Share

7.

Hukum sebab akibat akan selalu ada. Entah perbuatan baik atau buruk suatu saat nanti kita pasti menerima balasannya.

Sepekan setelah Ayah pulang tanpa Ibu, hari-hariku lebih merasa tenang dan damai. Begitupun dengan Ayah, ia terlihat lebih santai dalam menikmati hidup. Semoga saja hati Ayah benar-benar diliputi kebahagian.

"Yah, lagi apa?." tanyaku, aku langsung duduk disamping Ayah.

"Ehh. . .kamu San, nggak ngapa-ngapain sih Ayah." jawab Ayah tampak terkejut.

"Ayah sedang mikirin Ibu ya?." tanyaku hati-hati.

"Bukan sayang, Ayah malah lagi mencoba untuk melupakan beliau, meski bagaimana pun ia pernah menemani Ayah bertahun-tahun." tutur Ayah padaku.

Benar juga apa yang dikatakan oleh Ayah. Sejahat apapun Ibu ia juga telah menemaniku sejak kecil, tapi jika mengingat perlakuan buruknya padaku membuat hati ini bersedih.

"Yah, aku udah memutuskan lebih baik nggak melanjutkan sekolah dulu aja, sehabis lulus nanti Sandra berencana bekerja dulu buat ngumpulin duit." ucapku hati-hati.

"Nak, tugasmu itu hanya belajar. . .tak usahlah kamu memikirkan soal biaya dan segala macamnya, ada Ayah yang berada disampingmu." jelas Ayah menenangkanku.

"Bu-bukan begitu maksud Sandra Yah, kuliah itu membutuhkan uang yang tidak sedikit, buat makan saja kita sudah Alhamdulillah." sahutku kemudian.

Mendengar ucapanku, Ayah hanya terdiam cukup lama. Mungkin ia memikirkan ucapanku barusan. Aku sungguh tak ingin menjadi beban untuk Ayah pagi, apalagi diusianya yang sudah semakin tua.

"Ma-maafkan Sandara Yah. . . bu-bukan maksudku meremehkan Ayah." ucapku tergagap.

"Udah nggak pa-pa Nak, kamu benar kuliah memang memerlukan uang yang tak sedikit dan Ayah menyadari mungkin tak akan mampu memenuhi semua itu, tapi Ayah akan selalu berusaha melakukan yang terbaik." tutur Ayah parau.

"Makasih Yah, setelah kelulusan nanti aku berencana mengikuti Andin merantau ke kota, disana sudah ada Kakaknya pasti lebih berpengalaman kan." jelasku pada Ayah.

"Lantas disana kamu bakal kerja apa Nak, hidup dikota itu tidaklah mudah harus bisa membawa dan menjaga diri dengan baik." tutur Ayah menasehatiku.

"Disana aku bakal kerja ditempat kakaknya Andin juga kok Yah, Ayah do'akan saja supaya semua diberi kemudahan." pintaku padanya.

"Tentu saja Nak, tanpa kamu mintapun Ayah sudah pasti mendo'akanmu." balas Ayah padaku.

Kami berdua terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing. Beruntungnya dirumah ini tinggal aku dan Ayah, kemarin Indah menyusul ibunya ke rumah Nenek. Baru terasa kesunyian tanpa omelan ibu dan adik-adik tiriku itu.

"Emm Yah, kalau aku berangkat ke kota, terus Ayah gimana?." tanyaku bimbang.

"Jangan kamu risaukan soal itu Nak, kan banyak tetangga dekat. . . kita semua juga hidup rukun apa lagi yang perlu kau risaukan." tutur Ayah menenangkanku.

"Yah udah deh Yah, Sandra masuk kamar dulu mau belajar, lusa udah ujian kelulusan soalnya." tukasku kemudian.

"Iya sayang, belajar yang rajin ya Nak soal kerjaan rumah tak perlu kamu pikirkan. . . Ayah juga bisa kok ngerjain." pungkas Ayah.

Aku hanya tersenyum dan bergegas masuk kembali ke kamar. Disana tumpukan buku sudah menanti untuk segera kujamah. Berdebar itulah yang kurasakan kini, mengingat aku salah satu murid yang berprestasi namun tak bisa langsung melanjutkan study.

Hampir pukul 22.00 aku masih saja berkutat dengan aneka buku. Kebiasaanku sejak sekolah dasar, jika sudah membuka buku bakal lupa akan waktu. 

Tok. . .

Tokk. . .

Terdengar ketukan pintu kamarku. Mungkinkah itu Ayah, tak bisanya ia menemuiku malam-malam seperti ini. Aku bergegas melangkahkan kaki ini menuju daun pintu.

"Ayah, ada apa?." tanyaku sesaat setelah membuka pintu.

"Udah malam Nak kamu buruan tidur, belajarnya dilanjut besok lagi!." pinta Ayah padaku.

"I-iya Yah, ini aku juga mau istirahat kok". Jawabku kemudian.

"Ya udah beneran ya langsung tidur, kesehatanmu juga perlu kamu jaga!." tukas Ayah.

"I-iya Yah, selamat tidur Yah." pungkasku.

Ayah hanya tersenyum dan bergegas meninggalkanku. Semoga saja ia telah terbiasa tidur seorang diri tanpa kehadiran ibu tiriku lagi.

Selepas kepergian Ayah, aku bergegas membersihkan diri dan melangkah menuju ranjang sederhanaku, ranjang tua peninggalan Nenek kala itu. Perlahan tapi pasti mata ini akhirnya langsung terpejam menuju ke alam mimpi.

**

Pagi harinya aku bisa terbangun dengan keadaan bugar dan siap beraktifitas kembali. Segera aku menuju dapur dan menyiapkan menu sarapan untuk Ayah berangkat kerja.

Sedikit sisa nasi semalam, aku berencana mengolahnya menjadi nasi goreng sederhana. Ini merupakan menu andalanku dikala masih ada ibu dulu, sebab menu ini terbilang cukup sederhana dan mudah dibuat.

Tok. . .

Tokkk. . .

Terdengar ketukan pintu depan. Rasa penasaran membuatku bergegas kedepan untuk membuaka pintu, kutinggalkan begitu saja bumbu dapur yang belum sempat aku racik.

Kriettt. . . 

"Assalamualaikum," sapa Mbak Dwi.

"Waalaikumsalam, eh Mbak Dwi tumben kesini, ada apa Mbak?," tanyaku penasaran.

"Ini San, ada sedikit makanan buat sarapan," ucapnya, ia menyerahkan satu rantang penug makanan, dari aromanya aku tau ini pasti masakan gulai.

"Wah makasih Mbak, repot-repot segala. . . emang ada acara apa ya Mbak?," tanyaku penasaran.

"Enggak ada acara apa-apa sih San, cuma banyak ayam dirumah jadi Bapak meminta sebagian untuk disembelih." jawabnya antusias.

"Sampaikan ucapan terimakasihku pada Bapakmu ya Mbak, setiap saat ada aja yang diberikan pada kami." ucapku kemudian.

"Iya sama-sama San, ya udah aku pamit dulu ya." pungkasnya kemudian.

Aku mengiringi kepulangan Mbak Dwi sampai ke ujung teras samping. Dari dulu memang keluarganya selalu baik kepada kami, alasan mereka jika aku bertanya semua itu karna kebaikan Nenekku dulu.

Selepas kepergiannya, aku kembali masuk kedalam. Kulangkahkan kaki ini menuju dapur, segera kubuka rantang pemberian tetanggaku tadi. Ternyata isinya sangat lengkap dari nasi, gulai ayam, tahu dan tempe goreng, hingga krupuk dan sambal sebagai pelengkapnya.

Tap. . .

Tapp. . .

Terdengar suara langkah kaki Ayah. Sepertinya ia akan menuju kedapur ini. Aku bergegas menyiapakan perlengkapan makan.

"Yah, yuk kita sarapan!," ucapku padanya.

"Kamu jam segini udah masak menu lengkap sekali Nak." jawab Ayah terkejut.

"Ini bukan aku yang masak kok, ini tadi pemberian Mbak Dwi, mari kita makan Yah!," pintaku padanya.

Aku bergegas menata semua makanan diatas meja. Tak lupa juga peralatan makan dan juga minuman hangat untuk Ayah.

Kulihat Ayah bergegas menarik salah satu kursi makan sederhana. Aku segera menuangkan teh hangat untuknya. Dengan senyum mengembang, ia menerima gelas pemberianku.

"Dimakan Yah, segini nasinya lagi?," tanyaku memastikan.

"Cukup Nak, nanti kalau kurang Ayah ambil lagi," jawabnya kemudian. Ia bergegas menikmati makanan yang berada dipiringnya itu.

Begitupun denganku, aku begitu menikmati gulai ayam ini. Menu yang sangat jarang bisa aku nikmati sebelumnya. Apalagi Mbak Dwi terkenal jago dalam mengolah makanan apapun.

"Nak, buruan dimakan!, kok malah melamun sih." ucap Ayah membuyarkan lamunanku.

"I-iya Yah, ini aku juga makan kok, Alhamdulillah ya pagi ini kita bisa sarapan enak." jawabku kemudian.

"Iya ya Nak, dulu waktu ada ibumu jarang sekali kamu jam segini bisa makan" sahut Ayah.

"Sudahlah Yah, yuk habiskan makannya!." pungkasku kemudian. Kulihat Ayah kembali menikmati sajian diatas piringnya.

Aku tak ingin Ayah kembali mengingat ibu. Bisa-bisa kembali bersedih dan tak bisa melupakan kenangan soal ibu.

Mengingat ibu, apa kabarnya beliau. Rasanya diri ini rindu akan omelan dan kemarahannya. Berpisah dengan Ayah pasti membuatnya kecewa, apalagi ia harus mengurus kedua anaknya yang sangat manja. Apakah ia bisa berubah?, dan menyesali perbuatannya selama ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status