"Glen!" teriakan seorang wanita membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan, awalnya mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Ternyata, dialah tamu penting yang dimaksud Glen tadi.
Wanita itu memakai make up tebal bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen, padahal sebelumnya mereka hanya kenal sebagai rekan bisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak sehingga tentu membuat Glen geram, apalagi pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja sehingga wanita itu terjatuh ke lantai karena memakai sepatu high heels walau dorongan tidak terlalu kencang "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak paham posisimu, hah?" tanya Glen dengan nada mengintimidasi, sementara Akiko refleks ingin menolong Yelena. Namun, pria itu menarik tangannya kasar agar tidak bergerak. "Duduk," titahnya pada Yelena. Dia nampak kesal, tapi tidak berani melawan. Akhirnya, dia duduk berhadapan dengan Glen di sofa. "Aiko, kemari," ujar Glen menarik pinggul Akiko agar gadis itu duduk di pangkuannya, lalu tersenyum sombong pada Yelena. "Lihat, sepertinya kau kalah hebat dari Aiko." "Kenapa? dia bahkan tidak sexy," ketus Yelena sambil memandangi Akiko rendah. Memang, untuk ideal tubuh tentu saja dia kalah jauh dengan Yelena yang berisi seperti gitar Spanyol. "Bukan soal sexy, tapi … apakah kau bisa duduk di pangkuanku tanpa ekspresi seperti dia?" tantang Glen dengan bangga mengusap paha Akiko. "Iya kan, Aiko?" mendengar pertanyaan itu, Akiko hanya mengangguk walau tidak paham inti pembicaraan. "Aku suka gadis seperti Aiko, dia bisa membuatku lebih tertarik. Sedangkan kau bahkan sudah gemetar jika berdekatan denganku.” Akiko menatap Glen masih dengan tatapan acuh, dia tidak peduli apa mau pria itu karena kalau melawan pun dia pasti kalah. Mengetahui Akiko sedang menatapnya, Glen tersenyum dengan sifat angkuh Akiko. "Sepertinya … kau sangat berpengalaman, ya? Kau bahkan tidak terganggu dengan sesuatu yang berdiri di bawah sana.” Mendengar ucapan Glen, Akiko sontak berdiri dari pangkuannya kaget karena ternyata dari tadi libido Glen sudah naik. Pria itu sengaja ingin menyentuh tubuh Akiko lebih lama. "Berapa banyak pria yang sudah bermain denganmu?" tanya Glen sembari duduk meminum wine. "Sorry?" tanya Akiko kaget, karena Glen bertanya tentang hal yang mengejutkan. "Berapa banyak pria yang suka menikmati tubuhmu?" ulang Glen menekan setiap kata. Karena jengkel pada pertanyaan tidak sopan dari Glen, Akiko memutuskan untuk diam. Namun, hal tersebut membuat Glen marah karena merasa diabaikan sehingga ia melempar segelas wine tepat pada wajah Akiko. "Sifat angkuhmu itu benar-benar membuatku kesal." "Yelena, kau tau apa yang harus kau lakukan sekarang?" titah Glen sehingga Yelena mulai beranjak menyentuh tubuh Glen dengan jari-jari lentiknya, bahkan dia sengaja mengeluarkan suara erotis untuk menggoda. Pria itu memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan dari Yelena sementara Akiko yang risih memutuskan untuk keluar dari ruangan itu karena tidak mau matanya ternodai adegan tidak senonoh itu. Glen pikir, Akiko tidak bergeming saat dia sentuh karena sudah terbiasa bermain dengan laki-laki, padahal itu semua karena Akiko tidak perduli akan apa pun. Glen adalah pria pertama yang menyentuhnya. Akiko pergi ke toilet berniat membasuh wajahnya dari wine. Namun, karena tidak bawa pakaian ganti, dia hanya membersihkan seadanya saja. Saat melihat ke arah cermin, Akiko hanya melihat sosok gadis menyedihkan. Dia tidak punya ekspresi banyak untuk mengungkapkan perasaan baik marah, sedih, ataupun senang. Lalu seorang karyawan wanita masuk. Awalnya dia acuh dengan urusan sendiri, tapi perhatiannya teralihkan saat melihat Akiko yang kesusahan membersihkan pakaian. "Permisi, kau boleh pakai jaketku kalau mau," tawar gadis itu. "Tidak, terima kasih," tolak Akiko tidak suka memakai barang orang lain. "Tapi kau bisa masuk angin," elaknya, merasa tidak tega pada Akiko. "Tidak masalah, aku—" "Bagaimana bisa tidak masalah!?" bentakan wanita itu membuat Akiko terkejut bukan main, apalagi di dalam toilet bergema ini hanya ada mereka berdua. Walau aslinya dia perhatian, tapi suara bentakan itu membuat Akiko teringat masa lalunya. Dia trauma dengan suara kencang, apalagi dengan nada tinggi dari seseorang. Tangan Akiko sampai gemetaran tanpa sadar sambil memundurkan langkah takut. "Maaf, aku tidak bermaksud marah," ucapnya saat sadar bahwa Akiko menahan rasa takut. Belum juga Akiko menanggapi, suara bariton Glen terdengar, padahal toilet itu khusus untuk wanita. "Aiko," panggilnya sambil mengisyaratkan agar mendekat. Akiko hanya tersenyum tipis pada karyawan itu, lalu melenggang pergi bersama Glen yang langsung menarik pergelangan tangannya untuk pergi ke sebuah jendela besar dari lantai 5. "Lihat, siapa yang datang mencarimu," ucap Glen sambil melirik ke bawah sana. Akiko segera mengikuti arah pandang Glen, lalu dia langsung terdiam mengetahui bahwa yang ada di bawah sana adalah papanya, entah apa yang pria itu lakukan di sini. "Sudah aku duga, dia pasti sangat menyesal sudah membuang berlian indah ini," Glen mengusap wajah Akiko lembut, kemudian mengecup bibir gadisnya singkat. Saat itu juga Mr. Eloise masuk ke dalam ruangan dengan nafas tergesa-gesa, beruntung tidak beruntung, dia bertatap muka langsung dengan Akiko yang sudah dia cari tanpa henti. Pria paruh baya itu tersenyum sedih dan berniat memeluk putri keduanya itu. Namun, Akiko justru menjauh saat langkah papanya mendekat. Gadis itu beralih ke belakang tubuh Glen seolah tidak ingin dekat dengan papanya sama sekali. Hal tersebut membuat Glen tersenyum menyeringai, rasanya puas sekali kalau Akiko memilih untuk mendekatinya saja. "Mr. Eloise, ada keperluan apa datang ke kantorku lagi?" tanya Glen sombong. "Aku ingin mengambil putriku kembali," jawab tegas Mr. Eloise membuat Akiko sedikit kaget dengan jawaban yang Mr. Eloise berikan sebab baru pertama kali ini Mr. Eloise mau mengakuinya sebagai seorang putri. "Tapi aku tidak menginginkan uang, lalu apa yang akan aku dapatkan sebagai ganti?" cibir Glen. "Aku punya dua putri," mendengar jawaban itu Akiko kembali terkejut bukan main, jangan bilang papanya ingin menukar Akiko dengan Keinara. Dia benar-benar tidak paham dengan jalan pikir papanya, setelah membuat hidupnya menderita begitu lama, apakah dia juga mau membuat nasib Keinara menderita juga? Tidak bisa, Akiko tidak ingin kakaknya merasakan sakit seperti dirinya, dia tidak ingin kakaknya masuk ke dalam kehidupan gelap ini. "Jadi kau mau menukarnya?" pertanyaan Glen dijawab dengan anggukan pelan dari Mr. Eloise. "Okay, sekarang tinggal menunggu keputusan Aiko. Bagaimana? kau mau tetap bersamaku atau pulang bersama papamu?""Bagaimana, Akiko? mau pergi atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise, pria tua itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang berpikir putrinya itu mau ikut pulang. "Akiko … Papa ingin minta maaf, Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, aku tidak akan sehancur ini jika papa mengatakan itu sejak dulu. Andai Papa memperlakukan aku layaknya seorang anak, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan bicara begitu, Akiko. Pa
*1 hari yang lalu* "Jadi … kau benar-benar menjual Akiko?" tanya Keinara dengan tatapan tidak percaya. Malam ini Keinara memutuskan untuk pulang dan bertanya soal Akiko pada papanya, tapi papanya justru panik dan tidak mau menjawab kejadian sesungguhnya. Untung saja gadis itu punya ide, yaitu bertanya pada pelayan di rumah itu dengan sogokan uang agar bisa menjawab secara jujur. "Pantas saja Akiko mengatakan bahwa kami tidak akan pernah bertemu lagi," lanjut Keinara. "Jawab aku, Papa," tekan Keinara terus menerus sehingga papanya menjawab dengan anggukan pelan. "Kenapa kau begitu jahat pada Akiko? Kenapa?" "Papa tidak memaksanya, Kei, dia tidak menolak atau melawan permintaan Papa. Artinya, dia tidak masalah dengan semua itu," kata Mr. Eloise enteng. "Dari dulu Akiko memang seperti itu, Pa. Dia tidak melawan karena dia tau hasilnya akan sama saja, yaitu kemarahan Papa yang tidak ada ujungnya. Kenapa tidak aku saja? Kenapa Papa selalu memperlakukan Akiko semena-mena? Dia juga Pu
"Glen, aku minta maaf…," lirih Akiko sambil terus menggedor pintu pelan karena tubuhnya lemas. Untung saja beberapa saat kemudian Glen datang membuka pintu, dia menatap tajam tanpa menyadari bahwa Akiko membawa sweater penuh darah. "Aku minta maaf," ucap Akiko lagi. "Mandi dan temani aku duduk," titah Glen, tapi dia sengaja memasang kakinya saat Akiko melangkah sehingga gadis itu tersandung dan membentur ujung meja yang tajam di bagian dahi. Kepalanya terasa sangat pusing sampai ingin ambruk begitu saja, tetapi tetap dia tahan. Akiko masih berusaha bangkit dan berjalan tertatih menuju kamarnya. Dia mandi dan memakai pakaian panjang seperti biasa, kemudian datang ke ruang santai melihat Glen yang sudah menunggunya. "Kemari," Glen menarik tangan Akiko pelan sehingga gadis itu duduk di pangkuannya. "Aku tidak suka kau bicara dengan laki-laki lain. Kau adalah milikku," ucap Glen, mengusap tangan Akiko lalu menciumnya lembut. "Kenapa tanganmu sangat dingin?" Pertanyaan itu tidak
Suasana semakin genting ketika Harley membujuk Glen untuk bicara dengannya terlebih dahulu, sementara Glen sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menghajar orang-orang di hadapannya. "Jangan pulang dulu, biarkan aku melihatmu lebih lama lagi," pinta Harley sambil pergi karena dia harus menyambut tamu-tamu yang datang. "Glen, ikut aku sebentar," ajak Marlen lalu pergi begitu saja meninggalkan Glen. "Tunggu di sini dan jangan makan apa pun sampai aku kembali," Akiko mengangguk menyahuti perintah Glen. Beberapa menit setelah Glen pergi, Harley datang kembali sambil membawakan minuman. "Siapa namamu?" tanyanya sambil tersenyum manis. "Akiko," jawab Akiko seadanya. "Sudah berapa lama kau kenal dengan putraku?" Akiko menatap Harley sekilas, wanita tua itu terlihat sedang menahan sedih. "Beberapa bulan," jawab Akiko. "Boleh aku minta tolong sesuatu?" tanya Harley. Awalnya Akiko terdiam bingung, dia dilarang bicara pada siapapun sekarang. Namun, gadis itu merasa kasihan p
“Aiko," sapa Glen baru saja selesai mandi, pria itu tampak lebih tampan dengan rambut yang belum sepenuhnya kering. Dengan wangi maskulin, dia mulai mendekati Akiko yang sedang menyiapkan sarapan. Kecupan pagi seperti biasa mendarat di bibir Akiko, bahkan gadis itu sampai heran kenapa Glen bisa menciumnya semudah itu karena Glen termasuk orang yang memiliki gengsi tinggi. Dia tidak akan mungkin mau mencium gadis sembarangan, apalagi status Akiko di sini hanyalah sebagai tawanan. "Kenapa kau bangun sangat pagi? Aku jadi tidak bisa melihat wajahmu saat membuka mata," Glen menyandarkan wajahnya di pundak Akiko sehingga gadis itu mengernyit geli. "Aku selalu bangun di jam yang sama," jawab Akiko, tentu saja dia selalu bangun di jam sama karena sudah menyetel alarm. Gadis berambut pendek itu tidak mau Glen marah hanya karena dia telat menyiapkan sarapan. "Hari ini akan ada tamu penting di kantor, pakailah dress yang bagus," ujar Glen. "Mereka tidak akan mengamati aku," sahut Akiko
Sudah dua minggu sejak Akiko pergi dari apartemen Glen, kini dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di ujung kota. Untung saja kartu ATM miliknya tidak dibekukan oleh Mr. Eloise sehingga bisa bertahan hidup untuk sementara waktu dengan sisa uang yang ada. Kontrakan ini hanya berisi satu kamar tidur, dapur yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar mandi, dan ruang tamu. Benar-benar pas untuk Akiko yang tinggal sendirian, hanya saja dengan harga yang pas-pasan membuat kontrakan ini tidak memiliki penghangat ruangan. Beruntung tidak beruntung, Akiko tidak pernah punya selera makan sehingga pengeluaran menjadi lebih sedikit karena dia hanya kembali makanan Kouma yang paling penting. Akiko menatap anjingnya lama, dia bingung bagaimana nasib Kouma jika suatu hari dia tidak ada. Siapa yang akan mengurusnya? Siapa yang akan menemaninya? “Jika aku mati, kau harus mencari rumah baru. Kau harus punya rumah yang lebih nyaman dan hangat,” ucap Akiko sambil mengusap bulu Kouma. Karena tidak
Malam ini udara dingin semakin terasa, menandakan bahwa musim salju akan segera tiba. Gadis bernama Akiko itu kembali bertemu dengan Vian di taman seperti biasa walaupun agak takut karena pernah berpapasan dengan Glen di taman. Namun, Akiko pikir Glen tidak mungkin sering-sering pergi ke taman karena pria itu pasti sangat sibuk. “Kenapa beberapa hari ini kau tidak mau bertemu denganku?” tanya Vian yang bingung kenapa beberapa hari ini Akiko seperti sulit sekali untuk ditemui seolah sedang menghindarinya, padahal sebenarnya Akiko hanya menghindari Glen, bukan Vian. “Aku kelelahan jadi perlu banyak istirahat” jawab Akiko seadanya. "Kira-kira berapa lama lagi obatmu bertahan? Aku bingung kenapa kau tidak meminta obat lagi akhir-akhir ini? Apa kau minum dengan rutin?" tanya Vian khawatir karena obat milik Akiko yang sudah satu bulan itu tidak kunjung habis, padahal biasa untuk kapasitas satu minggu saja. "Aku minum waktu rasa sakitku terasa luar biasa, jika tidak begitu terasa maka
Udara dingin membuat seorang gadis terbatuk beberapa kali sambil memakai jaketnya, dengan sisa tenaga dia mencoba bangkit dari sofa dan berjalan keluar rumah. Akiko kini sedang menatap ke langit, mengamati betapa kosongnya langit malam ini tanpa adanya bintang. Sudah beberapa hari ini dia mengurung diri di kamar dan hanya bertahan dengan air putih dan roti saja, bahkan Vian yang datang pun tidak dibukakan pintu sehingga pria itu berpikir Akiko sudah pindah tempat tinggal. Jika tau kalau ujungnya akan asing seperti ini, dia tidak akan mengungkapkan perasaan pada Akiko. Biarkan saja perasaan cintanya terkubur asal mereka masih punya hubungan baik. "Dingin," gumam Akiko. Dengan kondisi yang memburuk, gadis itu justru tidak pernah minum obat atau pergi ke dokter. Dia hanya berbaring sepanjang waktu berharap kematian cepat menjemputnya. Namun, hari ini Akiko berniat pergi ke panti asuhan tempat Ethan tinggal. Anak laki-laki yang pernah Akiko rawat itu pasti sudah menunggunya, entah ba
“Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i
“Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa
Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.
“Keinara,” panggil Vian, seorang Dokter yang dulu merawat Akiko. Pria itu berjalan mendekati gadis yang tengah duduk di taman kota sambil menunduk dengan wajah sedih. “Vian … adikku sudah meninggal, dia sudah tidak ada,” ucapan Keinara tentu membuat Vian kaget bukan main sebab mereka masih belum bertemu dengan Akiko sekalipun. Keinara memberikan sebuah surat dari rumah sakit yang mengatakan bahwa Akiko Eloise meninggal karena Kanker 1 minggu yang lalu. “1 minggu yang lalu? Kenapa suratnya baru kau dapatkan sekarang?” bingung Vian terus aja menenangkan Keinara. Sebagai Dokter Vian tau sekali kalau surat kabar kematian seseorang pasti langsung dikirim hari itu juga. “Kei, sebenarnya Akiko menitipkan sesuatu padaku waktu terakhir kami bertemu,” Vian mengambil sesuatu dari tas, yaitu ponsel milik Akiko yang sudah dititipkan sejak lama. Gadis itu mengatakan ponsel ini hanya boleh diberikan jika dia sudah tidak ada, jadi Vian rasa inilah akak tu yang tepat. Tanpa basa-basi lagi Keinar
“Dulu aku adalah pria yang tidak punya rasa kemanusiaan, bahkan aku bisa menghabisi nyawa dengan mudah tanpa peduli rasa sakit orang lain. Namun, gadis itu datang dalam hidupku dan mengajarkan tentang bagaimana kehidupan yang sesungguhnya.” “Mungkin ini adalah Karma karena tidak bisa menghargai nyawa orang lain sehingga takdir seolah ingin selalu memisahkanku dengan Aiko. Sekarang aku selalu merasa takut akan kematian, aku selalu takut kehilangan Aiko, aku takut dia merasa sakit, dan aku takut dia pergi. “Rasa takutnya luar biasa sampai dadaku terasa sesak, aku tidak bisa berpikir ataupun tidur dengan nyenyak. Inikah rasa takut yang aku abaikan abaikan dulu? Aku benar-benar tersiksa dengan rasa takut ini, aku ingin Aiko kembali ke pelukanku seperti semula.” *** “Bagaimana keadaannya?” tanya Guston saat baru sampai di rumah sakit. Sudah 5 hari Akiko belum juga sadar, gadis itu seolah terlalu nyaman dalam mimpi dan tidak ingin melihat dunia lagi. “Masih sama,” jawab Glen dengan pa
“Sial! Aku tidak bisa menemukannya,” desis Glen frustasi karena belum juga menemukan keberadaan Akiko, sementara acara perayaan juga hampir selesai. Jika para tamu pergi maka Glen juga tidak bisa bertahan karena Mr. Eloise akan curiga dengan keberadaannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang pelayanan rumah yang kaget karena tidak pernah melihat Glen. Dia pikir Glen adalah tamu pesta yang tidak sengaja masuk ke dalam rumah. “Sudah berapa lama kau bekerja di rumah ini?” tanya Glen langsung pada inti. “Sudah lama, sejak nyonya Hinami masih ada,” jawabnya jujur. “Jadi kau tau soal Aiko? Di mana dia sekarang?” tanya Glen sehingga pelayanan itu terlihat kaget, lalu menjauh perlahan. “Aku tidak tahu—” “Jawab jujur, atau aku akan menembak kepalamu sekarang juga,” ancam pria berambut hitam itu. Awalnya pelayan masih terlihat ragu dan takut, tapi beberapa saat kemudian dia menghela nafas panjang dengan air mata menggenang. “Akhirnya kau datang, Tuan. Aku benar-benar tida
Suara ketukan pintu membuat lamunan Glen pudar. Sudah satu minggu sejak Akiko tidak tinggal di apartemen ini, rasanya sangat lama sampai hidupnya terasa hampa. Akiko memberitahu bahwa dia tidak boleh minum alkohol atau merokok, tapi bukannya lebih sehat kini pria itu terlihat stress dan murung. “Glen, ini Mommy,” ucap Harley dari luar pintu sehingga Glen segera membukanya. “Ada apa, Mom?” tanya Glen penasaran karena tak biasanya Harley datang seperti ini. “Tidak apa, Mommy hanya merindukanmu. Kau tidak pernah datang ke rumah sejak Akiko pindah,” jelas Harley. “Iya,” sahut Glen dengan pasrah lalu duduk di sofa sambil meminum sebotol air. “Kau terlihat lemas, Glen, apa kau sakit?” tanya Harley penasaran melihat wajah putranya yang pucat dengan kantung mata jelas. “Tidak, aku hanya terlalu banyak bekerja,” sahut Glen seadanya. “Bukan begini caranya jika kau ingin menghibur diri supaya tidak merindukan Akiko, kau tidak memperhatikan kesehatanmu sendiri,” ujar Harley. Mendenga
“Akiko,” Mr. Eloise langsung memeluk putrinya ketika baru saja sampai di rumah mewah itu. Glen baru saja sampai dengan hati yang sangat berat karena harus memulangkan gadisnya itu. Namun, Glen ngerasa Akiko akan selalu terluka jika tinggal bersamanya dengan sifat yang masih sangat egois dan kasar. Di posisi lain, Akiko masih terdiam seribu bahasa karena ini pertama kalinya dia dipeluk oleh papanya sendiri. Rasanya aneh, sedih, dan senang sekaligus. “Akhirnya kau kembali,” ucap Mr. Eloise sambil membelai rambut Akiko pelan. “Papa menyetujui permintaan Glen?” tanya Akiko memastikan. “Iya, tentu, Papa sudah berkali-kali bicara dengannya untuk melepaskanmu,” sahutnya. “Tapi … Papa tidak akan mengorbankan Kak Keinara untuk aku, ‘kan?” tanya Akiko lagi. “Aiko, aku sudah melepaskanmu dengan baik. Tidak akan ada lagi riwayat hutang antara aku atau Mr. Eloise, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” jelas Glen. “Kau ataupun kakakmu akan aman, kalian akan tinggal di sini bersama
Gadis itu tertidur lelap dengan tangan yang dingin terus gemetaran, walaupun Glen sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Sesekali ia terbatuk sambil merintih kesakitan, nafasnya begitu pelan sampai Glen sering memeriksanya karena khawatir. "Suhu tubuhnya naik," bingung Glen melihat Akiko kedinginan, tapi kepalanya panas sampai berkeringat. Dia terus mengusap kepala gadis itu, berusaha memberikan ketenangan agar bisa tidur dengan nyenyak. Namun, beberapa saat kemudian Akiko terbangun dari tidurnya karena terbatuk hebat. "Minumlah," ujar Glen sembari memberikan sebotol air, tapi tenggorokannya terasa begitu sakit saat minum hingga terbatuk kembali. "Kita akan ke rumah sakit nanti," ucap Glen sambil merapikan rambut pendek Akiko, tapi tangannya langsung terhenti ketika melihat banyaknya rambut rontok di sela-sela jarinya. "Jangan sentuh rambutku, tanganmu bisa kotor," ucap Akiko sambil membersihkan tangan Glen, gadis itu masih terlihat sangat tenang walau mati-matian menahan sakit.