Share

8.

 Rasa keingintahuan terkadang akan muncul tanpa kita bisa mencegahnya, terkadang pula kita melakukan berbagai cara agar bisa mencari jawaban atas rasa keingintahuan kita itu sendiri.

 Setelah belajar cukup lama, selama 3 tahun. Akhirnya tibalah saat ini ujian kelulusan, hari ini bakal dilaksanakan. Aku begitu semangat dan antusias, mengingat hari aku berada dititik puncak perjuanganku.

 "Ndun, rumahmu bukannya didesa sebelah ya?," tanyaku pada Hindun salah satu teman disekolahku.

 "Iya bener San, aku disini ikut Nenekku biar tidak terlalu jauh berangkat kesekolahnya," tuturnya padaku.

 "Ndun, kamu tau enggak kabar ibu tiriku gimana?," tanyaku penasaran.

 "Bukannya ia selalu jahat sama kamu ya San, ngapain lagi kamu pengen tau kabarnya. Setauku ia saat ini lagi jadi bahan gosip dilingkungan rumahku, dia tuh ya baru saja berpisah dari Ayahmu tapi sudah gandengan dengan duda baru dikampung aku," jelasnya panjang lebar.

 "Yang bener Ndun, kok bisa secepat itu ya ia melupakan Ayahku," ucapku seolah tak percaya.

 "Udah biarkan saja, dari dulu katanya ia memang wanita yang kurang bener. Beruntung Ayahmu udah pisah dengannya," pungas Hindun kemudian.

 Benar juga apa yang dikatakan Hindun, tapi kenapa bisa secepat itu dia menemukan pengganti Ayah. Biarlah, yang terpenting aku sudah terbebas darinya. Fokusku sekarang tinggal ujian yang sudah berada didepan mata.

 **

 Setelah aku berhasil mengerjakan soal-soal ujian, kini tibalah waktunya jam pulang sekolah. Aku bergegas keluar kelas agar bisa langsung pulang. Aku ingin menghabiskan banyak waktu bareng Ayah, sebelum nanti aku berangkat kerja kekota.

 

 Tap. .Tapp

 Kutapaki selangkah demi selangkah halaman sekolah yang cukup luas ini. Beruntungnya cuaca sedikit mendung, jadi aku bisa berjalan dengan sedikit santai.

 "San. . .Sandra!," teriak Andin teman sekelasku.

 "Ada apa Ndin, kamu kok lari sampai ngos-ngosan gitu?," tanyaku santai.

 "Huftt. . Kamu itu dari tadi aku panggil-panggil dari tadi nggak denger, terpaksa deh aku harus berlari," keluhnya padaku.

 "Ya maaf, ini kan masih ramai. Lagian nama sandra kan banyak disekolah ini, kirain bukan aku tadi." jawabku tanpa rasa bersalah.

 "Kamu jadi mau ikut kerja keota San, katanya enggak perlu nunggu ijazah turun. Ijazah bisa menyusul kok bila sudah turun," tuturnya padaku.

 "Jadi donk Ndin, lagian aku tuh pengen secepatnya ngumpulin duit biar taun depan bisa masuk kuliah. Sebenarnya Ayahku sanggup mengusahakan aku kuliah, tapi aku tak tega terlalu membebaninya." Jelasku padanya.

 "Baiklah kalau kamu jadi, ntar kalau ada info terbaru dari kakakku pasti bakal aku kabarin deh," pungkas Andin kemudian.

**

 Aku senang bukan main, seminggu lagi aku bakal berangkat ke kota untuk bekerja. Semoga saja pekerjaan ini tidak memberatkan aku dan aku bisa kerasan kerja disana.

 "San, kamu apa sudah mantap mau berangkat ke kota?," tanya Ayah padaku.

 

 "Sudah Yah, harus yakin donk. Biar Sandra bisa secepatnya ngumpulin uang buat biaya kuliah tahun depan, jadi Ayah tinggal nutup kekurangannya saja," jelasku padanya.

 "Kamu hati-hati ya kerja disana, harus bisa jaga diri saat jauh dari Ayah. Hidup dikota memang sulit Nak, harus bisa menyesuikan dengan keadaan," tutur Ayah padaku.

 Benar juga apa yang dikatakan oleh Ayah. Bagaimanapun juga aku belum ada penglaman hidup ditanah rantau, apa lagi aku sudah terbiasa dengan Ayah. Mulai sekarang aku harus bisa membiasakan diri hidup berjauhan dengan Beliau.

 Sejujurnya aku tak bisa berjauhan dengan Ayah, tapi aku juga tak bisa egois demi cita-citaku agar besok bisa kuliah. Aku sedikit lega sebab didesa ini kehidupan bertetangga sangatlah rukun, cuma satu yang aku risaukan, bagaimana jika ibu kembali menganggu hidup Ayahku.

 "Yah, apa Ayah masih ada keinginan buat hidup dengan ibu tiriku?," tanyaku hati-hati.

 "Berapa kali harus aku katakan lagi padamu sayang, Ayah sudah tak berminat sama sekali dengan mantan istri Ayah itu," tutur Ayah padaku.

 "Yah tau enggak, bekas istri Ayah itu sekarang lagi jadi bahan gunjingan karna sudah bergandengan dengan pria lain, duda baru juga katanya, apa benar Ibu dari dulu dikenal gak benar Yah?," tanyaku penasaran.

 "Benar itu Nak, Ayah pikir dengan menikahinya. Ibumu bakal bisa Ayah didik jadi wanita baik, tapi kenyataannya bertahun-tahun ia tak bisa berubah." Jelas Ayah padaku.

 "Ayah yang sabar ya, suatu saat pasti akan ada buah dari kesabaran Ayah. Sekarang makan yuk, biar aku siapin," ucapku menenangkannya.

 Ayah hanya mengangguk dan mencoba tersenyum, meski kutahu itu hanya senyum paksaan.

 Aku bergegas melangkahkan kaki ini menuju dapar sederhana peninggalan nenek dulu, ditempat inilah banyak kenangan saat aku sering menumpahkan keluh kesahku dan juga nasehat-nasehat nenek yang selalu aku ingat hingga kini.

 **

 "Yah, makanan udah aku siapkan yuk makan!," ajakku pada lelaki yang menjadi pelindungku sejak kecil itu.

 Tok. .

Tokkk. . .

 Belum juga Ayah menjawab ajakanku, pintu rumah terdengar ada orang yang mengetuk. Aku dan Ayah reflek saling melirik, ia memberiku kode untuk segera membuka pintu itu.

 Tap. .

 Tapp. . .

 Dengan sedikit malas, aku bergegas melangkahkan kaki ini menuju daun pintu utama. Siapa gerangan yang bertamu ditengah hari terik seperti ini.

 "Siapa?," tanyaku saat membuka pintu.

 "AKU!," seru ibu padaku.

 

 "I-ibu?. Ngapain ibu kesini?," tanyaku gugup.

 Tanpa merespon pertanyaanku, ibu langsung merangsak masuk rumah. Ia langsung menemui Ayah yang sejak tadi memang berada didepan tv.

 "Ada apa lagi kamu kesini, kamu sudah bukan siapa-siapaku lagi!," ucap Ayah menahan kesal.

 "Selama surat cerai belum turun, aku masih berhak tinggal disini!," ucap ibu percaya diri.

 Bagaimana ini?, sepertinya Ibu tak akan melepas Ayah begitu saja. Ia pasti akan menemukan berbagai alasan agar bisa bertemu dengan Ayah. Disudut rumah, aku sedikit ketakutan bagaimana jika ibu bakal tinggal dirumah ini lagi.

 Ayah hanya diam dan langsung menuju kamar utama. Entah apa yang akan dilakukan oleh orang tua tunggalku itu. Tak berselang lama ia sudah kembali dengan membawa amplop putih ditangannya.

 "Kalau alasanmu kesini karna kamu pikir surat cerai belum turun, ini terimalah surat cerai dariku dan aku minta jangan pernah muncul lagi dihadapanku!," seru Ayah pada bekas istrinya.

 "Iya," jawab ibu lesu, ia langsung menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi rumah ini.

 Melihat Ayah yang melakukan hal itu, aku baru berani keluar dan bergabung dengan Ayah. Melihatku yang duduk disampingnya membuat Ayah membeiku senyuman penuh arti.

 "Semua sudah beres, diantara kita sudah tak ada hubungan apapun. Untuk apa lagi kamu duduk disini?," tanya Ayah penuh selidik.

 "Mas, tidak adakah harta gono gini bagianku ?," tanya ibu sedikit tertunduk.

 Ayah terlihat membuang nafas kasar. Entah apa yang ada difikiran bekas istrinya itu. Selama ini seluruh penghasilan Ayah telah diberikan pada ibu tanpa aku bisa menimmatinya, namun ternyata semua itu masih kurang dimata ibu.

 Lain lagi dengan Ibu yang tampak gusar menunggu jawaban dari Ayah. Sejak dulu ia memang mata duitan, tak Ayah uang berapapun pemberian dari Ayah selalu habis ditangannya.

 "Harta gono gini?, harta mana lagi yang kamu inginkan. Semua penghasilanku tiap hari sudah aku berikan padamu, seharusnya aku yang bertanya kemana habisnya harta itu?," tanya  Ayah balik.

 Ibu hanya diam tertunduk tak berani menatap maupun menjawab pertanyaan dari Ayahku. Mungkin ia tak menyangka jika bakal mendapat serangan balik dari bekas suaminya.

 "En-enggak Mas, ya udah aku enggak jadi minta harta apapun lagi darimu. Permisi!." ucap ibu tergagap, ia langsunf bringsut meninggalkan kami berdua. 'Dasar enggak sopan', batinku kesal.

 **

 Setelah kepergian Ibu, aku dan Ayah bergegas menuju meja makan. Karna disana dari tadi sudah kuhidangkan makan siang sederhana, tapi aku yakin rasanya bakal begitu nikmat jika disantap dengan orang tersayang.

 Kami berdua asik makan dalam diam, hanya suara dentingan sendok dan piring yang sesekali saling beradu. Tiba-tiba saja aku memikirkan jika uang Ayah telah diberikan pada ibu semua, terus kami bakal hidup dengan apa. Meski sedikit sungkan, tapi aku tetap mencoba bertanya pada Ayahku.

 "Yah, boleh aku bertanya?. Emm, jika uang tiap hari sudah Ayah kasihkan pada ibu, sekarang Ayah tak punya simpanan lagi donk?," tanyaku hati-hati.

 "Tenang!," seru Ayah, dengan senyum penuh arti.

 Kalau sudah begini aku sudah tak berani bertanya lagi padanya. Aku semakin penasaran dengan jawaban Ayah. Adakah hal lain yang selama ini ia sembunyikan dariku?. Aku harus secepatnya mencari tau akan hal itu sendiri, Yah sebelum aku berangkat kekota pekan depan. Semoga ia tak membuatku kecewa dengan rahasia yang disimpan itu.

bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status