"Bagaimana, Akiko? mau pergi atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise, pria tua itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko.
"Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang berpikir putrinya itu mau ikut pulang. "Akiko … Papa ingin minta maaf, Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, aku tidak akan sehancur ini jika papa mengatakan itu sejak dulu. Andai Papa memperlakukan aku layaknya seorang anak, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan bicara begitu, Akiko. Papa benar-benar minta maaf atas segalanya," mohon Mr. Eloise lagi. "Aku sudah memaafkan Papa … sudah dari dulu, tapi jangan ajak aku kembali hanya untuk merasakan gelapnya masa lalu yang aku lewati sendirian di rumah itu," kelakar Akiko,kali ini sambil membuka lengan kemejanya yang menunjukkan banyak bekas luka di sana. Melihat hal tersebut, Mr. Eloise tentunya kaget. Dia tidak menyangka perbuatan jahatnya akan berakibat sangat buruk bagi Akiko sampai sekarang. Luka itu juga belum seberapa dengan banyaknya luka yang dia sembunyikan di balik pakaian. "Tapi, Akiko—" "Papa cukup jaga kak Keinara dengan baik, dibanding aku … dia lebih punya masa depan," ujar Akiko, berbalik badan ingin kembali ke ruangan Glen lagi. "Papa janji akan merawatmu dengan baik," tegas Mr. Eloise. "Lalu apa bedanya jika papa memberikan Kak Keinara sebagai gantiku untuk menjadi tawanan Glen? Keputusan Papa sudah salah sejak awal, aku tidak akan membiarkan kak Keinara mendapat rasa sakit seperti yang aku alami. Masa depannya lebih cerah dari pada aku," jelas Akiko. "Kau juga punya masa depan, Akiko. Papa janji akan menyayangimu dengan baik," lanjut Mr. Eloise, masih berusaha membujuk Akiko. "Tidak." Akiko menghela nafas gusar. "Aku tidak punya banyak waktu lagi," Akiko melenggang masuk ke ruangan Glen, meninggalkan Mr. Eloise dengan segala rasa penyesalannya. Akiko teramat menyayangi Keinara lebih dari apa pun. Mungkin bisa dibilang Keinara adalah satu-satunya orang yang Akiko sayang di dunia ini, bahkan untuk menukar nyawa saja tidak masalah jika memang untuk Keinara. "Gadis pintar," puji Glen sambil menyambut pinggul Akiko seperti biasa walaupun sebenarnya dia agak kaget karena ternyata Akiko lebih memilih tetap bersamanya, padahal dia bisa saja menyelamatkan diri karena punya kesempatan. "Aaaagggghhh!" teriakan seorang wanita membuat lamunan Akiko buyar. "Ah iya, aku lupa," Glen memencet sebuah tombol, lalu pintu terbuka menunjukkan seorang wanita yang sudah berlumuran darah tergeletak di lantai. Dia adalah Yelena, wanita yang beberapa waktu lalu bermain panas dengan Glen. "Diam," tegas Glen saat Akiko berniat menolong Yelena, dia menembak beberapa kali tubuh Yelena sampai wanita itu tak lagi bergerak dan menghembuskan nafas terakhir. "Itu yang akan terjadi padamu jika kau berani melanggar batas.” "Ke … kenapa … kenapa kau membunuhnya?" tanya Akiko dengan suara gemetaran merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Rasanya bahkan sampai mual melihat manusia meninggal begitu tragis di depan mata sendiri. "Karena aku tidak menyukainya," jawab Glen dengan enteng. "Ada orang berjuang begitu keras untuk hidup, tapi kenapa kau menghabisi nyawa seseorang dengan semudah itu?" pertanyaan Akiko sontak membuat emosi Glen terpancing. Dia menodongkan pistolnya tepat ke dahi Akiko, bahkan ujungnya masih terasa panas. Namun, Glen bingung karena Akiko justru sangat tenang dan tidak bergeming sama sekali. Gadis itu memberikan tatapan kosong seolah tidak peduli kalau Glen bisa membunuhnya sekarang juga "Tembak saja," ujar Akiko menatap datar seperti biasa sehingga Glen mengerutkan alis bingung sambil menggeram marah, lalu menurunkan pistolnya. "Tunggu saja giliranmu," desisnya, kemudian menyuruh Akiko untuk bersiap karena mereka akan pulang. Saat berada di mobil sambil menyetir, Glen masih bingung kenapa Akiko seperti tidak punya rasa takut menghadap kematian. "Aiko, kenapa kau ingin mati?" tanyanya. "Aku tidak ingin mati," jawab Akiko seadanya. "Lalu kenapa kau tidak takut saat aku ingin menembakmu?" tanya Glen lagi. "Karena aku tidak peduli, memangnya aku bisa memilih antara hidup atau mati?" hardik Akiko, membuat Glen tersenyum menatap gadis yang memejamkan mata sambil bersandar pada jendela mobil. "Benar, hidupmu ada di tanganku," ucap Glen. *** Akiko mengerjapkan mata, menyadari bahwa sekarang dia sudah tidak berada di mobil lagi, melainkan sebuah kamar mewah dengan nuansa hitam. Beberapa detik kemudian Akiko segera menghindar saat sadar bahwa Glen sedang menciumi bibirnya tanpa henti. "Ah … aku suka bibirmu," ucap Glen yang berada di atas tubuh Akiko dengan senyuman menghiasi wajah tampan itu. Gadis itu buru-buru mengecek seluruh pakaiannya dan ternyata masih aman, Glen tidak menyentuhnya terlalu banyak sehingga dia menghela nafas lega. "Sepertinya aku terlalu mabuk karena sekarang kau terlihat sangat cantik," Glen menyelipkan helaian rambut Akiko dan mengamati wajah itu dengan tatapan dalam. Karena heran dengan sikap Glen yang berubah total, Akiko pun meletakkan telapak tangannya untuk mengecek suhu. Dan benar saja, ternyata suhu tubuh Glen sangat panas. Kenapa bisa? Sebab beberapa saat lalu Glen masih sehat-sehat saja. "Apa mungkin karena dia terlalu banyak minum alkohol?" bingung Akiko dalam hati. Gadis itu beranjak mengambil kotak obat, kemudian mengambil obat penurun panas. "Kau hanya demam," kata Akiko sambil menyiapkan sesendok obat. "Aku tidak pernah sakit selama ini," jelas Glen tiba-tiba, sementara Akiko menunduk sebentar. "Kau beruntung, aku sudah sakit sejak dulu," jawabnya dalam hati, kemudian menata kembali bantal dan membaringkan Glen dan memasangkan selimut agar pria itu bisa tidur dengan nyaman. "Kalau kau bersikap manis seperti ini … aku bisa jatuh cinta padamu," ucap Glen dengan wajah memerah. "Aku tidak perduli dengan apa maumu, kau mau memperlakukan aku dengan kejam seperti biasa juga tidak masalah. Hanya saja jangan pernah jatuh cinta padaku, aku bukan gadis yang bisa kau harapkan untuk teman hidup," tegur Akiko, kemudian menghela nafas gusar berniat pergi dari kamar Glen. "Tidurlah di sini," pinta Glen. "Aku tidur di kamarku saja," sahut Akiko. Tapi, Glen menahan tangannya kencang. "Sekali saja, please," mohon pria itu. Baru kali ini dia mau merendahkan sifat kerasnya pada seseorang. Akhirnya Akiko berbaring dengan Glen yang memeluknya erat. Akiko bahkan tidak percaya, bahwa sekarang dia sedang tidur satu ranjang dengan pria psikopat kejam. Glen sangat handal mengendalikan permainan sadisnya sehingga selama ini aman dari kejaran hukum atau polisi, bahkan sepertinya kasus kriminalnya juga tidak diketahui siapa pun. "Aiko, bagaimana jika suatu hari aku benar-benar jatuh cinta padamu?" tanya Glen tiba-tiba. "Maka kau harus siap menahan rasa sakitnya," jawab Akiko pelan.*1 hari yang lalu* "Jadi … kau benar-benar menjual Akiko?" tanya Keinara dengan tatapan tidak percaya. Malam ini Keinara memutuskan untuk pulang dan bertanya soal Akiko pada papanya, tapi papanya justru panik dan tidak mau menjawab kejadian sesungguhnya. Untung saja gadis itu punya ide, yaitu bertanya pada pelayan di rumah itu dengan sogokan uang agar bisa menjawab secara jujur. "Pantas saja Akiko mengatakan bahwa kami tidak akan pernah bertemu lagi," lanjut Keinara. "Jawab aku, Papa," tekan Keinara terus menerus sehingga papanya menjawab dengan anggukan pelan. "Kenapa kau begitu jahat pada Akiko? Kenapa?" "Papa tidak memaksanya, Kei, dia tidak menolak atau melawan permintaan Papa. Artinya, dia tidak masalah dengan semua itu," kata Mr. Eloise enteng. "Dari dulu Akiko memang seperti itu, Pa. Dia tidak melawan karena dia tau hasilnya akan sama saja, yaitu kemarahan Papa yang tidak ada ujungnya. Kenapa tidak aku saja? Kenapa Papa selalu memperlakukan Akiko semena-mena? Dia juga Pu
"Glen, aku minta maaf…," lirih Akiko sambil terus menggedor pintu pelan karena tubuhnya lemas. Untung saja beberapa saat kemudian Glen datang membuka pintu, dia menatap tajam tanpa menyadari bahwa Akiko membawa sweater penuh darah. "Aku minta maaf," ucap Akiko lagi. "Mandi dan temani aku duduk," titah Glen, tapi dia sengaja memasang kakinya saat Akiko melangkah sehingga gadis itu tersandung dan membentur ujung meja yang tajam di bagian dahi. Kepalanya terasa sangat pusing sampai ingin ambruk begitu saja, tetapi tetap dia tahan. Akiko masih berusaha bangkit dan berjalan tertatih menuju kamarnya. Dia mandi dan memakai pakaian panjang seperti biasa, kemudian datang ke ruang santai melihat Glen yang sudah menunggunya. "Kemari," Glen menarik tangan Akiko pelan sehingga gadis itu duduk di pangkuannya. "Aku tidak suka kau bicara dengan laki-laki lain. Kau adalah milikku," ucap Glen, mengusap tangan Akiko lalu menciumnya lembut. "Kenapa tanganmu sangat dingin?" Pertanyaan itu tidak
Suasana semakin genting ketika Harley membujuk Glen untuk bicara dengannya terlebih dahulu, sementara Glen sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menghajar orang-orang di hadapannya. "Jangan pulang dulu, biarkan aku melihatmu lebih lama lagi," pinta Harley sambil pergi karena dia harus menyambut tamu-tamu yang datang. "Glen, ikut aku sebentar," ajak Marlen lalu pergi begitu saja meninggalkan Glen. "Tunggu di sini dan jangan makan apa pun sampai aku kembali," Akiko mengangguk menyahuti perintah Glen. Beberapa menit setelah Glen pergi, Harley datang kembali sambil membawakan minuman. "Siapa namamu?" tanyanya sambil tersenyum manis. "Akiko," jawab Akiko seadanya. "Sudah berapa lama kau kenal dengan putraku?" Akiko menatap Harley sekilas, wanita tua itu terlihat sedang menahan sedih. "Beberapa bulan," jawab Akiko. "Boleh aku minta tolong sesuatu?" tanya Harley. Awalnya Akiko terdiam bingung, dia dilarang bicara pada siapapun sekarang. Namun, gadis itu merasa kasihan p
“Aiko," sapa Glen baru saja selesai mandi, pria itu tampak lebih tampan dengan rambut yang belum sepenuhnya kering. Dengan wangi maskulin, dia mulai mendekati Akiko yang sedang menyiapkan sarapan. Kecupan pagi seperti biasa mendarat di bibir Akiko, bahkan gadis itu sampai heran kenapa Glen bisa menciumnya semudah itu karena Glen termasuk orang yang memiliki gengsi tinggi. Dia tidak akan mungkin mau mencium gadis sembarangan, apalagi status Akiko di sini hanyalah sebagai tawanan. "Kenapa kau bangun sangat pagi? Aku jadi tidak bisa melihat wajahmu saat membuka mata," Glen menyandarkan wajahnya di pundak Akiko sehingga gadis itu mengernyit geli. "Aku selalu bangun di jam yang sama," jawab Akiko, tentu saja dia selalu bangun di jam sama karena sudah menyetel alarm. Gadis berambut pendek itu tidak mau Glen marah hanya karena dia telat menyiapkan sarapan. "Hari ini akan ada tamu penting di kantor, pakailah dress yang bagus," ujar Glen. "Mereka tidak akan mengamati aku," sahut Akiko
Sudah dua minggu sejak Akiko pergi dari apartemen Glen, kini dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di ujung kota. Untung saja kartu ATM miliknya tidak dibekukan oleh Mr. Eloise sehingga bisa bertahan hidup untuk sementara waktu dengan sisa uang yang ada. Kontrakan ini hanya berisi satu kamar tidur, dapur yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar mandi, dan ruang tamu. Benar-benar pas untuk Akiko yang tinggal sendirian, hanya saja dengan harga yang pas-pasan membuat kontrakan ini tidak memiliki penghangat ruangan. Beruntung tidak beruntung, Akiko tidak pernah punya selera makan sehingga pengeluaran menjadi lebih sedikit karena dia hanya kembali makanan Kouma yang paling penting. Akiko menatap anjingnya lama, dia bingung bagaimana nasib Kouma jika suatu hari dia tidak ada. Siapa yang akan mengurusnya? Siapa yang akan menemaninya? “Jika aku mati, kau harus mencari rumah baru. Kau harus punya rumah yang lebih nyaman dan hangat,” ucap Akiko sambil mengusap bulu Kouma. Karena tidak
Malam ini udara dingin semakin terasa, menandakan bahwa musim salju akan segera tiba. Gadis bernama Akiko itu kembali bertemu dengan Vian di taman seperti biasa walaupun agak takut karena pernah berpapasan dengan Glen di taman. Namun, Akiko pikir Glen tidak mungkin sering-sering pergi ke taman karena pria itu pasti sangat sibuk. “Kenapa beberapa hari ini kau tidak mau bertemu denganku?” tanya Vian yang bingung kenapa beberapa hari ini Akiko seperti sulit sekali untuk ditemui seolah sedang menghindarinya, padahal sebenarnya Akiko hanya menghindari Glen, bukan Vian. “Aku kelelahan jadi perlu banyak istirahat” jawab Akiko seadanya. "Kira-kira berapa lama lagi obatmu bertahan? Aku bingung kenapa kau tidak meminta obat lagi akhir-akhir ini? Apa kau minum dengan rutin?" tanya Vian khawatir karena obat milik Akiko yang sudah satu bulan itu tidak kunjung habis, padahal biasa untuk kapasitas satu minggu saja. "Aku minum waktu rasa sakitku terasa luar biasa, jika tidak begitu terasa maka
Udara dingin membuat seorang gadis terbatuk beberapa kali sambil memakai jaketnya, dengan sisa tenaga dia mencoba bangkit dari sofa dan berjalan keluar rumah. Akiko kini sedang menatap ke langit, mengamati betapa kosongnya langit malam ini tanpa adanya bintang. Sudah beberapa hari ini dia mengurung diri di kamar dan hanya bertahan dengan air putih dan roti saja, bahkan Vian yang datang pun tidak dibukakan pintu sehingga pria itu berpikir Akiko sudah pindah tempat tinggal. Jika tau kalau ujungnya akan asing seperti ini, dia tidak akan mengungkapkan perasaan pada Akiko. Biarkan saja perasaan cintanya terkubur asal mereka masih punya hubungan baik. "Dingin," gumam Akiko. Dengan kondisi yang memburuk, gadis itu justru tidak pernah minum obat atau pergi ke dokter. Dia hanya berbaring sepanjang waktu berharap kematian cepat menjemputnya. Namun, hari ini Akiko berniat pergi ke panti asuhan tempat Ethan tinggal. Anak laki-laki yang pernah Akiko rawat itu pasti sudah menunggunya, entah ba
"Aiko!" panik Glen saat Akiko hampir pingsan. Dia langsung mengangkat tubuh kurus itu ke rengkuhannya, lalu masuk ke dalam mobil. "Dia kedinginan, Tuan," ucap Hans melihat kondisi gadis yang Glen bawa. Pria itu hanya mengangguk paham, lalu segera melepas jaket tebal miliknya untuk menutupi tubuh Akiko agar lebih hangat. "Ke rumah sakit sekarang!" tegas Glen, tapi ditahan oleh genggaman tangan dari Akiko. "Aku tidak ingin ke rumah sakit," lirihnya. "Lalu? Apartemenku sangat jauh dari tempat ini, Aiko. Kau bisa mati kedinginan," sahut Glen, lalu tiba-tiba dia teringat oleh suatu hal. "Di mana tempat tinggalmu sekarang? Apa dekat dari sini?" pertanyaan itu dijawab dengan anggukan pelan dari Akiko, kemudian memberikan alamat yang ada sehingga mobil segera melaju cepat ke tempat tujuan. Saat sampai Glen tampak bingung dengan kondisi perumahan Akiko, sangat kumuh dan terpencil. "Kau betah tinggal di tempat seperti ini?" tanyanya, sementara Akiko masih diam saja di gendongan Glen
“Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i
“Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa
Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.
“Keinara,” panggil Vian, seorang Dokter yang dulu merawat Akiko. Pria itu berjalan mendekati gadis yang tengah duduk di taman kota sambil menunduk dengan wajah sedih. “Vian … adikku sudah meninggal, dia sudah tidak ada,” ucapan Keinara tentu membuat Vian kaget bukan main sebab mereka masih belum bertemu dengan Akiko sekalipun. Keinara memberikan sebuah surat dari rumah sakit yang mengatakan bahwa Akiko Eloise meninggal karena Kanker 1 minggu yang lalu. “1 minggu yang lalu? Kenapa suratnya baru kau dapatkan sekarang?” bingung Vian terus aja menenangkan Keinara. Sebagai Dokter Vian tau sekali kalau surat kabar kematian seseorang pasti langsung dikirim hari itu juga. “Kei, sebenarnya Akiko menitipkan sesuatu padaku waktu terakhir kami bertemu,” Vian mengambil sesuatu dari tas, yaitu ponsel milik Akiko yang sudah dititipkan sejak lama. Gadis itu mengatakan ponsel ini hanya boleh diberikan jika dia sudah tidak ada, jadi Vian rasa inilah akak tu yang tepat. Tanpa basa-basi lagi Keinar
“Dulu aku adalah pria yang tidak punya rasa kemanusiaan, bahkan aku bisa menghabisi nyawa dengan mudah tanpa peduli rasa sakit orang lain. Namun, gadis itu datang dalam hidupku dan mengajarkan tentang bagaimana kehidupan yang sesungguhnya.” “Mungkin ini adalah Karma karena tidak bisa menghargai nyawa orang lain sehingga takdir seolah ingin selalu memisahkanku dengan Aiko. Sekarang aku selalu merasa takut akan kematian, aku selalu takut kehilangan Aiko, aku takut dia merasa sakit, dan aku takut dia pergi. “Rasa takutnya luar biasa sampai dadaku terasa sesak, aku tidak bisa berpikir ataupun tidur dengan nyenyak. Inikah rasa takut yang aku abaikan abaikan dulu? Aku benar-benar tersiksa dengan rasa takut ini, aku ingin Aiko kembali ke pelukanku seperti semula.” *** “Bagaimana keadaannya?” tanya Guston saat baru sampai di rumah sakit. Sudah 5 hari Akiko belum juga sadar, gadis itu seolah terlalu nyaman dalam mimpi dan tidak ingin melihat dunia lagi. “Masih sama,” jawab Glen dengan pa
“Sial! Aku tidak bisa menemukannya,” desis Glen frustasi karena belum juga menemukan keberadaan Akiko, sementara acara perayaan juga hampir selesai. Jika para tamu pergi maka Glen juga tidak bisa bertahan karena Mr. Eloise akan curiga dengan keberadaannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang pelayanan rumah yang kaget karena tidak pernah melihat Glen. Dia pikir Glen adalah tamu pesta yang tidak sengaja masuk ke dalam rumah. “Sudah berapa lama kau bekerja di rumah ini?” tanya Glen langsung pada inti. “Sudah lama, sejak nyonya Hinami masih ada,” jawabnya jujur. “Jadi kau tau soal Aiko? Di mana dia sekarang?” tanya Glen sehingga pelayanan itu terlihat kaget, lalu menjauh perlahan. “Aku tidak tahu—” “Jawab jujur, atau aku akan menembak kepalamu sekarang juga,” ancam pria berambut hitam itu. Awalnya pelayan masih terlihat ragu dan takut, tapi beberapa saat kemudian dia menghela nafas panjang dengan air mata menggenang. “Akhirnya kau datang, Tuan. Aku benar-benar tida
Suara ketukan pintu membuat lamunan Glen pudar. Sudah satu minggu sejak Akiko tidak tinggal di apartemen ini, rasanya sangat lama sampai hidupnya terasa hampa. Akiko memberitahu bahwa dia tidak boleh minum alkohol atau merokok, tapi bukannya lebih sehat kini pria itu terlihat stress dan murung. “Glen, ini Mommy,” ucap Harley dari luar pintu sehingga Glen segera membukanya. “Ada apa, Mom?” tanya Glen penasaran karena tak biasanya Harley datang seperti ini. “Tidak apa, Mommy hanya merindukanmu. Kau tidak pernah datang ke rumah sejak Akiko pindah,” jelas Harley. “Iya,” sahut Glen dengan pasrah lalu duduk di sofa sambil meminum sebotol air. “Kau terlihat lemas, Glen, apa kau sakit?” tanya Harley penasaran melihat wajah putranya yang pucat dengan kantung mata jelas. “Tidak, aku hanya terlalu banyak bekerja,” sahut Glen seadanya. “Bukan begini caranya jika kau ingin menghibur diri supaya tidak merindukan Akiko, kau tidak memperhatikan kesehatanmu sendiri,” ujar Harley. Mendenga
“Akiko,” Mr. Eloise langsung memeluk putrinya ketika baru saja sampai di rumah mewah itu. Glen baru saja sampai dengan hati yang sangat berat karena harus memulangkan gadisnya itu. Namun, Glen ngerasa Akiko akan selalu terluka jika tinggal bersamanya dengan sifat yang masih sangat egois dan kasar. Di posisi lain, Akiko masih terdiam seribu bahasa karena ini pertama kalinya dia dipeluk oleh papanya sendiri. Rasanya aneh, sedih, dan senang sekaligus. “Akhirnya kau kembali,” ucap Mr. Eloise sambil membelai rambut Akiko pelan. “Papa menyetujui permintaan Glen?” tanya Akiko memastikan. “Iya, tentu, Papa sudah berkali-kali bicara dengannya untuk melepaskanmu,” sahutnya. “Tapi … Papa tidak akan mengorbankan Kak Keinara untuk aku, ‘kan?” tanya Akiko lagi. “Aiko, aku sudah melepaskanmu dengan baik. Tidak akan ada lagi riwayat hutang antara aku atau Mr. Eloise, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” jelas Glen. “Kau ataupun kakakmu akan aman, kalian akan tinggal di sini bersama
Gadis itu tertidur lelap dengan tangan yang dingin terus gemetaran, walaupun Glen sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Sesekali ia terbatuk sambil merintih kesakitan, nafasnya begitu pelan sampai Glen sering memeriksanya karena khawatir. "Suhu tubuhnya naik," bingung Glen melihat Akiko kedinginan, tapi kepalanya panas sampai berkeringat. Dia terus mengusap kepala gadis itu, berusaha memberikan ketenangan agar bisa tidur dengan nyenyak. Namun, beberapa saat kemudian Akiko terbangun dari tidurnya karena terbatuk hebat. "Minumlah," ujar Glen sembari memberikan sebotol air, tapi tenggorokannya terasa begitu sakit saat minum hingga terbatuk kembali. "Kita akan ke rumah sakit nanti," ucap Glen sambil merapikan rambut pendek Akiko, tapi tangannya langsung terhenti ketika melihat banyaknya rambut rontok di sela-sela jarinya. "Jangan sentuh rambutku, tanganmu bisa kotor," ucap Akiko sambil membersihkan tangan Glen, gadis itu masih terlihat sangat tenang walau mati-matian menahan sakit.