LOGIN“Selamat pagi, Tuan Jhon yang terhormat. Sepertinya tidur tuan sangat nyenyak malam tadi. Maaf sekali pagi ini kedatangan kami kesini mengganggu tidurmu, tuan Jhon," sindir salah satu dari mereka.
Tanpa menjawab sapaan itu, Jhon mendekat ke arah Beatrice. "Kau tidak memiliki uang? Berikan berapa yang ada pada mereka," ucap Jhon dengan nada suara kecil namun penuh tekanan. Beatrice diam dan menghapus jejak air matanya. "Aku tidak punya uang. Ayah saja jika kau memiliki uang. Kan yang menggunakan uang itu ayah sendiri. Aku tidak pernah menikmati uang itu sama sekali," kesal Beatrice. Kalimat itu membuat Jhon marah. "Sudah semakin berani melawan, kau tidak paham arti berbakti lagi, Beatrice?" marah Jhon. "Apa? Berbakti seperti apa yang ayah inginkan? Di mana hati dan pikiran ayah? Apa ayah sudah gila? Menjadikan rumah ini sebagai jaminan hutang ayah? Sementara uang itu ayah gunakan hanya untuk kesenangan ayah mabuk dan bermain judi. Urus sendiri, dan aku tidak ingin rumah ini disita," marah Beatrice membentak ayahnya pertama kali. Kekesalannya yang dipendam selama ini memuncak saat tentang peninggalan ibunya terusik. "Jaga mulutmu, Beatrice. Kau tidak tahu apa-apa," tamparan Jhon mendarat di pipi Beatrice. Kali ini Beatrice tidak menangis, bahkan menatap ayahnya dengan tatapan menantang. Beatrice baru saja ingin menjawab ayahnya, suara salah satu orang yang berdiri di depan mereka itu membuka suaranya. "Kami kesini bukan untuk menonton drama jelek kalian. Sekarang juga tinggalkan tempat ini. Kami tidak mau tahu lagi, sudah cukup banyak kelonggaran yang kami kasih kepada kalian," ucap orang itu. Beatrice menggelengkan kepalanya dan mendaratkan lututnya ke lantai dan memegang sepatu salah satu pria itu. "Tuan, berikan belas kasihanmu kepadaku, tuan. Aku akan mencari uang lebih lagi untuk menutupi hutang-hutang itu, tapi jangan menyita rumah ini, tuan. Berikan kelonggaran. Berbelas kasihlah, tuan," tangis Beatrice. "Lepaskan tanganmu itu, jangan menyentuhku," kesal pria itu sambil menghempaskan tangan Beatrice dari sepatu pria itu. "Besok, aku tunggu besok harus ada. Jika tidak, aku tidak peduli lagi rumah ini akan kusita. Dan ingat, bayarkan dengan bunga-bunganya," Beatrice yang merasa diberikan keringanan walaupun satu hari merasa lega dan mengangguk. "Baik, tuan. Terima kasih atas kebaikanmu, tuan," ucap Beatrice dengan berdiri cepat sambil membungkukkan tubuhnya beberapa kali sebagai ucapan terima kasihnya dengan tulus. "Baik, tuan. Terima kasih. Tapi sebelumnya, apakah aku masih boleh meminta sedikit lagi pinjaman, tuan? Aku tidak memiliki uang untuk berpergian ke sana-kemari untuk mencari pekerjaan lainnya?" Kalimat itu membuat Beatrice dan dua orang yang menagih itu menatap Jhon dengan tatapan terkejut. "Jhon... Jhon, kau tidak malu dengan apa yang terjadi hari ini dan dengan tenangnya kau meminta pinjaman uang kembali padahal hutang sebelumnya kau belum bayarkan? Yang benar saja," ucap orang itu dan mendekat ke arah Jhon sambil menepuk pundak Jhon dengan cukup kencang. "Maaf, tuan," Jhon seakan-akan kehabisan kata-kata. "Besok pagi kami datang kesini, sediakan uang sebanyak hutang kalian dan bunga-bunganya. Kau paham, Jhon?" jelas orang itu. Jhon mengangguk dengan ketakutan. "Pasti kami bayarkan, tuan. Terima kasih atas kemurahan hatinya," ucap Jhon, dan dua orang itu meninggalkan tempat itu tanpa berucap apa pun lagi. "Cari pekerjaan yang lebih jelas. Apa yang bisa kau andalkan dari kilang gandum itu? Upahnya saja tidak jelas kemana perginya," ucap Jhon dan meninggalkan Beatrice yang masih berdiri di dekat pintu rumahnya. Jhon berjalan ke arah meja makan dan tidak menemukan apa pun di sana. Jhon berteriak memanggil nama Beatrice. "Beatrice!" panggil Jhon. Beatrice berlari ke arah sumber suara. "Apalagi, ayah? Tidak bisakah ayah sekali saja di pagi hari tenang?" kesal Beatrice saat sudah berada di hadapan ayahnya. "Kau tidak memasak apa-apa?" tanya Jhon. Beatrice mendengar pertanyaan ayahnya merasa bersalah dan menundukkan kepalanya sambil menggelengkan kepalanya. "Aku telat bangun, ayah." Jhon mendengar jawaban itu kesal dan lagi-lagi tangan Jhon mendarat di pipi Beatrice satu kali. Jhon melangkahkan kakinya meninggalkan rumah itu tanpa berucap apa-apa lagi. "Maaf, ayah," gumam Beatrice kecil karena merasa bersalah. Beatrice dengan buru-buru merapikan kembali dirinya agar berangkat bekerja ke kilang gandum. Beatrice tiba di kilang gandum sedikit terlambat dan mendapatkan tatapan yang tidak enak dari orang-orang. Beatrice yang baru sekali telat namun mendapatkan tatapan itu membuatnya merasa canggung. Beatrice mencoba mengabaikan tatapan itu dan bekerja. Selama bekerja, orang yang mencari Beatrice ke kilang gandum tetap mendatanginya kembali dan Beatrice lagi-lagi menghadapi orang-orang itu. Namun, pemilik kilang gandum itu semakin hari semakin tidak nyaman dengan orang-orang itu datang karena merasa mengganggu kenyamanan orang yang bekerja lainnya. "Beatrice," panggil pemilik kilang itu. "Iya, Tuan Nathan," Beatrice mendekat ke arah pemilik kilang itu dan membungkukkan tubuhnya sebagai bentuk rasa hormatnya. "Mulai besok, kau tidak usah datang kesini dulu dalam waktu yang belum bisa ditentukan. Karena kehadiran orang-orang itu setiap hari membuat pekerja yang lainnya terganggu. Aku yakin kau juga punya pemikiran yang sama dengan aku saat orang-orang itu datang menemuimu ke kilang ini. Jika hanya aku disini, aku tidak mempermasalahkan, namun ini menyangkut banyak orang," Beatrice mendengar itu dengan cepat mendongak dan menatap Nathan dengan tatapan tidak percaya. "Ini artinya aku dipecat, tuan?" tanya Beatrice mencoba bertanya sebagai bentuk penjelasan. Nathan menggelengkan kepalanya dengan cepat.“Sepertinya penanganan di rumah sakit ini tidak ada benarnya, bagaimana mungkin seseorang yang sudah di tangani dokter yang katanya profesional itu tidak mampu memberikan yang terbaiknya, yang ada anak itu semakin parah. Dimana keahlian mereka?” marah Maximian yang berada di luar ruangan itu, sambil mendaratkan beberapa pukulan di dinding. Tiffani bersembunyi di balik tubuh Beatrice, sementara Deon hanya berdiri sambil menatap pintu ruangan Helen di rawat, seakan akan tidak ingin mengalihkan pandangannya dari pintu itu sampai pintu itu terbuka. Beatrice mencoba menenangkan Tiffani yang berada dibelakang Beatrice. Gage menyadari itu lalu mendekat ke arah Maximian. “Tuan, sepertinya salah satu anak itu takut melihat tuan seperti itu, kontrol emosimu tuan,” bisik Gage, Maximian tersadar dan melihat ke arah Tiffani yang ketakutan. “Ah maafkan paman, Fani. Paman tidak mampu mengendalikan emosi paman,” ucap Maximian sambil menurunkan tubuhnya sambil merentangkan tangannya. “Sepertinya
“Aku mendengar kau sudah memiliki anak dari seorang gadis malam.” Ucap Graciella istri dari Robert, saat Maximian menemui kakeknya di rumah saat mendengar kakeknya sudah sadarkan diri. “Ini pasti ibu yang memberitahu,” gumam Maximian kecil. “Kau jauhi wanita itu, dia hukan wanita yang baik baik. Bukankah ibumu sudah mengenalkanmu dengan Jessie yang jelas jelas perempuan baik baik?” ucap Graciella. Robert hanya diam menatap plafon kamarnya dengan tatapan kosong. “Aku kesini hanya untuk menemui kakek, bukan untuk mendengarkan omongan yang tidak penting,” Ucap Maximian. Graciella terkejut, begitu juga dengan Robert mengalihkan pandangannya menatap cucunya yang duduk di kursi sebelah kasurnya itu. “Sejak kapan kau melawan seperti ini Maximian?” ucap Robert dengan suara dinginnya. Graciella menggelngkan kepalanya. “Aku memiliki anak dengan perempuan itu,” mendengar itu Robert semakin terkejut. “Bagaimana mungkin kau sangat yakin jika itu anakmu. Sementara dia hanya wanita malam yang
“Selamat pagi paman,” sapa Tiffani yang sejak kapan berdiri disamping sofa besar Maximian tidur. “Ah iya pagi Fani, sudah lama berdiri disana?” tanyanya. Tiffani mengangguk dengan polosnya, Maximian melirik sekilas ke arah Beatrice yang sedang memberikan makan Helen. “Kata ibu paman sedang tidak enak badan, itu yang membuat Tiffani tidak membangunkan paman. Takut membuat paman tidak nyaman tidur dan membuat paman semakan sakit.” Maximian menggelengkan kepalanya kecil, melihat sifat manis Tiffani kepadanya. “Terima kasih, Beatrice,” ucap Maximian dengan tulus. “Kau tiba tiba tidak sadarkan diri semalam, dan aku tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa, dan aku meminta salah satu keluarga pasien yang lewat semalam dari depan pintu kamar ini, dan dia menggendong mu untuk masuk di dalam.” Maximian mengangguk mengerti. “Baiklah, ini sudah pagi, tidak baik jika kau berada di ruangan ini berlama lama. Akan menggiring isu yang tidak baik. Aku sudah menghubungi Gage untuk menjemp
“Kenapa kau muncul setelah apa yang dijalani Beatrice selama ini?” tanya Thomas dengan suara dingin menatap Maximian. “Kau tidak ada hak untuk tahu banyak tentangku dan Beatrice,” tegas Maximian. Pandangannya mengunci mata Thomas yang terlihat lelah itu saat melewati perjalanan yang cukup panjang setelah mendengar Helen sakit, dan menjaga tidur Helen agar tetap nyaman itu. “Dia sudah cerita kepadaku, kalau kalian tidak memiliki hubungan apa apa. Dan bahkan kau yang menegaskan kepadanya untuk tidak memunculkan dirinya di depanmu setelah malam kejadian itu terjadi. Bukankah begitu?” Mendengar itu, perasaan Maximian semakin panas. “Tuan Maximian, aku rasa tuan bisa mencari bahkan banyak wanita yang jauh lebih sempurna yang tuan bisa dapatkan diluar sana. Jangan menganggu Beatrice lagi. Aku akan menjamin mereka dan ketiga anaknya.” Maximian semakin panas dan menarik kerah kemeja Thomas. Namun Thomas tersenyum dan menatap teduh mata Maximian. “Untuk apa kau mengejar wanita malam yang
Maximian parkirkan mobilnya, lalu masuk ke dalam rumah milik kakeknya dan menemui kakeknya yang sedang rebahan di kasur dan selang infus terhubung di tangannya. Maximian sudah paham betul apa yang akan didengarnya di dalam rumah itu. Dan benar saja, Maximian melangkah dan tiba di ruang tamu dimana semua satu keluarga berkumpul, Ariana menatapnya dengan tatapan tidak enak. Maximian mengabaikan itu. Maximian hendak melanjutkan langkahnya menuju kamar kakeknya namun suara ibunya membuatnya berhenti sebentar. “Ternyata kau ingat kalau kau masih memiliki keluarga, Maximian!” tekan Ariana. Maximian menarik nafas dan memandang ibunya sebentar. “Aku harap ibu jangan membuatku semakin menjauh dari keluarga ini,” mendengar itu Ariana merasa sakit hati karena ucapan putra satu satunya itu. “Kau mengatakan seperti itu kepada ibu, Maximian?” tatapan Ariana berubah menjadi sendu. “Aku datang kesini karena hanya ingin melihat keadaan kakek saja, aku tahu kalian juga berkumpul disini bukan sema
Maximian menatap Beatrice dengan tatapan yang cukup dalam, bahkan Beatrice menyadari tatapan itu, namun seberusaha mungkin dia menyembunyikan kegugupan dengan mengajak mengobrol Deon dan Fani. ‘Maximian hanya diam menatap Beatrice dan kedua ketiga anaknya itu secara bergantian. Maximian tidak ingin mengganggu tidur Helen yang di brankar itu. Pikiran Maximian berperang “Kenapa tuan menatapku seperti itu? Apa tuan merasa menyesal membawa putriku ke rumah sakit tuan?” tanya Beatrice karena mulai risih dengan pandangan Maximian kepadanya. Maximian yang awalnya di seberang brankar, berjalan mengitari brankar tempat Helen tertidur dan berdiri tepat di depan Beatrice dan kedua anaknya itu. “Maafkan aku,” Maximian menundukkan kepalanya, air matanya menetes tanpa sadar. “Kenapa paman meminta maaf, paman tidak bersalah. Harusnya kami berterima kasih karena paman membantu membawa adikku ke rumah sakit,” ucap Fani. “Tiffani, kecilkan suaramu yang seperti toa itu, itu akan membuat