Jauh di bawah tanah, di reruntuhan kuil kuno yang terkubur oleh waktu dan dilupakan oleh sejarah, sesuatu mulai bergerak. Cahaya biru kehijauan menari di sela-sela ukiran dinding batu yang retak, menggambarkan kisah lama tentang dewa-dewi, perang, dan pengkhianatan.
Di tengah ruangan batu raksasa itu, sebuah kolam air bening memantulkan gambar Alina yang sedang tertidur, wajahnya tenang, namun cahaya samar di dahinya mulai muncul berdenyut pelan seperti bintang yang baru menyala. Sebuah suara berat bergema dari lorong-lorong batu. “Penerus Darah Sirene telah terbangun...” Sosok berjubah hitam yang tadi mengintai di mal, kini berlutut di hadapan kolam. Wajahnya tidak terlihat, namun tubuhnya bergetar karena kekuatan yang terpancar dari bayangan Alina. “Apa perintahmu, Penjaga Mata Air Cahaya?” Dari dalam kolam, cahaya melonjak, membentuk siluet seorang perempuan anggun dengan rambut panjang berkilauan. Wajahnya teduh, namun tatapannya tajam. Ia bukan manusia. Ia adalah Aurellia, sang Penjaga Cahaya, roh pelindung warisan Sirene. “Jangan ganggu anak itu,” suara Aurellia menggema. “Dia belum siap. Namun jika kalian melanggar, maka Keseimbangan Dunia akan hancur lebih cepat dari yang kalian bayangkan.” Sosok berjubah itu tertunduk, tak berani menatap. Namun dari kegelapan lain di balik ruangan itu, suara lain terdengar dingin dan penuh racun. “Tapi bukankah waktunya sudah tiba? Cahaya telah kembali... dan bayangan juga harus bangkit.” Dari balik tirai gelap, sosok tinggi besar muncul. Tubuhnya hitam legam, matanya merah menyala seperti bara. Ia adalah Xaroth, makhluk bayangan yang telah lama diburu oleh keluarga Sirene. Ia tersenyum sinis. “Jika anak itu belum siap, maka biarlah kita yang mempercepatnya. Kirimkan Bayangan Penguji biarkan dia merasa kehilangan... dan lihat apakah kekuatannya bangkit.” ** Sementara itu, di apartemen lantai delapan… Nenek Rosa sedang membaca buku tua yang berisi mantra-mantra perlindungan. Di luar jendela, langit kembali kelabu seperti malam sebelumnya. Tiba-tiba, semua lampu padam. Cahaya mati, dan hanya cahaya bulan samar yang masuk dari sela tirai. Alina terbangun, matanya terbuka perlahan. “Nenek… ada yang aneh…” Nenek Rosa segera berdiri, menggenggam liontin di lehernya. Ia bisa merasakannya udara berubah. Aura gelap menyusup ke dalam rumah. Dari bayangan lorong, sosok kecil dengan mata merah menyala muncul Bayangan Penguji. Alina menatap makhluk itu, matanya tak berkedip. Tapi anehnya… dia tidak takut. Dalam dirinya, ada sesuatu yang bangkit. Suara lembut seperti milik ibunya terdengar di benaknya: “Jangan takut, cahaya ada di dalammu.” Alina berdiri dari ranjang. Langkahnya perlahan namun yakin. Liontin di leher neneknya tiba-tiba bersinar sangat terang, dan pancaran cahayanya mengalir ke arah Alina, menyelimuti tubuhnya dalam cahaya keemasan. Bayangan itu meraung, tubuhnya mulai terurai oleh cahaya suci. Tapi sebelum lenyap sepenuhnya, ia tersenyum... “Kita akan bertemu lagi, Pewaris…” Dan menghilang dalam pusaran asap gelap. ** Setelah semuanya tenang, Alina menatap tangannya yang kini bergetar. “Nenek... aku... apa yang terjadi padaku?” Nenek Rosa tak menjawab segera. Ia memeluk Alina erat-erat, lalu berbisik di telinganya. “Sudah waktunya kau tahu siapa ibumu sebenarnya... dan siapa dirimu, Alina.” Pagi masih enggan menyapa kota, ketika Nenek Rosa membuka kembali kotak kayu tua itu, dan mengeluarkan bukan hanya liontin, tapi juga gulungan kain beludru biru tua yang disimpan rapat di dasar kotak. Di dalamnya, terlipat rapi sebuah lembaran surat yang mulai menguning oleh waktu, dan foto tua seorang perempuan muda dengan senyum yang sangat mirip dengan Alina. "Siapa dia, Nek?" tanya Alina sambil duduk bersila di karpet ruang tengah, matanya masih menyimpan bekas ketakutan semalam. "Itu ibumu, Alenia Sirene," jawab Nenek Rosa dengan lembut, namun tegas. "Dia bukan hanya anak nenek... dia adalah penjaga terakhir dari Cahaya Sirene." Alina terdiam. Matanya membelalak, perlahan melirik liontin yang masih bersinar samar. "Ibumu... berasal dari garis keturunan kuno yang diberkahi kemampuan menyembuhkan, melihat makhluk dari dunia lain, dan melindungi dunia ini dari kehancuran yang dibawa oleh Bayangan." "Seperti bayangan yang kulihat semalam?" Alina berbisik. Nenek Rosa mengangguk. "Itu salah satu dari mereka. Dulu, ada banyak yang mencoba menembus batas antara dunia kita dan dunia mereka. Tapi ibumu... dia mengorbankan segalanya untuk menjaga pintu itu tetap tertutup." Alina menatap foto ibunya dalam diam. “Dia... terlihat baik. Cantik. Tapi kenapa aku tidak pernah tahu apa pun tentang ini sebelumnya?” "Karena kau terlalu kecil waktu itu. Dan karena kami pikir, saat ibumu mati, kekuatannya pun ikut padam... tapi kami salah." Nenek Rosa menatap cucunya dengan mata berat. "Kekuatan itu menurun padamu. Dan semalam... kau sudah membuktikannya." Alina menggenggam liontin itu dengan kedua tangan. Ada kehangatan aneh yang merambat dari logamnya ke dalam dadanya seolah ibunya sedang memeluknya dari dunia lain. “Kenapa aku? Aku hanya... ingin hidup biasa. Pergi sekolah. Bermain dengan Kenzo. Kenapa aku harus... berbeda?” Nenek Rosa tersenyum sendu. “Karena dunia ini tak akan bertahan jika semua orang memilih menjadi biasa. Kau punya pilihan, sayang. Tapi jika kau memilih untuk menghadapi takdirmu… kau tidak akan sendiri. Nenek akan bersamamu.” Alina menunduk lama. Lalu perlahan, ia mengangguk. “Kalau begitu... ajari aku, Nek. Ajari aku segalanya tentang Cahaya.” "Baiklah, nanti nenek akan mengajarimu! sekarang kau harus sekolah dulu, lupakan hal yang semalam, bermainlah dengan teman-temanmu dan tolonglah mereka jika membutuhkan pertolonganmu," "Hmmh, Nenek apa aku juga memiliki kemampuan menyembuhkan?" tanya Alina penasaran saat teringat dengan Kenzo. "Bisa, kau bisa menyembuhkan penyakit mereka dengan kekuatanmu," jawab Nenek Rosa tegas. "Tapi kau tidak bisa menunjukkan pada mereka secara langsung, kalau bisa rahasiakan kekuatanmu agar tidak membahayakanmu. saat ini kau masih kecil, belum bisa membela diri sendiri kalau ada orang yang berniat jahat padamu. jadi Nenek mohon rahasiakan kekuatanmu dari Teman-temanmu termasuk Kenzi," Nenek Rosa mengingatkan Alina dengan wajah serius. "Baiklah Nek. aku mengerti, kalau begitu aku akan mandi dan bersiap ke sekolah dulu," ucap Alina berlari ke kamar mandi dengan membawa handuknya. Alina sudah terbiasa mandi sendiri, bahkan Alina bisa memasak masakan sederhana untuk dirinya makan saat neneknya bekerja. Nenek Rosa tersenyum saat melihat semangat Alina. ** Malam itu, saat kota kembali tenang, dua sosok berkumpul di atas gedung tertinggi kota. Angin meniup jubah panjang mereka, dan di langit, bulan mengintip dari balik awan. “Apa dia telah bangkit?” tanya suara berat seorang pria tinggi berjubah putih keperakan. “Sudah. Warisan Sirene telah menunjukkan sinarnya,” jawab temannya, seorang wanita bermata biru seperti kristal. “Tapi dia masih terlalu muda. Jika Bayangan menyerang lebih awal... dia tidak akan sanggup bertahan.” Pria itu menatap kota dari ketinggian, kemudian menarik napas dalam. “Kalau begitu, kita harus bergerak lebih cepat. Bawa dia ke Lingkaran Cahaya. Latih dia... sebelum semuanya terlambat.” ** Di kamarnya, Alina kembali menulis di buku hariannya. “Aku bukan anak biasa. Tapi aku juga bukan monster. Aku... adalah Cahaya. Dan kalau dunia ini butuh diselamatkan, maka aku akan belajar bagaimana caranya.” Ia menutup bukunya, memandang bintang-bintang kertas yang tertempel di jendelanya. Tapi kali ini, mereka tak hanya menjadi hiasan. Mereka adalah penanda... bahwa seorang penjaga kecil sedang bersiap menghadapi gelapnya dunia. Hari-hari berlalu sejak malam itu, namun hidup Alina tak pernah lagi sama. Sekilas, ia masih gadis kecil yang pergi sekolah, menyantap roti panggang buatan Nenek, dan bermain bersama Kenzo. Tapi di balik senyum dan keceriaan itu, Alina menyimpan rahasia besar tentang kekuatan yang perlahan tumbuh dalam dirinya... dan tentang dunia lain yang mulai terbuka. Nenek Rosa mulai mengajarinya setiap malam, membacakan kitab-kitab lama dengan simbol aneh, memperkenalkan doa-doa kuno dan teknik pernapasan yang dapat menenangkan pikirannya saat penglihatan aneh datang. Suatu malam, saat hujan gerimis membasahi jendela, mereka sedang duduk di depan perapian ketika terdengar ketukan di pintu. Tok... tok... tok... Nenek Rosa langsung bangkit, wajahnya menegang. “Siapa malam-malam begini?” tanya Alina pelan. Nenek tidak menjawab. Ia membuka pintu perlahan. Di baliknya, berdiri dua orang—seorang pria dengan jubah putih panjang dan mata setajam elang, serta seorang wanita anggun dengan rambut perak yang memantulkan cahaya bulan. “Rosa... sudah saatnya.” Nenek menatap mereka dalam diam, sebelum akhirnya mengangguk. “Masuklah.” Alina menatap kedua orang asing itu dengan hati-hati. Namun, ketika pria itu menatapnya, senyumnya lembut dan dalam sekejap, Alina merasa hangat... seperti mengenal mereka dari mimpi. “perkenalkan Aku Kael, dan ini Lyra. Kami utusan dari Lingkaran Cahaya,” ucap sang pria. “Lingkaran Cahaya?” gumam Alina. “Kami adalah penjaga dunia ini, sama seperti ibumu dulu. Dan sekarang, giliranmu, Alina.” Nenek Rosa menatap Alina dengan pandangan penuh harap. “Kau tak harus pergi, jika belum siap. Tapi waktu kita... tidak banyak.” Alina menunduk, mendengar gemuruh halus di dalam dirinya seperti suara hati ibunya yang dulu... dan kini menjadi miliknya. “Aku siap,” ucap Alina. “Tapi... bisakah aku pulang setiap malam? Aku tidak ingin jauh dari Nenek.” Lyra tersenyum. “Latihan bisa dilakukan dari sini. Kami hanya akan membimbingmu. Tapi saat waktunya tiba, kau akan datang ke tempat kami ke Menara Cahaya.” ** Di langit yang gelap, sosok bayangan itu muncul kembali. Ia berdiri di atas menara tua yang terlupakan, ditemani kabut yang membungkus tubuhnya. “Dia mulai dilatih... yang satu ini berbeda. Cahaya Sirene-nya... lebih murni.” Dari balik kabut, muncul dua pasang mata merah menyala. “Jika dia bangkit... segel lama akan melemah. Dunia kita... akan bebas.” Dan tawa bergema dari lorong kegelapan.Putri Elaria memejamkan matanya, berusaha berbicara dengan tanaman yang ada di dekat mereka. "Apa kau melihat orang yang membakar sesuatu di sini?" tanya Elaria bertanya pada tanaman semak belukar yang ada di depan tempat pembakaran. "Iya, dia seorang pria yang memakai baju hitam dan wajahnya memakai topeng." Elaria membuka matanya perlahan. Angin seolah ikut menahan napas, menunggu reaksinya. "Topeng?" gumamnya. "Apakah kau tahu ke mana dia pergi setelah itu?" Tanaman semak itu bergoyang pelan, seolah merenung. "Dia membawa sesuatu yang dibungkus kain. Lalu berjalan ke arah timur… ke arah hutan kabut." Jantung Elaria berdetak lebih cepat. Hutan kabut adalah tempat yang tak banyak orang berani masuki. Terkenal karena kabutnya yang bisa membuat orang kehilangan arah dan ingatan. “Terima kasih,” ucap Elaria tulus. Ia berdiri dan memandang ke arah timur, terlihat berpikir. “Hmm, Ku rasa aku akan kesana besok saja, terlalu berbahaya jika pergi saat malam hari begini," gumam
Beberapa hari kemudian, Setelah menempuh perjalanan yang berbahaya , mereka akhirnya sampai di kerajaan Nethara. Prajurit utusan kerajaan Nethara kemudian melaporkan kedatangan Putri Elaria dan rombongannya, Raja Veron dan para menteri menyambut kedatangan Putri Elaria dan rombongannya. "Selamat datang Tuan Putri Elaria, maaf kami terpaksa merepotkanmu untuk bersedia datang ke kerajaan ku ini," Raja Veron menyapa Putri Elaria ramah. "Terima kasih Yang Mulia Raja Veron atas sambutannya. Aku harap aku bisa membantu kerajaan ini," ucap putri Elaria membungkuk kan tubuhnya sedikit. "Kalian semua pasti lelah, biarkan pelayan memandu kalian ke kamar untuk beristirahat dulu, saat makan siang nanti baru kita mengobrol kembali," Raja Veron memanggil beberapa pelayan untuk mengantarkan tamu-tamunya ke kamar tamu. Putri Elaria menganggukkan kepalanya setuju, karena dia sendiri memang sedikit lelah dan ingin beristirahat dulu sebelum nanti akan menggunakan kekuatannya. Beberapa jam ke
"Kak Leon, ayo makan dulu!" teriak Elaria memanggil Leonhart. Leon akhirnya duduk di samping Putri Elaria, walaupun terlihat canggung. Ia menerima sepotong roti dan secangkir kecil air yang disodorkan gadis kecil itu. "Makanlah kak!" ucap Elaria tersenyum manis. membuat Leon tersipu malu. Putri Elaria terlihat sangat cantik dan menggemaskan menurutnya. "Terima kasih, Tuan Putri," ucap Leon lembut. Putri Elaria mengerucutkan bibirnya sedikit, lalu menggeleng, "Jangan terlalu kaku begitu, panggil aku Elaria saja, Kak Leon, aku merasa jadi tua kalau kau memanggilku Tuan puteri," katanya setengah bercanda. Leon tertawa kecil, tawa yang jarang sekali terdengar. "Baiklah... Elaria," katanya akhirnya, menatap gadis itu dengan tatapan hangat. Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat, ditemani suara angin sepoi dan desiran daun-daun. Kai, kuda hitam miliknya yang setia, duduk beristirahat di dekat mereka sambil meminum susu yang di berikan Elaria. Dia memandangi jalanan yang sep
Putri Elaria dan rombongannya akhirnya memulai perjalanannya, dia naik di atas punggung Kai memacu kudanya lebih cepat, agar mereka cepat sampai ke ladang. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam akhirnya Putri Elaria telah sampai di ladang. Dia tidak menyangka penduduk Desa ini, pagi-pagi sudah bekerja membersihkan sisa panen dan mencangkul tanahnya kembali agar bisa di tanami lagi. "ah...Tuan Putri kau sudah datang!" ucap kepala desa, menatap gadis kecil di depannya penuh hormat. Putri Elaria turun dari kudanya, begitu juga dengan Xira dan Leonhart yang setia mengikuti di belakangnya. "Kepala Desa, ada apa ini? kenapa pagi-pagi warga desa ramai sekali ada disini?" tanya putri Elaria heran, mendekati kerumunan para warga yang terlihat sedang mencangkul ladangnya. "Ah...Tuan Puteri melihat hasil panen kemarin, semua warga jadi terlalu bersemangat, hingga kami ingin lahan ini bisa segera di tanami lagi," ucap kepala Desa tersenyum malu. Putri Elaria tersenyum, dia senang me
Mereka semua sampai di istana saat malam hari, untung saja Elaria membawa bola cahaya dan memberikan sedikit kekuatannya agar bola cahaya itu dapat bersinat terang.. Setibanya di istana, gerbang besar Kerajaan terbuka perlahan, menyambut rombongan kecil yang baru saja kembali dari ladang. Cahaya bola sihir yang dibawa Putri Elaria berpendar lembut, menerangi jalan setapak berbatu yang mengarah ke pelataran istana. Para penjaga memberi hormat, sementara para pelayan segera datang menyambut dan mengambil alih kereta barang yang penuh dengan hasil panen. Kai berjalan gagah, meskipun masih sempat melirik ke arah keranjang buah, berharap ada apel tersisa. Tapi Elaria sudah memperingatkan dengan tatapan tajam yang membuat Kai langsung menunduk, pura-pura sibuk menjaga sikap sebagai kuda kerajaan yang bermartabat. Di dalam istana, Raja Simon menunggu di ruang singgasana, ditemani sang istri Ratu Aeris dan beberapa penasihat serta jenderal kepercayaannya. Matanya terlihat lelah, namun k
Sementara itu, jauh di tanah tandus Nethara, Raja Veron berdiri di balkon tinggi istananya. Matanya menatap cakrawala yang mulai berubah warna menjadi kelabu kehijauan, pertanda bahwa makhluk-makhluk yang menyerang kerajaannya itu semakin mendekat ke pusat kerajaan. Angin malam di Nethara berembus pelan, dari celah-celah pegunungan yang jauh. Raja Veron menghela napas panjang, seakan ingin membuang segala beban yang menggumpal di dadanya. Ia tahu waktunya hampir habis rakyatnya tidak akan bisa bertahan karena mahluk yang datang menyerang kerajaan mereka membuat sumber mata air kering, hewan piaraan mati, tanaman yang mereka tanam mati semua, bahkan penyakit aneh tiba-tiba menyerang hampir semua rakyatnya, membuat para tabib kewalahan. Setelah Putri Elaria selesai menerima tamu kerajaan Nethara, dia bersama Xira meneruskan rencana melihat tanah yang akan di tanaminya untuk mengatasi bahan pangan saat kemarau nanti. Putri Elaria dan Xira menaiki kuda mereka masing-masing di ikuti pa