"Akhirnya kamu pulang setelah sebulan menghilang," sindir Charlotte dengan suara tajam. Matanya menatap suaminya, Daniel, dengan penuh kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama dipendam.
"Maaf, aku ada urusan penting sehingga tidak menghidupkan ponselku," ucap Daniel dengan nada datar, seolah tidak menyadari betapa sakitnya hati istrinya setelah sekian lama ditinggalkan tanpa kabar.
Charlotte mendengus sinis. "Ada urusan penting apa sehingga tidak bisa menghidupkan ponsel? Kenapa perasaanku mengatakan bahwa kau sedang berbohong?" Dia melipat tangannya di dada, rahangnya mengeras menahan amarah. "Aku tidak peduli kau di mana. Tapi aku ini istrimu, dan setiap hari aku harus menerima penghinaan di rumah ini. Apakah kau sadar bahwa rumah ini seperti neraka bagiku?"
Sebelum Daniel sempat menjawab, suara nyaring Sannia, mertuanya, memotong pembicaraan. "Daniel, istrimu ini suka membantah dan berani menamparku!" serunya dengan wajah penuh kemarahan. "Aku adalah mertuany
Charlotte merasa tubuhnya menegang saat Daniel menahan tangannya, menolak memberinya kesempatan untuk menjauh."Kau mengingkari janji, itu adalah perjanjian kita. Pernikahan ini tanpa sentuhan fisik," ujar Charlotte, suaranya tegas meskipun sedikit bergetar. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, namun cengkeraman Daniel di pergelangan tangannya semakin erat.Daniel tersenyum miring, tatapannya dipenuhi kilatan main-main. "Sebuah pernikahan tidak mungkin tanpa sentuhan fisik. Apalagi aku begitu merindukanmu selama ini," godanya, suaranya dalam dan menggoda, seolah menantang Charlotte untuk menyangkal kata-katanya.Charlotte memutar matanya penuh ketidakpercayaan. "Merindukanku? Kau sedang bercanda? Aku malah mencurigaimu bahwa kau di sana ada wanita lain. Jangan berbohong. Aku bukannya tidak tahu sifat lelaki!" katanya, nada suaranya dipenuhi kecurigaan.Daniel hanya tertawa pelan, seakan pernyataan Charlotte adalah hal yang menghiburnya. Jari-jariny
Tanpa menunggu lama, Daniel langsung melakukan penyatuan dengan istrinya. Ia bergerak maju mundur dengan perlahan, seakan memberi waktu bagi Charlotte untuk menyesuaikan diri.Charlotte menggigit bibir bawahnya, merasakan sensasi perih yang menusuk. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan, membasahi pelipisnya. Tubuhnya menegang, jari-jarinya mencengkeram sprei di bawahnya. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, semakin terasa saat Daniel semakin dalam menyatu dengannya.Daniel melihat butiran air mata yang mengalir dari sudut mata istrinya. Pandangannya beralih ke noda merah yang kini menghiasi sprei putih di bawah mereka. Hatinya sangat puas—tanda kepolosan Charlotte kini lenyap di tangannya. Namun, naluri dan g4irahnya terus menguasai dirinya."Aaahh! Sakit!" Charlotte berteriak, kedua tangannya berusaha mendorong dada suaminya agar menjauh. Rasa nyeri membuatnya ingin menghindar, ingin menghentikan segalanya.Namun, Daniel tak memberinya kesem
"Kau sedang menggodaku? Jangan lupa statusmu!" kecam Daniel, menatap tajam ke arah wanita di depannya. Sannia tersenyum lembut, seolah tak tergoyahkan oleh ketegangan yang menggantung di antara mereka. "Tentu saja aku ingat, Daniel." Nada suaranya tetap tenang, penuh kelembutan. "Aku telah berjanji pada ayahmu untuk merawatmu dengan baik. Jadi aku harus menepati janjiku!"Daniel berdiri dengan ekspresi penuh amarah. Dalam sekejap, tangannya terangkat dan mencengkeram leher wanita itu dengan erat. Sannia terbatuk, kedua tangannya mencengkeram pergelangan tangan Daniel, berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman pria itu terlalu kuat, membuatnya sulit bernapas, bahkan sekadar mengeluarkan suara."Sannia, dengar baik-baik." Suara Daniel rendah, tajam, dan penuh ancaman. "Jangan coba-coba menggodaku. Wanita seperti dirimu tidak berbeda dengan mantan istriku." Matanya berkilat dingin, penuh kebencian yang tersembunyi di balik sorotannya.Sannia mencoba meronta, tetapi cengkeraman Daniel ti
"Apa yang kalian ributkan malam-malam begini? Apakah kalian tidak sadar sudah pukul berapa?" tanya Charlotte dengan nada sedikit kesal. Suaranya menggema di sepanjang koridor yang sepi, menciptakan suasana tegang di antara mereka.Daniel dan Sannia menoleh bersamaan ke arah Charlotte yang berdiri di ujung koridor. Pijar lampu redup mempertegas gurat lelah di wajah Charlotte, namun matanya masih memancarkan ketegasan."Istriku, apakah kami membangunkanmu?" tanya Daniel dengan senyum tipis, mencoba meredakan ketegangan. Namun, nada suaranya terdengar kaku, seolah menyembunyikan sesuatu.Charlotte menatap tajam, seolah mampu menembus kebohongan di balik senyuman itu. "Kalian berisik sehingga mengganggu tidurku," balas Charlotte dingin, matanya tidak melepaskan pandangan dari Daniel."Maaf, Istriku. Aku akan segera kembali ke kamar. Aku dan Bibi sedang bertengkar," ucap Daniel, berusaha terdengar santai, meski nada gugupnya sulit disembunyikan."Berten
"Kalau tidak ingin aku tahu, juga tidak apa-apa. Lagi pula aku hanya istri kontrak. Mana mungkin berhak tahu segalanya," ujar Charlotte sambil bangkit dari tempat duduknya.Daniel menahan kedua pundak istrinya dan berkata, "Saat waktunya tiba, kamu akan mengetahuinya," ucapnya sambil menatap dalam ke mata istrinya.***Di sisi lain, Elvis yang sedang berkumpul dengan rekannya di ruangan yang pencahayaannya tidak terlalu terang, tampak muram, begitu juga dengan yang lain."Elvis, menantumu memiliki banyak anak buah. Kejadian ini disaksikan oleh banyak orang. Aku yakin putrimu juga tahu, karena saat menantumu dikepung oleh sejumlah orang, putrimu ada di sana. Sepertinya dia bukan hanya sekadar CEO," ujar salah satu rekannya."Siapa pun dia, aku hanya berharap dia akan melindungi putriku. Lolipop butuh perlindungan yang ketat. Dia adalah putriku satu-satunya. Aku tidak ingin dia terluka. Mengenai anak laki-laki itu, aku ingin mencarinya. Beberapa bula
Tangan Daniel mulai meraba paha istrinya, jemarinya bergerak perlahan seolah menikmati setiap sentuhan, sementara bibirnya terus mencium Charlotte dengan dalam dan penuh hasr*t. Nafasnya hangat, membakar jarak tipis di antara mereka.Charlotte menggeliat, berusaha melawan dan menahan tangan suaminya yang mulai kelewatan. "Hentikan!" serunya, suaranya bergetar antara marah dan gugup.Namun, Daniel tidak bergeming. Ia menahan bagian belakang kepala Charlotte dengan lembut tapi kuat, membuat wanita itu tak bisa menghindar. "Aku ingin melepaskan rindu," ucapnya lirih, matanya menatap dalam ke arah istrinya, seolah ingin menunjukkan betapa ia tak mampu menahan hasr*t yang terpendam.Charlotte menelan ludah, detak jantungnya berdebar keras, tapi ia mencoba tetap tegar. "Jangan main-main lagi! Aku masih ada pekerjaan. Cepat lepaskan tanganmu! Ini kantor, Daniel!" pintanya dengan nada tegas, meski tubuhnya terasa melemah dalam pelukan suaminya.Tapi bukannya menu
Daniel yang mengemudi mengejar istrinya yang berjalan di pinggir jalan. Ia kemudian menghentikan mobilnya."Honey, aku akan mengantarmu ke studio setelah kita pergi ke suatu tempat," seru Daniel pada istrinya."Tidak perlu, aku akan pergi dengan bus," jawab Charlotte sambil melanjutkan langkahnya.Daniel turun dari mobil dan menghampiri istrinya itu. Tanpa banyak bicara, ia langsung menggendong wanita itu ke mobilnya."Aku bisa jalan sendiri! Kamu tidak perlu mengantarku," ujar Charlotte sambil berusaha melepaskan diri.Namun Daniel tetap tenang, memasukkan Charlotte ke dalam mobil, lalu menutup pintu. Ia menatapnya sejenak sebelum berkata, "Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian hari ini. Ada sesuatu yang harus kamu tahu."Charlotte terdiam, menatap Daniel dengan campuran rasa penasaran dan kesal.Tidak lama kemudian, mobil Daniel tiba di tepi pantai. Angin kencang meniup rambut Charlotte saat ia membuka jendela, membiarkan aroma laut yang asin memenuhi kabin mobil. Suara debura
"Sudah waktunya dia pergi. Yang aku utamakan adalah istriku. Yang akan menemaniku selama hidupku. Charlotte, aku berjanji padamu. Tidak akan berbohong lagi padamu mengenai identitasku sebagai mafia. Aku berharap kau tidak keberatan," kata Daniel, menatap dalam mata Charlotte dengan penuh kesungguhan.Charlotte terdiam sejenak. Jantungnya berdebar cepat, tetapi matanya tetap menatap Daniel tanpa keraguan. "Aku tidak keberatan kalau kau adalah mafia. Asalkan kau jangan mengingkari janjimu. Apa kau akan selingkuh suatu saat nanti?" tanyanya pelan, namun penuh harap. Ada kekhawatiran yang tersembunyi dalam suaranya, ketakutan akan dikhianati.Daniel tersenyum tipis dan meraih tangan Charlotte, menggenggamnya erat. "Tidak akan! Aku berjanji akan setia padamu seorang. Tidak ada orang ketiga di dalam hubungan kita," ucapnya penuh keyakinan. Jemarinya mengusap punggung tangan Charlotte, mencoba meyakinkan bahwa setiap kata yang ia ucapkan adalah janji yang tak akan ia kh
"Sudah waktunya dia pergi. Yang aku utamakan adalah istriku. Yang akan menemaniku selama hidupku. Charlotte, aku berjanji padamu. Tidak akan berbohong lagi padamu mengenai identitasku sebagai mafia. Aku berharap kau tidak keberatan," kata Daniel, menatap dalam mata Charlotte dengan penuh kesungguhan.Charlotte terdiam sejenak. Jantungnya berdebar cepat, tetapi matanya tetap menatap Daniel tanpa keraguan. "Aku tidak keberatan kalau kau adalah mafia. Asalkan kau jangan mengingkari janjimu. Apa kau akan selingkuh suatu saat nanti?" tanyanya pelan, namun penuh harap. Ada kekhawatiran yang tersembunyi dalam suaranya, ketakutan akan dikhianati.Daniel tersenyum tipis dan meraih tangan Charlotte, menggenggamnya erat. "Tidak akan! Aku berjanji akan setia padamu seorang. Tidak ada orang ketiga di dalam hubungan kita," ucapnya penuh keyakinan. Jemarinya mengusap punggung tangan Charlotte, mencoba meyakinkan bahwa setiap kata yang ia ucapkan adalah janji yang tak akan ia kh
Daniel yang mengemudi mengejar istrinya yang berjalan di pinggir jalan. Ia kemudian menghentikan mobilnya."Honey, aku akan mengantarmu ke studio setelah kita pergi ke suatu tempat," seru Daniel pada istrinya."Tidak perlu, aku akan pergi dengan bus," jawab Charlotte sambil melanjutkan langkahnya.Daniel turun dari mobil dan menghampiri istrinya itu. Tanpa banyak bicara, ia langsung menggendong wanita itu ke mobilnya."Aku bisa jalan sendiri! Kamu tidak perlu mengantarku," ujar Charlotte sambil berusaha melepaskan diri.Namun Daniel tetap tenang, memasukkan Charlotte ke dalam mobil, lalu menutup pintu. Ia menatapnya sejenak sebelum berkata, "Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian hari ini. Ada sesuatu yang harus kamu tahu."Charlotte terdiam, menatap Daniel dengan campuran rasa penasaran dan kesal.Tidak lama kemudian, mobil Daniel tiba di tepi pantai. Angin kencang meniup rambut Charlotte saat ia membuka jendela, membiarkan aroma laut yang asin memenuhi kabin mobil. Suara debura
Tangan Daniel mulai meraba paha istrinya, jemarinya bergerak perlahan seolah menikmati setiap sentuhan, sementara bibirnya terus mencium Charlotte dengan dalam dan penuh hasr*t. Nafasnya hangat, membakar jarak tipis di antara mereka.Charlotte menggeliat, berusaha melawan dan menahan tangan suaminya yang mulai kelewatan. "Hentikan!" serunya, suaranya bergetar antara marah dan gugup.Namun, Daniel tidak bergeming. Ia menahan bagian belakang kepala Charlotte dengan lembut tapi kuat, membuat wanita itu tak bisa menghindar. "Aku ingin melepaskan rindu," ucapnya lirih, matanya menatap dalam ke arah istrinya, seolah ingin menunjukkan betapa ia tak mampu menahan hasr*t yang terpendam.Charlotte menelan ludah, detak jantungnya berdebar keras, tapi ia mencoba tetap tegar. "Jangan main-main lagi! Aku masih ada pekerjaan. Cepat lepaskan tanganmu! Ini kantor, Daniel!" pintanya dengan nada tegas, meski tubuhnya terasa melemah dalam pelukan suaminya.Tapi bukannya menu
"Kalau tidak ingin aku tahu, juga tidak apa-apa. Lagi pula aku hanya istri kontrak. Mana mungkin berhak tahu segalanya," ujar Charlotte sambil bangkit dari tempat duduknya.Daniel menahan kedua pundak istrinya dan berkata, "Saat waktunya tiba, kamu akan mengetahuinya," ucapnya sambil menatap dalam ke mata istrinya.***Di sisi lain, Elvis yang sedang berkumpul dengan rekannya di ruangan yang pencahayaannya tidak terlalu terang, tampak muram, begitu juga dengan yang lain."Elvis, menantumu memiliki banyak anak buah. Kejadian ini disaksikan oleh banyak orang. Aku yakin putrimu juga tahu, karena saat menantumu dikepung oleh sejumlah orang, putrimu ada di sana. Sepertinya dia bukan hanya sekadar CEO," ujar salah satu rekannya."Siapa pun dia, aku hanya berharap dia akan melindungi putriku. Lolipop butuh perlindungan yang ketat. Dia adalah putriku satu-satunya. Aku tidak ingin dia terluka. Mengenai anak laki-laki itu, aku ingin mencarinya. Beberapa bula
"Apa yang kalian ributkan malam-malam begini? Apakah kalian tidak sadar sudah pukul berapa?" tanya Charlotte dengan nada sedikit kesal. Suaranya menggema di sepanjang koridor yang sepi, menciptakan suasana tegang di antara mereka.Daniel dan Sannia menoleh bersamaan ke arah Charlotte yang berdiri di ujung koridor. Pijar lampu redup mempertegas gurat lelah di wajah Charlotte, namun matanya masih memancarkan ketegasan."Istriku, apakah kami membangunkanmu?" tanya Daniel dengan senyum tipis, mencoba meredakan ketegangan. Namun, nada suaranya terdengar kaku, seolah menyembunyikan sesuatu.Charlotte menatap tajam, seolah mampu menembus kebohongan di balik senyuman itu. "Kalian berisik sehingga mengganggu tidurku," balas Charlotte dingin, matanya tidak melepaskan pandangan dari Daniel."Maaf, Istriku. Aku akan segera kembali ke kamar. Aku dan Bibi sedang bertengkar," ucap Daniel, berusaha terdengar santai, meski nada gugupnya sulit disembunyikan."Berten
"Kau sedang menggodaku? Jangan lupa statusmu!" kecam Daniel, menatap tajam ke arah wanita di depannya. Sannia tersenyum lembut, seolah tak tergoyahkan oleh ketegangan yang menggantung di antara mereka. "Tentu saja aku ingat, Daniel." Nada suaranya tetap tenang, penuh kelembutan. "Aku telah berjanji pada ayahmu untuk merawatmu dengan baik. Jadi aku harus menepati janjiku!"Daniel berdiri dengan ekspresi penuh amarah. Dalam sekejap, tangannya terangkat dan mencengkeram leher wanita itu dengan erat. Sannia terbatuk, kedua tangannya mencengkeram pergelangan tangan Daniel, berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman pria itu terlalu kuat, membuatnya sulit bernapas, bahkan sekadar mengeluarkan suara."Sannia, dengar baik-baik." Suara Daniel rendah, tajam, dan penuh ancaman. "Jangan coba-coba menggodaku. Wanita seperti dirimu tidak berbeda dengan mantan istriku." Matanya berkilat dingin, penuh kebencian yang tersembunyi di balik sorotannya.Sannia mencoba meronta, tetapi cengkeraman Daniel ti
Tanpa menunggu lama, Daniel langsung melakukan penyatuan dengan istrinya. Ia bergerak maju mundur dengan perlahan, seakan memberi waktu bagi Charlotte untuk menyesuaikan diri.Charlotte menggigit bibir bawahnya, merasakan sensasi perih yang menusuk. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan, membasahi pelipisnya. Tubuhnya menegang, jari-jarinya mencengkeram sprei di bawahnya. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, semakin terasa saat Daniel semakin dalam menyatu dengannya.Daniel melihat butiran air mata yang mengalir dari sudut mata istrinya. Pandangannya beralih ke noda merah yang kini menghiasi sprei putih di bawah mereka. Hatinya sangat puas—tanda kepolosan Charlotte kini lenyap di tangannya. Namun, naluri dan g4irahnya terus menguasai dirinya."Aaahh! Sakit!" Charlotte berteriak, kedua tangannya berusaha mendorong dada suaminya agar menjauh. Rasa nyeri membuatnya ingin menghindar, ingin menghentikan segalanya.Namun, Daniel tak memberinya kesem
Charlotte merasa tubuhnya menegang saat Daniel menahan tangannya, menolak memberinya kesempatan untuk menjauh."Kau mengingkari janji, itu adalah perjanjian kita. Pernikahan ini tanpa sentuhan fisik," ujar Charlotte, suaranya tegas meskipun sedikit bergetar. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, namun cengkeraman Daniel di pergelangan tangannya semakin erat.Daniel tersenyum miring, tatapannya dipenuhi kilatan main-main. "Sebuah pernikahan tidak mungkin tanpa sentuhan fisik. Apalagi aku begitu merindukanmu selama ini," godanya, suaranya dalam dan menggoda, seolah menantang Charlotte untuk menyangkal kata-katanya.Charlotte memutar matanya penuh ketidakpercayaan. "Merindukanku? Kau sedang bercanda? Aku malah mencurigaimu bahwa kau di sana ada wanita lain. Jangan berbohong. Aku bukannya tidak tahu sifat lelaki!" katanya, nada suaranya dipenuhi kecurigaan.Daniel hanya tertawa pelan, seakan pernyataan Charlotte adalah hal yang menghiburnya. Jari-jariny
"Akhirnya kamu pulang setelah sebulan menghilang," sindir Charlotte dengan suara tajam. Matanya menatap suaminya, Daniel, dengan penuh kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama dipendam."Maaf, aku ada urusan penting sehingga tidak menghidupkan ponselku," ucap Daniel dengan nada datar, seolah tidak menyadari betapa sakitnya hati istrinya setelah sekian lama ditinggalkan tanpa kabar.Charlotte mendengus sinis. "Ada urusan penting apa sehingga tidak bisa menghidupkan ponsel? Kenapa perasaanku mengatakan bahwa kau sedang berbohong?" Dia melipat tangannya di dada, rahangnya mengeras menahan amarah. "Aku tidak peduli kau di mana. Tapi aku ini istrimu, dan setiap hari aku harus menerima penghinaan di rumah ini. Apakah kau sadar bahwa rumah ini seperti neraka bagiku?"Sebelum Daniel sempat menjawab, suara nyaring Sannia, mertuanya, memotong pembicaraan. "Daniel, istrimu ini suka membantah dan berani menamparku!" serunya dengan wajah penuh kemarahan. "Aku adalah mertuany