaksi lebih. Sepertinya itu bukanlah sebuah pertanyaan yang menakutkan baginya.

“Mohon maaf, Nona. Tugas saya pagi ini sudah selesai.” Jawabannya sangat template. Pantas saja tidak merasa terbeban dengan rasa ingin tahu Tanisha. Mungkin memang sudah di-setting agar tidak memberikan informasi apa pun selain yang ditugaskan oleh si ‘Tuan Besar’.

“Saya harus tau siapa laki-laki kurang ajar yang berani-beraninya meniduri perempuan yang sedang mabuk.” Tanisha berucap lagi dengan cepat sebelum wanita itu berbalik. Harapannya, sebagai sesama perempuan, dia akan memahami posisi Tanisha saat ini.

“Sekali lagi mohon maaf, Nona. Saya harus permisi sekarang.”

Tanisha benar-benar tidak habis pikir. Perempuan bernama Anggi itu sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Nisha menutup pintu dengan terpaksa. Dengan hati yang masih gelisah perihal si ‘Tuan Besar’. Siapa dia? Kenapa dia membawa Tanisha dan melewati malam kemarin bersamanya? Apakah Tanisha mengenalnya? Atau sebaliknya? Arrghh!

Belum selesai dia berpikir, pintu kamar megah itu sudah diketuk kembali. Itu pasti orang suruhan Anggi yang bertugas mengantar pakaiannya! Akhirnya dia akan terbebas dari selimut tebal ini. Tanisha bergerak cepat dan ... sshhh, selangk*ngannya terasa perih lagi.

“Selamat pagi, Nona.”

“Pagi.” Dia menjawab dari celah yang dia ciptakan seperti tadi. Yang datang kali ini adalah dua orang berseragam maid yang tengah meng-handle bawaannya masing-masing. Satu mendorong troli makanan, yang satunya lagi memegang setelan kerja Tanisha yang berada dalam bungkusan plastik putih.

“Pakaian Nona sudah selesai di laundry. Sarapan Nona juga sudah ready.”

“Oh.” Gadis itu refleks menarik pintu mundur. Celah itu semakin terbuka lebar hingga memungkinkan troli itu bisa masuk.

“Maaf ... kalau tas saya, di mana ya? Apa kalian membawa tas saya juga?”

“Kalau tas, kita tidak tau, Nona. Dan kami sudah meletakkan semuanya di tempat yang semestinya. Kami permisi.”

“Tunggu!” Tanisha tentu saja tidak akan membiarkan mereka pergi dengan mudah.

“Iya, Nona? Ada lagi yang bisa kamu bantu?”

“Apa kalian tau siapa Tuan Besar di tempat ini?”

Kedua maid itu bertukar pandang. Sama sekali tidak terkejut. Sepertinya keberadaan Tanisha di sini sudah menjadi rahasia umum. Apakah si Tuan Besar itu sering membawa wanita ke kamar ini? Makanya mereka sudah nggak kaget lagi? Hah! Sepertinya iya.

“Maafkan kami, Nona. Kami tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan Nona. Kami mohon undur diri, karena kami masih punya banyak pekerjaan di dapur.” Kedua wanita itu sama-sama membungkukkan bahunya. Meminta pengertian dari Tanisha. Bagaimanapun mereka hanya pekerja di sini. Tidak berhak membuka mulut atas sesuatu sekalipun mereka tau tentang hal tersebut.

Melihat itu Tanisha jadi merasa bersalah. Maid itu juga sama sepertinya yang kemarin siang mendapat surat peringatan dari Ken. Dia tidak ingin mereka terkena masalah. Jadinya Nisha mengikhlaskan kedua perempuan itu keluar dari kamarnya tanpa berniat menahan langkah mereka lagi.

Ahhh, ke mana dia harus mencari tasnya? Dia harus menghubungi Ansel!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status