"Bagaimana, Akiko? mau pergi atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise, pria tua itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko.
"Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang berpikir putrinya itu mau ikut pulang. "Akiko … Papa ingin minta maaf, Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, aku tidak akan sehancur ini jika papa mengatakan itu sejak dulu. Andai Papa memperlakukan aku layaknya seorang anak, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan bicara begitu, Akiko. Papa benar-benar minta maaf atas segalanya," mohon Mr. Eloise lagi. "Aku sudah memaafkan Papa … sudah dari dulu, tapi jangan ajak aku kembali hanya untuk merasakan gelapnya masa lalu yang aku lewati sendirian di rumah itu," kelakar Akiko,kali ini sambil membuka lengan kemejanya yang menunjukkan banyak bekas luka di sana. Melihat hal tersebut, Mr. Eloise tentunya kaget. Dia tidak menyangka perbuatan jahatnya akan berakibat sangat buruk bagi Akiko sampai sekarang. Luka itu juga belum seberapa dengan banyaknya luka yang dia sembunyikan di balik pakaian. "Tapi, Akiko—" "Papa cukup jaga kak Keinara dengan baik, dibanding aku … dia lebih punya masa depan," ujar Akiko, berbalik badan ingin kembali ke ruangan Glen lagi. "Papa janji akan merawatmu dengan baik," tegas Mr. Eloise. "Lalu apa bedanya jika papa memberikan Kak Keinara sebagai gantiku untuk menjadi tawanan Glen? Keputusan Papa sudah salah sejak awal, aku tidak akan membiarkan kak Keinara mendapat rasa sakit seperti yang aku alami. Masa depannya lebih cerah dari pada aku," jelas Akiko. "Kau juga punya masa depan, Akiko. Papa janji akan menyayangimu dengan baik," lanjut Mr. Eloise, masih berusaha membujuk Akiko. "Tidak." Akiko menghela nafas gusar. "Aku tidak punya banyak waktu lagi," Akiko melenggang masuk ke ruangan Glen, meninggalkan Mr. Eloise dengan segala rasa penyesalannya. Akiko teramat menyayangi Keinara lebih dari apa pun. Mungkin bisa dibilang Keinara adalah satu-satunya orang yang Akiko sayang di dunia ini, bahkan untuk menukar nyawa saja tidak masalah jika memang untuk Keinara. "Gadis pintar," puji Glen sambil menyambut pinggul Akiko seperti biasa walaupun sebenarnya dia agak kaget karena ternyata Akiko lebih memilih tetap bersamanya, padahal dia bisa saja menyelamatkan diri karena punya kesempatan. "Aaaagggghhh!" teriakan seorang wanita membuat lamunan Akiko buyar. "Ah iya, aku lupa," Glen memencet sebuah tombol, lalu pintu terbuka menunjukkan seorang wanita yang sudah berlumuran darah tergeletak di lantai. Dia adalah Yelena, wanita yang beberapa waktu lalu bermain panas dengan Glen. "Diam," tegas Glen saat Akiko berniat menolong Yelena, dia menembak beberapa kali tubuh Yelena sampai wanita itu tak lagi bergerak dan menghembuskan nafas terakhir. "Itu yang akan terjadi padamu jika kau berani melanggar batas.” "Ke … kenapa … kenapa kau membunuhnya?" tanya Akiko dengan suara gemetaran merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Rasanya bahkan sampai mual melihat manusia meninggal begitu tragis di depan mata sendiri. "Karena aku tidak menyukainya," jawab Glen dengan enteng. "Ada orang berjuang begitu keras untuk hidup, tapi kenapa kau menghabisi nyawa seseorang dengan semudah itu?" pertanyaan Akiko sontak membuat emosi Glen terpancing. Dia menodongkan pistolnya tepat ke dahi Akiko, bahkan ujungnya masih terasa panas. Namun, Glen bingung karena Akiko justru sangat tenang dan tidak bergeming sama sekali. Gadis itu memberikan tatapan kosong seolah tidak peduli kalau Glen bisa membunuhnya sekarang juga "Tembak saja," ujar Akiko menatap datar seperti biasa sehingga Glen mengerutkan alis bingung sambil menggeram marah, lalu menurunkan pistolnya. "Tunggu saja giliranmu," desisnya, kemudian menyuruh Akiko untuk bersiap karena mereka akan pulang. Saat berada di mobil sambil menyetir, Glen masih bingung kenapa Akiko seperti tidak punya rasa takut menghadap kematian. "Aiko, kenapa kau ingin mati?" tanyanya. "Aku tidak ingin mati," jawab Akiko seadanya. "Lalu kenapa kau tidak takut saat aku ingin menembakmu?" tanya Glen lagi. "Karena aku tidak peduli, memangnya aku bisa memilih antara hidup atau mati?" hardik Akiko, membuat Glen tersenyum menatap gadis yang memejamkan mata sambil bersandar pada jendela mobil. "Benar, hidupmu ada di tanganku," ucap Glen. *** Akiko mengerjapkan mata, menyadari bahwa sekarang dia sudah tidak berada di mobil lagi, melainkan sebuah kamar mewah dengan nuansa hitam. Beberapa detik kemudian Akiko segera menghindar saat sadar bahwa Glen sedang menciumi bibirnya tanpa henti. "Ah … aku suka bibirmu," ucap Glen yang berada di atas tubuh Akiko dengan senyuman menghiasi wajah tampan itu. Gadis itu buru-buru mengecek seluruh pakaiannya dan ternyata masih aman, Glen tidak menyentuhnya terlalu banyak sehingga dia menghela nafas lega. "Sepertinya aku terlalu mabuk karena sekarang kau terlihat sangat cantik," Glen menyelipkan helaian rambut Akiko dan mengamati wajah itu dengan tatapan dalam. Karena heran dengan sikap Glen yang berubah total, Akiko pun meletakkan telapak tangannya untuk mengecek suhu. Dan benar saja, ternyata suhu tubuh Glen sangat panas. Kenapa bisa? Sebab beberapa saat lalu Glen masih sehat-sehat saja. "Apa mungkin karena dia terlalu banyak minum alkohol?" bingung Akiko dalam hati. Gadis itu beranjak mengambil kotak obat, kemudian mengambil obat penurun panas. "Kau hanya demam," kata Akiko sambil menyiapkan sesendok obat. "Aku tidak pernah sakit selama ini," jelas Glen tiba-tiba, sementara Akiko menunduk sebentar. "Kau beruntung, aku sudah sakit sejak dulu," jawabnya dalam hati, kemudian menata kembali bantal dan membaringkan Glen dan memasangkan selimut agar pria itu bisa tidur dengan nyaman. "Kalau kau bersikap manis seperti ini … aku bisa jatuh cinta padamu," ucap Glen dengan wajah memerah. "Aku tidak perduli dengan apa maumu, kau mau memperlakukan aku dengan kejam seperti biasa juga tidak masalah. Hanya saja jangan pernah jatuh cinta padaku, aku bukan gadis yang bisa kau harapkan untuk teman hidup," tegur Akiko, kemudian menghela nafas gusar berniat pergi dari kamar Glen. "Tidurlah di sini," pinta Glen. "Aku tidur di kamarku saja," sahut Akiko. Tapi, Glen menahan tangannya kencang. "Sekali saja, please," mohon pria itu. Baru kali ini dia mau merendahkan sifat kerasnya pada seseorang. Akhirnya Akiko berbaring dengan Glen yang memeluknya erat. Akiko bahkan tidak percaya, bahwa sekarang dia sedang tidur satu ranjang dengan pria psikopat kejam. Glen sangat handal mengendalikan permainan sadisnya sehingga selama ini aman dari kejaran hukum atau polisi, bahkan sepertinya kasus kriminalnya juga tidak diketahui siapa pun. "Aiko, bagaimana jika suatu hari aku benar-benar jatuh cinta padamu?" tanya Glen tiba-tiba. "Maka kau harus siap menahan rasa sakitnya," jawab Akiko pelan.Di sebuah gedung besar, acara pernikahan Glen dan Akiko sedang dilakukan. Pernikahan ini tentu dilakukan secara privat, hanya ada keluarga dan beberapa tamu rekan kerja saja. Namun, semua orang mengatakan bahwa pernikahan ini adalah pernikahan paling mewah yang pernah mereka lihat. Dengan nuansa dekorasi warna putih, aula pernikahan kini terasa sangat indah. Lagu lagu dimainkan langsung oleh musisi profesional dengan gaya classic nan elegan.Sebenarnya, Akiko tidak membayangkan bahwa acaranya akan semewah ini karena dia tahu Glen kurang suka sesuatu yang heboh. Namun, atas bujukan dari keluarganya Glen jadi berpikir bahwa pernikahan ini memang harus dirayakan semewah mungkin. “Kau gugup?” tanya Guston, Papa Akiko. “Tentu, jantungku terus berdetak kencang sejak tadi,” sahut Akiko yang masih berada di ruang rias, sementara Glen sudah terlebih dahulu ke aula untuk menyapa tamu. “Bukankah Glen bilang tidak akan terlalu mewah?” tanya Akiko. “Iya, beberapa waktu lalu dia ingin acara yan
“Bagaimana bisa… bagaimana bisa kau masih hidup?” tanya Keinara masih sambil terus mengamati wajah Akiko. Tangannya bergetar hemat, air matanya turun seolah masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. Akiko, adiknya yang dia ketahuilah sudah meninggal 5 tahun yang lalu kini berdiri di hadapannya. Akiko ingin sekali mengelak pertanyaan itu, tapi mana mungkin Keinara percaya setelah melihat Glen.“Bicaralah, kau Adikku, ‘kan?” tanyanya lagi.“Iya, ini aku,” jawab Akiko pasrah. Mendengar suara lembut yang selalu dia rindukan membuat tangis Keinara semakin pecah, lalu memeluk Akiko dengan sangat erat. “Kau baik-baik saja? Oh… lihatlah dirimu, kau sangat cantik. Kenapa kau menghilang begitu saja?” tanya Keinara sembari mengusap wajah Akiko. “Aku pergi berobat,” jawab Akiko seadanya. “Tapi aku mendapatkan surat dari rumah sakit bahwa kau sudah meninggal, aku juga mengunjungi Makam atas nama Akiko. Apakah semua itu…,” ucapan Keinara menggantung ketika mengalihkan pandangannya pada Glen.
“Kau memang tidak tau diri, Akiko. Glen sudah menanggung hidupmu selama bertahun-tahun untuk berobat dan mencukupi semua kebutuhanmu, tapi kau tidak bisa memberikan apapun?” pertanyaan dari Eva membuat Akiko terdiam sambil mengamati langkah wanita itu yang semakin mendekati Glen di ranjang. “Glen memang terlalu baik, dia tidak tahu kalau selama ini kau hanya memanfaatkan dia,” lanjut Eva. “Aku tidak memanfaatkan dia,” tegas Akiko menolak. “Lalu? Apa yang bisa kau lakukan untuk membalas semua kebaikannya? Jika kau sudah dewasa pasti kau paham maksudku,” Eva menatap Glen dengan penuh gairah sembari naik ke atas ranjang di mana Glen berbaring sambil memegangi kepalanya yang pusing. “Oh… Glen, dari pada kau bersama Akiko yang tidak bisa apa apa, lebih baik bersamaku saja. Aku bisa memberikan kenikmatan yang tiada tara,” bisik Eva. Dokter perempuan itu mengusap wajah Glen, tersenyum puas karena akhirnya bisa menyentuh Glen. Bahkan dia bisa merasakan deru nafas pria yang menjadi idamann
“Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i
“Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa
Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.