Wanita berbadan ramping itu mendongakkan kepalanya untuk menatap langit. Lalu dia memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak–banyaknya.
Saat matanya terpejam, muncul wajah Erlangga, Tari dan Bulan tersenyum kepadanya.
"Aku harus bagaimana, Mas? Harus kah aku pergi jauh darimu, setelah mengetahui kalau kamu masih hidup?"
"Kenapa pula kamu lupa ingatan?"
Setelah dua hari berlalu, Sabrina sudah memikirkan matang–matang keputusan tentang Erlang.
Saat ini juga, Tari sudah pergi ke sekolah. Gadis kecil itu benar–benar tak sabar untuk kembali ke sekolah. Padahal dia baru sehari masuk.
"Bulan!" teriak Tari saat melihat Bulan turun dari mobil.
Lalu Erlang juga turun setelah Bulan. Kedua orang yang usianya terpaut jauh itu menatap Tari dan Sabrina secara bergantian.
Bulan menatap Sabrina sekilas lalu beralih pada Tari yang masih diperban bagian tangannya. Sementara Erlang, menatap Tari sekilas lalu menatap Sabrina dengan senyuman yang menawan.
"Tari sudah sembuh?" tanya Erlang pada gadis yang mirip putrinya dengan posisi berjongkok.
"Sudah, Om. Sakitnya tinggal sedikit, besok juga sembuh," jawab Tari lalu beralih mengobrol dengan Bulan
Erlang beralih kepada Sabrina. Hari ini, wajah Sabrina terlihat lebih ceria dibandingkan pertemuan–pertemuan yang sebelumnya.
"Hai," sapa Sabrina yang membuat Erlangga terheran.
"Dasar wanita, cepat banget berubah," guman Elang dalam hati.
"Hai juga." Pria itu bingung harus bersikap bagaimana pada Sabrina.
"Emm, Papanya Bulan, nanti kamu ada waktu nggak."
"Ada apa?"
Mereka berempat kini berjalan menuju kelas. Tari dan bulan di depan. Sedangkan Sabrina dan Erlangga di belakang. Sudah seperti sepasang keluarga kecil yang bahagia.
"Kemarin, aku mendapat tawaran kerja sama. Mereka memintaku untuk menyiapkan ruangan outdoor yang simple dan elagan. Akan tetapi, aku masih sedikit ragu. Bisakah Papanya Bulan melihat hasil kerjaku?"
"Baiklah. Kapan?"
Di sebuah taman hotel bintang lima tak jauh dari sekolah Tari dan Bulan, Sabrina mengajak Erlangga kemari.
Saat memasuki taman dari dua penjuru lorong, sepasang mata yang memandang akan disuguhi pemandangan estetik.
Ada tiga paket meja dinner yang bersebelahan satu sama lain. Di sekelilingnya, terdapat beberapa tanaman mawar berwarna–warni yang hampir mekar. Bukan hanya tanaman mawar, tanaman hias lainnya juga berjaajar rapi dengan letak yang unik.
Sebuah pohon kamboja yang tidak terlalu besar, berdiri kokoh di samping salah satu paket meja diner. Pohon itu dillilit oleh lampu hias warna–warni.
"Ini… kamu yang mendesian konsep outdoornya?" tanya Erlang saat matanya sudah mengitari setiap sudut dan belum puas untuk melihat. Jadi matanya masih berkeliaran untuk kedua kalinya.
"Iya," jawab Sabrina mengangguk.
"Menurutmu, apakah ada yang kurang?"
Erlangga menggeleng. Lalu dia berjalan mengitari tempat itu.
"Ini sudah sangat indah. Kamu tidak perlu mengubahnya lagi. Akan tetapi, kenapa kamu justru meminta pendapaku."
Sabrina tersentak. Alasan sesungguhnya adalah, dia ingin membuat ingatan Erlangga kembali. Dengan dia menunjukan tempat yang sama persis, dengan tempat yang dulu pernah dia kunjungi bersama Erlangga.
Tidak mungkin dia mengatakan alasan yang sebenarnya 'kan?
"Emm, itu… aku… sebenarnya, sebenarnya aku pernah sekilas membaca koran tentang bakat yang kamu miliki."
Sebenarnya, tadi malam, Sabrina sudah memutuskan untuk membuat Erlangga kembali kepadanya. Dia akan berusaha melakukan apapun termasuk membuat pengulangan masa–masa yang pernah dilalui. Meskipun tidak seratus persen mirip.
"Sepertinya aku memiliki fans baru."
Sekilas Sabrina menoleh ke arah Erlangga. Hal itu membuat Erlangga mengalihkan pandangannya ke depan. Karena sebelumnya tatapan Erlangga tertuju pada Sabrina.
Kemudian Erlangga mengajak Sabrina duduk di salah satu set meja diner yang terdiri dari dua kursi. Meja itu berbentuk budar dan sekelilingnya terdapat ukiran samar. Jadi kalau ingin menikmati indah nya seni ukir tersebut harus jeli saat melihatnya.
"Maksudmu aku?" tanya Sabrina sembari menjatuhkan bobot tubuhnya ke kursi.
Erlangga tersenyum untuk menanggapi pertanyaan wanita di sampingnya. Pria itu sudah lebih dulu duduk.
"Ya, aku memang fans terberatmu semenjak dulu. Semenjak kita kuliah."
"Kuliah?"
"Hmm, kamu tidak ingat?"
Erlangga kembali menanggapi Sabrina dengan gerakan. Dia menggeleng tidak tahu.
"Kamu tidak amnesia 'kan?"
"Tidak."
Wajah Sabrina terlihat kecewa sekilas. Secepat kilat dia mengubah ekspresi wajahnya kembali ceria lagi. Lalu dia tertawa dan membuat Erlangga bingung.
"Kenapa tertawa?"
"Kamu lucu banget sih kalau mikir. Lagian aku cuma bercanda, serius amat."
"Maksudnya?"
"Ya dulu kita memang satu kampus, tapi aku tidak cukup populer. Sedangkan kamu dulunya adalah ketua BEM yang amat sangat terkenal dan populer. Jadi mana mungkin kamu kenal denganku. Lagi pula mata kuliah yang kita ambil berbeda."
Erlangga terus saja menatap Sabrina dengan tatapan yang aneh. Sehingga Sabrina menatap hal lain untuk menghindari sorot netra Erlangga.
Ada yang aneh dengan perkataan Sabrina. Erlangga merasakannya.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Tidak, hanya saja, aku benar-benar tidak bisa mengingatmu."
"Haisssht, sudah aku bilang. Hanya aku yang mengenalmu, sedangkan kamu tidak."
Semakin Sabrina berbohong, Erlangga juga semakin merasa ada yang janggal.
"Ehh, sudah waktunya anak–anak pulang. Yukk kita kembali ke paud!" ujar Sabrina lagi mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin terlalu memaksa ingatan Erlang.
"Tunggu!" Erlangga mencekal tangan dan mencegah Sabrina yang sudah melangkah satu langkah.
"Hemm?"
"Ahh, tidak jadi. Maaf!"
Kemudian Erlangga ikut berdiri dan berjalan di depan Sabrina.
Sepanjang perjalanan, mereka saling membisu. Sampai di paud pun mereka masih membisu. Hingga Bulan dan Tari menghampiri mereka.
"Papa!"
"Mama!"
Ujar kedua gadis kecil itu secara bersamaan. Tepat setelah Erlangga dan Sabrina masuk ke lorong kelas mereka.
Masing-masing memeluk Mama dan Papa mereka. Seorang wali siswa paud lain tersenyum melihat mereka berempat yang sudah seperti keluarga.
"Wahh, Mamanya Tari dan Bulan beruntung ya, bersuamikan Mas Erlangga yang perhatian banget."
Jangan lupa komen dan tambahkan ke daftar baca ya Bestie! Lupyuuuu❤️❤️❤️
Sabrina tersenyum canggung saat wanita itu berujar. "Emm, maaf ya, Mamanya Felix! Sebenarnya kami bukan satu keluarga." "Yah, padahal kalian itu cocok banget loh. Apalagi Tari dan Bulan memiliki wajah yang serupa, sudah seperti saudara kembar. Cocok banget menjadi keluarga kecil," ujar Hesti yang merupakan teman Riri–Mamanya Felix. "Sebenarnya, kami memang satu keluarga, Bun," ujar Sabrina dalam hati. Tidak mungkin dia mengucapkan itu melalui lisannya, karena Erlangga ada di sampingnya. Jadi, Sabrina hanya memaksakan senyuman. "Doakan saja Bu–Ibu, semoga nanti kami menjadi satu keluarga yang samawa," sahut Erlangga tiba-tiba. Dan itu membuat Sabrina tertegun beberapa saat. Serempak para ibu–ibu disana mengucapkan 'amin'. "Yukk, kita pulang!" ajak Erlang yang kemudian menggandeng tangan Sabrina yang masih sedikit nge-blank. Tari dan Bulan sudah dulu berjalan di depan mereka. Kedua gadis itu saling bergandengan tangan. "Kamu kenapa?" tanya Erlangga saat melihat ekspresi Sabrin
"Nekat kamu ya? Tapi tidak masalah. Karena kamu memilih untuk memperjuangkan anak saya, maka bersiaplah untuk kehilangan kedua anakmu." Dengan sinis Ratna mengatakan itu pada Sabrina. Kemudian dia mengambil blackcard yang berada diatas meja dan pergi. Jus yang dipesannya bahkan belum disentuh sama sekali. Sabrina mengembuskan napas kasar. Seakan dia baru saja keluar dari tahanan yang pengap udara. "Ya Tuhan, balikkan hati Mama untuk menerimaku dan Tari kembali." Sabrina memutuskan untuk pulang. Dan Sesampainya di rumah, dia langsung memeluk Tari. "Eumm, wanginya anak Mama. Sudah mandi ya?" tanya Sabrina yang masih berjongkok di depan Tari. "Sudah dong, Mbak Bela tadi yang mandiin aku." "Yaudah, Mama mandi dulu ya. Nanti kita makan siang bersama." Sabrina berdiri dan bersiap untuk berdiri lagi. "Oke, Ma." Tari mengacungkan jempolnya pada Sabrina lalu berlanjut main boneka lagi. Karena pertemuan dengan mantan mertuanya cukup lama, Sabrina memilih untuk memesan makanan me
"Mama kenapa?" Ratna menjadi salah tingkah karena tiba–tiba menggebrak meja. "Maaf! Mama rasa, migrain Mama kambuh," ujar Ratna berbohong. Tentu saja dia takut kalau Sabrina mengatakan hal yang tidak–tidak dan membuat Erlangga curiga padanya. "Benarkah?" Ratna mengangguk karena ingin segera pulang. "Bisakah kita pulang sekarang?" "Papa, aku masih mau main sama Tari. Boleh ya, Pa?" "Tidak! Bulan ikut pulang Oma sama Papa!" tolak Ratna kasar secara refleks. Wajah Bulan menjadi sangat, menyedihkan. Matanya mengembun dan bersiap untuk menangis. "Waktu saya sedang luang, Nyonya. Bulan boleh ikut ke rumah saya untuk bermain dengan Tari. Kebetulan, anak saya itu suka usil sama kalau di rumah. Ya, karena dia tidak memiliki teman." Mata kecil Bulan langsung berbinar saat mendengar Ratna tidak keberatan. "Tidak! Oma bilang tidak ya tidak!" Lagi–lagi, Ratna membentak Bulan hingga membuat Tari bersembunyi di belakang Sabrina. Akan tetapi, Bulan berbeda, Dai tidak mendengark
Pipi Sabrina memerah setelah tatapannya dengan tatapan Erlangga bertemu. Buru–buru dia menundukkan pandangannya agar tidak semakin kentara perasaan tak menentu ini. "Bu Bos, ada seseorang yang datang dan katanya adalah mitra bisnis Bu Bos." Luna tiba-tiba datang dan menganggu reuni keluarga kecil yang hanya Sabrina yang mengetahuinya. "Siapa?" Seorang pria berpakaian setelan jas hitam datang dan berdiri di belakang Luna. "Selamat sore, Bu Sabrina," sapa pria tersebut. Luna sangat terkejut karena tiba-tiba pria itu sudah di belakangnya. Erlangga menautkan dua alisnya. Begitupun pria itu saal melihat Erlangga dan Bulan. "Elvano?" "Om El!" Seru Erlangga dan Bulan secara bersamaan. "Kalian kenal?" tanya Sabrina bingung. "Kak Erlangga adalah sepupuku," jawab pria yang bernama Elvano itu. Sabrina membulatkan mulutnya dan membentuk huruf 'o'. Tanpa di persilahkan, Elvano duduk di samping Erlangga. Dia sudah seperti layaknya kerabat Tuan rumah. "Tari, Bulan, kalian
"Iya, dulu kami adalah keluarga yang bahagia." "Mertuamu masih hidup?" tanya Erlangga yang terlihat peduli. "Beliau masih hidup. Akan tetapi, sekarang beliau membenciku karena alasan yang tidak aku tahu. Astaga, maaf!" Sabrina memukul kepalanya dengan jari telujuknya pelan. "Tidak masalah," jawab Elvano dan Erlangga bersamaan. Sabrina tersenyum, lalu berguman, "Kenapa aku jadi menceritakan itu pada mereka?" Namun, hanya dia sendiri yang mendengar gumanan itu. Sedangkan Erlangga dan Elvano kembali perang mata secara diam–diam. Hanya kedua orang itu yang tahu. Setelah itu, suasana makan jadi hening. Tari dan Bulan yang biasa berceloteh kini senyap. Selesai makan malam, ketiga pria yang berada disana mulai pamit. Ilham pamit duluan karena jam kerjanya juga sudah selesai. Sementara Erlangga dan Elvano terus saja meributkan hal sepele sehingga menunda kepulangan mereka. Sabrina merasa kesal karena hal itu. Setelah melewati beberapa episode perdebatan, baru akhirnya mereka de
"Oma… !" Bulan juga berseru saat melihat Ratna. Mata Ratna yang tadinya setajam samurai saat menatap Sabrina, kini berubah Cera saat beralih menatap Erlangga yang menggendong Bulan. "Mama juga mendapat undangan?" tanya Erlangga saat mereka sudah saling berhadapan. "Iya, Susi teman Mama mengundang Mama, dan ternyata dia adalah ibunya mertuanya Riri mamanya Felix." Ratna menjawab seraya menarik Erlangga dan Bulan untuk menemui temannya yang dimaksud, dan meninggalkan Sabrina yang menggendong Tari. "Loh, Ma! Memangnya Neneknya Bulan tidak suka dengan kita ya? Kok kita tidak diajak kesana?" tanya Tari polos. Memang benar kata pepatah, jika anak kecil itu lebih peka perasaan nya daripada orang dewasa. "Tidak baik berburuk sangka, Sayang. Mungkin, Nenek Ratna sudah tidak sabar untuk bertemu dengan temannya dan mengobrol," jawab Sabrina memberi pengertian. Meskipun dia tahu kalau Ratna tidak menukainya, tidak mungkin 'kan untuk mengajari anak tentang kebencian? Sabrina membaw
Keringat Fredy mengucur deras. Mungkin sekarang punggungnya basah karena keringat itu. "Sharon Mecca. Kurasa nama itu sangat jauh jika diplesetkan menjadi Bia," desak Erlangga lagi. "Memang. Dahulu kamu sangat mencintai istrimu. Bia adalah panggilan sayang darimu. Karena kamu memanggilnya Bia, kami semua juga terbiasa memanggilnya Bia. Terlebih, teman Mamamu itu jarang di rumah dulunya. Jadi dia mengira nama mantan istrimu adalah Bia dan tidak tahu kalau itu panggilan sayang." Bukan keluarga Edward namanya kalau tidak pandai membuat skandal. Erlangga mengangguk. Namun terlihat tidak puas. Masih ada yang janggal menurutnya. "Baiklah, kali ini aku percaya." Erlangga beranjak dari duduknya. Fredy menghela napas setelah putranya pergi. "Aku yakin, pasti anak itu akn mencari tahu sendiri. Apakah aku memilih jalan yang salah karena mengikuti Ratna?" Dia berguman seraya memegang kedua pelipisnya. Sementara itu, Erlangga memukul stir mobil. Dia bingung harus darimana untuk memula
Kaca bening di mata Sabrina semakin tebal. Selang sekian detik bulir bening meluncur begitu saja dari sana. Pandangannya menjadi buram saat melihat pria di atas panggung. Tak sengaja, Erlangga juga menatapnya dari atas. Dia baru menyadari kalau Sabrina berada disini. "Sabrina?" gumannya. Erlangga berusaha tidak peduli. Akan tetapi, hatinya teramat sakit melihat raut muka Sabrina yang terluka. Sabrina bergegas keluar dari ruangan itu. Elvano menyadarinya saat Sabrina sudah tidak ada. Sama halnya Sabrina, dia tercengang karena sepupunya berada dilamar seseorang di atas panggung. Wanita yang masih memiliki darah biru keraton itu melepas tangisnya yang ditahannya. Beruntung kondisi saat sepi, karena semua orang sudah berada di dalam. "Ya Tuhan, jika Engkau tidak menakdirkan kami untuk bersama, kenapa Engkau mempertemukan kami kembali," ujarnya sesenggukan. Pada saat ini, keadaan sedang hujan. Angin sepoi membuat tubuh Sabrina menggigil. Akan tetapi, sama ekali dia tidak m