LOGIN
"Ayah, satu hari ini, sudah ada empat orang yang mencariku untuk menagih hutang ayah. Mereka datang ke tempatku bekerja. Setiap hari selalu ada orang berbeda mencariku. Ayah ngutang ke mana-mana hanya untuk mabuk dan bermain judi. Besok pasti ada orang baru lagi untuk mencariku menagih hutang ayah. Demi kesenangan ayah, aku harus terusik."
Mau sampai kapan harus begini, ayah?" keluh Beatrice saat sudah tiba di rumah malam hari. "Kau berisik sekali, bayarkan saja," jawab Jhon, ayahnya Beatrice dengan entengnya. "Aku bayarnya pakai apa, ayah? Daun? Ayah berhutang di mana-mana dan tidak ada hasil dari hutang ayah itu. Di mana hati ayah, menyiksa putri ayah hanya untuk ayah hidup semaunya ayah? Di mana peran ayah sebagai seorang ayah?" keluh Beatrice. Jhon yang mendengar itu kesal dan mendekati Beatrice. "Kau sudah berani melawanku sekarang, Beatrice?" Marah Jhon. Beatrice menarik napasnya dalam-dalam dan menatap wajah ayahnya dengan tatapan kecewa. "Aku tidak melawan ayah. Hanya saja, aku tidak tahu harus seperti apa lagi untuk membayarkan hutang-hutang ayah yang ada di mana-mana itu. Upahku tidak begitu cukup banyak untuk itu, ayah," tangis Beatrice. Jhon yang mabuk mendekat dan menarik rambut Beatrice dengan kencang. "Lepaskan ayah, itu sakit sekali," ucap Beatrice dengan merintih perih karena Jhon yang tiba-tiba menarik rambut putrinya dengan tiba-tiba. "Aku tidak suka kau yang membangkang. Kau tidak tahu setia berbakti lagi?" kata-kata andalan yang keluar dari mulut Jhon ketika berhadapan dengan Beatrice. Sekalipun Jhon sering melakukan kekerasan itu kepada Beatrice, hal itu tidak membuat Beatrice tidak merasakan rasa sakit. Beatrice selalu meringis ketika ayahnya menyiksanya. Bahkan Jhon sesekali juga memberikan tamparan yang cukup keras di wajah Beatrice. "Lepaskan ayah. Sakit sekali," Beatrice menepuk-nepuk tangan ayahnya dengan kecil berharap tangan Jhon lepas dari rambutnya. Jhon mendorong Beatrice hingga Beatrice terjatuh ke lantai. "Jangan sampai kau lagi melawan dan membantahku. Aku akan memberikan kau pelajaran lebih dari ini. Salah ibumu dulu terlalu memanjakan kau. Sekarang kau tumbuh menjadi seorang pembangkang," kesal Jhon. Tangis Beatrice akhirnya pecah saat mendengar ucapan ayahnya itu. Memang benar adanya saat ibunya masih hidup, Beatrice cukup dimanja ibunya. Sekalipun mereka hidup dari ketidakmampuan, namun tidak membuat Beatrice merasa kehilangan rasa kasih sayang dari ibunya. "Ibu. Beatrice lelah, ibu," tangis Beatrice. Jhon mendengar itu memutar bola matanya malas mendengar tangis Beatrice yang terduduk di lantai itu. Jhon masuk ke dalam kamarnya dan mengabaikan putrinya. "Ibu, saat ibu masih ada. Aku masih memiliki tempat setidaknya untuk berlindung dari hidup yang begitu menyakitkan ini. Berlindung di belakang tubuh ibu saat menghindar dari ayah. Sekarang, aku sendirian. Aku tidak tahu harus bersembunyi dari amukan ayah. Pasti ibu melihat seberapa menderitanya aku hidup tanpa ibu. Semua orang selalu mengolok-olok aku dan tidak ada pembelaan seperti saat ibu masih hidup dan membelaku dari mereka. Sekarang, Ayah bahkan mendengar olokan mereka tanpa membelaku sedikit pun. Aku lelah, ibu," tangis Beatrice dan menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya. Cukup lama Beatrice menangis dan duduk di lantai itu, mengabaikan perutnya yang lapar. Beatrice memilih masuk ke dalam kamarnya untuk menenangkan dirinya. Beatrice yang merasa lelah menangis itu akhirnya tertidur tanpa membersihkan tubuhnya setelah selesai bekerja dari kilang gandum tempatnya bekerja. Hingga pagi hari, Beatrice bangun sedikit terlambat. Beatrice dengan buru-buru beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. "Aduh, ini sudah pukul enam pagi. Aku sudah terlambat, belum lagi harus memasak untuk sarapan pagi ini," keluh Beatrice sambil berlari ke kamar mandi yang berada di bagian belakang rumah yang terpisah dengan rumah utama. Baru saja Beatrice selesai mandi, suara gedoran pintu dan terdengar sangat kencang membuat Beatrice merasa kesal dan bingung. "Siapa pagi-pagi begini mengetuk pintu rumah seperti orang gila itu?" kesal Beatrice dan berjalan ke arah pintu untuk memastikan siapa orang itu. "Lama sekali. Apa kau pura-pura tuli?" kesal orang itu kepada Beatrice. Beatrice awalnya terdiam dan sudah tahu orang itu pasti mencari ayahnya untuk menagih hutang ayahnya. Beatrice melirik kiri kanan luar rumahnya itu, sesuai perkiraannya, tetangganya menontonnya dengan penasaran. Beatrice menarik napasnya dalam-dalam. "Silakan masuk dulu, tuan," ucap Beatrice dengan lembut. "Tidak perlu. Kami kesini untuk menagih hutang Jhon, atau kau putrinya kan? Bayarkan saja," Beatrice mendengar itu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan ayahnya. "Sekarang bayarkan hutang kalian. Aku tidak peduli lagi dan jangan salahkan kami jika menyita rumah ini jika kalian tidak bayarkan. Walaupun tidak setimpal dengan hutang ayahmu," lanjut salah satu dari dua pria berbadan gagah itu. Beatrice melotot dan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak ada yang boleh mengambil alih rumah ini, ini adalah peninggalan ibuku," marah Beatrice dan mendorong tubuh salah satu dari pria itu. "Berani sekali kau!" orang itu menatap Beatrice dengan tatapan tajam. "Berisik sekali. Apa mereka tidak tahu suara mereka itu mengganggu tidurku?" Marah Jhon keluar dari kamarnya menemui Beatrice. Mata Jhon yang tadinya mata lelah dan dengan cepat melotot. "Selamat pagi, Tuan Jhon yang terhormat," sapa orang itu dengan nada dingin. Jhon terdiam menatap lurus dan mata terbuka, sapaan itu tidak dijawab oleh Jhon.“Sepertinya penanganan di rumah sakit ini tidak ada benarnya, bagaimana mungkin seseorang yang sudah di tangani dokter yang katanya profesional itu tidak mampu memberikan yang terbaiknya, yang ada anak itu semakin parah. Dimana keahlian mereka?” marah Maximian yang berada di luar ruangan itu, sambil mendaratkan beberapa pukulan di dinding. Tiffani bersembunyi di balik tubuh Beatrice, sementara Deon hanya berdiri sambil menatap pintu ruangan Helen di rawat, seakan akan tidak ingin mengalihkan pandangannya dari pintu itu sampai pintu itu terbuka. Beatrice mencoba menenangkan Tiffani yang berada dibelakang Beatrice. Gage menyadari itu lalu mendekat ke arah Maximian. “Tuan, sepertinya salah satu anak itu takut melihat tuan seperti itu, kontrol emosimu tuan,” bisik Gage, Maximian tersadar dan melihat ke arah Tiffani yang ketakutan. “Ah maafkan paman, Fani. Paman tidak mampu mengendalikan emosi paman,” ucap Maximian sambil menurunkan tubuhnya sambil merentangkan tangannya. “Sepertinya
“Aku mendengar kau sudah memiliki anak dari seorang gadis malam.” Ucap Graciella istri dari Robert, saat Maximian menemui kakeknya di rumah saat mendengar kakeknya sudah sadarkan diri. “Ini pasti ibu yang memberitahu,” gumam Maximian kecil. “Kau jauhi wanita itu, dia hukan wanita yang baik baik. Bukankah ibumu sudah mengenalkanmu dengan Jessie yang jelas jelas perempuan baik baik?” ucap Graciella. Robert hanya diam menatap plafon kamarnya dengan tatapan kosong. “Aku kesini hanya untuk menemui kakek, bukan untuk mendengarkan omongan yang tidak penting,” Ucap Maximian. Graciella terkejut, begitu juga dengan Robert mengalihkan pandangannya menatap cucunya yang duduk di kursi sebelah kasurnya itu. “Sejak kapan kau melawan seperti ini Maximian?” ucap Robert dengan suara dinginnya. Graciella menggelngkan kepalanya. “Aku memiliki anak dengan perempuan itu,” mendengar itu Robert semakin terkejut. “Bagaimana mungkin kau sangat yakin jika itu anakmu. Sementara dia hanya wanita malam yang
“Selamat pagi paman,” sapa Tiffani yang sejak kapan berdiri disamping sofa besar Maximian tidur. “Ah iya pagi Fani, sudah lama berdiri disana?” tanyanya. Tiffani mengangguk dengan polosnya, Maximian melirik sekilas ke arah Beatrice yang sedang memberikan makan Helen. “Kata ibu paman sedang tidak enak badan, itu yang membuat Tiffani tidak membangunkan paman. Takut membuat paman tidak nyaman tidur dan membuat paman semakan sakit.” Maximian menggelengkan kepalanya kecil, melihat sifat manis Tiffani kepadanya. “Terima kasih, Beatrice,” ucap Maximian dengan tulus. “Kau tiba tiba tidak sadarkan diri semalam, dan aku tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa, dan aku meminta salah satu keluarga pasien yang lewat semalam dari depan pintu kamar ini, dan dia menggendong mu untuk masuk di dalam.” Maximian mengangguk mengerti. “Baiklah, ini sudah pagi, tidak baik jika kau berada di ruangan ini berlama lama. Akan menggiring isu yang tidak baik. Aku sudah menghubungi Gage untuk menjemp
“Kenapa kau muncul setelah apa yang dijalani Beatrice selama ini?” tanya Thomas dengan suara dingin menatap Maximian. “Kau tidak ada hak untuk tahu banyak tentangku dan Beatrice,” tegas Maximian. Pandangannya mengunci mata Thomas yang terlihat lelah itu saat melewati perjalanan yang cukup panjang setelah mendengar Helen sakit, dan menjaga tidur Helen agar tetap nyaman itu. “Dia sudah cerita kepadaku, kalau kalian tidak memiliki hubungan apa apa. Dan bahkan kau yang menegaskan kepadanya untuk tidak memunculkan dirinya di depanmu setelah malam kejadian itu terjadi. Bukankah begitu?” Mendengar itu, perasaan Maximian semakin panas. “Tuan Maximian, aku rasa tuan bisa mencari bahkan banyak wanita yang jauh lebih sempurna yang tuan bisa dapatkan diluar sana. Jangan menganggu Beatrice lagi. Aku akan menjamin mereka dan ketiga anaknya.” Maximian semakin panas dan menarik kerah kemeja Thomas. Namun Thomas tersenyum dan menatap teduh mata Maximian. “Untuk apa kau mengejar wanita malam yang
Maximian parkirkan mobilnya, lalu masuk ke dalam rumah milik kakeknya dan menemui kakeknya yang sedang rebahan di kasur dan selang infus terhubung di tangannya. Maximian sudah paham betul apa yang akan didengarnya di dalam rumah itu. Dan benar saja, Maximian melangkah dan tiba di ruang tamu dimana semua satu keluarga berkumpul, Ariana menatapnya dengan tatapan tidak enak. Maximian mengabaikan itu. Maximian hendak melanjutkan langkahnya menuju kamar kakeknya namun suara ibunya membuatnya berhenti sebentar. “Ternyata kau ingat kalau kau masih memiliki keluarga, Maximian!” tekan Ariana. Maximian menarik nafas dan memandang ibunya sebentar. “Aku harap ibu jangan membuatku semakin menjauh dari keluarga ini,” mendengar itu Ariana merasa sakit hati karena ucapan putra satu satunya itu. “Kau mengatakan seperti itu kepada ibu, Maximian?” tatapan Ariana berubah menjadi sendu. “Aku datang kesini karena hanya ingin melihat keadaan kakek saja, aku tahu kalian juga berkumpul disini bukan sema
Maximian menatap Beatrice dengan tatapan yang cukup dalam, bahkan Beatrice menyadari tatapan itu, namun seberusaha mungkin dia menyembunyikan kegugupan dengan mengajak mengobrol Deon dan Fani. ‘Maximian hanya diam menatap Beatrice dan kedua ketiga anaknya itu secara bergantian. Maximian tidak ingin mengganggu tidur Helen yang di brankar itu. Pikiran Maximian berperang “Kenapa tuan menatapku seperti itu? Apa tuan merasa menyesal membawa putriku ke rumah sakit tuan?” tanya Beatrice karena mulai risih dengan pandangan Maximian kepadanya. Maximian yang awalnya di seberang brankar, berjalan mengitari brankar tempat Helen tertidur dan berdiri tepat di depan Beatrice dan kedua anaknya itu. “Maafkan aku,” Maximian menundukkan kepalanya, air matanya menetes tanpa sadar. “Kenapa paman meminta maaf, paman tidak bersalah. Harusnya kami berterima kasih karena paman membantu membawa adikku ke rumah sakit,” ucap Fani. “Tiffani, kecilkan suaramu yang seperti toa itu, itu akan membuat






