共有

Fakta Mengerikan

作者: Senjaaaaa
last update 最終更新日: 2025-12-20 20:50:10

Langkah tergesa terdengar di lorong rumah sakit.

Amanda datang hampir berlari, diikuti seorang pria tua dengan tongkat hitam di tangannya. Wajah Amanda pucat, napasnya tak teratur. Matanya langsung tertuju pada satu sosok di ujung lorong.

Nares duduk di lantai.

Punggungnya bersandar ke dinding. Rambutnya berantakan. Kemeja mahalnya berlumuran darah. Wajahnya sembab, matanya merah, kosong.

“Nares…” suara Amanda bergetar. “Ya Tuhan…”

Ia menghampiri cepat. Begitu berdiri di hadapan putranya, Amanda terdiam. Melihat kondisi Nares seperti itu membuat dadanya sesak.

“Nares, apa yang terjadi?” tanyanya lirih.

Nares mendongak. Tatapan kosong itu runtuh seketika.

“Ma…”

Ia bangkit setengah berlutut dan langsung memeluk Amanda. Tubuhnya bergetar. Untuk kali ini, ia tak peduli siapa yang melihat. Wibawanya sebagai si Raja Neraka yang kejam lenyap seketika.

“Ma… Anya, Ma...” gumamnya terputus-putus.

Air mata jatuh. Bahunya naik turun. Tangisnya tertahan, tapi nyata.

Amanda memeluk kepalanya, menepuk punggung putranya pelan.

“Tenang, Nak… tenang… Mama di sini.”

“Apa yang terjadi dengan adikmu?” tanyanya lagi, suaranya berusaha stabil meski matanya basah.

Nares menggeleng lemah.

“Aku belum tahu, Ma… aku benar-benar belum tahu,” suaranya serak.

“Tapi kondisinya… kondisinya sangat buruk…”

Ia kembali terisak. Kepalan tangannya menekan lantai.

Amanda memejamkan mata. Banyak pertanyaan memenuhi kepalanya, tapi ia menahannya. Saat ini, yang dibutuhkan Nares bukan interogasi, melainkan pegangan.

Di sisi lain lorong, Kakek Dito berdiri di samping Jhon.

Wajah pria tua itu keras. Tatapannya tajam meski usia telah menggerogoti tubuhnya. Ia bukan tak peduli. Justru karena sangat peduli, ia harus berdiri paling kuat, sebagai kepala keluarga.

Melihat kondisi Nares, Dito tahu satu hal...

sesuatu yang buruk benar-benar telah terjadi.

“Jelaskan,” ucapnya singkat dan tegas.

Nada suaranya rendah, tapi memerintah.

Jhon menegakkan tubuh.

“Tuan… Tuan Nares baru tiba dari New York. Kami hendak menuju acara Nona Anya.”

Ia menarik napas.

“Di jalan, ada seorang gadis yang menabrakkan diri ke mobil kami. Saat Tuan turun…”

Jhon berhenti sejenak.

“Itu Nona Anya.”

Wajah Dito tak berubah, tapi tangannya mencengkeram tongkat lebih erat.

“Wajah Nona penuh luka lebam,” lanjut Jhon. “Bibirnya pecah. Tangan dan kakinya memar. Bajunya kotor dan sobek. Dan… darah segar mengalir dari pahanya.”

Dito memejamkan mata.

Ia tak ingin menarik kesimpulan, tapi kemungkinan itu sudah terbentuk jelas di kepalanya. Dadanya terasa berat dan sesak, namun wajahnya tetap dingin.

Saat matanya terbuka kembali, aura pemimpin itu kembali sepenuhnya.

“Pergi,” perintahnya tegas.

“Cari tahu apa yang terjadi.”

Ia menatap Jhon lurus.

“Jangan kembali sebelum mendapatkan informasi.”

“Baik, Tuan,” jawab Jhon tanpa ragu.

Dito melangkah mendekat ke arah Amanda dan Nares. Ia tidak berkata apa-apa. Namun tatapan matanya menyimpan satu janji...

Siapa pun yang bertanggung jawab atas ini

akan menghadapi akibatnya.

Dan tidak ada satu pun yang akan selamat.

**

Dua jam berlalu seperti hukuman. Lambat, sesak dan menegangkan.

Pintu IGD akhirnya terbuka.

Dokter Dirga keluar dengan langkah berat. Wajahnya tegang. Rahangnya mengeras, seolah sedang menata kata-kata yang tak ingin ia ucapkan.

Begitu melihatnya, Nares langsung bangkit dari duduknya.

“Bagaimana?” tanyanya singkat. Dingin. Tapi matanya bergetar.

Dirga berhenti di depan mereka. Tatapannya berpindah dari Amanda, ke Kakek Dito, lalu kembali ke Nares. Ada ragu yang tak bisa disembunyikan.

“Katakan,” perintah Nares tegas.

Ia melangkah maju dan mencengkeram kerah kemeja Dirga. Tarikannya keras.

“Katakan sekarang.”

“Ares!” Amanda memegang lengan putranya. “Tenang.”

Dirga menghela napas panjang.

“Ini… akan sulit diterima,” ucapnya perlahan. “Tapi kalian harus kuat. Demi Anya.”

“Jangan bertele-tele, Dirga!” bentak Nares. Amarahnya pecah. “Aku mau kau katakan sekarang!”

Amanda mengusap punggung Nares, berusaha menahannya.

“Tenang dulu, Nak…”

Dirga menegakkan bahu. Nada suaranya berubah profesional.

“Kondisi Anya sangat serius,” katanya. “Hampir seluruh tubuhnya mengalami luka dan memar akibat benturan keras dan kekerasan berulang.”

Amanda menutup mulutnya. Napasnya tertahan.

“Dua tulang rusuknya patah,” lanjut Dirga. “Tulang betis kiri mengalami remuk. Kami sudah melakukan tindakan darurat untuk menghentikan pendarahan internal.”

Nares berdiri kaku. Tangannya perlahan melepas kerah Dirga, tapi tubuhnya justru semakin tegang.

“Belum selesai,” ujar Dirga pelan.

Ia menatap langsung ke mata Nares.

“Ada luka serius pada area reproduksinya.”

Amanda gemetar.

“Apa maksudmu…?” suaranya hampir tak terdengar.

Dirga menarik napas.

“Ditemukan robekan dan trauma berat. Berdasarkan hasil pemeriksaan medis dan temuan biologis di rahimnya…”

Ia berhenti sejenak.

“Ini menunjukkan adanya hubungan seksual yang dilakukan secara paksa.”

Lorong itu seketika sunyi.

“Kemungkinan,” lanjut Dirga dengan suara rendah, “bukan dilakukan oleh satu, dua orang.”

Kata-kata itu jatuh seperti palu.

Nares tak bergerak. Tak bersuara.

Namun udara di sekitarnya berubah.

Rahangnya mengeras hingga ototnya bergetar. Matanya menghitam. Tangannya mengepal, kuku menekan telapak hingga memerah.

Amanda kehilangan kekuatan. Kakinya lemas. Ia hampir jatuh jika tidak ditopang oleh kursi di belakangnya.

“Anya…” bisiknya pecah.

Kakek Dito berdiri diam. Wajahnya tak berubah. Tapi mata pria tua itu menyimpan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada amarah.

Dirga melanjutkan,

“Saat ini Anya masih tidak sadar. Kami menstabilkan kondisinya, tapi masa kritis belum sepenuhnya lewat.”

Ia menatap Nares.

“Dia masih hidup karena dia kuat. Tapi trauma fisik dan psikologisnya...”

“Cukup,” potong Dito dingin.

Satu kata itu membuat semua diam.

Nares akhirnya bergerak. Ia mengangkat wajahnya perlahan. Tidak ada air mata lagi.

Tiba-tiba...

BUK!

Tinjunya menghantam dinding rumah sakit dengan keras. Suaranya menggema di lorong. Kulit tangannya langsung robek, darah mengalir, tapi Nares tak bereaksi.

BUK!

Satu pukulan lagi.

“Brengsek!” teriaknya penuh frustrasi.

Amanda tersentak.

“Ares...!”

Nares tak peduli. Dadanya naik turun. Napasnya berat, tak beraturan.

“Siapa pun mereka,” ucapnya rendah, suaranya datar namun mengerikan,

“akan aku habisi.”

***

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Siasat Dendam dan Kondisi Anya

    Hari perlombaan akhirnya tiba. Di balik panggung, Rania berdiri di depan cermin besar. Kostum baletnya berkilau, riasan wajahnya sempurna. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melirik ke arah celah tirai, matanya sibuk memindai barisan kursi tamu kehormatan. Di mana Tuan Mahesa itu? Wajah-wajah yang ia lihat hanyalah para pejabat, sponsor, dan tokoh seni. Tak satu pun tampak seperti penguasa kejam yang sering dibicarakan orang. Atau cuma omong kosong, batinnya meremehkan. Tepuk tangan tiba-tiba menggema ketika pembawa acara naik ke panggung. “Dan pada malam ini,” suara itu menggema mantap, “pemenang lomba akan menerima penghargaan langsung dari pemberi dana terbesar acara ini… Tuan Mahesa.” Sorotan lampu berpindah ke barisan paling depan. Seorang pria berdiri. Jas hitamnya rapi, potongannya tegas. Tubuhnya tinggi dan tegap, posturnya lurus tanpa cela. Rahangnya keras, bahunya bidang. Namun yang membuat seluruh ruangan seketika hening... wajahnya tertutup topeng hitam

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Kenaifan Rania

    Jhon kembali menemui Nares, wajahnya lelah tapi tetap tegap. Dia begitu setia dengan keluarga Mahesa ini. “Tuan, semuanya sudah saya atur. Dipastikan Rania akan memenangkan lomba itu,” lapornya. Nares mengangguk. Matanya masih kosong menatap jauh. “Bagus,” ucapnya. “Sekarang… cari berandalan sebanyak mungkin. Cari yang reputasinya paling buruk. Aku akan memilih sendiri.” Jhon mengangguk, paham maksud tuannya, lalu bergegas pergi. Nares duduk di sisi ranjang Anya, menatap wajah pucatnya. Amanda dan Dito ia suruh pulang untuk istirahat. Ruang itu kembali hening, hanya suara monitor detak jantung dan napas Nares yang terdengar berat. Bayangan itu kembali menghantui pikirannya. Di kantor, Nares baru saja masuk ruang meeting. Semua sudah berkumpul. Lalu… dari bawah meja, celananya ditarik-tarik perlahan. Nares menoleh, rahangnya mengeras bukan karena marah, tapi karena “kenapa sih bocah ini gak ada habisnya.” Anya, bersembunyi di bawah meja, terus menarik-narik celananya,

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Mimpi Anya

    Seorang gadis kecil mengayuh sepeda tuanya di jalan sempit menuju pasar. Keranjang di depan sepeda itu penuh sayuran. Tubuhnya kecil, tapi kayuhannya kuat. Usianya baru delapan tahun. Dia adalah Anya Pricilla. Di tengah jalan, tiga anak laki-laki menghadangnya. Wajah mereka penuh senyum mengejek. “Heh, Anya miskin lewat,” kata salah satu. Anya mengerem mendadak. Sepedanya oleng. Tubuh kecil itu terjatuh ke aspal. Lututnya lecet, darah mengalir tipis. Ketiganya tertawa. “Miskin! Miskin! Miskin!” Mereka mengelilinginya. Salah satu menginjak sayuran di keranjang. Yang lain menendang tomat hingga pecah. Anya tidak melawan. Ia hanya menunduk. Memunguti sayuran yang masih utuh dengan tangan gemetar. Tiba-tiba salah satu dari mereka menendang sepedanya hingga terbalik. “Jangan!” teriak Anya panik. “Jangan rusak sepeda Anya!” Tawa mereka semakin keras. Tak lama kemudian, ketiganya pergi sambil tertawa. Jalan kembali sepi. Barulah Anya menangis. Ia pulang dengan

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Bangkitnya Raja Neraka Itu

    Suasana lorong masih membeku saat Jhon kembali. Langkahnya berhenti ketika melihat Nares. Tangan pria itu sudah diperban, tapi wajahnya lebih menyeramkan dari sebelumnya. Amarahnya tidak lagi meledak. Namun wajahnya ketara menahan sesuatu. “Tuan… Nyonya,” ucap Jhon pelan. Semua mata menoleh. Jhon menarik napas dalam. “Saya sudah menelusuri lokasi pertama tempat Nona Anya ditemukan,” katanya. “Dan… saya mendapatkan rekaman CCTV.” Ia mengulurkan ponselnya pada Nares. Ada dua video. Nares mengambil ponsel itu tanpa bicara. Amanda berdiri di sampingnya. Kakek Dito mendekat, berdiri tegak dengan wajah dingin. Jhon memejamkan mata. Ia sudah melihatnya lebih dulu. Dan ia tahu, keluarga ini tak akan sama setelah ini. Video pertama diputar. Layar menampilkan sisi belakang gedung acara. Anya terlihat diseret keluar oleh seorang pria. Suara tak terdengar jelas, tapi gerak bibir mereka terbaca. Anya melepaskan tangannya dengan paksa. "Lepas. Sakit, tahu." Pria itu menj

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Fakta Mengerikan

    Langkah tergesa terdengar di lorong rumah sakit. Amanda datang hampir berlari, diikuti seorang pria tua dengan tongkat hitam di tangannya. Wajah Amanda pucat, napasnya tak teratur. Matanya langsung tertuju pada satu sosok di ujung lorong. Nares duduk di lantai. Punggungnya bersandar ke dinding. Rambutnya berantakan. Kemeja mahalnya berlumuran darah. Wajahnya sembab, matanya merah, kosong. “Nares…” suara Amanda bergetar. “Ya Tuhan…” Ia menghampiri cepat. Begitu berdiri di hadapan putranya, Amanda terdiam. Melihat kondisi Nares seperti itu membuat dadanya sesak. “Nares, apa yang terjadi?” tanyanya lirih. Nares mendongak. Tatapan kosong itu runtuh seketika. “Ma…” Ia bangkit setengah berlutut dan langsung memeluk Amanda. Tubuhnya bergetar. Untuk kali ini, ia tak peduli siapa yang melihat. Wibawanya sebagai si Raja Neraka yang kejam lenyap seketika. “Ma… Anya, Ma...” gumamnya terputus-putus. Air mata jatuh. Bahunya naik turun. Tangisnya tertahan, tapi nyata. Amanda

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Anya Kritis

    Gadis itu tergeletak tak bergerak. Rambutnya kusut menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya pucat, penuh luka dan kotoran. Bajunya putih. Baju balet. Dari pahanya mengalir darah segar, menodai kain putih itu. Dan wajah itu... “Kak?” suara itu keluar lirih. Hampir tak terdengar. Dunia Nares berhenti. Suara Jhon terdengar dari belakang, panik. “Tuan…?” Kotak beludru merah terlepas dari genggaman Nares, jatuh ke aspal dengan bunyi pelan. Ia tak peduli. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dadanya sesak. Napasnya berat, seperti ada tangan yang menekan lehernya dari dalam. Lampu mobil terus menyorot wajah gadis itu. Wajah yang seharusnya berada di atas panggung. Bukan di jalanan gelap. Bukan dalam kondisi seperti ini. Nares berlutut. Gerakannya cepat, tapi tangannya gemetar saat menyentuh tubuh itu. “Anya…” suaranya pecah. Ia mengangkat tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Terlalu ringan. Terlalu dingin. “Anya, sayang,” ucapnya tergesa. “Apa yang

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status