“Kau sudah menikah?” tanya Esther melihat cincin yang tesemat di jari manis Anne.Anne menarik tangannya dan memberikan seulas senyum sangat tipis. Tak pernah nyaman membicarakan pernikahannya, yang tak ada hubungannya ini pembicaraan dengan orang asing atau bukan. Sejak awal datang ke pesta, semua orang tak berhenti menanyakan pernikahannya dan Luciano, tak lupa juga dengan apakah sudah ada kabar bahagia. Luciano berjanji kabar itu tidak akan lama mereka dengar, dan Anne menyeringai dalam hati.“Sebenarnya, kedua orang tuaku membawaku ke sini karena sebuah perjodohan.”Anne mengangguk, memahami kegundahan yang menyelimuti wajah Esther. Mengingatkannya akan apa yang terjadi padanya beberapa bulan lalu. “Ya, seseorang seperti kita tidak punya banyak pilihan untuk memutuskan pasangan.”“Apa kalian saling jatuh cinta sebelum pernikahan atau sebuah perjodohan sepertiku?”“Perjodohan.” Anne berpaling, membuang tisu kotornya ke tempat sampah.Esther mengangguk-angguk paham.Anne melirik ja
“Kami kebetulan bertemu dan saling menyapa. Pestanya sangat membosankan. Jadi kami butuh menghirup udara segara.” Eshan mengambil alih jawaban.Luciano menoleh ke arah Eshan. Tatapan keduanya saling bertemu dalam ketegangan yang begitu kental, tetapi tak lebih dari itu. “Begitukah?” Salah satu alis Luciano terangkat, kesangsian terlihat jelas di kedua matanya meski senyum terlalu lebar melengkung di kedua ujung bibirnya. “Well, terima kasih sudah sedikit menghibur istriku, Eshan. Kalau begitu, aku bisa mengambil alihnya sekarang. Kami punya banyak cara untuk saling menghibur satu sama lain.” Luciano tak melepaskan pandangannya dari kedua mata Eshan, sembari melepaskan jas pria itu yang digunakan oleh Anne. “Juga saling menghangatkan,” tambahnya mengembalikan jas tersebut pada pemiliknya.Raut Eshan membeku. Tidak bodoh untuk memahami isyarat Luciano untuk tak melangkah lebih jauh dan menahan perhatian apa pun untuk Anne. Eshan jelas tak peduli. Tatapannya bergerak ke wajah Anne yang l
Hati Anne serasa ditusuk, di tempat yang tepat ketika mama Eshan memperkenalkan Esther sebagai calon tunangan Eshan. Bahkan hari pertunangan keduanya sudah ditentukan. Dan secara eksklusif, ia dan Luciano mendapatkan undangan pertama tersebut. Dua minggu yang akan datang.Napas Anne tertahan membaca undangan berwarna putih dengan tinta emas tersebut. Nama Eshan dan Esther sebagai pasangan.Sepanjang obrolan, Anne sama sekali tak banyak membuka mulut. Tangan Luciano tak bergerak dari pinggangnya, sesekali mendaratkan kecupan di pelipis hanya demi menunjukkan kemesraan pernikahan mereka sebagai pengantin baru. Pembicaraan dimulai dengan pertunangan dan perlahan merembet ke bisnis. Sampai akhirnya Anne benar-benar bisa bernapas, ketika Luciano berpamit. Membawanya pergi dari dua keluarga yang hendak menjadi satu keluarga tersebut.Rasa sesak memenuhi dadanya dan hatinya sangat hancur. Baru beberapa saat yang lalu Eshan menggenggam tangannya dan ia mulai berpikir tentang harapan untuk mer
Anne mendorong dada Eshan menjauh, meski keinginannya tak sungguh-sungguh karena setelah ciuman itu selesai. Anne sama sekali tak berusaha membuat jarak di antara semakin menjauh. Wajah keduanya masih cukup dekat, mata menatap mata dan Anne tahu perasaan pria itu masih miliknya."Apakah itu cukup menjelaskan tentang rencana pertunanganku dengan Esther?"Anne mengangguk samar. Sisi wajahnya masih dirangkum kehangatan telapak tangan Eshan dan kelegaan mengaliri tenggorokannya.Eshan menurunkan tangannya, menggenggam tangan Anne dan membawa wanita itu turun ke lantai basement. Keduanya naik mobil Eshan, keluar dari area gedung. Pria itu menggenggam tangan Anne, dengan tangan lainnya yang sibuk dengan setir."Sebelumnya mama mengatakan tentang wanita itu dan memintaku menemuinya. Dua kali pertemuan dan kupikir aku dengan jelas sudah mengatakan tentang penolakan tersebut. Tetapi rupanya Esther mengatakan yang sebaliknya dan rencana itu masih berlangsung."Anne hanya terdiam, mendengarkan k
Anne menggeliatkan tubuhnya, mencoba bangun terduduk. Tetapi hanya dalam satu gerakan yang ringan, tubuhnya kembali terbanting di tempat tidur dan tubuh Luciano berguling menindihnya. Memaku kedua tangannya di atas kepala. Air mata Anne merembes jatuh ke bantal, tetapi ia berusaha menahan isak tangisnya."Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak main-main di belakangku, Anne," desis Luciano di atas wajah Anne."Aku benar-benar membencimu, Luciano.""Maka bencilah aku sesukamu, Anne. Selama kau tahu batasanmu, aku tak akan mempermasalahkan apa pun itu yang ada di kepala dan hatimu."Air mata Anne mengalir, kali ini isakannya terlepas. "Kenapa kau lakukan semua ini pada hidupku, Luciano? Kenapa kau datang dan menghancurkan hidupku? Kenapa kau begitu egois? Aku benar-benar membencimu."Luciano hanya menyeringai. "Aku tak perlu alasan untuk menginginkanmu. Dan ya, aku memang egois. Aku tak akan menolak tuduhanmu. Apakah itu cukup bagimu untuk memahami pernikahan ini?"Anne menggelengkan ke
"Siapa dia?" tanya Anne lagi begitu Luciano sudah ada di depan mereka. Faraz terlihat membungkam, angkat tangan dari situasi ini."Naiklah ke atas, Anne," jawab Luciano dengan perintah yang lain.Anne memasang raut dingin. "Kau tidak menjawab pertanyaanku.""Memang tidak dan itu bukan urusanmu," tandas Luciano dengan tegas. Mengambil tangan Anne dan setengah menyeret wanita itu kembali ke arah lift. Yang membuat Anne jengkel bukan main."Apa hanya aku satu-satunya orang di rumah ini yang paling tidak tahu apa-apa?" ucap Anne setelah keduanya masuk ke dalam lift."Itu hanya bukan urusanmu. Dan kau memang tak perlu tahu apa-apa." Luciano menatap lurus kedua mata Anne, dengan seringai yang tersungging rapi di salah satu ujung bibir. "Rasa ingin tahumu berbanding terbalik dengan penolakan dan kebencianmu terhadapku, Anne."Wajah Anne memias, matanya berkedip dengan gugup dan memalingkan wajah dengan cepat. Pintu lift bergerak membuka dan Anne bergegas keluar lebih dulu. Bisa merasakan tat
Luciano turun tepat ketika jam di tangannya menunjukkan jam satu siang. Dari balik pintu kaca utama, ia bisa melihat bayangan tubuh Anne yang baru saja muncul di lobi. Senyum tersamar di ujung bibir Luciano, ketika perhatiannya teralih oleh mobil yang berhenti di samping mobilnya. Melihat pintu mobil yang terbuka dan permukaan wajahnya membeku melihat wanita yang melangkah turun dari dalam mobil.Untuk sejenak, Luciano benar-benar membeku, hingga pandangan mereka bertemu dan Esther memberikan senyum manisnya mengenali Luciano."Tuan Enzio, Anda di sini?" sapa Esther ketika berhenti tepat di samping Luciano.Luciano mengerjap sekali, mengambil kendali dirinya yang sempat terlepas dan terhanyut emosi untuk sepersekian detik. Luciano memasang seulas senyum dan mengangguk."Anda ingin masuk?" Senyum Esther terlihat begitu ringan sambil menunjuk ke pintu utama spa."Menjemput Anne," jawab Luciano masih dengan seulas senyum."Anda benar-benar tipe suami yang romantis," puji Esther dengan ta
Setelah merampas ponsel Anne, Luciano meninggalkan Anne setelah mengatakan wanita itu akan dikurung di dalam ruangan ini selama satu minggu. Rasanya hukuman fisik tak cukup menyiksa wanita itu.Untuk sesaat, Luciano berniat meniduri Anne dengan cara yang kasar seperti sebelumnya sebagai hukuman akan keberanian wanita itu menentangnya. Namun, rupanya Anne sendiri sudah terbiasa dan bahkan lebih dari siap menerima hukuman tersebut. Yang membuta Luciano menahan diri.Luciano benar-benar kehabisan akal demi membuat wanita itu memahami posisinya. Dan kali ini, cara ini yang ia gunakan untuk membuat wanita itu patuh. Dikurung di dalam ruangan, Luciano akan melihat berapa lama wanita itu akan tahan.Saat ia turun ke lantai satu, Reene langsung menghadangnya di depan tangga. Dengan senyum semringah yang membungkus kelicikan wanita itu.Ya, malam itu ia tahu Anne dan Reene merencanakan sesuatu untuk memperdayainya. Ia sendiri hanya mengetes Anne dan ingin mengejutkan wanita itu. Tetapi ia tak