"Glen!" teriakan seorang wanita membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan, awalnya mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Ternyata, dialah tamu penting yang dimaksud Glen tadi.
Wanita itu memakai make up tebal bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen, padahal sebelumnya mereka hanya kenal sebagai rekan bisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak sehingga tentu membuat Glen geram, apalagi pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja sehingga wanita itu terjatuh ke lantai karena memakai sepatu high heels walau dorongan tidak terlalu kencang "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak paham posisimu, hah?" tanya Glen dengan nada mengintimidasi, sementara Akiko refleks ingin menolong Yelena. Namun, pria itu menarik tangannya kasar agar tidak bergerak. "Duduk," titahnya pada Yelena. Dia nampak kesal, tapi tidak berani melawan. Akhirnya, dia duduk berhadapan dengan Glen di sofa. "Aiko, kemari," ujar Glen menarik pinggul Akiko agar gadis itu duduk di pangkuannya, lalu tersenyum sombong pada Yelena. "Lihat, sepertinya kau kalah hebat dari Aiko." "Kenapa? dia bahkan tidak sexy," ketus Yelena sambil memandangi Akiko rendah. Memang, untuk ideal tubuh tentu saja dia kalah jauh dengan Yelena yang berisi seperti gitar Spanyol. "Bukan soal sexy, tapi … apakah kau bisa duduk di pangkuanku tanpa ekspresi seperti dia?" tantang Glen dengan bangga mengusap paha Akiko. "Iya kan, Aiko?" mendengar pertanyaan itu, Akiko hanya mengangguk walau tidak paham inti pembicaraan. "Aku suka gadis seperti Aiko, dia bisa membuatku lebih tertarik. Sedangkan kau bahkan sudah gemetar jika berdekatan denganku.” Akiko menatap Glen masih dengan tatapan acuh, dia tidak peduli apa mau pria itu karena kalau melawan pun dia pasti kalah. Mengetahui Akiko sedang menatapnya, Glen tersenyum dengan sifat angkuh Akiko. "Sepertinya … kau sangat berpengalaman, ya? Kau bahkan tidak terganggu dengan sesuatu yang berdiri di bawah sana.” Mendengar ucapan Glen, Akiko sontak berdiri dari pangkuannya kaget karena ternyata dari tadi libido Glen sudah naik. Pria itu sengaja ingin menyentuh tubuh Akiko lebih lama. "Berapa banyak pria yang sudah bermain denganmu?" tanya Glen sembari duduk meminum wine. "Sorry?" tanya Akiko kaget, karena Glen bertanya tentang hal yang mengejutkan. "Berapa banyak pria yang suka menikmati tubuhmu?" ulang Glen menekan setiap kata. Karena jengkel pada pertanyaan tidak sopan dari Glen, Akiko memutuskan untuk diam. Namun, hal tersebut membuat Glen marah karena merasa diabaikan sehingga ia melempar segelas wine tepat pada wajah Akiko. "Sifat angkuhmu itu benar-benar membuatku kesal." "Yelena, kau tau apa yang harus kau lakukan sekarang?" titah Glen sehingga Yelena mulai beranjak menyentuh tubuh Glen dengan jari-jari lentiknya, bahkan dia sengaja mengeluarkan suara erotis untuk menggoda. Pria itu memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan dari Yelena sementara Akiko yang risih memutuskan untuk keluar dari ruangan itu karena tidak mau matanya ternodai adegan tidak senonoh itu. Glen pikir, Akiko tidak bergeming saat dia sentuh karena sudah terbiasa bermain dengan laki-laki, padahal itu semua karena Akiko tidak perduli akan apa pun. Glen adalah pria pertama yang menyentuhnya. Akiko pergi ke toilet berniat membasuh wajahnya dari wine. Namun, karena tidak bawa pakaian ganti, dia hanya membersihkan seadanya saja. Saat melihat ke arah cermin, Akiko hanya melihat sosok gadis menyedihkan. Dia tidak punya ekspresi banyak untuk mengungkapkan perasaan baik marah, sedih, ataupun senang. Lalu seorang karyawan wanita masuk. Awalnya dia acuh dengan urusan sendiri, tapi perhatiannya teralihkan saat melihat Akiko yang kesusahan membersihkan pakaian. "Permisi, kau boleh pakai jaketku kalau mau," tawar gadis itu. "Tidak, terima kasih," tolak Akiko tidak suka memakai barang orang lain. "Tapi kau bisa masuk angin," elaknya, merasa tidak tega pada Akiko. "Tidak masalah, aku—" "Bagaimana bisa tidak masalah!?" bentakan wanita itu membuat Akiko terkejut bukan main, apalagi di dalam toilet bergema ini hanya ada mereka berdua. Walau aslinya dia perhatian, tapi suara bentakan itu membuat Akiko teringat masa lalunya. Dia trauma dengan suara kencang, apalagi dengan nada tinggi dari seseorang. Tangan Akiko sampai gemetaran tanpa sadar sambil memundurkan langkah takut. "Maaf, aku tidak bermaksud marah," ucapnya saat sadar bahwa Akiko menahan rasa takut. Belum juga Akiko menanggapi, suara bariton Glen terdengar, padahal toilet itu khusus untuk wanita. "Aiko," panggilnya sambil mengisyaratkan agar mendekat. Akiko hanya tersenyum tipis pada karyawan itu, lalu melenggang pergi bersama Glen yang langsung menarik pergelangan tangannya untuk pergi ke sebuah jendela besar dari lantai 5. "Lihat, siapa yang datang mencarimu," ucap Glen sambil melirik ke bawah sana. Akiko segera mengikuti arah pandang Glen, lalu dia langsung terdiam mengetahui bahwa yang ada di bawah sana adalah papanya, entah apa yang pria itu lakukan di sini. "Sudah aku duga, dia pasti sangat menyesal sudah membuang berlian indah ini," Glen mengusap wajah Akiko lembut, kemudian mengecup bibir gadisnya singkat. Saat itu juga Mr. Eloise masuk ke dalam ruangan dengan nafas tergesa-gesa, beruntung tidak beruntung, dia bertatap muka langsung dengan Akiko yang sudah dia cari tanpa henti. Pria paruh baya itu tersenyum sedih dan berniat memeluk putri keduanya itu. Namun, Akiko justru menjauh saat langkah papanya mendekat. Gadis itu beralih ke belakang tubuh Glen seolah tidak ingin dekat dengan papanya sama sekali. Hal tersebut membuat Glen tersenyum menyeringai, rasanya puas sekali kalau Akiko memilih untuk mendekatinya saja. "Mr. Eloise, ada keperluan apa datang ke kantorku lagi?" tanya Glen sombong. "Aku ingin mengambil putriku kembali," jawab tegas Mr. Eloise membuat Akiko sedikit kaget dengan jawaban yang Mr. Eloise berikan sebab baru pertama kali ini Mr. Eloise mau mengakuinya sebagai seorang putri. "Tapi aku tidak menginginkan uang, lalu apa yang akan aku dapatkan sebagai ganti?" cibir Glen. "Aku punya dua putri," mendengar jawaban itu Akiko kembali terkejut bukan main, jangan bilang papanya ingin menukar Akiko dengan Keinara. Dia benar-benar tidak paham dengan jalan pikir papanya, setelah membuat hidupnya menderita begitu lama, apakah dia juga mau membuat nasib Keinara menderita juga? Tidak bisa, Akiko tidak ingin kakaknya merasakan sakit seperti dirinya, dia tidak ingin kakaknya masuk ke dalam kehidupan gelap ini. "Jadi kau mau menukarnya?" pertanyaan Glen dijawab dengan anggukan pelan dari Mr. Eloise. "Okay, sekarang tinggal menunggu keputusan Aiko. Bagaimana? kau mau tetap bersamaku atau pulang bersama papamu?"Di sebuah gedung besar, acara pernikahan Glen dan Akiko sedang dilakukan. Pernikahan ini tentu dilakukan secara privat, hanya ada keluarga dan beberapa tamu rekan kerja saja. Namun, semua orang mengatakan bahwa pernikahan ini adalah pernikahan paling mewah yang pernah mereka lihat. Dengan nuansa dekorasi warna putih, aula pernikahan kini terasa sangat indah. Lagu lagu dimainkan langsung oleh musisi profesional dengan gaya classic nan elegan.Sebenarnya, Akiko tidak membayangkan bahwa acaranya akan semewah ini karena dia tahu Glen kurang suka sesuatu yang heboh. Namun, atas bujukan dari keluarganya Glen jadi berpikir bahwa pernikahan ini memang harus dirayakan semewah mungkin. “Kau gugup?” tanya Guston, Papa Akiko. “Tentu, jantungku terus berdetak kencang sejak tadi,” sahut Akiko yang masih berada di ruang rias, sementara Glen sudah terlebih dahulu ke aula untuk menyapa tamu. “Bukankah Glen bilang tidak akan terlalu mewah?” tanya Akiko. “Iya, beberapa waktu lalu dia ingin acara yan
“Bagaimana bisa… bagaimana bisa kau masih hidup?” tanya Keinara masih sambil terus mengamati wajah Akiko. Tangannya bergetar hemat, air matanya turun seolah masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. Akiko, adiknya yang dia ketahuilah sudah meninggal 5 tahun yang lalu kini berdiri di hadapannya. Akiko ingin sekali mengelak pertanyaan itu, tapi mana mungkin Keinara percaya setelah melihat Glen.“Bicaralah, kau Adikku, ‘kan?” tanyanya lagi.“Iya, ini aku,” jawab Akiko pasrah. Mendengar suara lembut yang selalu dia rindukan membuat tangis Keinara semakin pecah, lalu memeluk Akiko dengan sangat erat. “Kau baik-baik saja? Oh… lihatlah dirimu, kau sangat cantik. Kenapa kau menghilang begitu saja?” tanya Keinara sembari mengusap wajah Akiko. “Aku pergi berobat,” jawab Akiko seadanya. “Tapi aku mendapatkan surat dari rumah sakit bahwa kau sudah meninggal, aku juga mengunjungi Makam atas nama Akiko. Apakah semua itu…,” ucapan Keinara menggantung ketika mengalihkan pandangannya pada Glen.
“Kau memang tidak tau diri, Akiko. Glen sudah menanggung hidupmu selama bertahun-tahun untuk berobat dan mencukupi semua kebutuhanmu, tapi kau tidak bisa memberikan apapun?” pertanyaan dari Eva membuat Akiko terdiam sambil mengamati langkah wanita itu yang semakin mendekati Glen di ranjang. “Glen memang terlalu baik, dia tidak tahu kalau selama ini kau hanya memanfaatkan dia,” lanjut Eva. “Aku tidak memanfaatkan dia,” tegas Akiko menolak. “Lalu? Apa yang bisa kau lakukan untuk membalas semua kebaikannya? Jika kau sudah dewasa pasti kau paham maksudku,” Eva menatap Glen dengan penuh gairah sembari naik ke atas ranjang di mana Glen berbaring sambil memegangi kepalanya yang pusing. “Oh… Glen, dari pada kau bersama Akiko yang tidak bisa apa apa, lebih baik bersamaku saja. Aku bisa memberikan kenikmatan yang tiada tara,” bisik Eva. Dokter perempuan itu mengusap wajah Glen, tersenyum puas karena akhirnya bisa menyentuh Glen. Bahkan dia bisa merasakan deru nafas pria yang menjadi idamann
“Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i
“Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa
Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.