"Bella, cepat bersiap, Tuan Hugo akan menyelenggarakan sebuah pesta."
Pukul lima pagi dan Melinda membangungkan Bella dengan terburu-buru. Mereka perlu membersihkan keseluruhan rumah lebih cepat dari biasanya, tanpa ada sedikit pun debu. Walaupun rumah ini sebenarnya tidak pernah disinggahi debu.Setiap hari mereka selalu membersihkan semua ruangan. Menyedot debu, mengepel lantai, dan mengelap jendela hingga mengkilap. Nyonya Deborah dengan senang hati akan menyita jatah makan mereka jika salah satu ruangan tidak dibersihkan dengan baik."Punggungmu masih sakit?" Tanya Melinda khawatir. Ia membantu Bella untuk bangun dari kasur."Sedikit, tidak apa-apa."Bella mendesis pelan. Ia beranjak turun dari tempat tidur, menahan rasa perih yang masih sangat menyengat di punggung. Kendati begitu, ia harus tetap bekerja."Aku bisa mengatasinya. Tidak apa-apa," kata Bella, tidak ingin membuat Melinda menunggunya. Dia akan mendapat hukuman jika tidak segera memasak di dapur. "Pergilah."Melinda mengembuskan napas berat. "Kalau begitu, cepatlah bersiap sebelum Tuan dan Nyonya keluar dari kamar untuk sarapan."Bella mengangguk, membiarkan Melinda pergi ke dapur untuk memasak. Ia terdiam sejenak di tempatnya, mendadak memikirkan kejadian semalam. Tidak ada apa-apa yang terjadi, jadi pria itu mungkin mengabaikan semuanya. Ia harap begitu.Bella bergegas menuju kamar mandi, kemudian mencuci wajahnya dan berkumur. Bella akan mandi setelah membersihkan rumah ini. Mereka dibiarkan mandi sekali saja karena jumlah air yang dibatasi. Pemilik mereka sangat pelit dalam segala hal.Bella mengambil satu gaun bermotif bunga bakung yang tersisa dari dalam lemari. Sebenarnya ia hanya punya tiga gaun, itu pun sudah lusuh dan bolong di beberapa bagian. Semuanya adalah bekas pakaian milik Nyonya Deborah. Wanita itu tidak akan sudi untuk mengeluarkan uang sepeser pun demi membelikan mereka pakaian baru.Setelah menggulung rambut panjangnya yang kusut karena jarang disisir, Bella melangkah menuju dapur. Seringkali Bella meringis karena luka di punggungnya, tetapi ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.Cambukan kemarin adalah hukuman terberat yang pernah ia terima. Biasanya, ia hanya mendapat tamparan atau pukulan tongkat bisbol di lengannya.Tuan Hugo bukan orang yang suka memberi hukuman, istrinya lebih cenderung melakukannya untuk bersenang-senang. Tetapi jika salah seorang budak melakukan kesalahan besar, dia tidak akan segan-segan membunuhnya. Bella pernah melihat dua budak sebelumnya dihabisi di depan matanya karena mencoba kabur.Tuan Hugo dan Nyonya Deborah kemudian muncul tatkala mereka menata makanan di meja makan. Bella memperhatikan keduanya dengan waspada, tetapi mereka berekspresi biasa-biasa saja. Ya, lupakan saja apa yang terjadi semalam.Nyonya Deborah duduk di kursinya dengan anggun. Seperti biasa, dia memakai gaun berwarna cerah bersama lipstik berwarna merah gelapnya. Penampakannya dengan suaminya begitu kontras. Tuan Hugo berperawakan tinggi dan kurus, berbanding terbalik dengan Nyonya Deborah yang pendek dan gemuk.Bella sering membayangkan bagaimana jadinya jika keduanya memiliki anak. Sayangnya, Tuan Hugo dan Nyonya Deborah tidak berniat memiliki anak. Mereka memang tidak cocok untuk menjadi orang tua. Anaknya mungkin akan menderita."Hei! Cepat bersihkan rumah ini karena tamu-tamuku akan datang sore nanti!" Sahut Nyonya Deborah dengan sinis, air liurnya terbang ke mana-mana. Ia mengisyaratkan Melinda untuk mendekat. "Pastikan kali ini kuenya dibuat dengan benar. Aku tidak akan mentoleransi kesalahanmu untuk kedua kalinya. Apa kau mengerti, budak?"Melinda mengangguk kilat dengan ketakutan. "Baik, Nyonya.""Ya sudah, pergi sana. Bau kalian menjijikkan," usir Nyonya Deborah.Bella dan Melinda cepat-cepat melipir pergi, tidak ingin mendapat amukan. Diam-diam Bella melirik Melinda yang masih tampak ketakutan, ia tahu benar apa alasannya.Lima bulan yang lalu, hanya karena satu kesalahan kecil pada kue pesanan Nyonya Deborah, Melinda dipukuli habis-habisan. Akibatnya, dua gigi depannya rontok dan lengannya mengalami patah tulang.Keduanya mulai membersihkan tanpa banyak bicara, selama berjam-jam, dengan perut kelaparan. Mereka diberi makan dua kali sehari: siang dan malam. Tetapi karena kemarin Bella melakukan kesalahan, mereka tidak diberi makan sama sekali.Bella merasa bersalah karena hal itu, namun tidak ada yang bisa ia lakukan. Dalam diam, ia melanjutkan pekerjaannya dengan mencuci baju dan piring. Setelah itu, ia lanjut ke halaman depan untuk membantu mengelap dinding dan jendela yang belum selesai.Hampir seluruh bagian depan rumah Tuan Hugo dilapisi kaca, alih-alih dinding dari beton. Rumput-rumput yang baru dipangkas terasa menggelitik kakinya yang telanjang saat berjalan di halaman. Ia tidak memakai alas kaki, kakinya kering dan kulitnya mengelupas, terdapat banyak luka goresan yang lebih sering ia abaikan.Menjelang tengah hari, semua pekerjaan rumah telah selesai dilakukan. Peluh membanjiri dahi Bella meski udara di pertengahan musim gugur berulang kali meniupkan angin dingin.Mereka berkumpul kembali di ruang tengah saat Nyonya Deborah memanggil. Talia dan Elena disuruh ikut bersama salah seorang pengawal untuk mengambil bahan makanan.Tuan Hugo punya beberapa orang pengawal yang bertugas untuk menjaga rumah ini. Mereka juga menemani para budak yang disuruh keluar untuk mengambil beberapa keperluan.Terkadang Bella penasaran dengan kehidupan di luar gerbang hitam yang menjulang mengelilingi rumah ini. Ia tidak pernah keluar, paling jauh hanya sampai gerbang masuk saat membersihkan halaman depan. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan. Tidak ada satu pun rumah lain yang terlihat.Satu hal yang Bella tahu dari ibunya dan budak lain, mereka tinggal di Qirginia Barat, tepatnya di kota kecil Delkins, dekat dengan pegunungan. Elena pernah bercerita kalau rumah ini dibangun agak jauh dari pemukiman penduduk."Kalian berdua bisa segera membuat kue dan selesaikan sebelum jam empat sore," kata Nyonya Deborah dengan tajam, ia menghentakkan sepatu hak tingginya yang runcing ke lantai kayu. "Tidak ada makan siang hari ini, kalian hanya akan makan malam nanti. Itu pun jika kerja kalian bagus," sambungnya dengan senyum mengejek.Nyonya Deborah lalu mengibaskan rambutnya yang diberi banyak minyak pewangi hingga menampar wajah Melinda dan Bella. Keduanya kontan menahan napas, tidak tahan dengan baunya yang menyengat."Jangan lupa untuk menghias aula tengah dengan daun dan bunga musim gugur yang ada di halaman," ujar Nyonya Deborah, matanya menyipit tajam. "Aku akan pergi ke pusat kota untuk berbelanja dan kalian harus menyelesaikannya sebelum aku pulang. Mengerti?""Mengerti, Nyonya," jawab Bella dan Melinda bersamaan.Nyonya Deborah tersenyum puas, kemudian melangkah pergi sambil bersenandung dengan suaranya yang seperti bebek terjepit. Dia mengamit lengan Tuan Hugo dan berjalan keluar melewati pintu utama.Bella masih menatap punggung keduanya yang kian menjauh, dalam hati berharap ada kemacetan panjang yang membuat wanita itu terjebak di sana bersama suaminya. Ia dan ketiga budak lain hanya ingin beristirahat sebentar sebelum kembali bekerja."Aku harap jalanan macet sampai malam."Bella menoleh pada Melinda dan tertawa kecil.Melinda menyengir dan menarik tangan Bella menuju dapur. "Ayo buat kuenya sebelum mereka pulang."Bella menatap suaminya, napasnya masih terengah-engah setelah ciuman panjang mereka. Rasa alkohol yang pahit tertinggal di mulutnya.Senyum tipis merekah di bibir Damian, tetapi matanya terasa membakar seluruh tubuh Bella. Mereka telah melakukannya beberapa kali sebelum pernikahan, tetapi malam ini, Damian tampak berbeda.Ini bukan efek alkohol atau minuman apa pun. Mereka tenggelam dalam gairah dan hanya ada satu hal yang dapat meredakan gejolak itu.Damian membungkuk dan menciumi rahang hingga leher Bella yang terbaring telentang di atas kasur. Bibirnya yang lembap meninggalkan jejak basah di kulit Bella, membuat gadis itu tanpa sadar mendesah. Tangan Bella bergerak turun untuk mengusap pinggang Damian.“Ya, sentuh aku di sana, Sayang,” gumam Damian serak. Suaranya rendah, menggoda.Bella menggerakkan tangannya semakin ke bawah dan napas Damian memberat. Damian memiliki pinggang yang ramping, padat, dan berotot, sementara bahu dan pundaknya lebar.Tubuhnya atletis, terbentuk dengan
“Dagingnya matang sempurna, itu terlihat enak.”“Kau mau?”“Tidak, aku hanya ingin memasukkannya ke dalam mulutku, brengsek!”“Sama saja kau mau, dasar bajingan!”“Memangnya aku tadi bilang apa?”“Heh! Mulutmu bau telur busuk!”Bella menggeleng-geleng mendengar percakapan heboh dari para anggota organisasi. Mereka tidak pernah menggunakan filter saat berada di mansion. Semua umpatan dan kata-kata kotor diucapkan secara gamblang.Di luar, mereka mungkin menunjukkan kesopanan dan sikap manis yang tidak ada duanya. Tetapi di wilayah mereka sendiri, semuanya serba transparan.Malam ini, setelah acara resepsi usai, mereka mengadakan perayaan kecil dengan membakar daging di halaman samping mansion. Hanya keluarga Damian dan anggota organisasi yang tinggal, sisanya sudah pulang sejak jam 5 sore.Bella duduk di salah satu bangku sambil menikmati anggurnya. Ia hanya minum sedikit, tidak sampai segelas. Di sisi lain, Damian entah sudah menghabiskan berapa botol anggur.Dia ikut membakar daging
“Kuenya sangat enak. Ibu sendiri 'kan yang membuatnya bersama yang lain?”Helena mengangguk, dan memberikan sepotong kue lagi ke dalam piring Bella. “Iya, kami membuatnya bersama-sama. Ibu senang kau menyukainya, Sayang. Damian juga sudah mencobanya?”“Sudah, Ibu. Dia menghabiskan tiga potong sebelum pergi ke sana.” Bella mengedikkan kepalanya ke seberang ruangan, tempat di mana Damian sedang bicara dengan rekan bisnis Martinez. “Ibu sudah makan?”“Sudah. Jangan khawatirkan, Ibu, ya.” Helena tersenyum simpul. Jemarinya dengan lembut merapikan leher gaun Bella yang terlipat, kemudian ia menatap wajah putrinya lekat-lekat.Terlihat jelas bahwa Helena masih tidak menyangka bahwa putri satu-satunya yang ia miliki telah menikah. Helena tidak bisa berhenti mengucap rasa syukur. Setiap kali ia menatap Bella cukup lama, rasanya air matanya akan tumpah.Itu semua adalah air mata kebahagiaan.Seorang ibu yang sepanjang hidupnya membesarkan anaknya dalam keadaan menyedihkan, bahkan menyeretnya k
“Damian?”“Hm?”“Damian?”“Ya?”“Vergara?”“Apa?!” Damian menoleh sepenuhnya dengan wajah jengkel. Ia tidak mengerti kenapa Bella sejak tadi hanya terus memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa.Bella cengengesan. “Kau marah?”“Tidak. Tapi kenapa kau terus memanggil?”“Aku ingin tahu apa...” Bella memainkan tangannya dan terlihat ragu-ragu sejenak. “Apa kau mau menemaniku mencari jamur liar di hutan?”Damian mengernyit. Tangannya yang tengah membilas badan kuda mendadak terhenti. Ia menatap Bella dengan saksama. “Apa ayahmu masih belum pulang?”Bella menunduk, menatap air sungai yang telah keruh. Mereka hampir selesai memandikan kuda ayah Damian dan berniat pulang. “Iya. Ibu tidak punya uang untuk membeli gandum.”Terdengar helaan napas berat, kemudian Damian menyahut pelan, “Baiklah. Aku akan menemanimu.”Bella langsung mengangkat kepalanya. “Benarkah? Tapi apa ayahmu tidak marah?”“Tidak akan. Kau tunggu di sini, aku akan membawa pulang kuda ini dulu.”Bella mengangguk patuh dan keluar
Mirabesy menyiapkan tiga gaun pernikahan yang telah dijahit secara khusus untuk Bella.Besok adalah hari pernikahannya. Semuanya telah ditata pada tempatnya. Dekorasi. Kue pengantin. Makanan dan minuman. Bingkisan hadiah. Buket bunga. Kursi-kursi tamu. Area dansa. Dan terakhir, susunan acara.Bella merasa sangat gugup sejak pagi, meskipun ia telah melewati acara pertunangan yang tidak jauh berbeda.Tetapi pernikahan... adalah sesuatu yang jauh lebih sakral dan dalam dibanding sebuah pertunangan. Sebuah ikatan suci yang mengikat takdir dua insan dihadapan Tuhan. Menyatukan jiwa dan perasaan mereka ke dalam hubungan yang lebih serius dan kompleks.Setidaknya, itulah yang Bella pahami.Ia akan menyerahkan hidupnya pada Damian, begitu pula sebaliknya.Bella selalu menganggap kalau pernikahan adalah akhirnya. Ia hanya akan mencintai satu pria dalam hidupnya, dan dialah yang akan menjadi suaminya. Tidak ada yang lain.Damian.Damian Linford. Atau, Bella kecil yang lebih suka dengan Damian
“Letakkan di sana, ya taruh dengan benar. Jangan sampai lecet!”“Bunga itu letakkan di tengah! Susun semuanya dengan mawar dan bunga bakungnya.”“Kainnya dibentangkan! Jangan sampai kusut!”Mirabesy tanpa lelah mengatur dekorasi yang datang untuk pernikahan Damian dan Bella. Tempatnya diselenggarakan di aula sayap utama. Ruangan itu akan dihias dengan aneka mawar, dipadukan dengan bakung putih dan baby's breath.Mirabesy ingin nuansa putih dan lembut yang indah, layaknya janji pernikahan yang suci.Para pelayan sudah mondar-mandir sejak pagi, membawakan segala hal yang Mirabesy suruh. Suasana di mansion begitu sibuk dan riuh, tidak ada seorang pun yang duduk diam tanpa melakukan apa pun. Sementara itu, Helena bersama Melinda, Mochelle, Erina, dan Verona menyibukkan diri di dapur dengan membuat kue. Mereka memilih untuk membuat kue pernikahan 3 tingkat secara tradisional sesuai kebiasaan kota Hinton.Bella sendiri tidak diperkenankan untuk ikut membantu. Ia disuruh untuk menghabiskan
“Piceus!” Bella berlari menghampiri istal yang berada di belakang markas. Istal itu baru dibangun setelah Piceus dibawa ke markas. Damian menyadari bahwa hutan luas dan padang di belakang markas jauh lebih cocok untuk Piceus. Kuda hitam gagah itu meringkik ketika melihat Bella, seolah tengah menyambut kedatangan gadis itu. “Sudah lama aku tidak melihatmu,” ucap Bella, tersenyum sumringah. Ia mengelus leher Piceus, kemudian memeluknya dengan ringan. “Bagaimana kabarmu?” Piceus kembali meringkik dan satu kakinya mengais-ngais tanah. Bella dan Damian tertawa. “Piceus juga merindukanmu,” sahut Damian, terkekeh. “Di sini, dia suka dengan suasana ramai dari anak-anak yang berlatih. Aku membiarkan mereka bermain dengan Piceus asal tidak menungganginya.” Bella mengelus-ngelus kepala Piceus. “Jadi hanya kau yang menungganginya?” “Sudah beberapa bulan aku tidak melakukannya. Jadi, mau berkuda bersama?” Bella menatap Damian sepenuhnya, lalu pintu belakang markas yang tertutup. Anak-anak i
Musim semi datang dengan cepat.Setelah melewati musim dingin yang suram dan membekukan, matahari yang bersinar keemasan di langit terasa begitu hangat.Bella menghirup napas dalam-dalam saat melangkahkan kakinya ke halaman. Pagi itu, langit berwarna biru, dipenuhi awan putih yang mengembang, empuk seperti bantal.“Kau tampak sangat senang,” ucap Damian, muncul di belakang Bella. Dengan santai, ia melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Bella.“Aku suka musim semi,” gumam Bella.“Aku juga suka.”Bella mendongak. “Benarkah? Kenapa?”“Karena kau menyukainya, Sayang.” Damian menyeringai tipis, lalu mengecup puncak kepala Bella.Bella tertawa kecil. “Masih pagi.”“Aku bisa menggodamu setiap saat, kapan saja, dan di mana saja, Sayangku,” katanya dengan senyum miring.“Apa itu sesuatu yang patut dibanggakan?”“Tentu saja.”Bella spontan tertawa. Damian terkekeh dan mengecup puncak kepalanya sekali lagi. Ia melepaskan pelukannya, kemudian beralih menggenggam tangan Bella.“Sudah siap untu
“Bagaimana perasaanmu, Sayangku?”Bella menyandarkan punggungnya ke dada Damian dan menghela napas. “Jauh lebih baik,” ucapnya, tersenyum tipis. Ia mendongak dan Damian mengecup lembut dahinya.Damian baru kembali dari markas ketika melihat Bella sedang melangkah keluar kamar menuju balkon. Setelah hampir seminggu, dia sudah bisa berjalan-jalan, meskipun pergerakannya masih terbatas. Memar di tubuhnya juga mulai memudar seiring dengan salep yang diberikan oleh Dokter Jeanna.Bella menggeser posisinya di atas paha Damian dan beralih memeluk leher pria itu. Tangan Damian dengan sigap memeluk pinggang Bella, sementara satu tangannya yang bebas menyelipkan rambut gadis itu ke belakang telinga.Mata Damian bergerak menelusuri wajah kekasihnya. Senyum perlahan terbit di bibirnya. “Cantik,” bisiknya, membelai pipi Bella. Tangannya berhenti di bekas samar tamparan di pipi Bella dan senyum Damian berubah menjadi sendu.“Ada apa?” Bella mengerutkan kening melihat ekspresi Damian.Damian menggel