Beranda / Romansa / Gadis Kesayangan Tuan Adrian / Menu Spesial untuk Tuan

Share

Menu Spesial untuk Tuan

Penulis: Nooraya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-09 20:18:07

Setelah Danu pergi dan Tuan Adrian mempersilakanku masuk, aku pun melangkah ke dalam ruang kerja yang cukup luas dengan desain hitam putih yang elegan namun misterius itu.

“Kau membawakanku makanan?” tanya Tuan Adrian tanpa menoleh.

Aku yang awalnya masih terpana mengagumi ruangannya segera beralih pada pemiliknya. “Benar, Tuan.”

“Bibi Asri yang menyuruhmu?” tanyanya lagi, masih dengan tatapan tertuju pada dokumen di atas mejanya.

Aku buru-buru menjawab, “Tidak, Tuan. Ini ... inisiatif saya sendiri. Jadi, jangan marahi Bibi Asri. Beliau bahkan sudah mencegah saya.”

Pulpen di tangan Tuan Adrian yang sejak tadi terus bergerak lincah di atas kertas seketika berhenti. Tatapannya terangkat, menusuk ke arahku. “Kalau begitu bawa saja makanan itu pergi.”

Ia kembali menunduk, sibuk menandatangani dokumen-dokumennya.

Sungguh pria yang sulit dihadapi, batinku. Aku menggigit bibir, berpikir cepat mencari cara agar usahaku tidak sia-sia. Lalu, aku teringat sesuatu.

Perlahan kubuka salah satu kotak makanan yang kubawa. Seketika aroma ayam bakar madu yang menggoda menyebar memenuhi ruangan.

“Tapi, Tuan ... saya sudah membawakan makanan kesukaan Anda,” ucapku pelan, berusaha terdengar tenang.

Pulpen di tangannya kembali berhenti. Sekilas aku melihat ekspresinya berubah, meskipun cukup samar.

Aku menunggu, akan tetapi tidak juga mendapat tanggapan. Akhirnya, dengan sedikit rasa kecewa, aku mulai menutup kembali kotak itu.

Namun, sebelum aku sempat melangkah pergi, suara Tuan Adrian kembali terdengar. “Siapkan saja makanannya di meja. Aku akan makan setelah menyelesaikan ini.”

Seketika kedua sudut bibirku tertarik naik. “Baik, Tuan.”

Dengan riang, aku menata satu per satu hidangan di meja depan sofa yang ada di ruangan Tuan Adrian. Setelah semuanya selesai, aku menoleh ke Tuan Adrian. “Tuan, makanannya sudah siap.”

Tuan Adrian akhirnya menutup dokumennya dan berdiri, lalu berjalan mendekat ke arahku. Cara berjalannya terlihat sangat indah dan berwibawa.

Tatapanku pun tidak bisa lepas darinya. Semakin dekat, semakin cepat jantungku berdetak.

Namun, ketika ia melewatiku begitu saja ... rasa kecewa kecil muncul di dadaku. Ayolah, Melati, apa yang kau pikirkan? Omelku pada diriku sendiri di dalam hati.

Aku berbalik. Tuan Adrian kini sudah duduk di sofa, mulai mengangkat sendok, dan makan tanpa sepatah kata.

Aku memperhatikannya diam-diam. Gerakannya tenang, tertib, dan terlihat berkelas.

Namun entah bagaimana, ada sedikit nuansa hangat yang sulit kujelaskan, yang mana membuatku tersenyum tanpa sadar setiap kali Tuan Adrian menyuapkan makanan ke mulutnya.

Benar kata Bibi Asri, hal paling menyenangkan adalah melihat Tuan Adrian makan dengan tenang dan nyaman. Tidak salah aku mengikuti sarannya untuk membawakan makanan kesukaannya, ayam bakar madu dengan sambal, ditambah sup bening, dan segelas susu jeruk hangat. Katanya, hanya dengan itu Tuan Adrian bisa ‘dijinakkan’.

“Apa aku begitu tampan?”

“Iya,” jawabku dengan sangat mantap. Bodoh memang, karena aku langsung mengikuti isi kepala. “Hah? Apa?” Aku tergagap panik. “Eh, tidak—bukan maksud saya—”

“Duduklah.”

“Ya?”

Ia menatapku tanpa ekspresi, lalu mengulang perintahnya, “Aku bilang, duduk. Kau bukan pengawalku, jadi duduklah.”

Aku menarik napas panjang, sementara tanganku meremas ujung baju, menahan malu. “Iya ... Tuan.”

Aku lantas duduk di ujung sofa yang berseberangan dengan Tuan Adrian. Sunyi. Di ruangannya kini, hanya ada suara samar sendok yang bertemu wadah makanan. Namun, ada satu suara lain yang sangat jelas kudengar di telingaku, yaitu detak jantungku sendiri.

**

Entah mengapa, sore ini aku merasa matahari di Universitas Cahaya Bangsa tidak terlalu menyengat. Udaranya pun terasa sejuk, dan langitnya terlihat begitu cerah, sangat cantik.

Tatapan sinis orang-orang pun terlihat samar di mataku. Sama sekali tidak membuatku terganggu.

Aku merasa senang tanpa sebab. Entahlah, aku sendiri bingung, tetapi mungkin ini ada hubungannya dengan aku yang bisa menemani Tuan Adrian makan pagi tadi.

Aku baru saja hendak berbelok ke arah gedung kelasku ketika seseorang dari arah berlawanan berbelok terlalu cepat ke arahku.

Brukk.

Tubuhku menabrak seseorang. Kardus dan tumpukan kertas yang dibawanya terjatuh berserakan.

“Aduh!” seruku pelan.

“Maaf!” ucap cepat orang yang menabrakku.

Suara itu terdengar familiar. Saat aku menatapnya, aku langsung bisa mengenalinya. Dia adalah kakak tingkat yang kemarin memberiku brosur seminar.

“Kakak ... yang kemarin, bukan?”

“Loh ....” Ia tersenyum ramah. “Ternyata kamu, Melati. Maaf ya, tadi aku terburu-buru, jadi tidak melihat jalan.”

“Oh, tidak apa-apa, Kak.” Aku mengikutinya, berjongkok dan membantu memunguti lembaran-lembaran kertas yang berserakan.

Ketika kami berdua mengambil kertas terakhir, tanpa sengaja tangan kakak tingkatku itu menggenggam tanganku. Kami saling menatap untuk sejenak, sampai kemudian aku buru-buru menarik tanganku.

Kami sama-sama berdiri. Dan saat melihat barang-barangnya yang berat dan banyak, aku pun berinisiatif untuk membantu. “Biar saya bantu bawakan sebagian, Kak.”

“Wah, terima kasih, Melati. Maaf merepotkan.”

Aku tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Kak.”

Kami berjalan berdampingan menuju ruang panitia seminar. Di perjalanan, kami cukup banyak mengobrol ringan, dan pada saat itulah aku baru tahu namanya.

“Oh iya, aku belum tahu nama Kakak siapa.”

“Arga,” sebutnya dengan senyuman.

“Kak Arga,” ucapku mengulang namanya sambil mengangguk samar.

Sesampainya di depan ruang panitia, Arga menatapku. “Sampai sini saja, Melati.”

“Oh, baik, Kak.” Aku menyerahkan kembali barang yang kubawa.

“Terima kasih banyak, Melati,” ucapnya.

“Sama-sama, Kak.”

“Oh iya, kelasmu selesai jam berapa hari ini?” tanyanya.

Aku berpikir sejenak. “Sekitar jam lima, Kak.”

“Bagus. Setelah rapat selesai, aku traktir makan, ya. Sebagai ucapan terima kasih.”

“Eh, tidak usah, Kak. Tidak perlu repot.”

Arga menggeleng. “Tidak ada penolakan.” Ia berjalan mundur ke arah pintu ruangan. “Nanti aku tunggu di depan gedung kelasmu.”

Sebelum aku sempat membalas, pintu ruang panitia sudah tertutup.

Aku berdiri termenung di depan ruangan itu. “Bagaimana aku harus menjelaskannya ke Kak Danu nanti?”

**

Sore harinya, saat aku keluar dari gedung perkuliahan.

Aku sungguh melihat Arga, berdiri di depan menungguku sesuai dengan janjinya. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya begitu melihatku.

Mau tidak mau, aku pada akhirnya benar-benar pergi makan malam dengan Arga, dan terpaksa bohong ke Kak Danu bahwa aku ada kerja kelompok. Aku sendiri bingung kenapa aku harus berbohong mengenai hal ini.

Kak Arga membawaku ke restoran kecil tidak jauh dari kampus. Kami ke sana dengan menaiki motornya.

Aku sempat berpesan bahwa aku tidak bisa pergi terlalu lama dan agar dia tidak memulangkanku terlalu malam. Namun, karena obrolan kami begitu seru, waktu terasa berjalan begitu cepat.

Ketika kulirik jam di ponsel, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Aku pun meminta Kak Arga untuk segera mengantarku pulang. Namun, siapa sangka jika nasib buruk menimpa kami di perjalanan.

Saat hampir sampai di rumah Cempaka, segerombolan pengendara motor mengganggu kami. Salah satu dari mereka menendang motor Kak Arga, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke aspal.

Setelah melihat kami terjatuh, para pengendara itu pun melaju pergi sambil tertawa puas.

Kak Arga segera melepas helm dan bangkit untuk menghampiriku. “Melati!” Aku bisa melihat wajah paniknya saat membantuku duduk dan melepas helm. “Kamu tidak apa-apa?”

Aku bisa merasakan sakit di tubuhku, terutama di bagian siku kiriku yang ternyata berdarah.

“Melati, kamu berdarah.”

“Sakit, Kak,” rintihku pelan.

“Kamu bisa bangun? Aku akan membawamu ke rumah sakit.”

“Menjauh darinya.”

Suara berat yang sangat kukenal tiba-tiba menginterupsi.

Aku menoleh ke arah sumber suara. “Tuan Adrian?”

Sosok itu benar-benar berdiri di sana, dengan sorot mata tajam dan wajah murka. Ia melangkah cepat, menarik kerah baju Arga, lalu mendorongnya kasar menjauh dariku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Ternyata Belum Selesai

    Aku berdiri termenung sendirian di dalam lift. Apa yang terjadi barusan di ruang kerja Tuan Adrian terus berputar di kepalaku.Apa yang ia katakan dan lakukan untukku ... sedikit-banyak menghangatkan hati.Awalnya aku memang marah. Rasanya ia melangkah terlalu jauh dan mengambil keputusan seenaknya. Namun semakin kupikirkan, alasan untuk marah itu malah semakin lemah.Meski Tuan Adrian bilang bahwa ia menyerahkan sahamnya karena ada rencana lain, tetap saja semua itu berawal dari masalahku dengan Nina. Lagi-lagi, akulah yang menyeretnya ke dalam masalahku.Karena aku, Tuan Adrian sendiri yang harus turun langsung menghadapi Tuan Hatmoko. Dia juga yang meminta agar Nina dikirim ke luar negeri, agar Nina tidak bisa lagi menggangguku. Semua itu ... demi aku.Semua risiko ditanggung oleh Tuan Adrian. Sementara aku ... hanya perlu melanjutkan hidup dengan tenang.Tuan Adrian tidak menuntut apa pun dariku sebagai balasan. Ia hanya ingin aku patuh padanya dan menjauhi Kak Arga.Kata-kata Tua

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Hutang Budiku Bertambah

    Aku berdiri tidak jauh dari tempat Tuan Adrian duduk. Untuk beberapa saat, tidak ada satu kata pun yang keluar dari kami.Hanya ada keheningan yang memenuhi ruangan. Aku dan Tuan Adrian seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada terlalu banyak hal yang ingin kukatakan, dan terlalu banyak hal yang ingin kudengar darinya.Entah penjelasan, teguran, atau apa pun itu, yang jelas kepalaku saat ini penuh dan kacau.“Ada yang ingin kau katakan, Melati?” Suara Tuan Adrian akhirnya memecah kesunyian itu.Aku membuka mulut, tetapi masih tidak ada kata keluar. Setelah menarik napas panjang, barulah aku bisa berkata, pelan.“Apakah benar ... kalau Nina pindah ke luar negeri karena Anda yang memintanya, Tuan?”Tuan Adrian memandangku. Tatapannya sama sekali tidak goyah.“Ya.” Sesingkat itu ia menjawab.Dadaku seperti ditarik sampai sesak. “Kenapa Anda melakukannya?”Masih dengan tenang Tuan Adrian menjawab, “Aku tidak suka masalah yang berlarut. Jika ada cara untuk menyelesaikannya dengan c

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Demi Aku

    Aku menahan napas, berusaha menangkap lebih jelas suara-suara dari balik pintu ruang istirahat Tuan Adrian.“Kau mengundangku ke sini ... apa kau sudah akan memberikan saham yang kau janjikan padaku?” Suara Tuan Hatmoko terdengar tajam.Tuan Adrian tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. “Apa saham itu benar-benar sangat berarti untuk Anda, Tuan Hatmoko?”“Tch.” Suara Tuan Hatmoko penuh kesal. “Ini bukan soal penting atau tidak penting. Ini soal kesepakatan kita. Ingat! Karena perempuan kampung itu, anakku harus menanggung akibatnya. Dia bahkan mengalami gegar otak ringan dan terpaksa tinggal di luar negeri.”Jantungku serasa berhenti sesaat. Setelahnya, aku refleks menarik kepalaku menjauh dari pintu.Perempuan kampung? Aku? Apa maksudnya itu?“Aku juga sudah menepati janjiku,” lanjut Tuan Hatmoko. “Pihak kami diam. Kami tidak memperpanjang masalah itu, padahal Nina yang paling dirugikan dalam hal ini.”Perlahan aku kembali mendekat, menyatukan telingaku ke celah kecil pin

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Ruang Istirahat

    Setelah beberapa saat saling menatap tajam, akhirnya Kak Arga memutuskan tatapan itu lebih dulu. Ia meletakkan berkas di tangannya ke atas meja, tepat seperti yang diperintahkan Tuan Adrian.Melihat itu, Tuan Adrian hanya berkata singkat, “Sekarang pergilah.”Tanpa banyak bicara, Kak Arga bangkit. “Baik. Kalau begitu, saya kembali ke bawah, Tuan.”“Hm,” sahut Tuan Adrian tanpa menoleh. Sementara itu, Kak Arga menunduk hormat, lalu sempat sekilas menatapku, sebelum akhirnya keluar dari ruangan.Begitu Kak Arga pergi dan pintu kembali tertutup, ruangan kerja ini pun kembali sunyi.Aku melirik ke arah Tuan Adrian. Lalu bertanya ragu, “Tuan ... mau saya suapi lagi?”Ia tidak langsung memberiku jawaban. Melainkan, malah membuka botol minuman yang kubawa dan meneguknya pelan sambil bersandar pada sofa.Baru setelah ia meletakkan botol itu ke meja, Tuan Adrian menjawab, “Tidak usah. Letakkan saja di sini, nanti aku makan sendiri.” Nada suaranya berubah dingin lagi.Entahlah, aku tidak menger

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Pagi yang Aneh

    Pagi ini aku baru tahu kalau sejak kemarin Tuan Adrian tidak pulang. Sekar yang memberitahu, sementara ia tahu dari Kak Danu. Katanya, kemarin Tuan Adrian lembur sampai larut dan akhirnya memutuskan untuk tidak pulang.Informasi itu membuatku sedikit kecewa. Sebab, pagi ini aku sudah memiliki semangat lebih untuk melayani Tuan Adrian.Sebenarnya, Tuan Adrian lembur sampai tidak pulang seperti ini sama sekali tidak mengejutkan. Namun, untuk kali ini terasa sedikit berbeda.Entahlah, mungkin karena beberapa hari kemarin suasananya seperti sedang perang dingin, dan hari ini aku ingin mulai mencairkan suasana, tetapi malah mendapatkan realitanya yang tidak sesuai dengan ekspektasiku.“Nona,” panggil Sekar, “tadi Kak Danu juga berpesan, supaya Nona menyiapkan pakaian ganti dan juga bekal makanan untuk Tuan Adrian ke kantor.”Aku sedikit bingung, mencoba mencerna baik-baik perintah itu. Meyakinkan diri bahwa aku tidak salah dengar. “Oh ... iya.”Permintaan itu tidak aneh sebenarnya, tetapi

  • Gadis Kesayangan Tuan Adrian   Kalimat Teka-teki

    “Bagaimana kabarmu dengan Adrian, Melati?”Pertanyaan itu datang begitu saja dari Nyonya Vanya, tenang, lembut, dan juga tidak terduga sama sekali.Aku menjawabnya dengan suara yang lirih, bahkan untukku sendiri. “Baik ... Nyonya.”Mata Nyonya Vanya sempat mengarah ke permukaan meja sebelum kembali terarah padaku. Ada sorot di matanya yang seolah sedang menilai luka tidak terlihat.“Kalau benar begitu,” ucapnya pelan, “aku ikut senang.”Aku mengangguk perlahan, berusaha tampak tenang meski jantungku sedang berdetak panik.Beberapa detik berlalu dengan hening, sebelum Nyonya Vanya kembali berbicara dengan suara yang terdengar lebih dalam. “Berhubungan dengan pria seperti Adrian ... pastinya tidak mudah, kan, Melati?”Aku langsung terdiam. Kata-katanya mengenai sisi terdalamku yang sedang terluka.Tidak ada nada sindiran. Tidak ada nada meremehkan. Hanya ... sebuah ungkapan jujur dari seorang perempuan yang tampaknya memahami rasa itu.Aku mencoba berbicara, namun satu-satunya kata yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status