แชร์

Hari Pertama Melayani Tuan

ผู้เขียน: Nooraya
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-09 20:04:19

“Nona ... Nona Melati ... bangunlah. Hari sudah pagi.” 

Suara lembut memanggilku pelan, membuatku tergerak untuk membuka mata. 

Cahaya matahari menerobos lembut dari celah tirai, menyinari kamar yang masih terasa asing bagiku. 

Sejenak aku terdiam, lupa di mana aku berada, sampai suara itu kembali terdengar.

“Selamat pagi, Nona.”

Seorang perempuan, yang sepertinya seumuran denganku, berdiri di tepi ranjang tempat tidurku. Senyumnya manis, wajahnya bulat dengan lesung pipi samar, rambutnya hitam dan terikat rapi ke belakang.

“Selamat pagi, Nona.”

Aku buru-buru bangkit duduk, merapikan rambut yang acak-acakan. “S-selamat pagi,” ucapku gugup.

Perempuan itu terkekeh kecil, lalu kembali berucap sambil kemudian menunduk sopan. “Perkenalkan, saya Sekar. Keponakan Bibi Asri.”

Aku mengangguk pelan. “Oh ... iya.”

“Mulai sekarang, saya yang akan mendampingi Nona. Mengenai tugas-tugas Nona di rumah ini. Saya akan membimbing Nona pelan-pelan, jadi jangan khawatir.”

Jantungku kembali berdebar, dan aku hanya bisa mengangguk. Rasanya seperti akan ada sesuatu yang besar menantiku.

“Namun sebelum itu,” Sekar kembali berkata dengan ceria, “sebaiknya Nona mencuci muka lebih dulu. Setelahnya, saya akan membantu Nona untuk berdandan dan sarapan. Baru setelah itu, saya akan menjelaskan semuanya.”

Aku mengiyakan semua perkataan Sekar. Dan setelah selesai berpakaian rapi serta sedikit merias wajah, aku pun mengikuti Sekar menuruni tangga menuju ruang makan.

Sesampainya di ruang makan, mataku pun terbelalak melihat meja makan penuh dengan hidangan yang semuanya terlihat begitu enak dan istimewa.

Aku duduk di salah satu kursi dan terdiam. Tanganku masih ragu untuk menyentuh sendok. “A-aku rasa ini terlalu mewah,” ucapku pada Sekar. “Aku merasa seperti ... nona besar.”

Sekar tersenyum nakal. “Wah, ternyata Nona memang tidak hanya cantik, tapi juga rendah hati. Pantas saja Tuan Adrian rela membayar ratusan juta untuk Nona. Memang beda dari wanita-wanita Tuan Adrian yang lain.”

Aku menoleh cepat. “Apa? Ra-ratusan ... juta?” Suaraku tercekat, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Sekar mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik seolah takut didengar orang lain. “Benar. Tepatnya, lima ratus juta, atau setengah milyar.”

Aku menelan ludah. Kepalaku terasa ringan dan dunia seolah berputar. Setengah milyar dikeluarkan Tuan Adrian untuk membeliku.

Sekar melanjutkan dengan nada tenang. “Tenanglah, Nona. Uang segitu tidak ada apa-apanya bagi Tuan Adrian.”

Tidak. Bukan itu yang kupikirkan. Yang ada di kepalaku saat ini hanyalah ... pekerjaan apa yang bisa kulakukan untuk membayar kembali jumlah sebesar itu? Dan, berapa lama aku harus bekerja pada Tuan Adrian sampai bisa menutup uang tersebut?

“Sekar ...,” panggilku ragu.

“Iya, Nona?”

“Katakan padaku, pekerjaan apa yang harus kulakukan untuk Tuan Adrian?” Aku sedikit panik. “Apakah aku harus memasak untuknya, mengepel lantai semua rumahnya, atau mencuci semua pakaian kotornya? Tolong katakan saja, aku bisa melakukan semua itu.”

Kini Sekar justru tertawa. Aku pun semakin bingung.

“Apakah ada yang lucu?”

“Ah, maaf, Nona.” Sekar sejenak berdehem. “Nona tidak perlu melakukan semua itu, karena semua pekerjaan itu sudah ada yang mengerjakan.”

Aku semakin penasaran. “Lalu?”

Sekar akhirnya menjelaskan padaku, “Di rumah ini, Nona hanya perlu melayani seluruh keperluan pribadi Tuan Adrian.”

Kata “melayani” langsung berputar-putar di kepalaku, membawa pikiranku ke arah yang liar. “M-melayani seperti apa?” tanyaku hati-hati.

“Apa saja. Apapun yang Tuan Adrian inginkan, Nona harus melakukannya. Dan setelah ini ... bersiaplah, karena tugas pertama Nona telah menanti.”

Mendengar penjelasan itu, aku jadi semakin gelisah. Aku penasaran, apakah melayani yang dimaksud oleh Sekar sama halnya dengan yang dilakukan di rumah hiburan. Jika memang seperti itu, lantas apa bedanya aku tinggal di rumah hiburan atau di rumah Adrian.

Oh, kenapa nasibku seperti ini?

**

“Hh ....” Aku berdiri di depan kamar Tuan Adrian dengan tangan yang sudah terkepal di depan pintu, tetapi keberanian untuk mengetuk tidak kunjung datang

Sebelumnya, Sekar sudah menjelaskan padaku bahwa ternyata tugasku tidak seperti yang kubayangkan. Bukan pelayanan yang menjurus ke hal-hal seksual, melainkan hanya sebatas membangunkan Tuan Adrian, menyiapkan sarapannya, menata pakaiannya untuk kerja dan tugas-tugas kecil lainnya.

Aku cukup lega setelah mendengarnya. Namun ... meski sudah tahu seperti itu, aku tetap saja merasa gugup. Menurutku, berhadapan dengan Tuan Adrian tetaplah menakutkan.

“Tidak apa-apa, Melati. Kamu hanya akan membangunkan beliau,” bisikku pada diri sendiri.

Setelah cukup lama hanya berdiri di depan pintu, akhirnya aku memberanikan diri mengetuk pintu kayu di hadapanku. Hanya saja, setelah kuketuk berkali-kali, tetap saja tidak ada respon dari dalam.

Aku pun kembali memberanikan diri, meraih gagang pintu dan membuka pintu tersebut, yang tentunya sudah melewati pertimbangan yang cukup lama.

Ceklek.

Begitu pintu kamar terbuka, aroma lavender langsung menyeruak. Kamar Adrian jauh lebih luas dan mewah dari apa pun yang pernah kulihat.

Aku melangkah hati-hati, masuk semakin ke dalam. Kesunyian ruangan itu membuat suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas.

Semakin lama, aku semakin dekat dengan ranjang tempat tidur. Membuatku semakin jelas melihat sosok sang tuan rumah.

Tuan Adrian masih terlelap. Wajahnya terlihat tenang dan teduh.

Untuk sesaat, aku mematung karena terpesona. Wajahnya yang terlelap terlihat sangat tampan. Sama sekali tidak menakutkan, tidak seperti pertemuan terakhir kami semalam.

Sebenarnya aku ragu untuk membangunkannya, tetapi mau bagaimana lagi, aku harus melakukannya. “Tuan ....” Aku memanggilnya pelan, tetapi tidak ada tanggapan. “Tuan ....” Aku menaikkan ada suaraku kunaikkan, tetapi tetap saja, tidak ada respon.

Perlahan kuulurkan tangan untuk menyentuh lengan Tuan Adrian dan memanggilnya lagi. “Tuan.”

Rupanya, panggilanku kali ini mendapat respon. Namun, siapa sangka jika respon yang diberikan Tuan Adrian justru membuatku hampir kena serangan jantung.

Aku menahan napas ketika tiba-tiba tanganku ditarik oleh Tuan Adrian, hingga membuatku limbung dan jatuh menimpa tubuhnya. Bukannya bangun lalu melepaskanku, Tuan Adrian justru melingkarkan tangannya ke pinggangku.

Wajah kami yang berada begitu dekat membuatku dapat melihat matanya yang setengah terpejam, seakan ia tidak sepenuhnya sadar dengan apa yang dilakukannya.

Aroma maskulin yang menyeruak membuatku semakin panik dan berusaha melepaskan diri. Namun, lengannya yang kokoh justru semakin erat menahanku.

“Jangan ribut.” Suaranya yang berat dan sedikit serak membuatku terhipnotis.

Seketika aku berhenti bergerak dan terdiam kaku. Detak jantungku berpacu cepat, seluruh suara di kamar ini seolah lenyap dan hanya menyisakan debaran itu.

Tidak, aku tidak bisa membiarkan posisi kami terus seperti ini. “Tu-Tuan.” Aku kembali membangunkannya. “Tuan Adrian ... tolong lepaskan aku.” Suaraku lebih keras dari sebelumnya.

Tanganku gemetar saat perlahan mencoba mendorong dadanya. Kali ini, kulihat alis Tuan Adrian berkerut. Dan tidak lama lama kemudian, perlahan ia membuka mata.

Tatapan tajam yang semalam kulihat kini kembali ada di hadapanku. Namun, kali ini dari jarak yang sangat dekat.

Setelah beberapa saat menatapku, pada akhirnya aku kembali mendengar suara dinginnya. “Apa yang kau lakukan di kamarku?”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Ternyata Belum Selesai

    Aku berdiri termenung sendirian di dalam lift. Apa yang terjadi barusan di ruang kerja Tuan Adrian terus berputar di kepalaku.Apa yang ia katakan dan lakukan untukku ... sedikit-banyak menghangatkan hati.Awalnya aku memang marah. Rasanya ia melangkah terlalu jauh dan mengambil keputusan seenaknya. Namun semakin kupikirkan, alasan untuk marah itu malah semakin lemah.Meski Tuan Adrian bilang bahwa ia menyerahkan sahamnya karena ada rencana lain, tetap saja semua itu berawal dari masalahku dengan Nina. Lagi-lagi, akulah yang menyeretnya ke dalam masalahku.Karena aku, Tuan Adrian sendiri yang harus turun langsung menghadapi Tuan Hatmoko. Dia juga yang meminta agar Nina dikirim ke luar negeri, agar Nina tidak bisa lagi menggangguku. Semua itu ... demi aku.Semua risiko ditanggung oleh Tuan Adrian. Sementara aku ... hanya perlu melanjutkan hidup dengan tenang.Tuan Adrian tidak menuntut apa pun dariku sebagai balasan. Ia hanya ingin aku patuh padanya dan menjauhi Kak Arga.Kata-kata Tua

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Hutang Budiku Bertambah

    Aku berdiri tidak jauh dari tempat Tuan Adrian duduk. Untuk beberapa saat, tidak ada satu kata pun yang keluar dari kami.Hanya ada keheningan yang memenuhi ruangan. Aku dan Tuan Adrian seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada terlalu banyak hal yang ingin kukatakan, dan terlalu banyak hal yang ingin kudengar darinya.Entah penjelasan, teguran, atau apa pun itu, yang jelas kepalaku saat ini penuh dan kacau.“Ada yang ingin kau katakan, Melati?” Suara Tuan Adrian akhirnya memecah kesunyian itu.Aku membuka mulut, tetapi masih tidak ada kata keluar. Setelah menarik napas panjang, barulah aku bisa berkata, pelan.“Apakah benar ... kalau Nina pindah ke luar negeri karena Anda yang memintanya, Tuan?”Tuan Adrian memandangku. Tatapannya sama sekali tidak goyah.“Ya.” Sesingkat itu ia menjawab.Dadaku seperti ditarik sampai sesak. “Kenapa Anda melakukannya?”Masih dengan tenang Tuan Adrian menjawab, “Aku tidak suka masalah yang berlarut. Jika ada cara untuk menyelesaikannya dengan c

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Demi Aku

    Aku menahan napas, berusaha menangkap lebih jelas suara-suara dari balik pintu ruang istirahat Tuan Adrian.“Kau mengundangku ke sini ... apa kau sudah akan memberikan saham yang kau janjikan padaku?” Suara Tuan Hatmoko terdengar tajam.Tuan Adrian tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. “Apa saham itu benar-benar sangat berarti untuk Anda, Tuan Hatmoko?”“Tch.” Suara Tuan Hatmoko penuh kesal. “Ini bukan soal penting atau tidak penting. Ini soal kesepakatan kita. Ingat! Karena perempuan kampung itu, anakku harus menanggung akibatnya. Dia bahkan mengalami gegar otak ringan dan terpaksa tinggal di luar negeri.”Jantungku serasa berhenti sesaat. Setelahnya, aku refleks menarik kepalaku menjauh dari pintu.Perempuan kampung? Aku? Apa maksudnya itu?“Aku juga sudah menepati janjiku,” lanjut Tuan Hatmoko. “Pihak kami diam. Kami tidak memperpanjang masalah itu, padahal Nina yang paling dirugikan dalam hal ini.”Perlahan aku kembali mendekat, menyatukan telingaku ke celah kecil pin

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Ruang Istirahat

    Setelah beberapa saat saling menatap tajam, akhirnya Kak Arga memutuskan tatapan itu lebih dulu. Ia meletakkan berkas di tangannya ke atas meja, tepat seperti yang diperintahkan Tuan Adrian.Melihat itu, Tuan Adrian hanya berkata singkat, “Sekarang pergilah.”Tanpa banyak bicara, Kak Arga bangkit. “Baik. Kalau begitu, saya kembali ke bawah, Tuan.”“Hm,” sahut Tuan Adrian tanpa menoleh. Sementara itu, Kak Arga menunduk hormat, lalu sempat sekilas menatapku, sebelum akhirnya keluar dari ruangan.Begitu Kak Arga pergi dan pintu kembali tertutup, ruangan kerja ini pun kembali sunyi.Aku melirik ke arah Tuan Adrian. Lalu bertanya ragu, “Tuan ... mau saya suapi lagi?”Ia tidak langsung memberiku jawaban. Melainkan, malah membuka botol minuman yang kubawa dan meneguknya pelan sambil bersandar pada sofa.Baru setelah ia meletakkan botol itu ke meja, Tuan Adrian menjawab, “Tidak usah. Letakkan saja di sini, nanti aku makan sendiri.” Nada suaranya berubah dingin lagi.Entahlah, aku tidak menger

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Pagi yang Aneh

    Pagi ini aku baru tahu kalau sejak kemarin Tuan Adrian tidak pulang. Sekar yang memberitahu, sementara ia tahu dari Kak Danu. Katanya, kemarin Tuan Adrian lembur sampai larut dan akhirnya memutuskan untuk tidak pulang.Informasi itu membuatku sedikit kecewa. Sebab, pagi ini aku sudah memiliki semangat lebih untuk melayani Tuan Adrian.Sebenarnya, Tuan Adrian lembur sampai tidak pulang seperti ini sama sekali tidak mengejutkan. Namun, untuk kali ini terasa sedikit berbeda.Entahlah, mungkin karena beberapa hari kemarin suasananya seperti sedang perang dingin, dan hari ini aku ingin mulai mencairkan suasana, tetapi malah mendapatkan realitanya yang tidak sesuai dengan ekspektasiku.“Nona,” panggil Sekar, “tadi Kak Danu juga berpesan, supaya Nona menyiapkan pakaian ganti dan juga bekal makanan untuk Tuan Adrian ke kantor.”Aku sedikit bingung, mencoba mencerna baik-baik perintah itu. Meyakinkan diri bahwa aku tidak salah dengar. “Oh ... iya.”Permintaan itu tidak aneh sebenarnya, tetapi

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Kalimat Teka-teki

    “Bagaimana kabarmu dengan Adrian, Melati?”Pertanyaan itu datang begitu saja dari Nyonya Vanya, tenang, lembut, dan juga tidak terduga sama sekali.Aku menjawabnya dengan suara yang lirih, bahkan untukku sendiri. “Baik ... Nyonya.”Mata Nyonya Vanya sempat mengarah ke permukaan meja sebelum kembali terarah padaku. Ada sorot di matanya yang seolah sedang menilai luka tidak terlihat.“Kalau benar begitu,” ucapnya pelan, “aku ikut senang.”Aku mengangguk perlahan, berusaha tampak tenang meski jantungku sedang berdetak panik.Beberapa detik berlalu dengan hening, sebelum Nyonya Vanya kembali berbicara dengan suara yang terdengar lebih dalam. “Berhubungan dengan pria seperti Adrian ... pastinya tidak mudah, kan, Melati?”Aku langsung terdiam. Kata-katanya mengenai sisi terdalamku yang sedang terluka.Tidak ada nada sindiran. Tidak ada nada meremehkan. Hanya ... sebuah ungkapan jujur dari seorang perempuan yang tampaknya memahami rasa itu.Aku mencoba berbicara, namun satu-satunya kata yan

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status