Share

5. Kebohongan Ratna

Kalimat Erlangga menggantung karena mendapat pelototan mata dari Sabrina. Wanita itu khawatir jika kedua anak gadis yang masih polos ini berpikir yang tidak–tidak. 

Tari dan Bulan juga sontak menoleh ke Erlangga saat dia mengatakan kata 'memeluk'. Tentu saja pemikiran keduanya tidak polos lagi. Mereka justru mengharapkan jika Sabrina dan Erlangga bersama. 

"Cieee, maksud Papa, Tante Sabrina meluk Papa ya?" goda Bulan dengan menyipitkan mata dan lengkungan senyum. 

"Mama suka sama Papanya Bulan ya?" Tari ikut–ikutan menggoda kedua orang dewasa itu. 

Pipi Sabrina memerah seperti kepiting rebus. Sedangkan Erlangga tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Kalian masih kecil, jangan berpikir yang tidak–tidak. Bulan, jangan dengarkan Papa kamu. Dan kamu Tari, jangan menggoda Mama lagi, atau Mama akan panggil dokter biar kamu disuntik lagi." 

***

Keesokan harinya, Tari sudah diperbolehkan pulang. Semalam, Susi datang menjenguk sekalian membawa baju ganti untuk Sabrina. 

Sampai di depan gerbang toko, Sabrina disambut oleh karyawannya. Bela dan Ilham. 

"Bu Bina, ada tamu. Dari kemarin nyariin Ibu, saya bilang Ibu lagi di rumah sakit dan nggak tahu kapan pulang. Terus dia berkata besok kesini lagi. Ehh, beneran sekarang dia kesini lagi nunggu Ibu dari tadi pagi. Saya takut kalau beliau punya niat jahat, Bu," bisik Bela khawatir. 

"Terima kasih infonya," jawab Sabrina sekenanya. 

Sebenarnya dia penasaran, siapa yang mencarinya hingga bela–belain datang lagi. 

Kemudian langkah Sabrina sedikit lebih cepat. Ketiga karyawan yang mengikutinya pun ikut menyesuaikan. 

Luna berbinar setelah melihat Sabrina. Gadis itu baru saja selesai memindahkan gelas berisi teh dari nampan ke meja. Namun Sabrina menatap Luna sekilas dan beralih pada tamu yang dimaksud Bela. 

Terlihat seorang wanita berpenampilan modis bak sosialita berdiri dan membelakanginya. Wanita itu melihat–lihat sekeliling. Bertepatan saat Sabrina hendak membuka mulut untuk mengucap salam dan menyapa, wanita itu berbalik dan sekarang menghadap mereka. 

"Oh, rupanya kamu sudah kembali," ujar lembut wanita itu seraya tersenyum. 

Dalam hati Sabrina berdecak kagum seperti biasa dengan wanita di depannya yang kecantikannya tak lekang oleh waktu. Tentu saja selalu cantik dan awet muda, orang kaya tidak akan sayang mengeluarkan uang banyak untuk perawatan, cibir Sabrina dalam hatinya. 

Sabrina bingung harus menjawab apa pada wanita yang tak lain adalah Ratna. 

"Ma–. Eummm, maksud saya, ada perlu apa Nyonya datang kemari?" tanya Sabrina pada akhirnya dengan nada sinis. 

Ratna menghampiri Sabrina yang menggendong Tari. Kemudian tangannya membelai rambut Tari dan menelusuri wajah kecil itu tanpa bicara sepatah katapun. Tari sedang tidur, jadi tidak ada penolakan dari Tari. 

Sabrina menatap tajam Ratna, menyipitkan sedikit matanya dan menunggu jawaban dari Ratna. Sementara ketiga karyawannya berdebar mendengar jawaban dari Ratna seperti sedang menunggu keputusan hakim. 

Dari awal Ratna datang, Luna, Bela dan Ilham sudah merasakan kalau wanita ala sosialita itu ada niat jahat pada bosnya. 

Ketiganya menghela napas kecewa saat Ratna kembali berkata, "Bolehkah bicara empat mata denganmu?" 

Sabrina menyerahkan Tari yang terlelap pada Bela. Kemudian ketiga karyawan itu masuk ke dalam rumah membawa Tari dan barang perlengkapan dari rumah sakit. 

Kedua wanita beda generasi itu duduk di sofa pelanggan depan toko. Namun, masih di dalam pintu gerbang dan ber-atap. 

"Tidak ada hal yang cukup penting." Ratna mengawali pembicaraan dengan mengeluarkan black card dan menyodorkan pada Sabrina. 

"Saya harap, kamu pergi jauh dengan satu putrimu itu dari kota ini. Kalau bisa ke luar negeri juga tak masalah." Suasana menjadi lebih mencekam setelah Ratna selesai berkata. 

Sabrina hanya melirik kartu itu sekilas. Tatapannya kembali lurus kedepan. 

Ratna melirik Sabrina sekilas karena mantan menantunya itu tidak menanggapinya. 

"Baiklah, akan saya beritahu kepadamu apa yang sebenarnya terjadi." Perkataan tersebut membuat Sabrina spontan melihat ke arah Ratna. 

Ratna tersenyum mengejek saat keduanya bertatapan. 

"Erlangga memang tidak meninggal saat kecelakaan lima tahun silam. Akan tetapi, dia mengalami amnesia. Dan saya membuat amnesia itu menjadi permanen. Jadi selamanya, dia tidak akan pernah mengingatmu." Ratna menjeda perkataannya, lalu tertawa sarkas karena melihat wajah Sabrina yang menyedihkan. 

"Bukankah hebat skandal yang saya mainkan? Huft, kenapa saya tidak menyadarinya dari dulu kalau saya berbakat?" cerocosnya lagi. Namun Sabrina masih diam, mengalihkan pandangan dan terlihat berpikir. 

"Apakah kamu tidak ingin tahu apa alasan saya melakukan semua ini?" Sorot mata Ratna berubah tajam dan wajahnya terlihat penuh kebencian. 

"Itu semua karena orangtuamu!" bentak Ratna hingga membuat Sabrina tersentak dan kembali menatapnya. 

"Jangan coba–coba Anda mempermainkan saya dengan membawa kedua orangtua saya, Nyonya!" 

"Dengar, Sabrina! Saya belajar berakting dan membuat rencana itu dari orangtuamu. Terutama ibumu yang berakting menjadi sahabat baik. Akan tetapi dia menusukku dari belakang. Sayang sekali, sebelum saya sempat balas dendam, mereka sudah lebih dulu ke neraka." 

"Waktu itu saya sudah hampir melupakan penghianatan itu. Akan tetapi, sepertinya alam mendukungku untuk melakukan balas dendam itu. Meskipun bukan dengan mereka, tapi masih ada kamu yang merupakan orang tersayangnya," ujar Ratna penuh penekanan. 

"Sudahlah, kamu tidak perlu tahu detailnya. Yang harus kamu tahu, saya melakukan semua ini karena dendam saya pada orangtuamu. Dan ingat! Jauhi Erlangga dan juga Bulan. Mereka bukan siapa–siapamu lagi." 

Sabrina berdiri dan melangkah pergi. Lima langkah berhenti dan berbalik. 

"Ingat satu lagi! Batalkan kerja samamu dengan klien yang terakhir kau temui!" Kemudian Ratna kembali melangkah dan meninggalkan kediaman Sabrina. 

Sabrina termangu menatap black card di depannya di atas meja. Ibu jarinya mengusap tepian kartu yang didambakan banyak orang itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status