ログインGadis itu tergeletak tak bergerak. Rambutnya kusut menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya pucat, penuh luka dan kotoran.
Bajunya putih. Baju balet. Dari pahanya mengalir darah segar, menodai kain putih itu. Dan wajah itu... “Kak?” suara itu keluar lirih. Hampir tak terdengar. Dunia Nares berhenti. Suara Jhon terdengar dari belakang, panik. “Tuan…?” Kotak beludru merah terlepas dari genggaman Nares, jatuh ke aspal dengan bunyi pelan. Ia tak peduli. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dadanya sesak. Napasnya berat, seperti ada tangan yang menekan lehernya dari dalam. Lampu mobil terus menyorot wajah gadis itu. Wajah yang seharusnya berada di atas panggung. Bukan di jalanan gelap. Bukan dalam kondisi seperti ini. Nares berlutut. Gerakannya cepat, tapi tangannya gemetar saat menyentuh tubuh itu. “Anya…” suaranya pecah. Ia mengangkat tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Terlalu ringan. Terlalu dingin. “Anya, sayang,” ucapnya tergesa. “Apa yang terjadi? Hah?” Ia mencium kepala Anya berulang kali. Tangannya mencengkeram bahu gadis itu, seolah takut ia akan menghilang. “Lihat kakak,” perintahnya lirih tapi tegas. “jangan tidur, Anya.” Kelopak mata Anya bergetar. Lalu perlahan tertutup. Tubuhnya terkulai. “Tidak,” desis Nares. “Anya jangan tidur.” Ia mengguncang tubuh itu sedikit. “Anya. Bangun.” Tak ada respons. Nares berdiri cepat, menggendong Anya ke arah mobil. Gerakannya kasar, tapi pelukannya protektif. Jhon yang masih mematung tersadar dan langsung membuka pintu belakang. Jhon sempat memungut kotak beludru merah yang tergeletak di aspal. Tangannya bergetar saat memasukkannya ke dalam saku jasnya. “Cepat,” perintah Nares dingin, tapi matanya penuh kepanikan. Jhon langsung melajukan mobil. Mesin meraung. Kecepatan meningkat tajam. Di kursi belakang, Nares memangku tubuh Anya. Tangannya tak berhenti mengusap wajah gadis itu. “Bangun, sayang,” ucapnya berulang. “Kakak di sini, Anya harus kuat.” Ia menatap wajah yang penuh lebam. Bibir pecah. Tangan yang memar. Baju balet yang kotor dan sobek di beberapa bagian. Darah yang masih mengalir di kaki gadis itu. Rahang Nares mengeras. Matanya menggelap. Seharusnya kamu di panggung. Menari. Tersenyum. Bukan seperti ini. Siapa yang berani melakukan ini?… Mereka sudah menggali kubur mereka sendiri. Nares menunduk, menempelkan keningnya ke dahi Anya. “Kakak janji,” ucapnya pelan, suaranya rendah dan berbahaya. “Semua yang bikin kamu seperti ini… akan mati.” ** Nares memangku tubuh Anya keluar dari mobil. Wajahnya tegang, napasnya berat, ekspresi yang hampir tak pernah muncul pada pria sedingin dirinya. Langkahnya lebar dan cepat, seolah setiap detik adalah musuh. “Cepat,” desisnya. Jhon mengiringi di samping, rahangnya mengeras. Begitu melihat kondisi Anya, seorang perawat langsung berlari mendorong brankar. “Dokter! Pasien gawat!” teriaknya. Seorang pria berjas putih menghampiri. Tatapannya langsung berubah saat melihat tubuh Anya yang berlumur luka. “Ares,” suaranya tajam. “Apa yang terjadi?” Nares menatapnya dengan mata merah, suaranya serak namun menekan. “Selamatkan Anya.” Dokter Dirga menelan ludah. Ia tak perlu penjelasan panjang. “IGD. Sekarang.” Brankar melaju cepat diiringi Nares yang sudah kehilangan akal sehatnya. Kemeja putihnya penuh darah Anya, wajahnya kusut dia tak perduli. Pintu otomatis terbuka. Tubuh Anya dibawa masuk. Nares refleks hendak mengikuti, namun Dirga menahannya. “Tunggu di luar,” ucap Dirga tegas. “Aku akan melakukan yang terbaik.” Nares mengepalkan tangan. Urat di lehernya menegang. “Selamatkan dia.” Dirga mengangguk singkat. Pintu IGD menutup. Sunyi menekan. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Nares berdiri tanpa bergerak, tatapannya tak lepas dari pintu itu. Dingin yang biasa menyelimutinya runtuh, digantikan gelisah yang menggerogoti dada. Pintu terbuka. Seorang perawat keluar dengan wajah serius. Nares langsung berdiri. “Bagaimana keadaannya?” Perawat itu menunduk. “Maaf, Tuan. Kondisi pasien kritis. Kami butuh peralatan tambahan dan bantuan tenaga medis.” Belum sempat Nares bicara, perawat itu berbalik. Dua dokter lain datang bersama beberapa perawat, mendorong alat masuk ke IGD. Kritis. Kata itu menghantam kepalanya. Kenapa harus sebanyak ini? Bagaimana kondisi Anya didalam sana? Jhon berdiri di sampingnya, merasakan perubahan yang jarang terjadi, ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Ponsel Jhon berdering. Nama di layar membuatnya menarik napas panjang. Nyonya Besar. “Halo?” “Jhon!” suara Amanda panik. “Cari Anya. Dia menghilang. Dia bahkan meninggalakan perlombaan. Aku khawatir.” Jhon memejamkan mata sesaat. “Nyonya… Nona Anya bersama Tuan Nares.” Helaan napas lega terdengar. “Syukurlah…” Namun Amanda terdiam sejenak. Belum sempat Jhon menjelaskan situasi yang sebenarnya, Amanda peka duluan. “Tunggu. Ada apa? Kenapa dia bersama kalian? Kenapa meninggalkan panggung?” Jhon memilih kata paling aman. Namun setelah sejenak berpikir tak ada kata paling aman, untuk kondisi yang dialami Anya. “Nyonya… kami di rumah sakit.” “Hah?” suaranya meninggi. “Kenapa rumah sakit? Ada apa?” “Nona Anya...” “Putriku kenapa, Jhon?” suaranya bergetar. “Nona Anya kritis.” Sambungan langsung terputus. Jhon menurunkan ponselnya perlahan. Napasnya berat. Ia menoleh ke Nares yang masih terpaku pada pintu IGD, rahang terkunci, mata gelap, tangan mengepal. Siapa pun yang berani menyentuh Anya telah membuat kesalahan fatal. Apa mereka belum tahu... keluarga yang mereka usik adalah keluarga yang tak mengenal ampun. Keluarga yang kejam, yang selalu memberikan harga tinggi atas semua kesalahan. Tubuh Nares luruh ke lantai dingin, Jhon dapat melihat betapa Nares menahan Air matanya agar tak jatuh. Rahang pria itu mengeras, tangannya terus mengepal. "Anya..." Hanya itu yang terucap. ***Hari perlombaan akhirnya tiba. Di balik panggung, Rania berdiri di depan cermin besar. Kostum baletnya berkilau, riasan wajahnya sempurna. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melirik ke arah celah tirai, matanya sibuk memindai barisan kursi tamu kehormatan. Di mana Tuan Mahesa itu? Wajah-wajah yang ia lihat hanyalah para pejabat, sponsor, dan tokoh seni. Tak satu pun tampak seperti penguasa kejam yang sering dibicarakan orang. Atau cuma omong kosong, batinnya meremehkan. Tepuk tangan tiba-tiba menggema ketika pembawa acara naik ke panggung. “Dan pada malam ini,” suara itu menggema mantap, “pemenang lomba akan menerima penghargaan langsung dari pemberi dana terbesar acara ini… Tuan Mahesa.” Sorotan lampu berpindah ke barisan paling depan. Seorang pria berdiri. Jas hitamnya rapi, potongannya tegas. Tubuhnya tinggi dan tegap, posturnya lurus tanpa cela. Rahangnya keras, bahunya bidang. Namun yang membuat seluruh ruangan seketika hening... wajahnya tertutup topeng hitam
Jhon kembali menemui Nares, wajahnya lelah tapi tetap tegap. Dia begitu setia dengan keluarga Mahesa ini. “Tuan, semuanya sudah saya atur. Dipastikan Rania akan memenangkan lomba itu,” lapornya. Nares mengangguk. Matanya masih kosong menatap jauh. “Bagus,” ucapnya. “Sekarang… cari berandalan sebanyak mungkin. Cari yang reputasinya paling buruk. Aku akan memilih sendiri.” Jhon mengangguk, paham maksud tuannya, lalu bergegas pergi. Nares duduk di sisi ranjang Anya, menatap wajah pucatnya. Amanda dan Dito ia suruh pulang untuk istirahat. Ruang itu kembali hening, hanya suara monitor detak jantung dan napas Nares yang terdengar berat. Bayangan itu kembali menghantui pikirannya. Di kantor, Nares baru saja masuk ruang meeting. Semua sudah berkumpul. Lalu… dari bawah meja, celananya ditarik-tarik perlahan. Nares menoleh, rahangnya mengeras bukan karena marah, tapi karena “kenapa sih bocah ini gak ada habisnya.” Anya, bersembunyi di bawah meja, terus menarik-narik celananya,
Seorang gadis kecil mengayuh sepeda tuanya di jalan sempit menuju pasar. Keranjang di depan sepeda itu penuh sayuran. Tubuhnya kecil, tapi kayuhannya kuat. Usianya baru delapan tahun. Dia adalah Anya Pricilla. Di tengah jalan, tiga anak laki-laki menghadangnya. Wajah mereka penuh senyum mengejek. “Heh, Anya miskin lewat,” kata salah satu. Anya mengerem mendadak. Sepedanya oleng. Tubuh kecil itu terjatuh ke aspal. Lututnya lecet, darah mengalir tipis. Ketiganya tertawa. “Miskin! Miskin! Miskin!” Mereka mengelilinginya. Salah satu menginjak sayuran di keranjang. Yang lain menendang tomat hingga pecah. Anya tidak melawan. Ia hanya menunduk. Memunguti sayuran yang masih utuh dengan tangan gemetar. Tiba-tiba salah satu dari mereka menendang sepedanya hingga terbalik. “Jangan!” teriak Anya panik. “Jangan rusak sepeda Anya!” Tawa mereka semakin keras. Tak lama kemudian, ketiganya pergi sambil tertawa. Jalan kembali sepi. Barulah Anya menangis. Ia pulang dengan
Suasana lorong masih membeku saat Jhon kembali. Langkahnya berhenti ketika melihat Nares. Tangan pria itu sudah diperban, tapi wajahnya lebih menyeramkan dari sebelumnya. Amarahnya tidak lagi meledak. Namun wajahnya ketara menahan sesuatu. “Tuan… Nyonya,” ucap Jhon pelan. Semua mata menoleh. Jhon menarik napas dalam. “Saya sudah menelusuri lokasi pertama tempat Nona Anya ditemukan,” katanya. “Dan… saya mendapatkan rekaman CCTV.” Ia mengulurkan ponselnya pada Nares. Ada dua video. Nares mengambil ponsel itu tanpa bicara. Amanda berdiri di sampingnya. Kakek Dito mendekat, berdiri tegak dengan wajah dingin. Jhon memejamkan mata. Ia sudah melihatnya lebih dulu. Dan ia tahu, keluarga ini tak akan sama setelah ini. Video pertama diputar. Layar menampilkan sisi belakang gedung acara. Anya terlihat diseret keluar oleh seorang pria. Suara tak terdengar jelas, tapi gerak bibir mereka terbaca. Anya melepaskan tangannya dengan paksa. "Lepas. Sakit, tahu." Pria itu menj
Langkah tergesa terdengar di lorong rumah sakit. Amanda datang hampir berlari, diikuti seorang pria tua dengan tongkat hitam di tangannya. Wajah Amanda pucat, napasnya tak teratur. Matanya langsung tertuju pada satu sosok di ujung lorong. Nares duduk di lantai. Punggungnya bersandar ke dinding. Rambutnya berantakan. Kemeja mahalnya berlumuran darah. Wajahnya sembab, matanya merah, kosong. “Nares…” suara Amanda bergetar. “Ya Tuhan…” Ia menghampiri cepat. Begitu berdiri di hadapan putranya, Amanda terdiam. Melihat kondisi Nares seperti itu membuat dadanya sesak. “Nares, apa yang terjadi?” tanyanya lirih. Nares mendongak. Tatapan kosong itu runtuh seketika. “Ma…” Ia bangkit setengah berlutut dan langsung memeluk Amanda. Tubuhnya bergetar. Untuk kali ini, ia tak peduli siapa yang melihat. Wibawanya sebagai si Raja Neraka yang kejam lenyap seketika. “Ma… Anya, Ma...” gumamnya terputus-putus. Air mata jatuh. Bahunya naik turun. Tangisnya tertahan, tapi nyata. Amanda
Gadis itu tergeletak tak bergerak. Rambutnya kusut menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya pucat, penuh luka dan kotoran. Bajunya putih. Baju balet. Dari pahanya mengalir darah segar, menodai kain putih itu. Dan wajah itu... “Kak?” suara itu keluar lirih. Hampir tak terdengar. Dunia Nares berhenti. Suara Jhon terdengar dari belakang, panik. “Tuan…?” Kotak beludru merah terlepas dari genggaman Nares, jatuh ke aspal dengan bunyi pelan. Ia tak peduli. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dadanya sesak. Napasnya berat, seperti ada tangan yang menekan lehernya dari dalam. Lampu mobil terus menyorot wajah gadis itu. Wajah yang seharusnya berada di atas panggung. Bukan di jalanan gelap. Bukan dalam kondisi seperti ini. Nares berlutut. Gerakannya cepat, tapi tangannya gemetar saat menyentuh tubuh itu. “Anya…” suaranya pecah. Ia mengangkat tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Terlalu ringan. Terlalu dingin. “Anya, sayang,” ucapnya tergesa. “Apa yang







