LOGINTubuhku terdorong ke atas tempat tidur. Dalam sekejap, berat tubuh Tuan Adrian menindihku, pergelangan tanganku kembali terkurung dalam cengkeramannya.Aku memberontak panik. “Tuan Adrian, lepaskan aku!”“Lihat baik-baik, Melati. Kau milikku.”Kata-kata itu menghantamku lebih keras daripada tindakannya. Milik? Sejak kapan aku berubah menjadi sesuatu yang bisa diklaim sepihak? Dadaku sesak.Aku ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa ini salah, bahwa aku tidak pernah menginginkan kejelasan yang lahir dari paksaan.Tuan Adrian mendekat, terlalu dekat.Aku meronta, tetapi tubuhku terasa kecil dan lemah. Setiap gerakanku seolah sia-sia, seolah sejak awal aku memang tidak pernah punya pilihan.Ketakutan merayap pelan, mengikis keberanianku sedikit demi sedikit, hingga yang tersisa hanya air mata.Aku menangis. Bukan karena sakit pada tubuhku, melainkan karena sesuatu di dalam diriku terasa retak.Aku memang menginginkan kejelasan, tetapi bukan seperti ini. Yang kuinginkan adalah kepastian
Setelah menimbang cukup lama, pada akhirnya aku menggeleng pelan.“Aku ... boleh tidak bercerita?” tanyaku lirih.Kak Arga tidak terlihat kecewa. Ia justru tersenyum tipis, senyum yang terasa hangat dan penuh pengertian.“Tentu saja,” jawabnya. “Kamu berhak untuk diam, Melati.”Ia lalu melanjutkan dengan suara yang tetap tenang, “Tapi kalau suatu saat kamu ingin bercerita ... kamu tahu, kan, kalau aku siap mendengarkan apa pun ceritamu?”Aku mengangguk pelan. “Terima kasih, Kak Arga.”Kami saling memandang dalam diam. Angin dari arah sungai berembus pelan, membawa aroma air dan rumput basah. Entah sejak kapan, tangan Kak Arga terangkat dan mengusap kepalaku dengan gerakan ringan.Aku tidak bergerak. Tidak menolak. Tidak juga menghindar.Mungkin karena kelelahan emosional, atau karena aku terlalu lama menahan semuanya sendiri, perlakuannya itu terasa sangat menenangkan dan membuatku nyaman.Entah dorongan dari mana ... tiba-tiba mulutku berucap, “Kak ... boleh aku minta pelukan?”Gerak
(Pov Melati)Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian di hotel. Namun sampai hari ini, aku masih belum juga bertemu dengan Tuan Adrian.Ia tidak pernah sekali pun pulang ke Kediaman Cempaka.Ketika aku mencoba bertanya pada para pelayan, jawabannya selalu sama, Tuan Adrian bermalam di luar karena pekerjaan. Setelah beberapa kali panggilan teleponku ditolak, aku juga jadi tidak berani menghubunginya.Tidak. Aku tidak bisa membiarkan kesalahpahaman ini berlarut-larut. Aku tidak mau semuanya jadi semakin buruk. Bagaimana pun caranya, aku harus menemuinya dan menjelaskan semuanya, bahwa tidak ada apa pun yang terjadi antara aku dan Kak Arga.Pagi ini aku bangun lebih awal dan memasak sendiri makanan kesukaannya. Diterima atau tidak, aku siap.Di sepanjang jalan menuju kantor, pikiranku dipenuhi kemungkinan Tuan Adrian marah, dingin, atau bahkan tidak mau mendengarkan penjelasanku. Namun satu hal yang pasti, aku tidak bisa terus menunggu.Setelah menempul beberapa menit, akhirnya aku tib
Aku dan Arga dulu sangat dekat. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Namun sejak aku mulai ikut Papa mengurus perusahaan, jarak itu perlahan tercipta. Kesibukan mengambil alih, dan aku tidak lagi punya waktu seperti dulu.Saat aku mulai mengenal Bunga, aku bahkan hampir tidak pernah lagi datang ke rumah Vanya. Hal itu juga yang akhirnya membuatku jarang bertemu Arga.Pada masa itu, Arga sudah duduk di bangku SMA. Usia yang rawan karena mudah terpengaruh lingkungan pertemanan.Dan berawal dari sanalah semuanya mulai salah.Arga terjerumus terlalu jauh. Geng, tawuran, judi balap, mabuk, narkoba, semuanya menjadi bagian dari hidupnya. Bukan sesekali, tetapi setiap hari.Hingga akhirnya di suatu malam, ketika Arga berada di kelas tiga, warga menemukannya tergeletak di atas jembatan. Tubuhnya remuk oleh pukulan dengan beberapa luka tusuk benda tajam.Aku tidak tahu detail kejadiannya. Aku hanya tahu, bahwa kondisinya nyaris tidak tertolong.Tim medis menemukan beberapa butir pil ekst
(Pov Adrian)Aku melirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul 01.00 dini hari, dan aku masih berada di ruang pesta VIP, menemani para orang tua Hartono Group.Jika bukan karena posisi, aku tidak akan sudi berada di sini, hanya untuk mendengarkan ocehan mereka.Beberapa dewan tertawa keras, bersikeras bahwa malam masih panjang dan matahari belum terbit. Padahal dari cara mereka berdiri yang mulai oleng dan ucapan yang semakin tidak terarah, jelas stamina mereka tidak sekuat mulut mereka.Aku sama sekali tidak menanggapi. Tidak perlu.Hal yang harus kulakukan hanyalah menunggu. Menunggu sampai satu per satu dari mereka tumbang, dan pesta ini berakhir dengan sendirinya.Dan jika dilihat dari raut wajah yang sudah memerah, serta gelas-gelas yang tidak lagi terangkat dengan benar, kurasa itu tidak akan lama lagi.Aku melirik ke sisi ruangan dan memberi isyarat singkat kepada Danu.Danu yang langsung menangkap sinyal itu pun langsung mendekat. Ia berdiri sedikit di belakangku, lalu menundu
Entah sudah berapa lama berlalu ketika akhirnya kesadaranku kembali. Kelopak mataku terasa berat saat kucoba untuk membukanya perlahan.Sekarang, kepalaku sudah jauh lebih ringan daripada sebelumnya, seolah tidur panjang telah merenggut semua pening yang tadi sempat kurasakan.Langit-langit kamar menjadi hal pertama yang kulihat. Aku mengedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri, sampai kesadaran datang sepenuhnya.Saat ini ... aku sedang berbaring di atas tempat tidur, dan ada selimut yang menutupi tubuhku. Namun, sesuatu terasa ganjil. Ini terlalu ringan, kulitku terasa langsung bersentuhan dengan kain.Napasku tertahan. Aku melihat ke dalam selimut, dan benar saja, saat ini telanjang bulat.Tidak hanya itu. Aku menoleh ke samping dengan gerakan pelan, dan pada saat itulah aku menyadari bahwa ada seseorang yang tertidur di sampingku.Hal yang lebih mengejutkan lagi, orang itu ialah ... Kak Arga.Aku seketika membeku. Kamar ini terasa lebih sunyi dan dingin dari sebelumnya.Perla







