Kalimat Erlangga menggantung karena mendapat pelototan mata dari Sabrina. Wanita itu khawatir jika kedua anak gadis yang masih polos ini berpikir yang tidak–tidak.
Tari dan Bulan juga sontak menoleh ke Erlangga saat dia mengatakan kata 'memeluk'. Tentu saja pemikiran keduanya tidak polos lagi. Mereka justru mengharapkan jika Sabrina dan Erlangga bersama.
"Cieee, maksud Papa, Tante Sabrina meluk Papa ya?" goda Bulan dengan menyipitkan mata dan lengkungan senyum.
"Mama suka sama Papanya Bulan ya?" Tari ikut–ikutan menggoda kedua orang dewasa itu.
Pipi Sabrina memerah seperti kepiting rebus. Sedangkan Erlangga tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kalian masih kecil, jangan berpikir yang tidak–tidak. Bulan, jangan dengarkan Papa kamu. Dan kamu Tari, jangan menggoda Mama lagi, atau Mama akan panggil dokter biar kamu disuntik lagi."
***
Keesokan harinya, Tari sudah diperbolehkan pulang. Semalam, Susi datang menjenguk sekalian membawa baju ganti untuk Sabrina.
Sampai di depan gerbang toko, Sabrina disambut oleh karyawannya. Bela dan Ilham.
"Bu Bina, ada tamu. Dari kemarin nyariin Ibu, saya bilang Ibu lagi di rumah sakit dan nggak tahu kapan pulang. Terus dia berkata besok kesini lagi. Ehh, beneran sekarang dia kesini lagi nunggu Ibu dari tadi pagi. Saya takut kalau beliau punya niat jahat, Bu," bisik Bela khawatir.
"Terima kasih infonya," jawab Sabrina sekenanya.
Sebenarnya dia penasaran, siapa yang mencarinya hingga bela–belain datang lagi.
Kemudian langkah Sabrina sedikit lebih cepat. Ketiga karyawan yang mengikutinya pun ikut menyesuaikan.
Luna berbinar setelah melihat Sabrina. Gadis itu baru saja selesai memindahkan gelas berisi teh dari nampan ke meja. Namun Sabrina menatap Luna sekilas dan beralih pada tamu yang dimaksud Bela.
Terlihat seorang wanita berpenampilan modis bak sosialita berdiri dan membelakanginya. Wanita itu melihat–lihat sekeliling. Bertepatan saat Sabrina hendak membuka mulut untuk mengucap salam dan menyapa, wanita itu berbalik dan sekarang menghadap mereka.
"Oh, rupanya kamu sudah kembali," ujar lembut wanita itu seraya tersenyum.
Dalam hati Sabrina berdecak kagum seperti biasa dengan wanita di depannya yang kecantikannya tak lekang oleh waktu. Tentu saja selalu cantik dan awet muda, orang kaya tidak akan sayang mengeluarkan uang banyak untuk perawatan, cibir Sabrina dalam hatinya.
Sabrina bingung harus menjawab apa pada wanita yang tak lain adalah Ratna.
"Ma–. Eummm, maksud saya, ada perlu apa Nyonya datang kemari?" tanya Sabrina pada akhirnya dengan nada sinis.
Ratna menghampiri Sabrina yang menggendong Tari. Kemudian tangannya membelai rambut Tari dan menelusuri wajah kecil itu tanpa bicara sepatah katapun. Tari sedang tidur, jadi tidak ada penolakan dari Tari.
Sabrina menatap tajam Ratna, menyipitkan sedikit matanya dan menunggu jawaban dari Ratna. Sementara ketiga karyawannya berdebar mendengar jawaban dari Ratna seperti sedang menunggu keputusan hakim.
Dari awal Ratna datang, Luna, Bela dan Ilham sudah merasakan kalau wanita ala sosialita itu ada niat jahat pada bosnya.
Ketiganya menghela napas kecewa saat Ratna kembali berkata, "Bolehkah bicara empat mata denganmu?"
Sabrina menyerahkan Tari yang terlelap pada Bela. Kemudian ketiga karyawan itu masuk ke dalam rumah membawa Tari dan barang perlengkapan dari rumah sakit.
Kedua wanita beda generasi itu duduk di sofa pelanggan depan toko. Namun, masih di dalam pintu gerbang dan ber-atap.
"Tidak ada hal yang cukup penting." Ratna mengawali pembicaraan dengan mengeluarkan black card dan menyodorkan pada Sabrina.
"Saya harap, kamu pergi jauh dengan satu putrimu itu dari kota ini. Kalau bisa ke luar negeri juga tak masalah." Suasana menjadi lebih mencekam setelah Ratna selesai berkata.
Sabrina hanya melirik kartu itu sekilas. Tatapannya kembali lurus kedepan.
Ratna melirik Sabrina sekilas karena mantan menantunya itu tidak menanggapinya.
"Baiklah, akan saya beritahu kepadamu apa yang sebenarnya terjadi." Perkataan tersebut membuat Sabrina spontan melihat ke arah Ratna.
Ratna tersenyum mengejek saat keduanya bertatapan.
"Erlangga memang tidak meninggal saat kecelakaan lima tahun silam. Akan tetapi, dia mengalami amnesia. Dan saya membuat amnesia itu menjadi permanen. Jadi selamanya, dia tidak akan pernah mengingatmu." Ratna menjeda perkataannya, lalu tertawa sarkas karena melihat wajah Sabrina yang menyedihkan.
"Bukankah hebat skandal yang saya mainkan? Huft, kenapa saya tidak menyadarinya dari dulu kalau saya berbakat?" cerocosnya lagi. Namun Sabrina masih diam, mengalihkan pandangan dan terlihat berpikir.
"Apakah kamu tidak ingin tahu apa alasan saya melakukan semua ini?" Sorot mata Ratna berubah tajam dan wajahnya terlihat penuh kebencian.
"Itu semua karena orangtuamu!" bentak Ratna hingga membuat Sabrina tersentak dan kembali menatapnya.
"Jangan coba–coba Anda mempermainkan saya dengan membawa kedua orangtua saya, Nyonya!"
"Dengar, Sabrina! Saya belajar berakting dan membuat rencana itu dari orangtuamu. Terutama ibumu yang berakting menjadi sahabat baik. Akan tetapi dia menusukku dari belakang. Sayang sekali, sebelum saya sempat balas dendam, mereka sudah lebih dulu ke neraka."
"Waktu itu saya sudah hampir melupakan penghianatan itu. Akan tetapi, sepertinya alam mendukungku untuk melakukan balas dendam itu. Meskipun bukan dengan mereka, tapi masih ada kamu yang merupakan orang tersayangnya," ujar Ratna penuh penekanan.
"Sudahlah, kamu tidak perlu tahu detailnya. Yang harus kamu tahu, saya melakukan semua ini karena dendam saya pada orangtuamu. Dan ingat! Jauhi Erlangga dan juga Bulan. Mereka bukan siapa–siapamu lagi."
Sabrina berdiri dan melangkah pergi. Lima langkah berhenti dan berbalik.
"Ingat satu lagi! Batalkan kerja samamu dengan klien yang terakhir kau temui!" Kemudian Ratna kembali melangkah dan meninggalkan kediaman Sabrina.
Sabrina termangu menatap black card di depannya di atas meja. Ibu jarinya mengusap tepian kartu yang didambakan banyak orang itu.
"Mama!" "Papa!" Teriak Tari dan Bukan secara bersamaan. Mereka berlari sembari merentangkan tangan pada Bia dan Erlangga. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, kondisi Erlangga benar-benar sehat saat ini. Jadi dia memutuskan untuk menjemput kedua gadis kecilnya. Tentu saja dengan meminta bantuan sopir untuk menjemput. Erlangga dan Bia sama-sama berlutut untuk menyambut masing-masing putrinya. "Umm, ceria sekali dua putri Mama," ujar Bia yang mencium pipi Tari. Kemudian, Tari beralih memeluk Erlangga dan begitupun pada Bulan. Kembaran Tari itu ganti memeluk Bia. Erlangga membantu kedua gadis kecil itu masuk ke mobil sembari mereka bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Ma, tadi Tari dapat bintang lima loh! Kata Bu Guru, hasil mewarnai Tari rapi dan bagus.""Bulan, juga! Bulan, juga! Bulan juga mendapat bintang lima. Bu Guru juga memuji gambar Bulan." "Benarkah? Karena kedua putri Papa mendapat nilai bagus, bagaimana kalau kita merayakannya?" sahut Erlangga yang antusias deng
"Apa katamu?" Erlangga menyerengit. Dia tidak terlalu mendengar karena suara Bia sangat pelan. "Aku tadi mengucapkan semoga cinta kita bisa langgeng. Kenapa?" Bia mengira Erlangga tidak mendengar gumanannya yang samar. Jadi hatinya dag-dig-dug takut Erlangga benar-benar mendengar. "Benarkah?" "Memangnya kamu mendengar aku berkata apa?" Bia berusaha untuk tidak gugup. "Lupakan saja! Ayo kita mandi lalu makan. Aku yakin kamu pasti belum makan." Wanita itu bersyukurlah, Erlangga benar-benar tidak jelas mendengar. "Hum. Aku sangat lapar sekarang." ***Wajah Ratna memerah bak tomat menahan marah melihat putra dan menantunya, turun dari tangga bergandengan tangan dan bercengkrama. Tangannya yang berada di atas sofa terkepal erat hingga buku-buku tangan terlihat. "Selamat siang, Ma!" sapa Erlangga. Ratna kembali melipat koran yang dibaca setelah Bia dan Erlangga sudah di samping sofa. Wanita yang telah melahirkan Erlangga itu hanya menatap keduanya dengan wajah sinis tanpa senyum.
Erlangga terus menatap pintu dan menunggu sosok yang diharapkan datang. Akan tetapi, setelah dua detik waktu yang terlewat dari waktu yang diberitahukan, orang itu belum juga muncul. "Bia kemana sih?" gerutunya sambil berkali-kali mengecek ponsel. "Harus berapa kali Mama bilang kalau istrimu itu tidak akan datang. Tadi pagi aja, waktu Mama ke kamarmu untuk memberitahunya, dia masih tidur pulas," sahut Ratna yang mengemas pakaian Erlangga. Erlangga hanya diam karena sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Menurutnya, Sabrina tidak seperti itu. "Tuh kan! Kamu tidak percaya dengan ucapan Mama." Ratna kembali berucap sinis. Keadaan menjadi hening. Bahkan sampai di depan rumah, ibu dan anak itu hanya bicara seperlunya. Saat memasuki rumah, Erlangga mendapati keadaan rumah yang sepi. Dia heran karena tidak biasanya seperti ini. Hanya Sumi yang menyambutnya di depan pintu. "Bi, kemana Bia dan anak-anak?" tanya Erlangga padanya sedikit sinis. "Neng Bia masih di kamar, Den
Saat senja mulai tampak, Fredy memutuskan untuk kembali. "Cepatlah sembuh! Maaf jika nanti, mungkin Papa tidak bisa mengunjungimu lagi." Pria paruh baya itu tersenyum sangat manis pada Erlangga. "Ini adalah uang terakhir tabungan Papa. Jika uang itu sudah habis, mungkin Papa tidak bisa menengokmu lagi." "Kenapa terburu-buru, Pa. Memang Papa tidak merindukan Tari dan Bulan? Mereka berdua sangat merindukanmu." Meskipun ada masalah diantara mereka, tetapi Erlangga masih enggan menerima kalau kenyataan kalau Fredy memilih untuk hidup sederhana di kota kecil yang mungkin terpencil."Papa titip pesan, bilang kalau kakeknya ini juga merindukan mereka. Tapi kamu yakin tidak ada masalah dengan istrimu? Papa hanya khawatir kalau Mamamu kembali membuat ulah." Fredy sedikit menurunkan nada bicaranya. Memang, Ratna tidak berada disana. Namun dia tetap takut ada orang lain yang mendengar. "Nanti setelah pulang, aku akan menyelidiknya, Pa." "Ya sudah, jaga dirimu dan juga keluargamu baik-baik
Tabrakan tak bisa di hindari. Mobil Erlangga terpenjal jauh dan berguling ke depan. Jika tidak ada pembatas, sudah dipastikan akan jatuh ke jurang. Beberapa saat lalu saat berada di kios sate padang, ada seseorang yang membututi mereka di belakang. Seperti kejadian saat mereka makan mie ayam bakso. Namun pria misterius itu tidak mempotret atau memfoto mereka diam-diam. Melainkan melakukan sesuatu pada mobil Erlangga. "Akhirnya punya kesempatan juga. Kalau tidak, sudah pasti Bos Elvano yang akan menggorok leherku." Hanya beberapa menit pria itu selesai mengutik mobil Erlangga. Pria yang mengenakan hodie hitam itu memotong kabel rem mobil. Erlangga dan Sabrina sama sekali tidak curiga karena tidak ada yang mencurigakan. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan jejak yang membuat curiga. Rencana Elvano semakin sukses saat ada sopir truk dari arah yang berlawanan sedang mengantuk. Kedua mobil itu sama–sama tidak bisa menghindar dan saling bertabrakan. Erlangga sudah berusaha sekuat
Susi mengatakan itu sembari menatap Sekar dan Leon secara bergantian. Mata jelas penuh harap. Sementara Sekar dan Leon saling padang dan diam sesaat. Tanpa diduga, kemudian mereka tertawa cukup keras. Membuat Susi mengerut heran. Awalnya dia mengira akan banyak pertimbangan dari keduanya. Siapa sangka dugaannya salah. "Tentu saja kami setuju, Sayang. Kami sudah mengenal Farhan. Semenjak kamu pergi, Kakakmu sering mengajak temannya berkunjung ke rumah." Saat itu, Susi dan Aldo tidak mengumbar hubungannya pada siapapun termasuk para sahabat masing-masing. Aldo tidak mengenalkan Susi dengan sahabatnya. Waktu kuliah, Aldo adalah orang yang paling tertutup diantara ketiga sahabatnya. Pun ketiga sahabatnya itu tidak pernah mempertanyakan masalah Aldo. Prinsip mereka, tidak akan ikut campur jika tidak diminta. Makanya, persahabatan itu selalu langgeng sampai sekarang."Terima kasih, Bunda, Papi. Kalau begitu aku panggil Farhan kesini ya?" tanya Susi. Terdengar memang meminta persetujua