Beranda / Romansa / Gadis Kesayangan Sang Mafia / 01. Kehidupan Seorang Budak

Share

Gadis Kesayangan Sang Mafia
Gadis Kesayangan Sang Mafia
Penulis: rainaxdays

01. Kehidupan Seorang Budak

Penulis: rainaxdays
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-11 11:26:51

"Seharusnya aku lebih berhati-hati."

Keringat dingin membasahi sekujur tubuh perempuan bergaun lusuh yang duduk bersimpuh di lantai. Pandangannya terus tertuju pada kaca jendela yang memantulkan ekspresi ketakutan di wajahnya.

Sayup-sayup, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakangnya, bersama lecutan cambuk yang mengerikan. Bella memejamkan mata rapat-rapat, jantungnya berderu tidak terkendali. Kilasan ketika Daisy—budak yang seumuran dengannya—dihukum, melintas begitu saja.

'Tolong! Saya mohon, Tuan! Jangan bunuh saya! Saya mohon!'

'Diam kau pencuri!'

Tuan Hugo langsung membunuh gadis itu tanpa rasa kasihan sedikit pun.

Darah yang menggenang ... daging yang berceceran ... teriakan penuh kesakitan ...

Bella tidak akan pernah bisa melupakan kejadian malam itu.

Sejujurnya, ia tidak ingin mengalami hal yang sama. Tetapi, kesalahannya memecahkan salah satu piring tidak bisa dimaafkan. Tuan Hugo dan istrinya—Nyonya Deborah—sangat benci dengan budak yang ceroboh. Padahal Bella tidak sengaja menjatuhkannya.

Suara langkah sebelumnya tidak lagi terdengar, Bella bisa merasakan presensi Tuan Hugo yang berdiri di belakangnya. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Ia baru menarik napas saat satu cambukan dilayangkan ke punggungnya dengan keras.

Bella memekik. Kedua matanya terbuka lebar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjerit. Namun, lecutan demi lecutan yang dilayangkan dengan kasar, berhasil menghantarkan rasa sakit yang terasa merobek punggungnya.

Pada cambukan kedelapan, kendali diri Bella menghilang, dan ia menjerit keras. Isakan kecil lolos dari bibirnya, tetapi Tuan Hugo menatap tanpa rasa simpati sedikit pun.

"Kali ini kau aku ampuni. Tapi jika kau melakukannya lagi, hidupmu akan berakhir seperti budak pencuri itu."

"Sa-saya mengerti, Tuan."

Pria berusia 50 tahun itu berbalik pergi, meninggalkan sang budak yang jatuh tersungkur ke lantai. Rasa perih dan panas menjalar di punggung Bella, membuatnya terus-menerus meringis saat mencoba bergerak.

Dengan tertatih-tatih, Bella berjalan keluar dari ruangan tersebut menuju tempat para budak yang berada di bagian paling belakang rumah. Pandangannya agak berkunang-kunang, bukan hanya karena hukuman tadi, tetapi juga karena perutnya yang belum diisi sejak kemarin.

Kakinya melangkah pelan menuruni tangga, lalu berbelok menyusuri lorong panjang. Bella mengunci pintu dan berjalan susah payah menuju tempat tidurnya. Mendaratkan diri di tepi kasurnya yang lapuk, ia kembali mendesis karena rasa sakit yang begitu menusuk. Tiga pasang mata seketika menatap Bella prihatin.

Bella mencoba tersenyum, tetapi bibirnya hanya tertarik sedikit. "Aku tidak apa-apa, kalian istirahatlah," gumamnya. Tetapi, tentu saja mereka semua tidak percaya. Ketiga budak berusia 30-an ke atas itu sudah lama bekerja di sini dan pernah mengalami hukuman yang serupa.

Talia, si budak paling tua dengan cepat berdiri menghampiri, diikuti oleh Elena dan Melinda. Talia mengambil sepotong kain dari dalam lemari, lalu Elena mengambil air dari kamar mandi, sedangkan Melinda membantu mengangkat gaun Bella yang dipenuhi darah dari punggungnya.

Kalau sudah seperti ini, Bella tidak bisa menolak lagi dan menerima perlakuan mereka. Mereka bertiga sudah dianggapnya sebagai keluarga sejak ia dan ibunya dibawa ke sini.

Ibu ...

Hati Bella mencelos, dipenuhi kerinduan akan ibunya. Jika ibunya di sini, maka beliau-lah yang akan mengobatinya.

Sayangnya, ia tidak akan pernah bisa melihat ibunya lagi. Tuan Hugo telah menjualnya pada orang lain. Ia hanya berharap ibunya ditempatkan di keluarga yang tidak akan menyiksanya. Umurnya sudah tua—

"Bella?"

Suara Elena membuyarkan lamunan Bella. Ia tidak sadar kalau lukanya sudah dibebat dengan kain. Mereka bertiga kembali menatapnya dengan cemas.

"Ada apa, Sayang?" Talia bertanya dengan lembut, tangannya mengelus puncak kepala Bella. "Kau bisa menceritakannya pada kami, hm?"

Bella menggeleng, cepat-cepat menghapus segala kesedihan yang melintas di wajahnya. Ia tidak ingin membuat mereka kembali mengkhawatirkannya. "Aku hanya ... sedikit melamun," ujarnya, tersenyum tipis. "Terima kasih sudah mengobati punggungku."

Talia mengangguk, mengerti benar kalau Bella lagi-lagi menutup diri. "Tidak masalah. Kalau begitu istirahatlah, Nak."

Mereka kembali ke kasur masing-masing dalam diam untuk beristirahat. Bekerja seharian membuat mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk jatuh terlelap sebab lelah.

Bella sendiri berbaring miring sembari menarik selimut tua yang dipenuhi lubang dan tambalan di mana-mana. Pikirannya kembali terlempar ke pusaran kenangan antara dirinya dan ibunya.

Seharusnya ia langsung tidur supaya bisa bangun tepat waktu. Tetapi, ia sama sekali tidak mengantuk. Dipandanginya bulan sabit yang mengintip dari celah di atas kusen, menggantung sendirian—kesepian seperti dirinya.

Bella merindukan ibunya. Ia ingin melihat wajahnya sekali saja.

Mereka dipisahkan saat ia masih berumur 13 tahun. Enam tahun telah berlalu. Meski ketiga budak lainnya memberinya banyak kehangatan, tetap saja Bella merindukan kasih sayang ibunya.

Bella masih ingat benar apa yang ibunya katakan sebelum dibawa pergi:

"Ibu percaya kalau suatu saat nanti, kau bisa memiliki kehidupan yang lebih baik."

Sesuai namanya yang berarti 'manusia bebas', ibunya berharap ia bisa memiliki kehidupan yang indah di luar sana.

Bella tidak pernah mempercayainya. Harapannya sudah lama dikubur bersama asa yang telah mati. Di dunia yang keras ini, harapan yang tinggi akan menjatuhkan kamu ke hantaman yang paling sakit.

Nyatanya, ia hanyalah budak yang terkungkung dan terikat dengan pemiliknya untuk selamanya.

Undang-undang yang melarang perbudakan telah disahkan sejak tahun 1865, tetapi bahkan berabad-abad setelahnya perdagangan itu masih berlangsung di pasar gelap. Orang-orang dengan uang melimpah lebih suka membeli budak yang bisa menyimpan rapat rahasia mereka, dibanding asisten rumah tangga biasa.

Seandainya ia bebas, ia juga tidak tahu akan ke mana. Ia mungkin hanya akan terlantar di jalanan dan mati dengan mengenaskan.

Dulu sekali, ibunya pernah bilang kalau ayahnya yang pergi meninggalkan mereka telah memiliki kedudukan yang tinggi di kota ini. Tetapi, kenapa dia tidak datang untuk menyelamatkannya dan ibunya?

Bella merasa kalau apa yang ibunya katakan hanyalah penghibur semata. Pria itu tidak mungkin mau mengakui mereka yang statusnya sangat rendah dan hina. Sampai kapan pun, Bella juga tidak akan pernah mau mengakuinya sebagai ayah. Dalam pandangan Bella, pria itu sudah lama mati.

Bella menarik napas panjang ketika rasa sesak itu kembali menghampiri. Ia menarik selimut hingga lehernya dan memejamkan mata, tetapi mendadak saja terdengar suara umpatan keras dari luar gudang.

"Ck, ke mana pria itu pergi?"

Siapa itu? Suara beratnya yang terdengar bukan milik Tuan Hugo. Apakah pelayan pria yang disewa? Kenapa mereka bisa sampai ke gudang?

Bella melirik budak lain yang tertidur pulas, kemudian beranjak dari tempatnya. Sambil menahan ringisan, ia berjalan ke pintu dan menempelkan telinganya di sana.

"Aku harus menemukannya sebelum pesta ini berakhir. Hugo benar-benar keterlaluan." Pria itu kembali berbicara dengan kesal.

Tuan Hugo? Apa yang dia bicarakan?

Bella menunggu, tetapi kemudian hening.

Tiga menit berlalu tanpa suara dan Bella bertanya-tanya apa pria itu sudah pergi. Entah apa yang ada dipikirannya, tangannya malah memutar kunci gudang hingga terbuka. Kepalanya mengintip ke luar dan ia membelalak melihat presensi si pria.

Dia belum pergi.

Pria itu menoleh dengan cepat dan pandangan keduanya bersirobok. Iris pria itu begitu gelap layaknya langit malam tanpa bintang. Ia terlihat memperhatikan penampilan Bella dari atas sampai ke bawah.

Bella sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dengan menampakkan diri pada orang asing. Matanya memperhatikan tato yang ada di leher si pria. Sebuah simbol organisasi gelap yang tidak asing.

"Damian!"

Panggilan itu seketika membuat Bella berjengit. Ia bergegas menutup pintu ketika suara langkah terdengar mendekat.

Ya ampun, apa yang baru saja ia lakukan?

Bella menggigit bibir bawahnya dengan ketakutan dan berharap pria itu mengabaikan kejadian barusan. Jika majikannya tahu, ia akan berada dalam masalah besar. Bella hendak kembali ke tempat tidurnya ketika mendengar pria itu berbicara lagi.

"Jadi benar Hugo memiliki budak."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mery Syafitry
Sangat menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gadis Kesayangan Sang Mafia   149. Ending: Parade Musim Panas Alderson dan Kehamilan Bella

    “Awas! Itu ada di mana-mana! Sebaiknya tepikan sepedamu di tempat lain!”Musim panas telah tiba. Kehangatan, liburan, dan piknik yang dirindukan oleh semua orang ada di depan mata. Tetapi, saat itu pula tanaman tumbleweed memulai perjalanannya untuk mencari mangsa. Bella tidak tahu sudah berapa kali ia memberi peringatan pada anak-anak yang tengah bersepeda.Tanaman itu menggelinding seperti bola di sepanjang jalan yang berdebu. Setiap kali angin bertiup kencang, ada saja tanaman tumbleweed penuh duri yang melintas. Bukan hanya satu, tetapi tiga sampai empat sekaligus. Anak-anak mulai berteriak saat kulit atau ban sepeda mereka tertusuk.“Sayang, biarkan saja mereka. Mereka sendiri yang ingin bersepeda ke sana,” kata Damian seraya membelokkan mobilnya ke jalan utama.Bella menoleh dengan tatapan tajam dan Damian mengatupkan bibirnya. “Tetap saja, mereka hanya anak-anak!” protes Bella.Damian menghela napas dan mengangguk mengiyakan. “Baiklah, baiklah. Terserahmu saja, Sayang,” ucapny

  • Gadis Kesayangan Sang Mafia   148. Lembaran Baru, Rangkuman Hidup

    “Apa kau sungguh ingin meninggalkan desa kita dan pergi bekerja di kota saat dewasa nanti?”“Ya, aku tidak ingin makan tumis jamur liar terus. Aku ingin sering makan daging dan membelikan apa pun untuk Ibuku,” jawab Bella, menatap Damian dengan senyum kecil.Bibir Damian mengerucut dan ia tampak merenung untuk sejenak. “Ayah juga pernah bilang ingin pergi ke Pennsyl, tapi aku belum tahu apa itu sungguhan,” katanya kemudian.“Berarti kita akan sama-sama meninggalkan desa. Apa kau pikir desa kita akan berubah?”“Entahlah. Saat kita tumbuh dewasa, mungkin desa kita sudah berubah menjadi kota.”Bella mengangguk setuju. “Mungkin.”Kenyataannya tidak begitu. Desa mereka telah menghilang.Bella tersenyum sendu mengingat kenangan masa lalunya. Bella dan Damian kecil yang penuh dengan mimpi dan harapan. Mereka tidak pernah mengira bahwa masa depan akan menjadikan mereka sebagai budak dan mafia.Hidup terus berjalan. Orang-orang pergi dan berdatangan. Tempat yang mereka kira takkan berubah pun k

  • Gadis Kesayangan Sang Mafia   147. Rencana Bulan Madu

    Bella menatap suaminya, napasnya masih terengah-engah setelah ciuman panjang mereka. Rasa alkohol yang pahit tertinggal di mulutnya.Senyum tipis merekah di bibir Damian, tetapi matanya terasa membakar seluruh tubuh Bella. Mereka telah melakukannya beberapa kali sebelum pernikahan, tetapi malam ini, Damian tampak berbeda.Ini bukan efek alkohol atau minuman apa pun. Mereka tenggelam dalam gairah dan hanya ada satu hal yang dapat meredakan gejolak itu.Damian membungkuk dan menciumi rahang hingga leher Bella yang terbaring telentang di atas kasur. Bibirnya yang lembap meninggalkan jejak basah di kulit Bella, membuat gadis itu tanpa sadar mendesah. Tangan Bella bergerak turun untuk mengusap pinggang Damian.“Ya, sentuh aku di sana, Sayang,” gumam Damian serak. Suaranya rendah, menggoda.Bella menggerakkan tangannya semakin ke bawah dan napas Damian memberat. Damian memiliki pinggang yang ramping, padat, dan berotot, sementara bahu dan pundaknya lebar.Tubuhnya atletis, terbentuk dengan

  • Gadis Kesayangan Sang Mafia   146. Hari Pernikahan (3)

    “Dagingnya matang sempurna, itu terlihat enak.”“Kau mau?”“Tidak, aku hanya ingin memasukkannya ke dalam mulutku, brengsek!”“Sama saja kau mau, dasar bajingan!”“Memangnya aku tadi bilang apa?”“Heh! Mulutmu bau telur busuk!”Bella menggeleng-geleng mendengar percakapan heboh dari para anggota organisasi. Mereka tidak pernah menggunakan filter saat berada di mansion. Semua umpatan dan kata-kata kotor diucapkan secara gamblang.Di luar, mereka mungkin menunjukkan kesopanan dan sikap manis yang tidak ada duanya. Tetapi di wilayah mereka sendiri, semuanya serba transparan.Malam ini, setelah acara resepsi usai, mereka mengadakan perayaan kecil dengan membakar daging di halaman samping mansion. Hanya keluarga Damian dan anggota organisasi yang tinggal, sisanya sudah pulang sejak jam 5 sore.Bella duduk di salah satu bangku sambil menikmati anggurnya. Ia hanya minum sedikit, tidak sampai segelas. Di sisi lain, Damian entah sudah menghabiskan berapa botol anggur.Dia ikut membakar daging

  • Gadis Kesayangan Sang Mafia   145. Hari Pernikahan (2)

    “Kuenya sangat enak. Ibu sendiri 'kan yang membuatnya bersama yang lain?”Helena mengangguk, dan memberikan sepotong kue lagi ke dalam piring Bella. “Iya, kami membuatnya bersama-sama. Ibu senang kau menyukainya, Sayang. Damian juga sudah mencobanya?”“Sudah, Ibu. Dia menghabiskan tiga potong sebelum pergi ke sana.” Bella mengedikkan kepalanya ke seberang ruangan, tempat di mana Damian sedang bicara dengan rekan bisnis Martinez. “Ibu sudah makan?”“Sudah. Jangan khawatirkan, Ibu, ya.” Helena tersenyum simpul. Jemarinya dengan lembut merapikan leher gaun Bella yang terlipat, kemudian ia menatap wajah putrinya lekat-lekat.Terlihat jelas bahwa Helena masih tidak menyangka bahwa putri satu-satunya yang ia miliki telah menikah. Helena tidak bisa berhenti mengucap rasa syukur. Setiap kali ia menatap Bella cukup lama, rasanya air matanya akan tumpah.Itu semua adalah air mata kebahagiaan.Seorang ibu yang sepanjang hidupnya membesarkan anaknya dalam keadaan menyedihkan, bahkan menyeretnya k

  • Gadis Kesayangan Sang Mafia   144. Hari Pernikahan (1)

    “Damian?”“Hm?”“Damian?”“Ya?”“Vergara?”“Apa?!” Damian menoleh sepenuhnya dengan wajah jengkel. Ia tidak mengerti kenapa Bella sejak tadi hanya terus memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa.Bella cengengesan. “Kau marah?”“Tidak. Tapi kenapa kau terus memanggil?”“Aku ingin tahu apa...” Bella memainkan tangannya dan terlihat ragu-ragu sejenak. “Apa kau mau menemaniku mencari jamur liar di hutan?”Damian mengernyit. Tangannya yang tengah membilas badan kuda mendadak terhenti. Ia menatap Bella dengan saksama. “Apa ayahmu masih belum pulang?”Bella menunduk, menatap air sungai yang telah keruh. Mereka hampir selesai memandikan kuda ayah Damian dan berniat pulang. “Iya. Ibu tidak punya uang untuk membeli gandum.”Terdengar helaan napas berat, kemudian Damian menyahut pelan, “Baiklah. Aku akan menemanimu.”Bella langsung mengangkat kepalanya. “Benarkah? Tapi apa ayahmu tidak marah?”“Tidak akan. Kau tunggu di sini, aku akan membawa pulang kuda ini dulu.”Bella mengangguk patuh dan keluar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status