共有

Mimpi Anya

作者: Senjaaaaa
last update 最終更新日: 2025-12-20 22:41:59

Seorang gadis kecil mengayuh sepeda tuanya di jalan sempit menuju pasar. Keranjang di depan sepeda itu penuh sayuran. Tubuhnya kecil, tapi kayuhannya kuat.

Usianya baru delapan tahun.

Dia adalah Anya Pricilla.

Di tengah jalan, tiga anak laki-laki menghadangnya. Wajah mereka penuh senyum mengejek.

“Heh, Anya miskin lewat,” kata salah satu.

Anya mengerem mendadak. Sepedanya oleng. Tubuh kecil itu terjatuh ke aspal. Lututnya lecet, darah mengalir tipis.

Ketiganya tertawa.

“Miskin! Miskin! Miskin!”

Mereka mengelilinginya. Salah satu menginjak sayuran di keranjang. Yang lain menendang tomat hingga pecah.

Anya tidak melawan.

Ia hanya menunduk. Memunguti sayuran yang masih utuh dengan tangan gemetar.

Tiba-tiba salah satu dari mereka menendang sepedanya hingga terbalik.

“Jangan!” teriak Anya panik. “Jangan rusak sepeda Anya!”

Tawa mereka semakin keras.

Tak lama kemudian, ketiganya pergi sambil tertawa. Jalan kembali sepi.

Barulah Anya menangis.

Ia pulang dengan langkah tertatih, membawa sayuran yang sudah rusak. Begitu sampai rumah, seorang perempuan tua langsung memeluknya erat.

Neneknya.

Sarah.

“Sudah, sayang,” ucap sang nenek lembut. “Nenek tahu.”

Anya terisak.

“Maaf, Nek… Anya gak bisa jaga sayurannya.”

Nenek Sarah mengusap rambutnya.

“Tidak apa-apa, sayang. Kita pilih yang masih bagus. Kita masak sendiri.”

Malam itu mereka makan sederhana.

Dan malam itu pula, hidup Anya berubah selamanya.

Neneknya terbaring lemah. Nafasnya berat. Tangan tuanya menggenggam pergelangan tangan Anya dengan sisa tenaga.

“Anya…” ucapnya pelan. “Cari keluargamu.”

Anya menangis.

“Jangan tinggalin Anya, Nek…”

Nenek Sarah tersenyum lemah.

“Tanda itu… kuncinya,” bisiknya. “Jangan pernah lupakan.”

Jarinya menunjuk dada kiri Anya. Di sana ada tanda lahir kecil berbentuk hati, merah muda pucat.

Nafas itu berhenti.

..

Malam itu hujan turun deras.

Anya memeluk makam neneknya. Tubuhnya basah. Tangisnya pecah.

Tiba-tiba bayangan seseorang berhenti di depannya.

Seorang remaja laki-laki berdiri dengan payung hitam besar. Matanya tajam, tapi wajahnya tenang.

Anya mendongak.

Anak itu mengulurkan tangan.

“Mulai sekarang,” ucapnya tegas, “kamu adikku.”

Anya ragu. Tangannya kecil, dingin.

Perlahan, ia menyentuh tangan itu.

“Bagus,” ucap anak itu. “Aku akan baik padamu.”

..

Di dalam mobil, ia menyelimuti Anya dengan jaketnya sendiri.

“Namaku Nares,” katanya. “Kamu bisa panggil aku kak Ares.”

Anya menggigit bibirnya.

“Kak Ares…”

Nares tersenyum. Ia mengacak rambut Anya.

“Astaga,” gumamnya. “Manis sekali.”

..

Sesampainya di rumah besar itu, dua orang dewasa menyambutnya.

Dito.

Amanda.

Mereka tidak bertanya banyak. Mereka hanya menerima.

Dan Anya tidak pernah merasa sendirian lagi.

..

Suatu hari, Nares membawa Anya ke taman. Seorang anak lain tak sengaja menabraknya.

Anya refleks menunduk.

“Maaf…”

Nares langsung berdiri di depan Anya.

“Dia yang salah,” katanya dingin pada anak itu. “Bukan kamu.”

Nates menoleh pada Anya.

“Angkat kepalamu.”

Anya menurut.

“Jangan rendahkan dirimu pada siapa pun,” lanjutnya.

“Kamu adikku. Kamu Nona Besar Mahesa.”

Ia menunduk sejajar dengan Anya.

“Kalaupun kamu salah, kamu tidak boleh tunduk. Mengerti?”

Anya mengangguk kecil.

“Mengerti, Kakak.”

Nares mencubit pipinya pelan.

“Kamu menggemaskan sekali, tahu.”

**

Mimpi itu bergeser.

Anya remaja kini terlihat lebih tinggi, namun masih tetap nakal. Dia sering dengan sengaja menjahili Nares.

Di ruang kerja Nares, dia duduk di pangkuannya sambil merengek.

“Kak, aku mau jalan-jalan… Kak Ares, jangan sibuk terus,” gumamnya manja.

Nares yang dingin tak pernah mengabaikan. Bahkan ketika pekerjaan menumpuk, ia rela menunda semuanya hanya untuk Anya.

Saat akan pergi dinas, Anya selalu berteriak dari pintu:

“Kak, jangan lupa oleh-oleh buat Anya, ya!”

Dan Nares… tidak pernah pulang dengan tangan kosong. Dari cokelat hingga tas, parfum, selalu ada sesuatu untuknya.

Suatu malam hujan deras, Anya membawa bantal ke kamar Nares. Ia menyelinap di pelukan pria itu, menggigil.

“Takut, Kak…” gumamnya kecil.

Nares menatapnya dengan mata yang lembut tapi tegas.

“Kakak di sini. Jangan takut,” ucapnya.

Anya memejamkan mata, menenangkan diri. Dalam pelukan itu, dia merasa aman.

Dan saat itu juga, Nares tersenyum tipis, memeluknya lebih erat.

Mimpi itu berubah gelap.

Anya merasa tubuhnya dilempar ke lantai yang keras. Tubuhnya tersungkur, sakitnya menusuk. Pipinya terasa ditampar, kedua tangannya diinjak, rambutnya ditarik dengan kasar. Sekelilingnya samar, namun ia bisa merasakan satu per satu tangan yang merusak dirinya.

Ketakutan membakar dadanya. Ia membuka mata dengan cepat. Tubuhnya menggigil hebat. Suara kecilnya pecah:

“Jangan… jangan… jangan lakukan itu!”

Di sampingnya, Nares dan Amanda segera bergerak. Nares menahan Anya di pelukannya, tubuhnya tegang. Amanda menepuk bahu dan punggung Anya dengan lembut, mencoba menenangkan.

"Anya tenanglah, kakak disini"

"Mama disini sayang"

Namun detik itu juga, tubuh Anya kembali melemah. Ia tak sadarkan diri, tenggelam dalam trauma yang tak berkesudahan.

Nares segera menekan bel panggilan darurat.

Tidak lama kemudian, Dokter Dirga datang tergesa-gesa.

“Nares?” ucapnya.

“Dia… dia bangun sebentar, lalu menjerit. Terus… kembali tak sadarkan diri,” kata Nares singkat, suaranya serak dan tegang.

Dirga mengangguk cepat, mendekati Anya. Ia menepuk pipi dan memeriksa reaksi pupil, tekanan darah, nadi, dan pernapasannya. Semua indikator masih rapuh, berfluktuasi, tanda tubuhnya belum stabil.

Ia menatap Nares dengan serius.

“Ares... ini yang terjadi,” ujar Dirga perlahan, memilih kata dengan hati-hati.

“Anya baru saja mengalami refleks bangun. Tubuhnya bereaksi terhadap ingatan traumatis yang menghantam alam bawah sadarnya, trauma yang kuat, membuatnya tiba-tiba bangun dan menjerit. Itu bukan tanda dia sudah pulih.”

Nares menekuk tangannya, menahan napas.

“Tubuhnya,” lanjut Dirga, “masih dalam kondisi kritis. Organ-organ vitalnya belum stabil sepenuhnya. Saat ingatan kelam menghantamnya, otaknya merespons secara refleks. Itu sebabnya dia bisa bangun sebentar, tapi kemudian kehilangan kesadaran lagi.”

Amanda, yang berdiri di sisi lain ranjang, menunduk sambil menggenggam tangan Nares.

“Jadi… dia belum aman?” tanyanya pelan.

Dirga mengangguk.

“Belum, Tante. Dia belum melewati masa kritisnya. Apa yang terjadi barusan adalah efek trauma psikologis yang bertabrakan dengan kondisi fisik yang masih lemah. Jika tubuhnya dipaksa bangun sekarang, risikonya sangat tinggi.”

Nares menatap Anya yang kini terkulai lagi. Rahangnya menegang, tangan mengepal. Aura dingin yang biasanya ada padanya kini bercampur dengan rasa marah dan takut.

***

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Siasat Dendam dan Kondisi Anya

    Hari perlombaan akhirnya tiba. Di balik panggung, Rania berdiri di depan cermin besar. Kostum baletnya berkilau, riasan wajahnya sempurna. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melirik ke arah celah tirai, matanya sibuk memindai barisan kursi tamu kehormatan. Di mana Tuan Mahesa itu? Wajah-wajah yang ia lihat hanyalah para pejabat, sponsor, dan tokoh seni. Tak satu pun tampak seperti penguasa kejam yang sering dibicarakan orang. Atau cuma omong kosong, batinnya meremehkan. Tepuk tangan tiba-tiba menggema ketika pembawa acara naik ke panggung. “Dan pada malam ini,” suara itu menggema mantap, “pemenang lomba akan menerima penghargaan langsung dari pemberi dana terbesar acara ini… Tuan Mahesa.” Sorotan lampu berpindah ke barisan paling depan. Seorang pria berdiri. Jas hitamnya rapi, potongannya tegas. Tubuhnya tinggi dan tegap, posturnya lurus tanpa cela. Rahangnya keras, bahunya bidang. Namun yang membuat seluruh ruangan seketika hening... wajahnya tertutup topeng hitam

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Kenaifan Rania

    Jhon kembali menemui Nares, wajahnya lelah tapi tetap tegap. Dia begitu setia dengan keluarga Mahesa ini. “Tuan, semuanya sudah saya atur. Dipastikan Rania akan memenangkan lomba itu,” lapornya. Nares mengangguk. Matanya masih kosong menatap jauh. “Bagus,” ucapnya. “Sekarang… cari berandalan sebanyak mungkin. Cari yang reputasinya paling buruk. Aku akan memilih sendiri.” Jhon mengangguk, paham maksud tuannya, lalu bergegas pergi. Nares duduk di sisi ranjang Anya, menatap wajah pucatnya. Amanda dan Dito ia suruh pulang untuk istirahat. Ruang itu kembali hening, hanya suara monitor detak jantung dan napas Nares yang terdengar berat. Bayangan itu kembali menghantui pikirannya. Di kantor, Nares baru saja masuk ruang meeting. Semua sudah berkumpul. Lalu… dari bawah meja, celananya ditarik-tarik perlahan. Nares menoleh, rahangnya mengeras bukan karena marah, tapi karena “kenapa sih bocah ini gak ada habisnya.” Anya, bersembunyi di bawah meja, terus menarik-narik celananya,

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Mimpi Anya

    Seorang gadis kecil mengayuh sepeda tuanya di jalan sempit menuju pasar. Keranjang di depan sepeda itu penuh sayuran. Tubuhnya kecil, tapi kayuhannya kuat. Usianya baru delapan tahun. Dia adalah Anya Pricilla. Di tengah jalan, tiga anak laki-laki menghadangnya. Wajah mereka penuh senyum mengejek. “Heh, Anya miskin lewat,” kata salah satu. Anya mengerem mendadak. Sepedanya oleng. Tubuh kecil itu terjatuh ke aspal. Lututnya lecet, darah mengalir tipis. Ketiganya tertawa. “Miskin! Miskin! Miskin!” Mereka mengelilinginya. Salah satu menginjak sayuran di keranjang. Yang lain menendang tomat hingga pecah. Anya tidak melawan. Ia hanya menunduk. Memunguti sayuran yang masih utuh dengan tangan gemetar. Tiba-tiba salah satu dari mereka menendang sepedanya hingga terbalik. “Jangan!” teriak Anya panik. “Jangan rusak sepeda Anya!” Tawa mereka semakin keras. Tak lama kemudian, ketiganya pergi sambil tertawa. Jalan kembali sepi. Barulah Anya menangis. Ia pulang dengan

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Bangkitnya Raja Neraka Itu

    Suasana lorong masih membeku saat Jhon kembali. Langkahnya berhenti ketika melihat Nares. Tangan pria itu sudah diperban, tapi wajahnya lebih menyeramkan dari sebelumnya. Amarahnya tidak lagi meledak. Namun wajahnya ketara menahan sesuatu. “Tuan… Nyonya,” ucap Jhon pelan. Semua mata menoleh. Jhon menarik napas dalam. “Saya sudah menelusuri lokasi pertama tempat Nona Anya ditemukan,” katanya. “Dan… saya mendapatkan rekaman CCTV.” Ia mengulurkan ponselnya pada Nares. Ada dua video. Nares mengambil ponsel itu tanpa bicara. Amanda berdiri di sampingnya. Kakek Dito mendekat, berdiri tegak dengan wajah dingin. Jhon memejamkan mata. Ia sudah melihatnya lebih dulu. Dan ia tahu, keluarga ini tak akan sama setelah ini. Video pertama diputar. Layar menampilkan sisi belakang gedung acara. Anya terlihat diseret keluar oleh seorang pria. Suara tak terdengar jelas, tapi gerak bibir mereka terbaca. Anya melepaskan tangannya dengan paksa. "Lepas. Sakit, tahu." Pria itu menj

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Fakta Mengerikan

    Langkah tergesa terdengar di lorong rumah sakit. Amanda datang hampir berlari, diikuti seorang pria tua dengan tongkat hitam di tangannya. Wajah Amanda pucat, napasnya tak teratur. Matanya langsung tertuju pada satu sosok di ujung lorong. Nares duduk di lantai. Punggungnya bersandar ke dinding. Rambutnya berantakan. Kemeja mahalnya berlumuran darah. Wajahnya sembab, matanya merah, kosong. “Nares…” suara Amanda bergetar. “Ya Tuhan…” Ia menghampiri cepat. Begitu berdiri di hadapan putranya, Amanda terdiam. Melihat kondisi Nares seperti itu membuat dadanya sesak. “Nares, apa yang terjadi?” tanyanya lirih. Nares mendongak. Tatapan kosong itu runtuh seketika. “Ma…” Ia bangkit setengah berlutut dan langsung memeluk Amanda. Tubuhnya bergetar. Untuk kali ini, ia tak peduli siapa yang melihat. Wibawanya sebagai si Raja Neraka yang kejam lenyap seketika. “Ma… Anya, Ma...” gumamnya terputus-putus. Air mata jatuh. Bahunya naik turun. Tangisnya tertahan, tapi nyata. Amanda

  • Gadis Kesayangan si Raja Neraka   Anya Kritis

    Gadis itu tergeletak tak bergerak. Rambutnya kusut menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya pucat, penuh luka dan kotoran. Bajunya putih. Baju balet. Dari pahanya mengalir darah segar, menodai kain putih itu. Dan wajah itu... “Kak?” suara itu keluar lirih. Hampir tak terdengar. Dunia Nares berhenti. Suara Jhon terdengar dari belakang, panik. “Tuan…?” Kotak beludru merah terlepas dari genggaman Nares, jatuh ke aspal dengan bunyi pelan. Ia tak peduli. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dadanya sesak. Napasnya berat, seperti ada tangan yang menekan lehernya dari dalam. Lampu mobil terus menyorot wajah gadis itu. Wajah yang seharusnya berada di atas panggung. Bukan di jalanan gelap. Bukan dalam kondisi seperti ini. Nares berlutut. Gerakannya cepat, tapi tangannya gemetar saat menyentuh tubuh itu. “Anya…” suaranya pecah. Ia mengangkat tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Terlalu ringan. Terlalu dingin. “Anya, sayang,” ucapnya tergesa. “Apa yang

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status