Suara lembut memanggilku pelan, membuatku tergerak untuk membuka mata. “Nona ... Nona Melati ... bangunlah. Hari sudah pagi.”
Aku mengerjapkan mata perlahan. Cahaya matahari menerobos lembut dari celah tirai, menyinari kamar yang masih terasa asing bagiku. Sejenak aku terdiam, lupa di mana aku berada, sampai suara itu kembali terdengar. Suara seorang perempuan—yang sepertinya seumuran denganku. Dia berdiri di tepi ranjang tempat tidurku. Senyumnya manis, wajahnya bulat dengan lesung pipi samar, rambutnya hitam dan terikat rapi ke belakang. “Selamat pagi, Nona.” Aku buru-buru bangkit duduk, merapikan rambut yang acak-acakan. “S-selamat pagi,” ucapku gugup. Perempuan itu terkekeh kecil, lalu kembali berucap sambil kemudian menunduk sopan. “Perkenalkan, saya Sekar. Keponakan Bibi Asri.” Aku mengangguk pelan. “Oh ... iya.” “Mulai sekarang, saya yang akan mendampingi Nona. Mengenai tugas-tugas Nona di rumah ini. Saya akan membimbing Nona pelan-pelan, jadi jangan khawatir.” Jantungku kembali berdebar, dan aku hanya bisa mengangguk. Rasanya seperti akan ada sesuatu yang besar menantiku. “Namun sebelum itu,” Sekar kembali berkata dengan ceria, “sebaiknya Nona mencuci muka lebih dulu. Setelahnya, saya akan membantu Nona untuk berdandan dan sarapan. Baru setelah itu, saya akan menjelaskan semuanya.” Aku mengiyakan semua perkataan Sekar. Dan setelah selesai berpakaian rapi serta sedikit merias wajah, aku pun mengikuti Sekar menuruni tangga menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, mataku pun terbelalak melihat meja makan penuh dengan hidangan yang semuanya terlihat begitu enak dan istimewa. Aku duduk di salah satu kursi dan terdiam. Tanganku masih ragu untuk menyentuh sendok. “A-aku rasa ini terlalu mewah,” ucapku pada Sekar. “Aku merasa seperti ... nona besar.” Sekar tersenyum nakal. “Wah, ternyata Nona memang tidak hanya cantik, tapi juga rendah hati. Pantes saja Tuan Adrian rela membayar ratusan juta untuk Nona. Memang beda dari wanita-wanita Tuan Adrian yang lain.” Aku menoleh cepat. “Apa? Ra-ratusan ... juta?” Suaraku tercekat, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Sekar mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik seolah takut didengar orang lain. “Benar. Tepatnya, lima ratus juta, atau setengah milyar. Katanya ... Nona dibeli agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah.” Aku menelan ludah. Kepalaku terasa ringan dan dunia seolah berputar. Setengah milyar dikeluarkan Tuan Adrian untuk membeliku. Sekar melanjutkan dengan nada tenang. “Tenanglah, Nona. Uang segitu tidak ada apa-apanya bagi Tuan Adrian.” Tidak. Bukan itu yang kupikirkan. Yang ada di kepalaku saat ini hanyalah ... pekerjaan apa yang bisa kulakukan untuk membayar kembali jumlah sebesar itu? Dan, berapa lama aku harus bekerja pada Tuan Adrian sampai bisa menutup uang tersebut? “Sekar ...,” panggilku ragu. “Iya, Nona?” “Katakan padaku, pekerjaan apa yang harus kulakukan untuk Tuan Adrian?” Aku sedikit panik. “Apakah aku harus memasak untuknya, mengepel lantai semua rumahnya, atau mencuci semua pakaian kotornya? Tolong katakan saja, aku bisa melakukan semua itu.” Kini Sekar justru tertawa. Aku pun semakin bingung. “Apakah ada yang lucu? Sekar, aku serius.” “Ah, maaf, Nona.” Sekar sejenak berdehem. “Nona tidak perlu melakukan semua itu, karena semua pekerjaan itu sudah ada yang mengerjakan.” Aku semakin penasaran. “Lalu?” Sekar akhirnya menjelaskan padaku, “Di rumah ini, Nona hanya perlu melayani seluruh keperluan pribadi Tuan Adrian.” Kata “melayani” langsung berputar-putar di kepalaku, membawa pikiranku ke arah yang liar. “M-melayani seperti apa?” tanyaku hati-hati. “Apa saja. Apapun yang Tuan Adrian inginkan, Nona harus melakukannya. Dan setelah ini ... bersiaplah, karena tugas pertama Nona telah menanti.” Mendengar penjelasan itu, aku jadi semakin gelisah. Aku penasaran, apakah melayani yang dimaksud oleh Sekar sama halnya dengan yang dilakukan di rumah bordil. Jika memang seperti itu, lantas apa bedanya aku tinggal di rumah bordil atau di rumah Adrian. Oh, kenapa nasibku seperti ini? ** “Hh ....” Aku berdiri di depan kamar Tuan Adrian dengan tangan yang sudah terkepal di depan pintu, tetapi keberanian untuk mengetuk tidak kunjung datang Sebelumnya, Sekar sudah menjelaskan padaku bahwa ternyata tugasku tidak seperti yang kubayangkan. Bukan pelayanan yang menjurus ke hal-hal seksual, melainkan hanya sebatas membangunkan Tuan Adrian, menyiapkan sarapannya, menata pakaiannya untuk kerja dan tugas-tugas kecil lainnya. Aku cukup lega setelah mendengarnya. Namun ... meski sudah tahu seperti itu, aku tetap saja merasa gugup. Menurutku, berhadapan dengan Tuan Adrian tetaplah menakutkan. “Tidak apa-apa, Melati. Kamu hanya akan membangunkan beliau,” bisikku pada diri sendiri. Setelah cukup lama hanya berdiri di depan pintu, akhirnya aku memberanikan diri mengetuk pintu kayu di hadapanku. Hanya saja, setelah kuketuk berkali-kali, tetap saja tidak ada respon dari dalam. Aku pun kembali memberanikan diri, meraih gagang pintu dan membuka pintu tersebut, yang tentunya sudah melewati pertimbangan yang cukup lama. Ceklek. Begitu pintu kamar terbuka, aroma lavender langsung menyeruak. Kamar Adrian jauh lebih luas dan mewah dari apa pun yang pernah kulihat. Aku melangkah hati-hati, masuk semakin ke dalam. Kesunyian ruangan itu membuat suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Semakin lama, aku semakin dekat dengan ranjang tempat tidur. Membuatku semakin jelas melihat sosok sang tuan rumah. Tuan Adrian masih terlelap. Wajahnya terlihat tenang dan teduh. Untuk sesaat, aku mematung karena terpesona. Wajahnya yang terlelap terlihat sangat tampan. Sama sekali tidak menakutkan, tidak seperti pertemuan terakhir kami semalam. Sebenarnya aku ragu untuk membangunkannya, tetapi mau bagaimana lagi, aku harus melakukannya. “Tuan ....” Aku memanggilnya pelan, tetapi tidak ada tanggapan. “Tuan ....” Aku menaikkan ada suaraku kunaikkan, tetapi tetap saja, tidak ada respon. Perlahan kuulurkan tangan untuk menyentuh lengan Tuan Adrian dan memanggilnya lagi. “Tuan.” Rupanya, panggilanku kali ini mendapat respon. Namun, siapa sangka jika respon yang diberikan Tuan Adrian justru membuatku hampir kena serangan jantung. Aku menahan napas ketika tiba-tiba tanganku ditarik oleh Tuan Adrian, hingga membuatku limbung dan jatuh menimpa tubuhnya. Bukannya bangun lalu melepaskanku, Tuan Adrian justru melingkarkan tangannya ke pinggangku. Wajah kami yang berada begitu dekat membuatku dapat melihat matanya yang setengah terpejam, seakan ia tidak sepenuhnya sadar dengan apa yang dilakukannya. Aroma maskulin yang menyeruak membuatku semakin panik dan berusaha melepaskan diri. Namun, lengannya yang kokoh justru semakin erat menahanku. “Jangan ribut.” Suaranya yang berat dan sedikit serak membuatku terhipnotis. Seketika aku berhenti bergerak dan terdiam kaku. Detak jantungku berpacu cepat, seluruh suara di kamar ini seolah lenyap dan hanya menyisakan debaran itu. Tidak, aku tidak bisa membiarkan posisi kami terus seperti ini. “Tu-Tuan.” Aku kembali membangunkannya. “Tuan Adrian ... tolong lepaskan aku.” Suaraku lebih keras dari sebelumnya. Tanganku gemetar saat perlahan mencoba mendorong dadanya. Kali ini, kulihat alis Tuan Adrian berkerut. Dan tidak lama lama kemudian, perlahan ia membuka mata. Tatapan tajam yang semalam kulihat kini kembali ada di hadapanku. Namun, kali ini dari jarak yang sangat dekat. Setelah beberapa saat menatapku, pada akhirnya aku kembali mendengar suara dinginnya. “Apa yang kau lakukan di kamarku?”Tuan Adrian menarik kerah baju Kak Arga dan mendorongnya menjauh dariku. Sementara itu, aku dibantu berdiri oleh Kak Danu.“Hati-hati, Nona,” ucapnya pelan.Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Tuan Adrian dan Kak Arga. Keduanya kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada satu pun kata terucap di antara mereka, tetapi tatapan mata keduanya seakan berbicara.“Tuan ...,” panggilku ragu.Tanpa mengalihkan pandangan dari Kak Arga, Tuan Adrian memberi perintah kepada Kak Danu. “Bawa Melati masuk ke mobil.”Kak Danu hanya mengangguk, lalu menuntunku menuju mobil.“Tapi, Kak ... mereka ....” Aku khawatir, takut Tuan Adrian salah paham terhadap Kak Arga.“Tidak apa-apa, Nona ikut saja,” ucap Kak Danu dengan nada menenangkan.Pada akhirnya aku pun menurut. Aku masuk ke dalam mobil Tuan Adrian.Dari bangku belakang, aku masih bisa melihat Kak Arga di luar sana, tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi Tuan Adrian lebih dulu berbicara kepadanya sebelum kemudian berbalik pergi.Aku tidak tahu
Setelah Danu pergi dan Tuan Adrian mempersilakanku masuk, aku pun melangkah ke dalam ruang kerja yang cukup luas dengan desain hitam putih yang elegan namun misterius itu.“Kau membawakanku makanan?” tanya Tuan Adrian tanpa menoleh.Aku yang awalnya masih terpana mengagumi ruangannya segera beralih pada pemiliknya. “Benar, Tuan.”“Bibi Asri yang menyuruhmu?” tanyanya lagi, masih dengan tatapan tertuju pada dokumen di atas mejanya.Aku buru-buru menjawab, “Tidak, Tuan. Ini ... inisiatif saya sendiri. Jadi, jangan marahi Bibi Asri. Beliau bahkan sudah mencegah saya.”Pulpen di tangan Tuan Adrian yang sejak tadi terus bergerak lincah di atas kertas seketika berhenti. Tatapannya terangkat, menusuk ke arahku. “Kalau begitu bawa saja makanan itu pergi.”Ia kembali menunduk, sibuk menandatangani dokumen-dokumennya.Sungguh pria yang sulit dihadapi, batinku. Aku menggigit bibir, berpikir cepat mencari cara agar usahaku tidak sia-sia. Lalu, aku teringat sesuatu.Perlahan kubuka salah satu kota
Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, kali ini aku tidak langsung membuka pintu kamar Tuan Adrian begitu saja. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya seperti ... jika aku kembali masuk tanpa permisi, mungkin kali ini aku benar-benar tidak akan selamat. Aku menarik napas panjang sebelum mulai mengetuk pintu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk, masih tidak juga ada jawaban. Aku pun mengetuk semakin keras. Karena tetap tidak ada respon dari dalam, aku mengepalkan tangan lebih kuat dan mulai “menggedor” pintu dengan sekuat tenaga, tanpa jeda. Tidak lama kemudian .... Klek. Pintu kamar itu terbuka dari dalam. Kini terlihat Tuan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit kesal dan rambut yang masih berantakan. Ia hanya mengenakan kemeja tidur berwarna hitam yang bagian atasnya terbuka lebar, memperlihatkan sebagian dadanya. Aku menelan ludah dan membatin, kenapa orang ini selalu terlihat seksi di pagi hari? Padahal dia baru saja bangun tidur. Tatapan dingin T
“Jadi ... kau perempuan barunya Adrian?”Kalimat itu meluncur tajam dari mulut salah satu wanita di hadapanku. Aku tidak mengerti, kenapa banyak orang menyebutku dengan sebutan seolah-olah aku perempuan murahan seperti itu?“Maaf, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti,” ujarku hati-hati.“Tcih.” Seorang wanita bergaun merah marun dengan potongan bahu terbuka menyilangkan tangan di dada. Tatapannya sinis. “Jangan berpura-pura polos. Bisa tinggal di sisi Adrian, artinya kau sudah menjual dirimu sendiri padanya.”Wanita di sebelahnya menimpali dengan nada tajam, “Aku heran, selera Tuan Adrian kali ini benar-benar menurun.”Yang terakhir ikut menambahkan dengan senyum mengejek. “Kau sama sekali tidak terlihat istimewa, tapi bisa menempati rumah ini. Jadi, selain tubuhmu, apa lagi yang sudah kau jual padanya?”Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Jadi, hal seperti itukah yang mereka pikirkan tentangku?Meski ketiga wanita itu berdiri dengan anggun, aura mereka begitu menekan hingga memb
Aku masih diam terpaku di tempatku. Entah kenapa, di situasi seperti ini kakiku justru tidak bisa digerakkan.Tuan Adrian mendekat, masih dengan hanya bertelanjang dada. “Apakah memasuki ruang pribadi orang lain adalah kebiasaan burukmu?”Aku menelan ludah, memaksa suara keluar. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud. Saya hanya ... ingin menjelaskan tentang kejadian kemarin.”Kini langkahnya berhenti hanya dua langkah di depanku. Aroma sabunnya yang maskulin membuat wajahku terasa panas.“Menjelaskan ... atau hanya mencari alasan?” Tuan Adrian bertanya dengan nada datar, akan tetapi hal itu cukup mampu untuk membuatku tertekan.Aku menggeleng cepat, jemariku meremas ujung baju. “Tidak, Tuan. Saya sungguh tidak bermaksud melukai Nina. Itu hanya ... tidak sengaja.”“Tidak sengaja, tapi terlihat jelas kau mengangkat kaki untuk menjegalnya hingga terjatuh.”Aku tercekat. Bagaimana ia bisa tahu?“Kau pikir, ada di mana kau waktu itu? Ada banyak mata dan kamera yang merekam. Danu bahkan haru
Saat ini aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan ditemani Danu yang berdiri tidak jauh dariku. Sejak tadi jemariku tidak hentinya bergerak gelisah menunggu kabar tentang Nina.Tidak lama kemudian, pintu ruangan di depanku terbuka. Seorang dokter dan perawat berjalan keluar melewati kami dengan disusul oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kini berhenti di hadapanku dan Danu.Degup jantungku semakin keras. Tanpa bertanya, aku pun tahu siapa mereka, kedua orang tua Nina.Si ibu menatapku tajam, sorot matanya bagai pisau yang siap merobek kulitku kapan saja. “Kamu yang namanya Melati?” Suaranya terdengar dingin.Aku tercekat. “I-iya ... Tante.”“Panggil aku Nyonya.” Ibu Nina mengoreksi.Aku menundukkan pandangan sembari menelan ludahku sendiri.Dari ekor mata, kulihat Danu melangkah maju. Dengan suara tenang namun mantap ia berkata, “Maaf ... Nyonya dan Tuan Hatmoko, benar?”Pasangan itu menoleh pada Danu, menunggu penjelasan.Danu kembali melanjutkan, “Izinkan saya memp