Masuk"Lalu?" tanya Beatrice dengan suara bergetar sambil menatap Nathan dengan tatapan sedih dan kecewa menjadi satu.
Nathan merasa iba dengan keadaan itu, namun Nathan tidak boleh hanya mempedulikan satu orang saja. Nathan berusaha profesional, sekalipun wanita yang di depannya itu adalah wanita yang menarik perhatiannya. "Aku katakan kau jangan datang dulu sebelum waktu yang kutentukan, maksudku kau boleh bekerja kembali saat semuanya telah membaik. Aku tidak memecatmu, aku pastikan pintu kilang terbuka untukmu saat kau membutuhkan pekerjaan, tapi pastikan orang-orang itu tidak datang kesini lagi," jelas Nathan. "Aku bekerja disini agar bisa menutupi hutang-hutang ayah kepada orang-orang itu, tetapi tuan memberhentikanku bekerja. Tidak apa-apa, tuan, itu adalah hak tuan," ucap Beatrice, dan tidak disadarinya air matanya menetes. Nathan menarik napasnya dalam-dalam dan hampir saja tangan Nathan menyentuh pipi Beatrice, namun Beatrice dengan cepat menghapus jejak air matanya sendiri. Nathan tidak tahu harus mengucapkan apa-apa lagi, Nathan merogoh saku celananya dan menyerahkan upah Beatrice yang sudah ada di dalam amplop. "Maafkan aku, Beatrice, ini upahmu ya," ucap Nathan, dan Beatrice tanpa berucap apa pun pergi meninggalkan Nathan yang berdiri mematung di tempat yang sama. Beatrice mengambil semua peralatan pribadinya dari kilang. Beatrice melangkah keluar kilang, melihat masih ada Nathan berdiri di sana menatapnya dengan tatapan sedih, namun Beatrice berusaha mengabaikan itu. "Permisi, tuan," gumam Beatrice dengan suara kecil saat lewat di depan Nathan. Beatrice melangkahkan kakinya dengan berat sambil menatap lurus kosong ke depan seakan-akan putus asa dengan semua yang dia alami. Orang-orang yang melihat Beatrice sepanjang jalan hanya menggelengkan kepalanya dan beberapa dari mereka mengejek Beatrice. Tidak terasa satu jam lamanya kaki Beatrice melangkah, dan akhirnya Beatrice tiba di rumahnya sore hari. Beatrice sedikit bingung saat melihat pintu rumahnya terbuka kecil. "Siapa di dalam rumah? Tidak mungkin itu ayah. Karena kebiasaannya juga pulang malam atau bahkan subuh," gumam Beatrice. Dengan cepat dan mengabaikan rasa sakit hatinya setelah dipecat itu, Beatrice melangkahkan kakinya dengan cepat masuk ke dalam rumahnya. Saat berada di ruang tamu, Beatrice melihat ayahnya sedang bersama seorang wanita yang sudah cukup berumur namun terlihat cantik. "Ini putriku yang kuceritakan itu," jelas Jhon memperkenalkan Beatrice kepada wanita itu. Kebingungan tergambar di wajah Beatrice. Wanita itu menatap Beatrice dari atas hingga ke bawah lalu tersenyum dengan lembut menyapa Beatrice. "Gadis yang cantik, siapa namamu?" tanya wanita itu berdiri dan menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Masih dengan pikiran penasaran dan bingung, Beatrice masih mencoba untuk menyambut dengan tenang. "Salam, nyonya. Aku Beatrice," Wanita itu mengangguk dan tersenyum. "Aku Valery, orang-orang biasa memanggilku Vale. Senang berkenalan dengan Beatrice. Kau cantik sama seperti ayahmu menceritakan bagaimana kecantikanmu kepadaku," Beatrice tersenyum kaku dan melirik ayahnya untuk meminta penjelasan. Namun Valery yang melihat itu mengerti dan membuka suaranya kembali, tersenyum manis menatap Beatrice. "Mungkin kau bertanya siapa aku, iya kan? Aku salah satu pemilik klub malam, dan ayahmu memintaku untuk mempekerjakanmu di sana. Awalnya aku ragu untuk menerima, namun ayahmu meyakinkan aku untuk menerimamu karena kau orang yang telaten dan cantik. Terbukti ayahmu benar setelah aku melihat kau secara langsung." Beatrice mendengar itu bagaikan tersambar petir di sore hari. "Ayah," gumam Beatrice dengan suara bergetar, mata berkaca-kaca. Belum hilang rasa sakit hatinya kepada ayahnya perihal rumah yang hampir disita, ditambah lagi dengan keadaan sekarang ini. "Ayah melakukan ini bukan semata-mata kemauan ayah, ayah hanya ingin rumah peninggalan ibu tidak disita. Dan kau harus tahu jika kau mengiyakan dan ikut bekerja dengannya, kau akan bisa membayar hutang dan mempertahankan rumah ini. Itu sudah perjanjian kami dengan nyonya Valery. Benar kan, nyonya?" tanya Jhon memastikan. "Benar sekali, Beatrice," Valery mengangguk kecil. Sebenarnya Beatrice sedikit bingung melihat sifat ayahnya itu, kali ini ketika mengatakan sesuatu ayahnya tidak marah. "Masih banyak pekerjaan lainnya, ayah. Kenapa harus bekerja di klub malam? Apa tidak ada pekerjaan lain? Lalu kenapa harus aku? Kenapa bukan ayah saja? Aku perempuan, ayah. Bagaimana jika hal yang tidak diinginkan terjadi? Apa ayah mikir sampai kesana, ayah?" keluh Beatrice di depan Valery. "Pekerjaan ini bukan seperti yang kau pikirkan. Tugasmu tidak melayani laki-laki hidung belang. Hanya mengantarkan minuman pada pemesan saja. Aku pastikan tidak terjadi seperti apa yang kau takutkan," jelas Valery dengan sabar. "Lebih baik aku mencari pekerjaan lain saja, boleh kan, ayah? Aku akan bayar hutang-hutang ayah pada orang itu," tolak Beatrice. "Dengan cara seperti apa? Dari kilang gandum? Kau bekerja di sana saja upahnya hanya cukup untuk makan," Jhon mulai kesal menghadapi Beatrice. "Aku tidak memiliki waktu yang banyak. Jika kau tidak ingin juga tidak apa-apa. Masih banyak di luar sana yang jauh lebih cantik dan mau dibayar sebesar satu hingga dua juta per harinya," Beatrice mendengar itu terdiam, dan baginya itu gaji satu bulan. "Baiklah, aku permisi. Aku mencari yang lain saja. Aku harap kau tidak mencariku lagi, Jhon, untuk itu," Valery berdiri dan melangkahkan kakinya meninggalkan rumah itu. Lagi-lagi tangan Jhon mendarat di wajah Beatrice karena marah. Beatrice memegang pipinya. "Nanti kau kuantarkan bertemu dengannya. Kau tidak boleh menolak. Kau mengerti," marah ayahnya dan pergi keluar mencoba mengejar Valery.“Lepaskan tuan, ini sudah melebihi dari perjanjian,” keluh Beatrice sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari tindihan pria yang sedang berada diatasnya. Perlawanan Beatrice itu tidak membuat Maximian yang berada diatasnya merasa terganggu, karena tenaga Beatrice tidak sebanding dengan kekuatannya. Maximian mendaratkan bibirnya tepat di bibir mungil Beatrice. Beatrice menggeleng gelengkan kepalanya dan tangannya masih memukul dan mencoba mendorong pemilik dada bidang itu. Hampir satu menit bibir Maximian mencium lembut bibir Beatrice. Lama kelamaan pukulan Beatrice di dada bidang Maximian mulai lemah dan akhirnya Maximian mulai semakin ganas mencium bibir mungil milik Beatrice. Beatrice yang tidak sadar akhirnya mencoba membalas ciuman Maximian, namun Maximian sadar jika ciuman Beatrice sangat kaku. Namun hal itu tidak membuat Maximian marah.Padahal sebelum sebelumnya saat Maximian tidur bersama gadis lain, Jika gadis itu tidak lebih dominan akan membuatnya murka, berbeda denga
“Bukankah nyonya mengatakan akan membimbingku selama bekerja?” ucap Beatrice mencoba menahan Valery. “Gunakan kata hati dan nalurimu saja, sayang. Aku permisi,” ucap Valery kepada Beatrice dan meninggalkan gedung itu.Pria yang ditemuinya itu benar seperti yang diceritakan oleh Valery. Kulit sudah tua, namun masih terlihat terawat, berambut putih. “Bawa dia ke dalam mobil,” perintah Batara kepada pengawal yang ada di sana. Beatrice bingung dan dituntun masuk ke dalam mobil. “Kita mau ke mana lagi, tuan?” tanya Beatrice. Tidak ada jawaban. Rasa takut menghantui Beatrice.Batara dan Beatrice berada di dalam mobil itu hanya berdiam diri saja tanpa ada bicara apa pun. Beatrice hanya sibuk menatap gelapnya malam di balik kaca mobil itu. Hampir satu jam perjalanan, mereka tiba di sebuah rumah yang jauh lebih mewah lagi dari rumah sebelumnya, namun suasana rumah itu tidak ada bangunan lainnya. Beatrice bingung. “Sudah sampai. Ayo turun,” Batara akhirnya membuka suara. “Sebenarnya ini di
“Cukup mahal. Aku berharap kali ini tidak mengecewakan dan tidak ada kebohongan dari mulutmu lagi Valery. Sekali lagi terjadi seperti sebelumnya, Kau tahu seperti apa hukuman yang akan kau terima kan?” tanya orang dibalik panggilan ponsel itu. “Aku pastikan tuan tidak kecewa.” Jawab Valery mantap. “Baiklah, aku transfer sekarang. Dalam satu jam ke depan aku harap kau antarkan bertemu denganku, dandan dia semenarik mungkin” ponsel dimatikan sepihak namun Valery tersenyum bahagia. Benar saja tidak dalam dua menit, bunyi ponsel Valery berbunyi dan menampilkan nominal bayaran masuk ke Valery, sama dengan yang dia minta. Senyum lebar Valery tidak hilang dari wajah Valery. “Baiklah. Sepertinya kali ini adalah rezekimu Beatrice. Kau hanya menemani seorang pria kaya raya. Aku berikan uang bayaranmu lima ratus juta sekarang, jika kau menyenangkan hatinya. kau akan mendapatkan insentif lagi” jelas Valery. Mendengar itu Beatrice dan Jhon terkejut. Tidak pernah ada dipikiran mereka un
Malam itu juga, Jhon dan Beatrice dijemput sebuah mobil untuk mengantarkan Beatrice ke klub malam milik Valery. Jhon membawa Beatrice ke pusat kota di London. Jhon tidak peduli seberapa banyak air mata putrinya itu menetes. Jhon hanya memikirkan uang saja. "Ayah, apa ayah tidak berubah pikiran?" tanya Beatrice memastikan kembali dan berusaha membuka hati ayahnya. "Tidak. Kau tidak perlu bertanya apa pun, siapkan saja dirimu," jawab Jhon. Sepanjang perjalanan dari desa mereka ke pusat perkotaan London hanya diam, tidak ada suara apa pun terdengar selain suara mesin mobil itu. Jhon dan Beatrice sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga dua jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di salah satu tempat yang terlihat mewah dari gedungnya, dan Beatrice melihat perempuan berlalu-lalang menggunakan pakaian serba pendek. "Kita sudah sampai," ucap supir yang membawa mereka. "Terima kasih, tuan. Ayo, Beatrice, turun cepat," ajak Jhon. Namun Beatrice dengan cepat menggelengkan kepalanya, membu
"Lalu?" tanya Beatrice dengan suara bergetar sambil menatap Nathan dengan tatapan sedih dan kecewa menjadi satu.Nathan merasa iba dengan keadaan itu, namun Nathan tidak boleh hanya mempedulikan satu orang saja. Nathan berusaha profesional, sekalipun wanita yang di depannya itu adalah wanita yang menarik perhatiannya."Aku katakan kau jangan datang dulu sebelum waktu yang kutentukan, maksudku kau boleh bekerja kembali saat semuanya telah membaik. Aku tidak memecatmu, aku pastikan pintu kilang terbuka untukmu saat kau membutuhkan pekerjaan, tapi pastikan orang-orang itu tidak datang kesini lagi," jelas Nathan."Aku bekerja disini agar bisa menutupi hutang-hutang ayah kepada orang-orang itu, tetapi tuan memberhentikanku bekerja. Tidak apa-apa, tuan, itu adalah hak tuan," ucap Beatrice, dan tidak disadarinya air matanya menetes.Nathan menarik napasnya dalam-dalam dan hampir saja tangan Nathan menyentuh pipi Beatrice, namun Beatrice dengan cepat menghapus jejak air matanya sendiri. Natha
“Selamat pagi, Tuan Jhon yang terhormat. Sepertinya tidur tuan sangat nyenyak malam tadi. Maaf sekali pagi ini kedatangan kami kesini mengganggu tidurmu, tuan Jhon," sindir salah satu dari mereka.Tanpa menjawab sapaan itu, Jhon mendekat ke arah Beatrice."Kau tidak memiliki uang? Berikan berapa yang ada pada mereka," ucap Jhon dengan nada suara kecil namun penuh tekanan.Beatrice diam dan menghapus jejak air matanya."Aku tidak punya uang. Ayah saja jika kau memiliki uang. Kan yang menggunakan uang itu ayah sendiri. Aku tidak pernah menikmati uang itu sama sekali," kesal Beatrice.Kalimat itu membuat Jhon marah."Sudah semakin berani melawan, kau tidak paham arti berbakti lagi, Beatrice?" marah Jhon."Apa? Berbakti seperti apa yang ayah inginkan? Di mana hati dan pikiran ayah? Apa ayah sudah gila? Menjadikan rumah ini sebagai jaminan hutang ayah? Sementara uang itu ayah gunakan hanya untuk kesenangan ayah mabuk dan bermain judi. Urus sendiri, dan aku tidak ingin rumah ini disita," ma







