Share

7. Niat Menggoda justru tergoda

Sabrina tersenyum canggung saat wanita itu berujar. 

"Emm, maaf ya, Mamanya Felix! Sebenarnya kami bukan satu keluarga." 

"Yah, padahal kalian itu cocok banget loh. Apalagi Tari dan Bulan memiliki wajah yang serupa, sudah seperti saudara kembar. Cocok banget menjadi keluarga kecil," ujar Hesti yang merupakan teman Riri–Mamanya Felix. 

"Sebenarnya, kami memang satu keluarga, Bun," ujar Sabrina dalam hati. 

Tidak mungkin dia mengucapkan itu melalui lisannya, karena Erlangga ada di sampingnya. Jadi, Sabrina hanya memaksakan senyuman. 

"Doakan saja Bu–Ibu, semoga nanti kami menjadi satu keluarga yang samawa," sahut Erlangga tiba-tiba. 

Dan itu membuat Sabrina tertegun beberapa saat. 

Serempak para ibu–ibu disana mengucapkan 'amin'. 

"Yukk, kita pulang!" ajak Erlang yang kemudian menggandeng tangan Sabrina yang masih sedikit nge-blank. 

Tari dan Bulan sudah dulu berjalan di depan mereka. Kedua gadis itu saling bergandengan tangan. 

"Kamu kenapa?" tanya Erlangga saat melihat ekspresi Sabrina. 

"Tidak, aku tidak apa-apa." 

"Tapi kenapa wajahmu tidak seperti biasa? Apa karena perkataanku tadi ya?" 

"Iya… ehhh, tidak, tidak, itu tidak benar. Aku biasa saja." 

"Jadi, kalau kita menjadi satu keluarga, kamu tidak keberatan?" 

Niat hati ingin menggoda Erlangga, tapi dia sendiri yang tergoda oleh lelaki itu. 

Sabrina semakin tercengang dan tidak tahu harus menjawab apa. 

"Tidak usah dipikirkan! Kalau kita berjodoh, pasti kita akan bersama suatu saat nanti." Lagi-lagi Erlangga membuat Sabrina bungkam. 

Wanita yang saat ini mengenakan dress berwarna merah hati itu mematung sejenak. 

Lalu saat menyadari dirinya tertinggal beberapa langkah dari Erlangga dan anak–anak, dia berlari mengejarnya. 

"Apakah kamu mencintaiku?" tanya Sabrina spontan saat langkahnya sudah menyamai Erlangga. 

"Mungkin, untuk saat ini belum. Akan tetapi, aku merasa, benih–benih itu mulai tersebar di sini," jawab Erlangga seraya meletakkan tangan kirinya ke dada. 

Sabrina semakin tersipu dan wajahnya saat ini terlihat memerah. 

"Kenapa? Apakah kamu merasakan hal yang sama?" 

Tak terasa mereka sudah sampai depan gerbang. Kesempatan bagi Sabrina untuk menghindar dari pertanyaan pria bermata tajam setajam Elang. 

"Aku pulang duluan," pamit Sabrina seraya mengait tangan Tari. 

Dia mencegat taksi yang kebetulan lewat. Terlihat Tari melambaikan satu tangannya pada Bulan dan Erlangga. 

Gadis itu juga berteriak saat taksi melewati Bulan dan Erlangga. 

"Daaahh… Bulan! Daaahhh, Om Elang!" sembari kepalanya menyembul dari jendela pintu. 

Erlangga dan Bulan juga melambaikan tangan pada mobil warna biru muda itu, yang sudah membelah jalan. 

"Tari Sayang, nanti kamu di rumah sama Mbak Bela dan Mbak Luna ya. Mama ada urusan sebentar." 

Sabrina berujar saat Tari sudah tidak menoleh ke belakang lagi. 

"Mama mau kemana?" 

"Ada pertemuan klien di Kaffe Mentari. Kamu nggak papa 'kan di rumah sama Mbak Luna?" 

Di Kaffe Mentari, Sabrina sedang menunggu seseorang. Tadi, setelah sampai rumah, Tari langsung dititipkan pada karyawannya. Dan dia langsung pergi menggunakan taksi yang sama dengan taksi yang di tumpangi saat pulang dari paud. 

Wanita berambut panjang yang terurai sampai ke pinggang itu, menyeruput jus alpukat yang baru saja di antar waiters. 

Cukup lama dia menunggu. Sekitar tiga puluh menit, orang yang di tunggu baru tiba. Orang itu adalah mantan mertuanya.

Ratna memilih duduk di depan Sabrina. Kemudian dia melapas kaca mata yang bertengger di hidungnya dan meletakkan di atas meja. 

"Cepat sekali kamu mengambil keputusan," ujar Ratna seraya bersedekap. 

"Semoga keputusanmu sesuai dengan yang saya harapkan," tambahnya lagi lalu melambaikan tangan memanggil waiters. 

Sabrina tersenyum manis dengan mata yang menatap ke jus pesanannya. Dia menunggu waiters itu pergi baru mengatakan keputusannya. 

"Apa keputusanmu, cepat katakan?!" desak Ratna tak sabar. 

"Saya sudah memikirkan matang–matang, Nyonya. Hingga semalam saya tidak bisa tidur nyenyak." 

Perkataan Sabrina sengaja dijeda saat melihat pesanan Ratna datang. 

Melihat Ratna yang mendengkus kesal, waiters yang mengantar minuman itu bergegas pergi setelah meletakkan pesanan di meja. 

"Cepat katakan langsung! Tidak perlu bertele–tele." 

Sabrina mengeluarkan kartu hitam yang kemarin diberikan oleh Ratna kepadanya. 

"Silahkan ambil kembali kartu ini. Saya tidak memerlukan uang anda, Nyonya. Seperti yang saya bilang lima tahun lalu saat anda mengambil satu putri saya, saya sanggup menghidupi mereka berdua jika saja saat itu anda tidak mengambilnya." 

Nada bicara Sabrina sedikit ditekan. Dia berhenti sejenak dan menghela napas, untuk menahan emosinya. 

"Bahkan jika anda meminta ganti rugi karena telah membesarkan satu putri saya, pasti saya akan sanggup membayarnya." Tambahnya dengan sedikit sinis dan mengejek. 

"Jangan sombong kamu! Kalau bukan karena suami saya yang ikut campur, usahamu ini tidak akan pernah berhasil." 

"Apa maksud anda? Nyonya jangan mengada–ada ya. Toko ini adalah hasil kerja keras saya sendiri selama ini. Selama lima tahun ini, saya sudah tidak pernah menganggu hidup kalian lagi. Bahkan menginjakkan kaki di depan gerbang pintu rumah anda pun saya tidak pernah melakukannya."

"Kamu mengenal Elvano Smith 'kan? Saya rasa kamu bukan hanya mengenal, tapi juga berteman. Asal kamu tahu, dia adalah tangan kanan suami saya untuk membantumu. Andai saja saya bisa mencegahnya. Sudah dapat dipastikan kalau bisnis kamu tidak akan sebesar ini."

Sabrina ingin tak percaya dengan ucapan Ratna. Akan tetapi, dia benar mengenal Elvano yang merupakan rekan bisnisnya selama ini. Mungkinkan dia bekerja sama dengan mantan Papa mertuanya?

"Sudahlah, tujuan saya bukan membicarakan itu, tetapi apa alasanmu menolak tawaran saya?" 

"Saya rasa, saya ingin membuat Mas Erlang kembali ke pelukan saya." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status