Share

Bab 5. Teler berat.

Efek belum pernah mendapat hukuman seperti ini, Tanisha merasa sangat down. Apalagi ini langsung mendapat SP 3. Anggapannya dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal. Padahal itu hanya perkara mengirim report. Setelah kembali ke kubikelnya, gadis itu tidak berhenti menangis dalam diam. Teman-temannya silih berganti datang untuk menghibur dan memberinya penguatan. Hanya dengan pelukan. Tidak dengan kata-kata. Karena, kalau posisinya lagi down seperti ini, terkadang tidak ada kata yang cukup baik untuk diucapkan. Karena bisa jadi itu hanya akan menambah nelangsa di hati orang yang sedang bersedih.

Pekerjaan Tanisha jadi sedikit terbengkalai? Jelas. Karena tidak mungkin dia menelepon mitra toko ataupun customer dalam keadaan seperti ini. Itu bukanlah sesuatu hal yang akan dia lakukan. Dia tidak ingin dicap sebagai karyawan yang tidak profesional. Ujung-ujungnya dia memilih untuk lembur. Segala report harian yang seharusnya meluncur ke email Kennedy tepat jam lima sore, hari ini mundur ke jam setengah tujuh malam. Biarlah. Besok mau diamuk lagi terserah. Mau sekalian dipecat juga Nisha sudah tidak keberatan. Siapa juga yang betah bekerja di perusahaan gila seperti ini? Bukan hanya manajemennya yang bobrok, tapi manpower-nya juga. Contohnya Kennedy ini. Kasih SP tanpa melewati SP 1 dan 2. Langsung ke 3 tanpa alasan yang jelas. Tanisha mana tahan.

Biasanya memang ada saja karyawan yang lembur. Entah di lantai sini, atau di lantai lain. Yang pasti Tanisha tidak merasa kesepian karena suasana kantor masih cukup ramai. Hanya saja semua teman-temannya memang sudah pulang sejak tadi. Hana sangat menyayangkan karena dia harus mengantar ibunya ke rumah sakit. Begitupun dengan yang lain. Mereka kebetulan punya kepentingannya masing-masing di saat Nisha butuh teman. Tapi tidak apa, Tanisha sangat mengerti. Dia juga tidak berniat untuk menahan teman-temannya di ruangan ini.

Sambil mengemasi barang-barangnya, gadis itu berpikir apakah akan langsung pulang atau mampir ke mana dulu. Kalau langsung pulang, itu artinya dia akan lebih cepat bertemu dengan Ansell. Tidak menutup kemungkinan laki-laki itu akan menambah stress di kepalanya. Kalau dia pulang malam lagi, palingan laki-laki itu akan mengomel lagi seperti kemarin. Biarlah. Tanisha tidak ingin pusing-pusing memikirkan gembel yang satu itu.

Entah kenapa, rasanya minum alkohol adalah hal yang ingin dia lakukan sekarang. Usianya sudah legal untuk memasuki sebuah club malam. Sebelumnya, dia, Hana dan Jill juga sudah pernah mendatangi salah satu club dan ending-nya tidak buruk-buruk amat. Asal tidak mabuk berat, itu saja kuncinya.

Ya, Tanisha ingin menenggak alkohol dan melupakan kesedihannya hari ini. Kalau bisa dia lupa ingatan sekalian supaya besok bisa kembali bekerja dengan normal. Tanisha adalah tipe orang yang perasa. Menurutnya orang-orang tidak mungkin melupakan kejadian hari ini dengan cepat. Setiap melihat Tanisha, mereka pasti akan mengingat bagaimana Kennedy mengamuk padanya. Itu lah yang membuat gadis itu tidak berani datang ke kantor besok. Padahal belum tentu demikian bukan? Tapi sekali lagi, dia adalah gadis perasa yang memiliki hati selembek agar-agar. Jadi tidak perlu heran lagi.

***

Taksi yang membawa Tanisha menuju sebuah club malam akhirnya berhenti di titik khusus untuk menurunkan pengunjung. Setelah membayar tarif argo, taksi itu pun kemudian pergi.

“Hufftt. Jangan mabuk, Tanisha. Cukup setengah teler saja. Oke?” Gadis itu melafalkan mantra sebelum melangkahkan kaki memasuki pintu security check.

Oke, sepuluh hingga lima belas menit pertama, masih aman. Gadis itu duduk di meja bartender dan memesan minuman yang kadar alkoholnya masih bisa ditoleransi lambungnya yang manja. Seteguk, dua teguk, aman. Lima teguk, dia mulai merasa nge-fly. Kelopak matanya mulai bergerak dengan efek slow motion akibat mengantuk. Alias teler. Yang paling parah, dia mulai meracau dan menyebutkan nama dua orang berkali-kali. Kenendy dan Ansell.

Bartender yang ada di hadapannya hanya bisa geleng-geleng kepala. Pemandangan seperti ini memang sudah jadi makanan sehari-hari. Dan hal pertama yang biasanya dia lakukan adalah, memanggil security untuk mengeluarkan mereka dari dalam club. Dari pada jadi incaran pria hidung belang yang hanya ingin mengambil keuntungan sepihak.

Namun, ketika dua pria bertubuh besar itu datang, tiba-tiba seseorang menghampiri. Dan semua karyawan di sana sontak membungkukkan badan kepadanya.

“Biar saya yang menangani dia.”

Satu perintah saja, kedua security itu langsung mundur tanpa menunggu apa pun. Si bartender juga tidak berhak untuk menyanggah.

Tubuh Tanisha yang cukup ringan itu melayang di udara. Dia masih meracau sambil tertawa-tawa seperti orang stress. Nama Kennedy dan Ansell masih muncul secara bergantian di setiap makiannya.

“Hei, kau tau pria bernama Ansell itu? Dia sungguh merepotkan hidupku.”

“Oh ya? How?” Orang itu menjawab sambil melangkah masuk ke dalam lift. Dia menekan angka sepuluh di deretan tombol yang menempel di tembok besi.

“Dia tidak tau kalau tabungan yang ku pakai untuk menghidupi dia adalah gaji yang susah payah aku kumpulakn selama tiga tahun bekerja. Tapi ... dia sama sekali tidak bisa mengirit.”

“Tidak bisa mengirit bagaimana maksudnya, Nona?”

“Menurutmu, apakah wajar setiap hari makan fast food dan menghabiskan uang sebesar dua ratus ribu rupiah untuk satu hari? Kenapa aku yang harus mengirit demi memberinya makan?” Tanpa sadar air mata gadis itu meluncur dari kedua sudut matanya yang indah. Kesadarannya sudah hilang sekitar sembilan puluh persen, sampai-sampai tidak menyadari kalau dia sudah berpindah ke dalam sebuah kamar.

“Kenapa kau tidak mengusirnya saja kalau dia memang sudah menguras isi rekeningmu?”

Dan saat orang itu meletakkan dia secara perlahan di atas sebuah kasur yang empuk, Tanisha malah memejamkan matanya yang terasa begitu lelah.

“Aku marah. Aku kesal. Aku sangat ingin mengusirnya. Tapi ...” Dia menarik napas karena hidungnya terasa perih. Matanya juga semakin panas. Entah efek alkohol atau karena memang hatinya sedang mengambil alih seluruh kendali dirinya.

“Tapi apa?” Orang itu menaiki tubuh Tanisha yang sedang tak berdaya. Diciumnya aroma mulut gadis itu untuk memastikan tingkat kemabukannya. Setelah itu, salah satu sudut bibirnya terangkat begitu saja.

“Tapi ... tetap saja aku iba. Aku yang memungutnya dan memberinya harapan untuk bertahan hidup. Bagaimana mungkin aku mengusirnya? Aku tidak sekejam itu. Aku tau betapa sakitnya hidup sendirian di kota yang keras ini. Aku tidak ingin dia juga mengalami hal serupa.”

Kedua mata indah itu kembali terbuka untuk melepaskan air mata. Ternyata itu lah yang dia rasakan selama ini terhadap Ansell. Sebesar apa pun kebencian yang dia miliki, tetap saja rasa kemanusiaan itu harus berada selangkah di depan. Itu adalah prinsipnya.

Orang asing di atas tubuhnya menikmati pemandangan itu dengan leluasa. Mereka saling menatap dengan jarak yang dekat. Hanya saja, Tanisha hanya menganggap ini sebagai halusinasinya.

“Lantas, itu kah alasanmu mabuk-mabukan malam ini?”

“Tentu saja tidak. Kalau aku harus mabuk gara-gara dia, aku sudah datang ke sini setiap hari. Karena dia memang semenyebalkan itu. Huffft. Ini semua gara-gara Kennedy. Aku terlambat mengirim laporan harian dan dia memberiku SP 3. Bukankah menurutmu dia terlalu berlebihan?” tanya gadis itu seperti orang yang sadarkan diri. Padahal aslinya dia tidak tau apa yang dia ocehkan sekarang.

“Tentu saja. Bagaimana mungkin karyawan secantik dirimu diberi SP 3? Kalau aku jadi dia, aku akan mengangkatmu menjadi sekretarisku.”

“Hm? Kau sedang membual, Tuan? Sepertinya kau sedang mabuk.”

Samar-samar Tanisha melihat laki-laki itu tersenyum.

“Berapa umurmu, Nona cantik?”

“Untuk apa kau bertanya? Apakah kau mulai tertarik pada gadis malang ini? Sebelum kau menjawab, biar ku beri tahu, aku tidak tertarik pada mahluk yang bernama laki-laki. Karena di mataku, mereka semua brengsek. Tidak ada bedanya. Anda paham, Tuan?”

“Aku hanya ingin memastikan kalau kau sudah legal untuk melewati malam ini.” Dengan berani pria itu memulai sebuah intimidasi. Bibir Tanisha yang sejak tadi komat kamit dia bungkam dengan bibirnya yang hangat dan lembab. Seluruh bobotnya juga terjatuh menimpa tubuh Nisha yang ramping.

Gadis itu sempat terkejut, namun sedetik kemudian kedua matanya terpejam. Dia mengira kalau dia sedang berada di dalam mimpi. Lebih tepatnya mimpi erotis. Ahh, dia memang sudah tidak muda lagi. Tidak jarang dia berkhayal tentang adegan-adegan dewasa yang pernah dia tonton bersama Hana dan membayangkan dia adalah pemeran utama wanitanya. Tapi baru kali ini mimpinya terasa begitu nyata. Basah di bibirnya, sentuhan di pinggang yang kemudian menjalar di dada. Semuanya terasa begitu nyata.

Bahkan ketika Tanisha merasakan suhu air conditioner yang begitu menembus kulit karena seluruh pakaiannya sudah tanggal, pun sentuhan-sentuhan yang semakin menjurus di titik-titik sensitif tubuhnya, semuanya terasa sangat nyata. Sebenarnya alkohol apa yang dia minum sampai bisa berhalusinasi sedahsyat ini?

“Call my name, Baby.”

“Arrrghh, bagaimana aku bisa memanggil namamu, Tuan? Kita bahkan belum berkenalan,” desah Tanisha saat laki-laki itu berusaha memasuki dirinya. Ugh, ini hanyalah sebuah halusinasi, tapi rasanya Tanisha sangat basah dan bergairah. Tubuh liat dan berotot ini menekannya dengan begitu kuat di area bawahnya. Rasanya terlalu nyata untuk sebuah khayalan.

“Kau tau namaku. Scream it!”

“Akkhhh, sakit, Tuan.” Tanisha merintih ketika sesuatu yang besar dan tumpul berhasil menerobos benteng pertahanannya.

“Panggil namaku, Tanisha Gabriella Kusuma.”

“Aku ... aku tidak tau. K—kau ... bagaimana bisa mengetahui namaku?”

Bibir cerewet itu kembali dibungkam oleh bibir tebal yang tidak sabaran. “Panggil nama siapa saja yang ada di dalam pikiranmu saat ini. Yang selalu ada di dalam imajinasi liarmu setiap kali kau berkhayal tetang adegan erotis yang panas,” perintahnya lagi.

Tanisha menggeleng. Kenapa rasanya semakin aneh saja? Suara ini ... seperti suara seseorang yang begitu familiar. Tapi bukankah ini sedang berada dalam mimpinya?

“Come on, Tanisha. Aku hanya akan melepaskan milikku jika kau sudah memanggil namaku.”

Kasur itu semakin berguncang karena gerakan pria itu bertambah brutal. Tanisha mengerang tiada henti. Desahannya mengisyaratkan bahwa dia sangat menikmati permainan ini.

“Tanisha. Aku akan keluar sebentar lagi. Dan kurasa kau juga iya. Apakah kau belum menemukan nama seseorang yang harus kau teriakkan saat kita sama-sama mencapai puncak?”

“Ohh, aku sudah tidak tahan.” Tanisha malah memeluk leher pria itu dengan erat. Rasanya terlalu menggelitik area sensitifnya. Seperti akan ada yang meledak di dalam sana. Entah sebutannya apa, yang pasti Nisha sangat menginginkan itu segera terjadi.

“Aku akan menghukummu jika kau menyebutkan nama yang salah.”

Tanisha tidak mengerti apa maksudnya. Yang pasti laki-laki itu seperti menambah kecepatan pinggulnya. Tanisha semakin sesak napas di dalam pelukan tubuh besar itu. Tapi ini terlalu menyenangkan. Dia menyukai perbuatan laki-laki dalam khayalannya ini. Apalagi suara seksinya yang mengingatkan Tanisha akan seseorang. Ahh, kenapa kalau mengingat wajah itu, imajinasinya semakin liar saja? Bedanya tuan yang satu ini tidak punya brewok seperti pria yang ada di dalam pikirannya.

“Ohhhhhhh, pleaseeee. Aku akan sampai.”

Laki-laki itu kembali melumat bibir Tanisha yang mungil, sembari mengerahkan seluruh tenaganya ke bagian bawah pusar. Detik demi detik berlalu. Darah di dalam kepalanya semakin mendidih. Detak jantungnya pun mulai memberi pertanda kalau dia akan ...

“Tanisha!!”

“AN—SELL!!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status