ログインJhon kembali menemui Nares, wajahnya lelah tapi tetap tegap. Dia begitu setia dengan keluarga Mahesa ini.
“Tuan, semuanya sudah saya atur. Dipastikan Rania akan memenangkan lomba itu,” lapornya. Nares mengangguk. Matanya masih kosong menatap jauh. “Bagus,” ucapnya. “Sekarang… cari berandalan sebanyak mungkin. Cari yang reputasinya paling buruk. Aku akan memilih sendiri.” Jhon mengangguk, paham maksud tuannya, lalu bergegas pergi. Nares duduk di sisi ranjang Anya, menatap wajah pucatnya. Amanda dan Dito ia suruh pulang untuk istirahat. Ruang itu kembali hening, hanya suara monitor detak jantung dan napas Nares yang terdengar berat. Bayangan itu kembali menghantui pikirannya. Di kantor, Nares baru saja masuk ruang meeting. Semua sudah berkumpul. Lalu… dari bawah meja, celananya ditarik-tarik perlahan. Nares menoleh, rahangnya mengeras bukan karena marah, tapi karena “kenapa sih bocah ini gak ada habisnya.” Anya, bersembunyi di bawah meja, terus menarik-narik celananya,sambil tersenyum nakal. Semua orang di ruang meeting menahan napas, tatapan mereka saling bertukar. Nares menatap tajam ke bawah meja, matanya mendidih. Dengan suara tegas dan dingin, ia berkata: “Anya! Keluar!” Anya perlahan muncul, cengengesan, pura-pura polos. “Kak, jangan gitu lihatnya… serem amat,” gumamnya. Nares menatapnya tajam. “Ada apa?” Anya mengangkat ponselnya yang retak sedikit. “Jatuh tadi. Beliin yang baru, yaa...,” ujarnya manja. Seluruh ruangan menahan tawa melihat ketidak berdayaan Nares. Sebuah masalah sepele ponsel retak, dengan manja dan senyum polos, bisa menghentikan rapatnya. Padahal uang jajan Anya bisa membeli belasan ponsel terbaru. Namun tetap aja ia datang ke Nares. Nares menghela napas panjang. Ia menyerahkan sebuah kartu kecil pada Anya. “PIN-nya ulang tahunmu,” ucapnya singkat. Anya menggeleng, senyum nakal muncul di wajahnya. “Temenin” pintanya. Nares menatapnya. Dia menahan diri, tapi suara tegasnya tak bisa menolak. “Miting ditunda. Sekarang, bubar!” Semua peserta rapat keluar dengan ragu-ragu, meninggalkan ruangan. Anya melompat kegirangan dan mencium pipi Nares. “Makasi, Kak Ares. Sayang,” gumamnya riang. Bagi Anya, ciuman itu hanyalah ciuman manja seorang adik. Tapi Nares menatapnya lama, tangannya mengepal di sisi kursi. Hatinya berdetak berbeda. Ciuman itu… bagi Nares, lebih dari sekadar ciuman. Lebih dalam. Membutuhkan kepastian dan ia tak tahu apakah ia bisa memberikannya atau menahannya. Kembali ke masa kini. Nares menunduk, wajahnya menatap Anya yang masih terbaring lemah. Perlahan, ia mengecup keningnya. Lembut, tapi setiap sentuhan terasa berat dengan rasa marah dan pelindung. “Anya sayang…” ucapnya serak. “Kakak akan balaskan semua dendammu.” “Dan kakak… akan memulainya dari Aldo dan Rania,” lanjutnya dingin. “Gadis itu harus merasakan apa yang kamu rasakan. Dan Aldo, harus menyaksikannya!” Dan tanpa Nares sadari, setelah mengatakan itu jari-jari Anya bergerak. Sedikit memang, tapi itu adalah respon tubuh Anya. ** Ruang latihan balet itu dipenuhi suara sepatu pointe yang menghentak lantai. Musik klasik mengalun, namun perhatian Lulu justru tertuju pada gerakan Rania yang kaku dan tak presisi. Lulu mendecih pelan. “Cih… cuma modal koneksi. Gerakan sekaku itu bisa masuk final,” gumamnya lirih, cukup untuk didengar Arsy di sampingnya. “Kalau soal teknik, jelas gue lebih bagus.” Namun sikap Lulu berubah cepat. Ia menepuk tangan sambil tersenyum manis ke arah Rania. “Rani, kamu memang pantas jadi juara.” Arsy ikut menimpali, senyum dibuat-buat. “Iya, kamu yang terbaik.” Emily, satu-satunya yang masih jujur, menghela napas kecil. “Kamu memang bagus, Ran. Tapi jujur aja, kalau Anya datang… dia pasti juaranya.” “Emily!” Arsy menyenggol lengannya keras. Wajah Rania langsung memerah. Ia muak mendengar satu nama itu disebut-sebut. “Cih,” desisnya. “Anya itu takut bersaing sama aku. Makanya dia nggak datang.” Emily mengernyit. “Aku nggak yakin. Ini kan mimpinya Anya. Aneh aja dia tiba-tiba menghilang. Kak Juan juga ngerasa ada yang janggal. Dia lagi selidikin.” Langkah seseorang terhenti di pintu. Revaldo berdiri di sana. “Halah, peduli amat sama dia,” potong Rania ketus. Emily menoleh tajam. “Kamu kenapa sih tiap ada orang ngomongin Anya, kamu selalu nggak suka?” “Karena aku lebih baik dari dia,” jawab Rania dingin. Emily memutar bola mata, jengah. Rania ini selalu mengklaim dirinya yang terbaik padahal cuman gentong kosong. Arsy dan Lulu saling sikut, menahan senyum. Aldo berdehem. Semua menoleh. Emily terkejut melihat wajah Aldo yang penuh lebam. Bibirnya sedikit bengkak, rahangnya masih memar. “Wah, Kak Aldo kenapa?” tanya Emily refleks. “Jatuh,” jawab Aldo singkat. Rania hanya melipat tangan di dada, melirik sekilas tanpa ekspresi. “Aku mau bicara berdua sama Rania,” kata Aldo. “Kalian bisa keluar dulu?” Ketiga gadis itu keluar, meski Emily sempat menoleh curiga. Begitu pintu tertutup, Rania langsung bicara, seolah tak peduli pada kondisi Aldo. “Kamu dengar sendiri kan? Emily itu nyebelin banget.” Aldo mengangguk pelan. “Yang penting kamu masuk final. Dan nanti… kamu akan jadi pemenangnya.” Rania tersenyum puas. “Cih, iya juga. Lagian si Anya mana berani tanding sama aku. Jelas aku yang terbaik.” Rania entah benar-benar tak tahu atau pura-pura tak tahu bahwa posisinya hari ini berdiri di atas pengorbanan orang lain. Sehari sebelumnya, ia merengek pada Aldo agar Anya dicegah datang ke lomba, apa pun caranya. Bahkan saat Aldo mengingatkan bahwa musuhnya sedang mengincar orang-orang terdekatnya, Rania hanya tertawa enteng. “Yaudah, bikin aja si Anya yang kamu suka itu. Beres kan? Aku aman.” Dan Aldo… benar-benar melakukannya. “Kamu memang yang terbaik,” ucap Aldo lagi, suaranya datar. Lalu ia menatap Rania. “Kamu nggak mau nanya aku kenapa?” “Emang penting?” Rania mengangkat bahu. “Kamu sendiri bilang cuma jatuh.” Aldo tersenyum tipis, senyum yang jelas dipaksakan. Dulu, Aldo kehilangan adiknya sejak kecil. Saat bertemu Rania, ambisi dan sikap manjanya mengingatkan Aldo pada sosok itu. Sejak saat itu, ia melindungi Rania mati-matian, menjaga reputasinya, membuka koneksi, menyingkirkan rintangan. Termasuk Anya. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Lulu, Arsy, dan Emily masuk dengan wajah penuh bisik-bisik. Rania mengernyit. “Ada apa?” Emily menutup mulutnya, matanya berbinar. “Tuan Muda Mahesa…” Lulu menarik tangan Rania antusias. “Rani, tau nggak? Katanya pemenang lomba bakal dapat penghargaan langsung dari Tuan Muda Mahesa!” “Tuan Muda Mahesa?” Rania mengernyit. “Siapa itu?” Aldo yang mendengar nama itu langsung bergidik. Semua kalangan elit tahu siapa Tuan Mahesa. Arsy melongo. “Serius kamu nggak tahu?” Emily menimpali, setengah berkhayal. “Katanya masih muda, tampan, karismatik. Badannya...” ia terkikik, “uhh.” “Dia itu penguasa negeri,” tambah Lulu dramatis. "Dia sebelumnya gak pernah muncul di publik." Mata Rania berbinar. Aldo menegaskan, suaranya lebih rendah. “Tapi dia juga terkenal kejam. Rania, jangan pernah coba usik dia.” Namun Rania justru tersenyum kecil. Kejam? Bukannya itu tantangan yang menarik? Di kepalanya, kisah-kisah romansa gelap yang sering ia baca berputar liar, tentang gadis polos dan penguasa kejam yang jatuh cinta. Rania terlalu naif. ***Hari perlombaan akhirnya tiba. Di balik panggung, Rania berdiri di depan cermin besar. Kostum baletnya berkilau, riasan wajahnya sempurna. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melirik ke arah celah tirai, matanya sibuk memindai barisan kursi tamu kehormatan. Di mana Tuan Mahesa itu? Wajah-wajah yang ia lihat hanyalah para pejabat, sponsor, dan tokoh seni. Tak satu pun tampak seperti penguasa kejam yang sering dibicarakan orang. Atau cuma omong kosong, batinnya meremehkan. Tepuk tangan tiba-tiba menggema ketika pembawa acara naik ke panggung. “Dan pada malam ini,” suara itu menggema mantap, “pemenang lomba akan menerima penghargaan langsung dari pemberi dana terbesar acara ini… Tuan Mahesa.” Sorotan lampu berpindah ke barisan paling depan. Seorang pria berdiri. Jas hitamnya rapi, potongannya tegas. Tubuhnya tinggi dan tegap, posturnya lurus tanpa cela. Rahangnya keras, bahunya bidang. Namun yang membuat seluruh ruangan seketika hening... wajahnya tertutup topeng hitam
Jhon kembali menemui Nares, wajahnya lelah tapi tetap tegap. Dia begitu setia dengan keluarga Mahesa ini. “Tuan, semuanya sudah saya atur. Dipastikan Rania akan memenangkan lomba itu,” lapornya. Nares mengangguk. Matanya masih kosong menatap jauh. “Bagus,” ucapnya. “Sekarang… cari berandalan sebanyak mungkin. Cari yang reputasinya paling buruk. Aku akan memilih sendiri.” Jhon mengangguk, paham maksud tuannya, lalu bergegas pergi. Nares duduk di sisi ranjang Anya, menatap wajah pucatnya. Amanda dan Dito ia suruh pulang untuk istirahat. Ruang itu kembali hening, hanya suara monitor detak jantung dan napas Nares yang terdengar berat. Bayangan itu kembali menghantui pikirannya. Di kantor, Nares baru saja masuk ruang meeting. Semua sudah berkumpul. Lalu… dari bawah meja, celananya ditarik-tarik perlahan. Nares menoleh, rahangnya mengeras bukan karena marah, tapi karena “kenapa sih bocah ini gak ada habisnya.” Anya, bersembunyi di bawah meja, terus menarik-narik celananya,
Seorang gadis kecil mengayuh sepeda tuanya di jalan sempit menuju pasar. Keranjang di depan sepeda itu penuh sayuran. Tubuhnya kecil, tapi kayuhannya kuat. Usianya baru delapan tahun. Dia adalah Anya Pricilla. Di tengah jalan, tiga anak laki-laki menghadangnya. Wajah mereka penuh senyum mengejek. “Heh, Anya miskin lewat,” kata salah satu. Anya mengerem mendadak. Sepedanya oleng. Tubuh kecil itu terjatuh ke aspal. Lututnya lecet, darah mengalir tipis. Ketiganya tertawa. “Miskin! Miskin! Miskin!” Mereka mengelilinginya. Salah satu menginjak sayuran di keranjang. Yang lain menendang tomat hingga pecah. Anya tidak melawan. Ia hanya menunduk. Memunguti sayuran yang masih utuh dengan tangan gemetar. Tiba-tiba salah satu dari mereka menendang sepedanya hingga terbalik. “Jangan!” teriak Anya panik. “Jangan rusak sepeda Anya!” Tawa mereka semakin keras. Tak lama kemudian, ketiganya pergi sambil tertawa. Jalan kembali sepi. Barulah Anya menangis. Ia pulang dengan
Suasana lorong masih membeku saat Jhon kembali. Langkahnya berhenti ketika melihat Nares. Tangan pria itu sudah diperban, tapi wajahnya lebih menyeramkan dari sebelumnya. Amarahnya tidak lagi meledak. Namun wajahnya ketara menahan sesuatu. “Tuan… Nyonya,” ucap Jhon pelan. Semua mata menoleh. Jhon menarik napas dalam. “Saya sudah menelusuri lokasi pertama tempat Nona Anya ditemukan,” katanya. “Dan… saya mendapatkan rekaman CCTV.” Ia mengulurkan ponselnya pada Nares. Ada dua video. Nares mengambil ponsel itu tanpa bicara. Amanda berdiri di sampingnya. Kakek Dito mendekat, berdiri tegak dengan wajah dingin. Jhon memejamkan mata. Ia sudah melihatnya lebih dulu. Dan ia tahu, keluarga ini tak akan sama setelah ini. Video pertama diputar. Layar menampilkan sisi belakang gedung acara. Anya terlihat diseret keluar oleh seorang pria. Suara tak terdengar jelas, tapi gerak bibir mereka terbaca. Anya melepaskan tangannya dengan paksa. "Lepas. Sakit, tahu." Pria itu menj
Langkah tergesa terdengar di lorong rumah sakit. Amanda datang hampir berlari, diikuti seorang pria tua dengan tongkat hitam di tangannya. Wajah Amanda pucat, napasnya tak teratur. Matanya langsung tertuju pada satu sosok di ujung lorong. Nares duduk di lantai. Punggungnya bersandar ke dinding. Rambutnya berantakan. Kemeja mahalnya berlumuran darah. Wajahnya sembab, matanya merah, kosong. “Nares…” suara Amanda bergetar. “Ya Tuhan…” Ia menghampiri cepat. Begitu berdiri di hadapan putranya, Amanda terdiam. Melihat kondisi Nares seperti itu membuat dadanya sesak. “Nares, apa yang terjadi?” tanyanya lirih. Nares mendongak. Tatapan kosong itu runtuh seketika. “Ma…” Ia bangkit setengah berlutut dan langsung memeluk Amanda. Tubuhnya bergetar. Untuk kali ini, ia tak peduli siapa yang melihat. Wibawanya sebagai si Raja Neraka yang kejam lenyap seketika. “Ma… Anya, Ma...” gumamnya terputus-putus. Air mata jatuh. Bahunya naik turun. Tangisnya tertahan, tapi nyata. Amanda
Gadis itu tergeletak tak bergerak. Rambutnya kusut menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya pucat, penuh luka dan kotoran. Bajunya putih. Baju balet. Dari pahanya mengalir darah segar, menodai kain putih itu. Dan wajah itu... “Kak?” suara itu keluar lirih. Hampir tak terdengar. Dunia Nares berhenti. Suara Jhon terdengar dari belakang, panik. “Tuan…?” Kotak beludru merah terlepas dari genggaman Nares, jatuh ke aspal dengan bunyi pelan. Ia tak peduli. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dadanya sesak. Napasnya berat, seperti ada tangan yang menekan lehernya dari dalam. Lampu mobil terus menyorot wajah gadis itu. Wajah yang seharusnya berada di atas panggung. Bukan di jalanan gelap. Bukan dalam kondisi seperti ini. Nares berlutut. Gerakannya cepat, tapi tangannya gemetar saat menyentuh tubuh itu. “Anya…” suaranya pecah. Ia mengangkat tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Terlalu ringan. Terlalu dingin. “Anya, sayang,” ucapnya tergesa. “Apa yang







