Share

6

Akan selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian. Begitupun dengan kesabaran, suatu saat pasti akan membuahkan sebuah kebahagiaan, kapan itu tunggu saja suatu saat akan tiba waktunya.

Waktu sudah mau menjelang sore, saat aku dan Ayah tiba di halaman rumah. Diambang pintu berdiri ibu tiriku yang menyambut kedatangan kami dengan muka masam, serta sorot mata yang nampak tajam.

"Dari mana saja kalian?." tanya ibu penuh selidik.

"Itu bukan urusanmu, urus saja pekerjaan rumah yang memang seharusnya menjadi kewajibanmu!." jawab Ayah, ia langsung membimbingku masuk rumah.

Merasa diabaikan Ayah, ibu bergegas mengikuti kami masuk kedalam rumah. Ia langsung duduk bergabung bersama kami dikursi tamu sederhana. Yah, hanya itulah yang kami miliki, itu aja juga peninggalan Nenek dulu.

"Ngapain kamu kesini?" tanya Ayah sinis.

"Kalian dari mana?" tanya balik Ibu.

"Suami pulang bukannya disambut dengan makanan atau minuman, ini malah disambut peetanyaan!." ucap Ayah penuh emosi.

"Iya-iya, aku siapain bentar". Balas ibu, ia bergegas menuju dapur. Tumben sekali ia begitu nurut dengan ucapan Ayah.

Melihat Ayah dan ibu, rasanya tak mungkin jika keduannya bakal berpisah. Atau mungkin ini hanya strategi Ayah sebelum memutuskan berpisah dengan ibu nantinya.

"Ini kopinya". Ucap ibu, ia meletakkan satu cangkir kopi hangat dihadapan Ayah.

"Sandra, buruan sana kamu ke dapur, pekerjaan numpuk!." pintanya padaku.

"Sandra ini anakku, bukan pembantu!." sahut Ayah cepat.

"Ta-tapi Mas. . ." sela ibu kemudian.

"Tapi apa? Kami mau bilang jika ingin mendidiknya belajar mandiri, begitu!." sahut Ayah cepat.

"Bu-bukan begitu Mas, tapi aku capek baru saja nyapu halaman" ucapnya tergagap.

"Nyapu halaman yang tak seberapa saja kamu udah ngeluh, terus bagaimana dengan Sandra yang tiap hari kamu suruh melakukan semua pekerjaanmu!." tutur Ayah.

"Aku minta maaf, mulai sekarang aku juga bakal mendidik Indah dan Indra agar ia juga bisa mandiri." Balas ibu cepat.

"Terserah apa maumu! Sekarang kemasi bajumu kita ke rumah ibumu." tukas Ayah cepat.

"Kok tumben Mas, mau ngapain?." tanya ibu penasaran.

Aku sendiri sebenarnya juga penasaran, tak biasanya Ayah mengajak Ibu ke rumah mertuanya itu. Aku hanya bisa diam melihat setiap alur cerita yang ada.

Tanpa menunggu jawaban dari Ayah, ibu bergegas masuk kamar. Mungkin ia langsung menyiapkan baju untuk bekal ke rumah Nenek.

Tap. . 

Tapp. . 

Terdengar langkah kaki orang yang masuk ke teras rumah. Siapa lagi gerangan yang datang berkunjung?. Situasi sedang tak mendukung seperti ini.

"Minta uang Yah!." pinta Indra diambang pintu.

"Kamu itu punya sopan santun enggak, masuk rumah bukannya ngucap salam malah minta duit terus bisamu!." jawab Ayah.

"Biarkan saja kenapa sih Mas, namanya juga anak kecil." ucap Ibu, seperti biasa ia membela anak kesayangannya.

"Iya nih. . . Orang tua kok berisik banget!." sahut Indra, ia merasa diatas angin saat mendapat pembelaan dari Ibunya.

"Ayo kita berangkat Dek!." ajak Ayah pada ibu, beliau tak menanggapi ucapan Indra barusan.

"Aku dan adik-adik gimana Yah?." tanyaku ragu.

"Kalian di rumah saja, Sandra kamu masuk kamar ya. . .jangan lupa kunci pintu!." pinta Ayah padaku.

Aku hanya diam dan tersenyum, segera kulangkahkan kaki ini menuju kamar setelah mencium takjim punggung tangan Ayahku.

Tumben sekali Ayah memintaku masuk kamar, suruh langsung kunci pintu segala. Sebagai anak yang baik, aku langung nurut saja apa permintannya.

"Ayo berangkat. . .ajak Indra kalau mau!." pinta Ayah kemudian.

"Kemana sih Bu?." tanya Indra pada ibunya.

"Kita kerumah Nenekmu, jangan lupa bawa bekal baju ganti Nak!" ucap ibu mengingatkan.

Tak berselang lama mereka bertiga sudah berangkat ke rumah Nenek dari ibu tiriku itu. Tinggal aku seorang diri, Indah adik tiriku mungkin saat ini sedang bermain dengan teman-temannya.

Sepeninggal mereka aku bergegas mandi, setelah semua beres aku langsung menyalakan lampu seisi rumah. Selepas semua beres barulah aku kembali masuk kamar.

Kutunaikan 3 rekaat kewajibanku kala magrib tiba. Setelah selesai aku berinisiatif membaca beberapa ayat kalam Allah. Disinilah hati ini merasa tenang dan damai, terlepas dari banyak masalah hidup yang sedang aku alami saat ini.

**

Dilain tempat Ayah, Ibu dan juga Indra sudah sampai ke rumah Nenek. Ketiganya langsung disambut oleh Nenek, maklum saja selama ini cukup jarang Ayah mau berkunjung kesini.

"Wah . . .ada tamu agung ini," ucap Nenek seolah menyindir kedatangan ketiganya.

"Maaf Bu, baru memiliki waktu senggang." jawab Ayah cepat.

"Iya Bu, kali ini kami mau nginap disini. . .Bolehkan?" tanya Ibu memastikan.

"Boleh saja, tapi kok tumben ya kalian mau bermalam disini." terang Nenek.

"Udah nggak usah berfikir yang macam-macam Bu, aku siapkan kamar belakang dulu ya." ucap Ibu, ia bergegas membawa tas yang berisi bajunya itu kedalam kamar, disanalah tampat peraduannya sebelum dinikahi oleh Ayah.

"Aku juga mau ikut ah. . .capek nih pengen rebahan." sahut Indra cepat. Ia langsung mengikuti langkah kaki ibunya itu.

"Nak, sebenarnya ada masalah apa sih. 

 . .tumben sekali?." tanya Nenek pada Ayahku.

"Begini Bu, maaf sebelumnya jika kedatangan kami begitu megejutkan ibu, tapi jujur saya sudah tak sanggup lagi dengan tingkah Marni Bu." tutur Ayah pada ibu mertuanya.

"Maksud kamu apa Nak?." tanya Nenek penasaran.

"Belasan tahun saya hidup dengan putri ibu, tapi ia tak pernah mau menerima anakku bahkan ia memperlakukannya dengan cukup buruk." tutur Ayah kemudian.

"Maaf ya, memang begitu adanya istrimu. . . Ibu sendiri juga tak mampu menghadainya." terang ibu mertua.

"Sa-saya bermaksud, ingin mengembalikan Marni pada Ibu, bertahun-tahun saya memberinya kesempatan, tapi ia sama sekali tak mau berubah." tutur Ayah kemudian.

"Ka-kamu menceraikan dia." ucap Nenek tergagap.

"Maaf Bu, mau bagaimana lagi. . . Saya tak ingin Sandra terus hidup menderita bersama ibu tirinya." tukas Ayah pasrah.

"Ba-baiklah kalau begitu, ibu bisa terima. . .sebentar aku panggil istrimu dulu." ucap Nenek, ia bergegas kebelakang menemui ibu.

Tak berselang lam ia sudah kembali bersama Ibu. Entah apa yang sudah dikatakan pad putri tunggalnya itu, hingg ibu tampak diam dan cukup tenang.

"Kamu memanggilku Mas, ada apa?." tanya ibu penasaran.

"Begini Dek, maafkan aku ya". Ucap Ayah tertahan.

"Ma-maaf, maaf untuk apa Mas?". Tanya ibu tergagap.

"Begini, sudah cukup lama aku bersabar dan terus bersabar menanti kamu bakal berubah, tapi ternyata kamu tak ada niatan untuk berubah, dan aku sudah tak sanggup lagi." tutur Ayah kemudian.

"Ma-maksudmu Mas?." tanya ibu tergagap.

"Marni binti Mahmud, hari ini juga aku talak dan kukembalikan kamu pada ibumu, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi!." tegas Ayah kemudian.

"Ka-kamu menceraikan aku Mas?." tanya ibu seolah tak percaya, tampak jelas dari wajahnya jika ia benar-benar terkejut dengan ucapan Ayah.

"Iya, aku tak ingin melihat darah dagingku terus menderita karna ulahmu, makasih belasan tahun ini sudah mau hidup sederhana denganku." tukas Ayah kemudian.

Mata nenek tampak berkaca-kaca melihat anak dan menantunya berpisah. Tak pernah terbayangkan olehnya, jika putrinya bakal menjanda. Sebagai ibu ia sudah berulangkali mengingatkan putrinya untuk berubah, namun hasilnya hanya nihil semata.

"Sebagai menantu saya minta maaf ya Bu, belum bisa menjadi menatu yang baik untuk ibu." ucap Ayah pada sang mertua.

"Sudahlah Nak kamu nggak salah kok, ibu yang seharusnya minta maaf tak bisa mendidik Marni." ucap Nenek, kekecewaan tergambar jelas dari raut wajahnya.

"Sudahlah Bu, lupakan saja semua yang ada!." pungkas Ayah kemudian.

Sementara ibu tiriku hanya diam dan tertunduk. Mungkin ia sedang menyesali apa yang ada, bahkan mungkin ia tak menyangka bakal begini akhirnya.

Selama ini memang suaminya itu begitu tinduk dan mengalah padanya. Tak pernah terbayangkan bakal seperti apa kehidupannya nanti, menjadi janda dengan dua anak yang cukup bandel.

Haruskah ia protes dan memohon pada Ayah agar bisa kembali lagi menerimanya. Hatinya benar-benar diliputi rasa dilema, mengingat selama ini ia begitu jahat pada putri tirinya, mungkinkah suaminya itu mau memaafkannya.

Tak berselang lama suaminya itu pamit pulang, membawa kegundahan dan kesedihan dalam hatinya. Ia begitu nelangsa meratapi buah dari perbuatanya selama ini. Akankah takdir bisa merubah segalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status