Kedua bola mata Tanisha membesar kala menyadari Ansell sudah menyadap ponselnya. Sejak kapan? Dan bagaimana caranya dia memasang penyadap di barang yang ... akh! Pasti saat Nisha mabuk malam-malam kemarin![Kau! Menyadap ponselku?!][Sejak aku tinggal di apartemenmu, Sayang.]“Hahhh?!” Tanisha tanpa sadar memekik di kursinya. Dia semakin shock! Sejak dia masih di apartemen?! Sinting!!“Kenapa, Beb?” Hana tentu saja ikut kaget. Soalnya suara Tanisha terdengar cukup kencang.“E—eh. Enggak kok.” Nisha cepat-cepat menutup layar ponselnya, sebelum Hana nekat mengintip karena penasaran dengan siapa dia sedang berkirim pesan. Untungnya gadis itu tidak seantusias itu. Hana kembali fokus ke gadget yang ada di tangannya sendiri.Hufftt, jadi selama ini Ansell mengawasinya?? Apa saja yang sudah dia dengar? Berarti, malam dimana dia lembur karena diamuk Kenendy, Ansell tau penyebab yang sebenarnya? Oh God. Apa lagi? Apa Tanisha pernah membahas yang tidak-tidak dengan yang lain? Apa ada aib yang t
“Arrrrghhhh!! Handuk aku manaaa?!” Untuk yang ke sekian kalinya hari ini, suara melengking itu kembali terdengar memecah keheningan di dalam sebuah unit apartemen. Itu adalah suara seorang gadis yang lagi-lagi merasa kesal lantaran handuk satu-satunya yang dia punya hilang begitu saja dari jemuran khusus handuk yang ada di sudut dapur. Namanya Tanisha. Tanisha Gabriella Kusuma.Ini pasti kerjaan bule brengsek itu! Tanisha sudah bisa menebak. Tak perlu diragukan lagi. Memangnya siapa lagi orang yang ada di sini? Hanya ada mereka berdua.Gadis itu berjalan menuju kamar tersangka. Seorang bule yang selama satu bulan terakhir tinggal bersamanya. Ah, kalau diceritakan bagaimana awalnya, itu hanya akan membuat penyesalan yang tak kunjung usai dalam diri seorang Tanisha. Intinya semua berawal dari belas kasihan. Namun tak disangka orang yang dia tolong justru memanfaatkan sampai satu bulan lamanya. Ck!Tanisha menggedor pintu dengan malas. Sedikit emosi namun berusaha mengontrol tenaganya. K
Tanisha akhirnya sampai di kantor, setelah satu jam berdesakan di dalam bus Trans Jakarta. Ini adalah rutinitasnya setiap hari dan dia sudah terbiasa. Sebagai pejuang rupiah yang berasal dari daerah, tentunya dia tidak punya banyak privilege. Tinggal di apartemen adalah satu-satunya hedonisme yang dia lakukan karena terpaksa. Pasalnya saat pertama kali sampai di ibu kota, dia kesulitan mencari kos-kosan yang cocok dengan kriterianya. Akhirnya memilih tinggal sementara di apartemen dengan harga yang menurutnya cukup terjangkau. Niat ingin pindah sejak dulu sudah ada, namun berhubung dia sudah nyaman di sana, rencananya selalu gagal dan gagal. Dan berujung betah sampai tiga tahun lamanya. Gadis berusia dua puluh delapan itu bekerja sebagai seorang tele marketing di sebuah perusahaan asing yang sedang berkembang di Indonesia. BNC Furniture. Anak perusahaan dari BNC Group yang kantor pusatnya berada di Amerika Serikat. Tiga tahun bekerja di ibu kota, setelah pernah gagal dalam banyak hal
Kembali ke meja masing-masing, Tanisha dan kawan-kawan langsung melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Menjawab semua telepon sambil menginformasikan promo baru. Saking banyaknya customer yang harus dihubungi, orang-orang itu sampai merelakan kehilangan jam makan siangnya. Lembur bukanlah sebuah pilihan karena Nisha sudah memesan tiket bioskop. Bunyi nyaring terdengar dari gawai yang tersimpan dalam laci meja Tanisha. Mengira itu adalah customer yang biasa menghubunginya via WhasApp, Nisha mengeluarkan benda itu dari dalam sana. Namun ketika dilihatnya nama yang tertera di layar, dia langsung mencelos. ‘Stranger’. Ya, begitulah dia menamai Ansell di kontak ponselnya. Stranger alias orang asing. Sekalipun mereka sudah bersama selama satu bulan, itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Bagi Tanisha, Ansell tetaplah seorang asing yang kebetulan menumpang hidup kepadanya. Yang menguras isi rekeningnya hingga nyaris collaps seperti sekarang. Selain persoalan uang, ada lagi yang memb
Apartmen Tanisha yang sederhana itu menjadi saksi kegelisahan Ansell ketika dia harus menunggu sampai empat jam lamanya. Seperti sengaja tidak memegang ponselnya, semua pesan dan panggilan yang Ansell kirim kepada gadis itu sama sekali tidak ada respon. Ansell geram, marah dan hampir saja melampiaskan emosi itu pada barang-barang yang sama sekali tidak bersalah. Apalagi jam estetik yang menggantung di tembok ruang tamu, yang selalu bergerak tak kenal lelah. Dia bagai mengolok-olok Ansell yang sejak tadi berharap Tanisha muncul di angka-angka tertentu yang ada di tubuh benda kecil itu.Ya, walau akhirnya doanya terjawab saat tangan pendek benda sialan itu menunjuk ke angka sebelas dan tangan panjangnya di angka satu. Tepatnya jam sebelas malam lewat lima menit, suara berisik dari kuncian pintu pun terdengar. Ansell yang sejak tadi berbaring di atas sofa spontan berdiri. Darahnya langsung mendidih dan naik ke ubun-ubun.Gadis yang biasanya sudah sampai di apartemen setiap jam tujuh mala
Efek belum pernah mendapat hukuman seperti ini, Tanisha merasa sangat down. Apalagi ini langsung mendapat SP 3. Anggapannya dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal. Padahal itu hanya perkara mengirim report. Setelah kembali ke kubikelnya, gadis itu tidak berhenti menangis dalam diam. Teman-temannya silih berganti datang untuk menghibur dan memberinya penguatan. Hanya dengan pelukan. Tidak dengan kata-kata. Karena, kalau posisinya lagi down seperti ini, terkadang tidak ada kata yang cukup baik untuk diucapkan. Karena bisa jadi itu hanya akan menambah nelangsa di hati orang yang sedang bersedih.Pekerjaan Tanisha jadi sedikit terbengkalai? Jelas. Karena tidak mungkin dia menelepon mitra toko ataupun customer dalam keadaan seperti ini. Itu bukanlah sesuatu hal yang akan dia lakukan. Dia tidak ingin dicap sebagai karyawan yang tidak profesional. Ujung-ujungnya dia memilih untuk lembur. Segala report harian yang seharusnya meluncur ke email Kennedy tepat jam lima sore, hari
Tanisha terbangun karena suhu air conditioner yang terasa menembus permukaan kulitnya. Kenapa dingin sekali? Perasaan suhu AC di kamarnya tidak pernah sedingin ini. Kelopak mata wanita itu terbuka secara perlahan. Rasanya berat sekali. Apakah dia tidur seharian? Tapi tidak mungkin. Dia masih ingat kalau tadi malam dia lembur di kantor perkara kena SP 3 dari Kennedy. “Ssssshhhh.” Gadis itu memegangi kepalanya. Kenapa dia bisa sampai se pusing ini? Seperti ada bom aktif yang akan meledak di dalam sana. Wait wait wait! Kenapa seperti ada yang aneh? MANA PAKAIANNYA?! Jarum penunjuk kesadaran Tanisha seakan melompat dari angka terendah ke angka tertinggi. Semua sakit kepala itu mendadak hilang karena menyadari kalau dirinya sedang telanjang. TELANJANG!! SHITTT! Gadis itu refleks terduduk di atas kasur dengan selimut yang membalut tubuh hingga sebatas dada. Dia juga baru menyadari kalau ini bukan kamarnya.Di mana ini?Jantung Tanisha tiba-tiba saja memukul dua kali lebih cepat. Dia t
Tanisha memutuskan untuk makan dulu. Dia lapar. Entah sebanyak apa tenaga yang dia keluarkan tadi malam sampai keroncongan parah se pagi ini. Dan lagi, si Tuan Besar itu ... dia benar-benar pengecut. Apakah dia sudah terbiasa meniduri perempuan lalu meninggalkannya saat matahari terbit? Cuih! Pecundang!Makanan ini sungguh enak. Atau pengaruh Nisha sedang kelaparan saja? Entahlah. Padahal ini hanya krim sup jagung biasa, ditambah ayam siram jamur. Bukan menu aneh-aneh yang sama sekali tidak pernah dia makan. Fix tadi malam dia terlalu kelelahan. Apa saja yang sudah dia lakukan bersama laki-laki berotot liat itu?Hah?Sepertinya Tanisha mulai mengingat tentang malam erotis kemarin, walau hanya sedikit. Ya itu, soal otot-otot six pack yang sering menjadi sasaran telapak tangan Tanisha. Gadis itu sampai memejamkan kedua matanya hanya untuk mengingat lebih detail lagi.“Ansel? Kenapa kemarin aku menyebutkan namanya?” Kunyahan Tanisha berhenti ketika samar-samar lenguhannya kemarin kembali