“Aku tidak membutuhkan bocah di rumahku.”
Itulah kata pertama yang kudengar dari mulut Adrian Hartono, pria yang katanya kaya raya, pemilik rumah megah yang kini berdiri di hadapanku. Nada suaranya begitu dingin, datar, dan tanpa sedikit pun keraguan. Aku menunduk, menggenggam erat jemari gemetar di pangkuanku. Di sampingku, Wira, calo pekerja yang sudah lama kukenal sebagai kerabat jauh mendiang ibuku, mencoba meyakinkan pria itu. “Tuan Adrian, dengarkan dulu. Gadis ini ... hampir dijual ayahnya yang pemabuk dan penjudi dengan harga murah ke rumah bordil. Tapi sebagai kenalan mendiang ibunya, saya tidak tega. Karena itu saya membawanya ke sini. Kalau Tuan yang membelinya, nasibnya pasti lebih baik.” Dadaku seperti teriris mendengar kalimat Wira. Dijual ke rumah bordil oleh ayah sendiri. Itu kenyataan yang sudah kutahu, tetapi tetap terasa menyesakkan bila diucapkan. Aku memberanikan diri mendongak. Adrian duduk tegap di sofa ruang tamu rumahnya, persis di seberangku dan Wira. Dengan kemeja hitam yang membalut tubuh tingginya, ia tampak begitu menawan sekaligus menakutkan. Tatapannya tajam, membuatku merasa kerdil di hadapannya. “Siapa namanya?” tanya pria bernama Adrian itu pelan, selagi menatap lurus ke arahku. Aku kembali menunduk cepat. “Melati,” jawab Wira. “Dia mahasiswa semester empat. Anaknya pintar, tapi sayang ayahnya begitu.” Aku sedikit mengintip, melihat ekspresi Adrian. Dia menatapku datar, sebentar, lalu mengalihkan pandangan kembali ke Wira. “Saya pikir ...,” Wira melanjutkan, “membawanya ke sini adalah pilihan terbaik. Lagi pula, saya sendiri tidak punya waktu dan kemampuan untuk mengurusnya.” Wira terus membujuk. “Tuan, dia tidak membutuhkan belas kasihan, hanya tempat yang aman. Anda bisa memintanya melakukan apa saja, melayani Anda ataupun membantu pekerjaan rumah. Dengan sifat dan kemampuannya, saya yakin Anda tidak akan rugi membelinya. Selain memperoleh karma baik, Anda juga mendapatkan seorang pelayan yang berguna.” Keheningan menegang. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, begitu keras hingga kupikir semua orang di ruangan ini bisa mendengarnya. Akhirnya, Adrian membuka suara. “Kalau dia tetap di sini, dia hanya akan mengerjakan pekerjaan rumah. Selain itu, dia harus melanjutkan kuliahnya.” Aku tercekat, nyaris tidak percaya dengan apa yang kudengar. Namun kekagetan itu hanya sementara, sebab Wira langsung mendesakku. “Cepat ucapkan terima kasih pada Tuan Adrian!” bisiknya. Lekas, aku menunduk dalam dan berkata dengan mata terpejam rapat. “Terima kasih, Tuan ....” Saat kubuka mata dan kutegapkan tubuh lagi, aku terkejut dengan matanya yang masih menatap padaku. Tatapannya dingin, namun dalam ... seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa kutebak. Merasa sorot matanya bertahan lebih lama daripada seharusnya, aku pun menggigit bibir dan menundukkan wajah sedikit. Dengan hati-hati aku bertanya, selagi diam-diam memeriksa ekspresinya. “A-apa ... ada masalah, Tuan?” Namun, Adrian tidak membalas pertanyaanku. Dia hanya menghela napas dalam, kedua alisnya berkerut tipis selagi dirinya memanggil seseorang. “Asri.” Seorang wanita paruh baya pun melangkah maju dari sisi ruangan. Gerakannya sopan, wajahnya tertunduk hormat. “Ya, Tuan?” “Bawa dia ke rumah bunga. Shiftnya hanya di luar waktu kuliah.” Selama sesaat, wanita bernama Asri itu tersentak. Entah apa alasannya. Namun, kemudian dia kembali menunduk hormat. “Baik, Tuan.” Lalu beralih padaku. “Mari, Nona. Ikut denganku.” Aku berdiri pelan, meraih tas lusuhku. Namun sebelum melangkah, aku menoleh ke arah Wira. Ia mengangguk singkat, lalu berbisik di dekat telingaku, “Layani Tuan Adrian dengan baik.” Aku hanya bisa mengangguk. Dengan tubuh sedikit gemetar, aku membungkuk hormat ke arahnya. Setelahnya, aku mengikuti langkah Bibi Asri keluar dari ruang tengah yang megah itu. Namun sebelum benar-benar melewati ambang pintu, telingaku masih sempat menangkap suara Adrian yang rendah dan tegas. “Uangnya akan kutransfer ke rekeningmu seperti biasa. Pastikan ayah gadis itu tidak akan sedikit pun kembali menemuinya, kecuali gadis itu sendiri yang menginginkannya.” Aku meremas erat tali tasku. Kata-kata itu menusukku. Ternyata, aku ini dianggap sebatas barang yang bisa dipindahtangankan dengan uang. Namun di sisi lain, tidak bohong jika aku juga merasa lega. Karena setidaknya ... untuk malam ini, aku aman. ** “Ini kamarmu, Nona,” ujar Bibi Asri setelah membuka sebuah pintu di lantai dua. Aku tertegun di tempat. Ruangan itu jauh lebih indah daripada yang pernah kubayangkan. Dindingnya dicat lembut menggunakan warna krem, ranjang kayu besar dengan seprai putih bersih terhampar rapi, ada lemari kecil, meja belajar, bahkan jendela lebar dengan tirai tipis yang membiarkan cahaya lampu taman menerobos masuk. Ini indah. Namun, tidakkah ini terlalu mewah untuk orang sepertiku? Tanganku menyentuh tepi ranjang. “Apa aku ... sungguh boleh tinggal di sini?” Bibi Asri menoleh padaku dan tersenyum hangat. “Tentu saja, Nona. Mulai sekarang, ini adalah tempat tinggal Anda.” Aku kembali menatap kagum sekelilingku. Dari jendela kamarku ini, aku bisa melihat taman bunga dengan kolam kecil. “Sebaiknya Nona mandi dulu, biar segar.” Ucapan Bibi Asri membawa perhatianku kembali padanya. “Untuk barang-barang Nona, biarkan saya yang membereskannya.” Aku mengangguk patuh, meski hatiku sedikit canggung diperlakukan dengan begitu sopan. Namun di sisi lain, aku tidak heran kenapa Bibi Asri menyuruhku mandi. Penampilanku saat ini memang lusuh dan kotor setelah perjalanan panjang dari desa bersama Bang Wira. Aku memang butuh mandi. Aku baru saja meraih pakaian bersih dari tas, ketika suara gemuruh terdengar jelas dari perutku. Wajahku langsung panas, rona merah merambat ke pipi. Aku menunduk malu, berharap Bibi Asri tidak mendengarnya. Namun, beliau tersenyum maklum. “Setelah ini, akan siapkan makan malam untuk Nona. Jadi, turunlah ke ruang makan begitu selesai mandi.” Aku mengangkat kepala perlahan, lalu buru-buru mengangguk. “T-terima kasih, Bibi ....” Dengan hati berdebar malu, aku berlari kecil menuju kamar mandi, berharap air mampu membilas rasa canggung. Dan begitu tubuhku tenggelam dalam hangatnya air, lelah setelah perjalanan panjang dari desa pun perlahan luruh. Aku bersandar pada tepi bak mandi—yang hanya dengan melihatnya saja aku tahu betapa berkelasnya ini. Perlahan, aku mulai memejamkan mata. Sulit dipercaya, kini aku benar-benar bisa berada di sini. Bayangan ayah kembali menyesakkan. Lelaki itu begitu tega menjual darah dagingnya sendiri hanya demi melunasi hutang dan menuruti kebiasaan judinya. Kalau bukan karena Bang Wira menghentikannya tepat waktu, aku pasti sudah diseret germo rumah bordil malam itu juga. Bang Wira menjanjikan bayaran lebih besar dengan menjualku ke kota, dan karena itulah aku akhirnya berada di sini, di bawah kekuasaan Adrian Hartono. Bayangan tuan kaya itu seketika muncul dalam benakku. Sosok tinggi dan menawan dengan kemeja hitam yang membalut tubuh tegapnya membuatnya tampak berkelas. Wajahnya tampat sempurna walau jarang dihiasi senyuman. Lalu sorot matanya ... tajam, tetapi ada keteduhan di baliknya. Tidak heran jika dia bisa memiliki banyak wanita hanya dengan sekali tatap. Dan aku ... entah bagaimana, kini telah menjadi salah satu miliknya. “Eh ... apa aku juga akan menjadi wanitanya?” bisikku pada diri sendiri. Cepat-cepat aku menepuk pipiku, mengusir pikiran memalukan itu. Tidak, aku tidak boleh hanyut. Adrian telah menyelamatkanku dari nasib buruk. Aku hanya perlu bersyukur dan melayaninya dengan baik, memastikan ia tidak menyesal menerimaku di rumahnya.Tuan Adrian menarik kerah baju Kak Arga dan mendorongnya menjauh dariku. Sementara itu, aku dibantu berdiri oleh Kak Danu.“Hati-hati, Nona,” ucapnya pelan.Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Tuan Adrian dan Kak Arga. Keduanya kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada satu pun kata terucap di antara mereka, tetapi tatapan mata keduanya seakan berbicara.“Tuan ...,” panggilku ragu.Tanpa mengalihkan pandangan dari Kak Arga, Tuan Adrian memberi perintah kepada Kak Danu. “Bawa Melati masuk ke mobil.”Kak Danu hanya mengangguk, lalu menuntunku menuju mobil.“Tapi, Kak ... mereka ....” Aku khawatir, takut Tuan Adrian salah paham terhadap Kak Arga.“Tidak apa-apa, Nona ikut saja,” ucap Kak Danu dengan nada menenangkan.Pada akhirnya aku pun menurut. Aku masuk ke dalam mobil Tuan Adrian.Dari bangku belakang, aku masih bisa melihat Kak Arga di luar sana, tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Tuan Adrian lebih dulu berbicara kepadanya sebelum kemudian berbalik pergi.Aku tidak tahu
Setelah Danu pergi dan Tuan Adrian mempersilakanku masuk, aku pun melangkah ke dalam ruang kerja yang cukup luas dengan desain hitam putih yang elegan namun misterius itu.“Kau membawakanku makanan?” tanya Tuan Adrian tanpa menoleh.Aku yang awalnya masih terpana mengagumi ruangannya segera beralih pada pemiliknya. “Benar, Tuan.”“Bibi Asri yang menyuruhmu?” tanyanya lagi, masih dengan tatapan tertuju pada dokumen di atas mejanya.Aku buru-buru menjawab, “Tidak, Tuan. Ini ... inisiatif saya sendiri. Jadi, jangan marahi Bibi Asri. Beliau bahkan sudah mencegah saya.”Pulpen di tangan Tuan Adrian yang sejak tadi terus bergerak lincah di atas kertas seketika berhenti. Tatapannya terangkat, menusuk ke arahku. “Kalau begitu bawa saja makanan itu pergi.”Ia kembali menunduk, sibuk menandatangani dokumen-dokumennya.Sungguh pria yang sulit dihadapi, batinku. Aku menggigit bibir, berpikir cepat mencari cara agar usahaku tidak sia-sia. Lalu, aku teringat sesuatu.Perlahan kubuka salah satu kota
Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, kali ini aku tidak langsung membuka pintu kamar Tuan Adrian begitu saja. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya seperti ... jika aku kembali masuk tanpa permisi, mungkin kali ini aku benar-benar tidak akan selamat. Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetuk pintu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk, masih tidak juga ada jawaban. Aku pun mengetuk semakin keras. Karena tetap tidak ada respon dari dalam, aku mengepalkan tangan lebih kuat dan mulai “menggedor” pintu dengan sekuat tenaga, tanpa jeda. Tidak lama kemudian .... Klek. Pintu kamar itu terbuka dari dalam. Kini terlihat Tuan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit kesal dan rambut yang masih berantakan. Ia hanya mengenakan kemeja tidur berwarna hitam yang bagian atasnya terbuka lebar, memperlihatkan sebagian dadanya. Aku menelan ludah dan membatin, kenapa orang ini selalu terlihat seksi di pagi hari? Padahal dia baru saja bangun tidur. Tatapan dingin T
“Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”Kalimat itu meluncur tajam dari mulut salah satu wanita di hadapanku. Aku tidak mengerti, kenapa banyak orang menyebutku dengan sebutan seolah-olah aku perempuan murahan seperti itu?“Maaf, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti,” ujarku hati-hati.“Tcih.” Seorang wanita bergaun merah marun dengan potongan bahu terbuka menyilangkan tangan di dada. Tatapannya sinis. “Jangan berpura-pura polos. Bisa tinggal di sisi Adrian, artinya kau sudah menjual dirimu sendiri padanya.”Wanita di sebelahnya menimpali dengan nada tajam, “Aku heran, selera Tuan Adrian kali ini benar-benar menurun.”Yang terakhir ikut menambahkan dengan senyum mengejek. “Kau sama sekali tidak terlihat istimewa, tapi bisa menempati rumah ini. Jadi, selain tubuhmu, apa lagi yang sudah kau jual padanya?”Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Jadi, hal seperti itukah yang mereka pikirkan tentangku?Meski ketiga wanita itu berdiri dengan anggun, aura mereka begitu menekan hingga memb
Aku masih diam terpaku di tempatku. Entah kenapa, di situasi seperti ini kakiku justru tidak bisa digerakkan.Tuan Adrian mendekat, masih dengan hanya bertelanjang dada. “Apakah memasuki ruang pribadi orang lain adalah kebiasaan burukmu?”Aku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”Kini langkahnya berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tidak, Tuan. Saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”“Tidak sengaja, tapi terlihat jelas kau mengangkat kaki untuk menjegalnya hingga terjatuh.”Aku tercekat. Bagaimana ia bisa tahu?“Kau pikir, ada di mana kau waktu itu? Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Danu bahkan haru
Saat ini aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan ditemani Danu yang berdiri tidak jauh dariku. Sejak tadi jemariku tidak hentinya bergerak gelisah menunggu kabar tentang Nina.Tidak lama kemudian, pintu ruangan di depanku terbuka. Seorang dokter dan perawat berjalan keluar melewati kami dengan disusul oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kini berhenti di hadapanku dan Danu.Degup jantungku semakin keras. Tanpa bertanya, aku pun tahu siapa mereka, kedua orang tua Nina.Si ibu menatapku tajam, sorot matanya bagai pisau yang siap merobek kulitku kapan saja. “Kamu yang namanya Melati?” Suaranya terdengar dingin.Aku tercekat. “I-iya ... Tante.”“Panggil aku Nyonya.” Ibu Nina mengoreksi.Aku menundukkan pandangan sembari menelan ludahku sendiri.Dari ekor mata, kulihat Danu melangkah maju. Dengan suara tenang namun mantap ia berkata, “Maaf ... Nyonya dan Tuan Hatmoko, benar?”Pasangan itu menoleh pada Danu, menunggu penjelasan.Danu kembali melanjutkan, “Izinkan saya memp