Aeron dan Alina berdiri saling berhadapan di bawah langit yang kini retak oleh celah antara dua dunia. Angin berdesir kencang, membawa serpihan bayangan dan percikan cahaya ke sekeliling mereka. Semua penjaga kuil menahan napas, tak satu pun berani mendekat, takut menyentuh keseimbangan rapuh antara terang dan gelap yang kini berada dalam tubuh dua anak kecil itu.
"Aeron…" suara Alina pelan, namun jelas, "aku tahu kau bisa mendengarku. Aku tahu kau bukan milik kegelapan itu." "Aeron, dengarkan aku! kau adalah saudara kembarku, kalau kau tidak percaya, lihatlah bahu kananmu apakah memiliki tanda lahir berbentuk matahari atau tidak? karena aku juga memiliki tanda lahir itu,"sambung Alina berusaha menyadarkan Aeron. Aeron tidak menjawab. Matanya gelap dan dalam, tapi untuk sesaat, pupilnya tampak bergetar. Seberkas cahaya seperti hendak muncul… tapi lenyap kembali. Di atas mereka, Morvak muncul dari pusaran langit dengan jubah panjang yang menjuntai seperti kabut hitam. Suaranya menggema, dingin dan tajam. “Cukup, Alina. Anak ini bukan saudaramu lagi. Ia adalah milikku sejak hari kelahirannya. Dan malam ini… akan menjadi awal kehancuran dirimu pewaris Sirene.” ucap morvak dengan raut wajah datar dan dingin. Morvak mengangkat tangannya. Bayangan menggulung seperti ombak hitam dan menyambar ke arah Alina. Tapi tepat sebelum mengenai gadis kecil itu, Aeron bergerak cepat. Ia berdiri di depan Alina dan menyilangkan tangannya, membentuk perisai gelap yang menahan serangan Morvak. Semua orang tercengang. Termasuk Morvak. “Aeron?” desis Morvak terkejut dengan perubahan situasi yang tidak dia perkirakan. Aeron berbalik, menatap Alina dengan mata yang kini setengah gelap, setengah terang. “Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya,” bisik Aeron, “tapi saat aku melihatmu… aku merasa hangat. Aku merasa seperti… rumah.” Aeron meringis merasakan sakit di kepalanya. matanya perlahan memancarkan cahaya kehidupan. Alina tersenyum lirih, lalu perlahan meraih tangannya. Saat jari mereka bersentuhan, liontin Alina bersinar menyilaukan. Cahaya itu merambat ke tubuh Aeron, dan dari dalam dadanya, muncul sinar lembut yang serupa. Dalam sekejap, kegelapan yang membelenggu tubuh Aeron seperti retak-retak. “Tidak!!” teriak Morvak. Ia melayang turun, hendak memisahkan keduanya, tapi cahaya dari dua saudara itu kini telah membentuk semacam kubah pelindung, mendorong Morvak mundur. Celah di langit bergetar hebat. Dunia tidak bisa menanggung kekuatan mereka bersatu terlalu lama. Lyra melangkah maju, wajahnya pucat. “Kael, kita harus menutup celah itu sekarang, sebelum dunia ini terbelah!” “Tapi kalau kita tutup sekarang, Aeron bisa terjebak di sisi lain!” “Tapi jika tidak, semua akan musnah!” ucap Lyra cemas. Alina menoleh ke mereka, lalu ke Aeron yang kini mulai tersenyum pelan. “Aku akan ikut menutupnya,” kata Aeron. “Tapi… aku ingin kembali. Bersamamu.” Alina menggenggam tangannya lebih erat. “Kau tidak sendiri. Kita akan kembali… bersama.” Bersama-sama, kedua anak itu melangkah ke pusat celah yang terbuka di udara, cahaya mereka menyatu membentuk simbol kuno dua daun saling bertaut. Kekuatan itu merambat ke langit, memaksa celah perlahan menutup kembali, sambil menarik semua bayangan masuk bersamanya, termasuk Morvak yang meraung marah. Bayangannya menghilang saat terkena cahaya yang keluar dari kalung keduanya. Dan dengan dentuman terakhir, langit menjadi utuh kembali. Sunyi. Tenang. Namun... Alina dan Aeron sudah tidak ada. Tubuh mereka berdua menghilang dari dunia ini, dan entah berada dimana. ** Kael dan Lyra berdiri dalam keheningan, menatap tempat terakhir dua anak itu berdiri. Di tanah, hanya liontin perak yang tertinggal, bersinar lembut... seperti menunggu waktu. “Apa yang terjadi? apa mereka telah tiada karena menyelamatkan dunia ini?" Lyra terlihat bingung, seharusnya bukan seperti ini kejadiannya. "kekuatan mereka yang besar tidak sanggup di tanggung oleh tubuh mereka yang masih kecil. Apakah mereka akan kembali…?” tanya Lyra pelan merasa sedih dan kehilangan, mereka baru merasakan bersama-sama sebentar dan kini mereka harus kehilangan lagi. Kael menggenggam liontin itu. “Ya… mereka akan kembali. Karena cahaya yang saling menemukan… tidak akan pernah padam, tetapi mungkin bukan di dunia kita mereka kembali, mungkin saja mereka akan ada di dunia lainnya dengan tubuh berbeda karena tubuh mereka berdua yang masih kecil kemungkinan sudah lenyap” ucap Kael merasa sedih. Entah sejak kapan hatinya berubah, dia ternyata sangat menyayangi Alina, dan sekarang dia merasa sangat kehilangan, wajahnya muram dan dunianya yang baru berwarna kembali suram dan dingin. Kael baru merasakan kehangatan di hatinya saat bersama Alina, menjemputnya sekolah. mengajarinya kekuatan dengan sabar hingga berhasil menguasai kekuatannya. kini Alinanya yang ceria telah pergi apa yang harus di lakukannya sekarang. Dia tidak mau kehilangannya, tapi semua telah terjadi. Haruskah dia masuk ke semua dimensi sampai bisa menemukan alinanya kembali, tapi itu melanggar aturan. Kael merasa dilema antara mencari kebahagiaannya dengan menentang aturan atau menjalani hari yang sepi selamanya seorang diri. **Langit di atas mereka berwarna ungu kelam, seperti senja yang tak pernah usai. Tanah di bawah kaki mereka keras dan berbatu, dengan retakan-retakan yang memancarkan cahaya merah redup. Di kejauhan, terlihat siluet reruntuhan bangunan kuno, menjulang seperti bekas istana yang terbakar waktu. Di sekeliling, kabut berubah menjadi kabut merah tipis yang menggantung di udara seperti napas makhluk yang tertahan. Leon langsung siaga, mengamati sekitar dengan tajam. "Dimana ini? Apa... yang terjadi?" Elaria memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan getaran tempat itu. “Ini bukan dunia kita. Ini dimensi lain… Sebenarnya apa yang kita hadapi.” gumamnya pelan. Tiba-tiba, suara berat menggema dari langit. Bukan suara pria berjubah itu, namun lebih dalam, seperti suara bumi itu sendiri. “Selamat datang, Putri… kau telah membuka gerbang yang tersegel ribuan tahun. Kini masa lalu akan bangkit… dan pilihanmu akan menentukan masa depan dua dunia.” "Masa depan dua dunia, apa maksudnya? Masa
Saat sinar mentari pagi menyibak kegelapan malam, kabut perlahan-lahan mulai menyusup dari celah pepohonan di timur. Ia menjalar seperti jari-jari halus yang mencoba merengkuh dunia di luar hutan kabut. Putri Elaria keluar dari tenda dengan jubah tebalnya, matanya langsung tertuju ke arah hutan yang mulai diselimuti kabut putih kehijauan. Udara pagi terasa lembap dan dingin, menyusup sampai ke tulang. Namun tatapan Elaria penuh tekad. Leon, yang sudah bersiap sejak fajar, menghampiri dengan perlengkapan lengkap. “Pagi, Putri. Semua sudah siap. Xira dan para prajurit juga sudah bersiap di jalur selatan seperti rencana.” "Tidak kak Leon, aku mengubah rencanaku. Aku akan masuk sendiri ke dalam sana, dan juga aku tidak akan membawa yang lainnya bersamaku, Kalian tunggu saja disini," ucap Elaria menatap hutan di depannya yang sudah mulai di tutupi kabut tipis. Leon tertegun, matanya membelalak menatap sang Putri. “Sendiri? Itu terlalu berbahaya! Kita tidak tahu apa yang menanti di
Putri Elaria memejamkan matanya, berusaha berbicara dengan tanaman yang ada di dekat mereka. "Apa kau melihat orang yang membakar sesuatu di sini?" tanya Elaria bertanya pada tanaman semak belukar yang ada di depan tempat pembakaran. "Iya, dia seorang pria yang memakai baju hitam dan wajahnya memakai topeng." Elaria membuka matanya perlahan. Angin seolah ikut menahan napas, menunggu reaksinya. "Topeng?" gumamnya. "Apakah kau tahu ke mana dia pergi setelah itu?" Tanaman semak itu bergoyang pelan, seolah merenung. "Dia membawa sesuatu yang dibungkus kain. Lalu berjalan ke arah timur… ke arah hutan kabut." Jantung Elaria berdetak lebih cepat. Hutan kabut adalah tempat yang tak banyak orang berani masuki. Terkenal karena kabutnya yang bisa membuat orang kehilangan arah dan ingatan. “Terima kasih,” ucap Elaria tulus. Ia berdiri dan memandang ke arah timur, terlihat berpikir. “Hmm, Ku rasa aku akan kesana besok saja, terlalu berbahaya jika pergi saat malam hari begini," gumam
Beberapa hari kemudian, Setelah menempuh perjalanan yang berbahaya , mereka akhirnya sampai di kerajaan Nethara. Prajurit utusan kerajaan Nethara kemudian melaporkan kedatangan Putri Elaria dan rombongannya, Raja Veron dan para menteri menyambut kedatangan Putri Elaria dan rombongannya. "Selamat datang Tuan Putri Elaria, maaf kami terpaksa merepotkanmu untuk bersedia datang ke kerajaan ku ini," Raja Veron menyapa Putri Elaria ramah. "Terima kasih Yang Mulia Raja Veron atas sambutannya. Aku harap aku bisa membantu kerajaan ini," ucap putri Elaria membungkuk kan tubuhnya sedikit. "Kalian semua pasti lelah, biarkan pelayan memandu kalian ke kamar untuk beristirahat dulu, saat makan siang nanti baru kita mengobrol kembali," Raja Veron memanggil beberapa pelayan untuk mengantarkan tamu-tamunya ke kamar tamu. Putri Elaria menganggukkan kepalanya setuju, karena dia sendiri memang sedikit lelah dan ingin beristirahat dulu sebelum nanti akan menggunakan kekuatannya. Beberapa jam ke
"Kak Leon, ayo makan dulu!" teriak Elaria memanggil Leonhart. Leon akhirnya duduk di samping Putri Elaria, walaupun terlihat canggung. Ia menerima sepotong roti dan secangkir kecil air yang disodorkan gadis kecil itu. "Makanlah kak!" ucap Elaria tersenyum manis. membuat Leon tersipu malu. Putri Elaria terlihat sangat cantik dan menggemaskan menurutnya. "Terima kasih, Tuan Putri," ucap Leon lembut. Putri Elaria mengerucutkan bibirnya sedikit, lalu menggeleng, "Jangan terlalu kaku begitu, panggil aku Elaria saja, Kak Leon, aku merasa jadi tua kalau kau memanggilku Tuan puteri," katanya setengah bercanda. Leon tertawa kecil, tawa yang jarang sekali terdengar. "Baiklah... Elaria," katanya akhirnya, menatap gadis itu dengan tatapan hangat. Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat, ditemani suara angin sepoi dan desiran daun-daun. Kai, kuda hitam miliknya yang setia, duduk beristirahat di dekat mereka sambil meminum susu yang di berikan Elaria. Dia memandangi jalanan yang sep
Putri Elaria dan rombongannya akhirnya memulai perjalanannya, dia naik di atas punggung Kai memacu kudanya lebih cepat, agar mereka cepat sampai ke ladang. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam akhirnya Putri Elaria telah sampai di ladang. Dia tidak menyangka penduduk Desa ini, pagi-pagi sudah bekerja membersihkan sisa panen dan mencangkul tanahnya kembali agar bisa di tanami lagi. "ah...Tuan Putri kau sudah datang!" ucap kepala desa, menatap gadis kecil di depannya penuh hormat. Putri Elaria turun dari kudanya, begitu juga dengan Xira dan Leonhart yang setia mengikuti di belakangnya. "Kepala Desa, ada apa ini? kenapa pagi-pagi warga desa ramai sekali ada disini?" tanya putri Elaria heran, mendekati kerumunan para warga yang terlihat sedang mencangkul ladangnya. "Ah...Tuan Puteri melihat hasil panen kemarin, semua warga jadi terlalu bersemangat, hingga kami ingin lahan ini bisa segera di tanami lagi," ucap kepala Desa tersenyum malu. Putri Elaria tersenyum, dia senang me