Share

2. Gadis Mungil CEO

Author: Nadia Styn
last update Last Updated: 2025-10-20 17:08:07

"Ibu... Kau kembali untukku?"

Suara mungil itu menusukku lebih tajam daripada tatapan Mark yang selalu seperti pisau. Aku mengangkat pandangan untuk beralih pada David—asisten pribadi Mark—mencari pertolongan.

Tapi pria itu seperti sama terkejutnya denganku. Wajah kakunya pias, matanya terpaku pada Lily yang kini memelukku erat seolah aku adalah pelampung di tengah lautan.

"Lily...," ujarku, suaraku nyaris tak terdengar. "Aku... aku bukan—"

"Aku senang karena akhirnya Ibu menjemputku dari sekolah," ungkap Lily. Senyumnya perlahan merekah, membuat wajah dengan pipi tembamnya tampak cerah setelah tadi hampir menangis.

Aku tidak tahu harus berbuat apa mendengar Lily memanggilku ‘Ibu’.

David akhirnya tersadar, dia berdeham pelan. "Nona Walter, sebaiknya kita segera kembali ke kantor. Tuan Lawrence menunggu."

Perjalanan kembali ke Lawrence Company adalah tiga puluh menit paling canggung dalam hidupku. David menyetir dalam diam, tapi aku bisa merasakan matanya terus-menerus mengawasiku lewat spion tengah.

Lily menolak duduk di kursinya sendiri. Dia duduk di sebelahku di kursi belakang, satu tangan mungilnya menggenggam jemariku erat. Dia tidak mau melepaskannya.

Aku mencoba menelan ludah, tapi tenggorokanku kering.

Siapa Paula? Kenapa Mark bereaksi begitu aneh di bar, dan kenapa sekarang putrinya memanggilku 'Ibu'?

Pikiranku berkecamuk.

Lily sendiri tidak banyak bicara. Dia hanya menatapku. Mengamatiku dengan mata biru jernihnya yang persis seperti mata ayahnya, sementara senyumnya tak pudar dan membuat pipi tembamnya terus melebar.

Lift terbuka di lantai 35, tetapi sebelum masuk ke ruangan Mark, aku menahan langkah dan berlutut di hadapan Lily. Aku memegang kedua bahu mungilnya, memaksanya menatapku.

"Lily, dengar," ujarku sepelan dan selembut mungkin. "Sepertinya ada salah paham. Bagaimana jika kita berkenalan dulu? Namaku Anna. Anastasia Walter. Aku sekretaris baru ayahmu, bukan ibumu.”

Gadis mungil itu membeku. Senyum yang sebelumnya terukir di bibirnya lenyap seketika. Matanya pun mulai berkaca-kaca.

"Bukan...," bisik Lily. Bibirnya yang sehat mulai gemetar.

"Iya, sayang. Ibumu... Ibumu Paula, ya? Aku Anna," ulangku lagi.

"BUKAN!" Jeritan Lily melengking hingga membuatku tersentak.

Sedetik kemudian, tangis gadis kecil itu pecah. Bukan tangisan manja, justru histeris karena menahan sakit dan rasa tidak terima.

"Kau ibuku... kenapa Ibu bilang begitu? Ibu jahat! Apakah Ibu ... akan meninggalkan aku lagi?” tutur Lily di sela isak tangisnya.

Aku panik. Seluruh mata di sekitar koridor kini menatap ke arah kami dengan ngeri. Mereka pasti tahu Lily adalah putri sang CEO, dan mereka mungkin diam-diam menghakimiku karena berani membuatnya histeris begini.

"Ssstt, Lily, jangan menangis...,” Aku mencoba menenangkan Lily dan berniat memeluknya. Namun, dia malah semakin histeris dan memberontak dengan memukul-mukul tanganku.

“Jangan pergi lagi, Ibu! Ibu jahat kalau meninggalkan aku lagi ...,” rengeknya.

KLAK!

Pintu ruangan Mark Lawrence terbuka dengan kasar. Pria itu langsung menyapu pemandangan di depannya.

Seluruh karyawan yang sedang melintas di koridor dan sedari tadi memerhatikan, segera memalingkan wajah, pura-pura tak melihat. Dan aku, sekretaris barunya, tetap berlutut panik di tengah-tengah keributan yang disebabkan oleh putrinya sendiri.

Aku menelan ludah. "Tuan, saya...."

Mark tidak menatapku. Dia menatap putrinya yang masih histeris.

Ketika aku bangkit dari posisi berlutut, Lily memeluk kakiku erat, seolah takut aku akan kabur.

Sudah empat hari aku di sini dan baru kali ini, aku merasakan sifat Mark yang lain, yang sangat menyayangi putrinya. Dia bahkan rela merangkulku, hanya untuk meyakinkan pada Lily kalau dia ada di pihak putrinya itu.

"Ayo masuk," katanya, singkat.

Aku yang masih panik, entah bagaimana berhasil membujuk Lily untuk ikut. Aku praktis setengah menggendongnya masuk ke ruangan megah itu. Begitu pintu tertutup, tangisan Lily sedikit teredam, meski sisa sesenggukannya masih terdengar memilukan. Dia menyembunyikan wajahnya di blusku, menolak untuk melepaskan.

Aku berdiri kaku di tengah ruangan, tidak tahu harus berbuat apa selagi melirik tangan Mark yang masih merangkul bahuku dengan hangat—demi putrinya.

Beberapa saat kemudian, Mark berjalan melewatiku. Pria bertubuh atletis dalam balutan jas hitam itu berdiri membelakangiku di depan jendela kaca raksasanya, menatap pemandangan kota.

"Tuan, saya minta maaf," aku memulai dengan gemetar. "Saya tidak tahu apa yang terjadi. Dia tiba-tiba memeluk saya di sekolah, dia mengira saya..."

"Diam."

Perintahnya memotong ucapanku. Aku langsung bungkam.

Keheningan di ruangan itu menyesakkan, hanya diisi isak tangis Lily. Aku bisa melihat pantulan wajah Mark di kaca.

Setelah hampir satu menit yang terasa seperti satu jam, dia berbalik.

"Aku tidak peduli kau siapa," ujarnya pelan. "Aku juga tidak peduli apa yang terjadi di sekolah. Putriku tidak pernah bereaksi seperti ini sejak ibunya pergi."

Dia melangkah mendekat. Perlahan. Tatapannya terkunci padaku, mengabaikan putrinya yang gemetar dalam pelukanku.

"Ini perintah baru untukmu, Walter."

Dia berhenti tepat di depanku. Aku harus mendongak untuk menatapnya yang jauh lebih tinggi dariku.

"Aku tidak mau tahu bagaimana caranya," lanjut Mark. Suaranya nyaris berbisik, tetapi sangat tegas. "Turuti apa pun yang Lily mau!"

Napas ku tercekat. "A-apa? Maksud Tuan... saya harus berpura-pura menjadi....”

"Jangan buat dia menangis seperti ini lagi. Jangan lukai hatinya."

Dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. Aku menahan napas. Aku bisa mencium aroma parfum mahalnya, sesuatu yang bersih dan tajam, tapi kali ini berbaur dengan aura berbahaya yang pekat.

"Atau kau akan berurusan langsung denganku,” sambung Mark.

Meski suaranya pelan, gema ancamannya jauh lebih keras daripada bentakan mana pun. Dia menatapku lekat, mata biru lautnya menuntutku untuk patuh.

"Mengerti?"

Aku ingin protes, ingin menekankan padanya bahwa aku bukan pengasuh, aku sekretaris. Dia tidak berhak memerintahku melakukan ini.

Tapi lidahku kelu. Melihat intimidasi dalam sorot matanya pun aku sudah mati kutu, tak berani bersuara.

Isak tangis Lily sudah mulai mereda, napasnya yang hangat dan basah di bahuku, adalah pengingat nyata siapa yang memegang kendali saat ini.

Bukan aku.

Bukan juga Mark.

Tapi anak kecil yang tampak sangat terluka dan kini memelukku erat, seolah aku adalah satu-satunya yang dia inginkan.

"Saya... mengerti, Tuan,” jawabku akhirnya.

Puas karena mendapatkan apa yang diinginkan, Mark mundur selangkah, topengnya sebagai CEO Lawrence Company yang dingin kembali terpasang sempurna.

"Bagus," ucap Mark. "Sekarang, tenangkan dia. Dan bawa dia keluar dari kantorku. Aku punya pekerjaan yang harus diselesaikan."

Hari pertama setelah insiden itu adalah neraka. Aku mencoba bersikap profesional sebagai sekretaris, tapi karena putrinya tidak mau makan siang kalau tidak disuapi 'Ibu', aku harus bagaimana?

Hari ketiga, aku menyerah. Aku berhenti melawan.

Hari ketujuh, aku sudah hafal lagu pengantar tidur kesukaan Lily. Aroma sabun dan sampo stroberi miliknya pun seperti terbayang-bayang terus di hidungku.

Aku tidak sadar kapan tepatnya rutinitas gila ini terbentuk. Waktu terasa kabur, melelahkan, dan tiba-tiba saja... Sudah dua minggu. Dua minggu aku menjalani kehidupan ganda yang tak normal ini.

Setiap pagi, aku adalah Sekretaris CEO Lawrence Company. Dan setiap sore, aku adalah 'Ibu' dari putri sang CEO yang baru berusia lima tahun.

Ini melelahkan.

Jam kerjaku kini tidak menentu. Mark Lawrence, dengan arogansinya yang tak berkurang sedikit pun, seolah menganggap aku adalah miliknya 24 jam. Dia tidak pernah berterima kasih karena aku menangani Lily.

Hari ini pun sama, setelah aku menyelesaikan semua dokumen untuk rapat penting hari ini, Mark langsung mengambilnya dan meminta David masuk ke ruangan membawa semua dokumen yang kusiapkan.

Setelah aku pikir semua tidak ada hambatan, tiba-tiba saja...

BRAK!

Pintu yang berat itu didorong terbuka.

Kasar.

Seluruh kepala di ruangan itu—para eksekutif perusahaan, termasuk Mark sendiri—serempak menoleh ke pintu.

Napas ku tercekat di tenggorokan.

David—asisten pribadi Mark, tetapi kuketahui diperintahkan untuk menjadi bodyguard Lily tiap Lily beraktivitas di luar—berdiri di ambang pintu.

Wajah David tampak dihiasi kepanikan. Dia berusaha menahan sesuatu sebelum berkata, “Investor utama menarik diri."

“Apa katamu?!” Mark berdiri dan hampir menggebrak meja.

Sebelum David buka suara, dari pintu di belakangnya yang masih terbuka, sosok gadis kecil menerobos masuk dengan tawa riang.

Itu Lily. Dia masih mengenakan seragam sekolahnya, ransel pink-nya terpasang miring. Kepolosannya yang mengemaskan sama sekali tidak menyadari ketegangan di ruangan itu. Matanya hanya tertuju pada satu orang.

Bukan pada ayahnya, justru padaku yang duduk di samping ayahnya.

"IBU!" Jeritan riang Lily menggema di ruangan yang hening senyap.

Waktu terasa berhenti. Para eksekutif menatap bingung ke arahku.

"Apakah dia memanggilnya ‘ibu’?" bisik salah satu dari mereka.

Menyadari ada perubahan sikap dari para eksekutif, Mark kemudian memintaku keluar. Lily yang tidak mau jalan sendiri, terpaksa kugendong ke ruangan Mark.

Di sana, Mark terlihat sangat marah padaku, tetapi dia tidak bisa menyalahkanku atas sikap Lily tadi, karena dia sendiri yang memintaku jadi ‘ibu’ untuk Lily.

"Ini tidak akan hilang, 'kan?" bisiknya. "Dia tidak akan berhenti memanggilmu seperti itu."

Aku tidak bisa menjawab.

Mark mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tampak sangat lelah. "Aku tidak bisa menangani ini sendirian, Anastasia."

Ini pertama kalinya dia memanggil nama depanku.

"Gaji standarmu sebagai sekretaris tidak lagi cukup untuk menutupi kekacauan ini." Dia berjalan kembali ke arahku. “Dan mulai hari ini juga, kemasi barangmu, kau tinggal di rumahku.”

***

Bersambung .....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   27. Izin yang Tak Akan Diterima

    Setelah sempat mengobrol berdua dengan Inez kemarin—meski bagiku cenderung seperti mendengar hinaan halusnya terhadap Paula daripada mengobrol—aku semakin tidak bisa berhenti memikirkan tentang Paula.Masih kuingat ucapan David kepada Mark yang kudengar di Florida waktu itu, bahwa Paula ada di Berlin. Masih kupertanyakan pula, kalau wanita itu masih hidup, mengapa dia menghilang dua tahun terakhir? Lalu, apa yang sebenarnya Lily ketahui sebelum ibunya itu menghilang?Dan dalam sekejap, semua pertanyaan itu tersingkir dari pikiranku, digantikan oleh pertanyaan tentang Paula dan William Harold.Aku tahu, di dunia ini, nama William Harold bisa saja dimiliki oleh ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang lainnya.Tapi bagaimana kalau ternyata William Harold yang disebut ibunya Mark adalah William Harold yang pernah kudengar disebut oleh ibuku?“Tidak mungkin... memang apa hubungan ibu dengannya?”Saking kencangnya bisikan di kepalaku, aku tak sadar bahwa kalimat barusan bukan kuungkapkan dala

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   26. Nama yang Familier

    “Kau tidak seperti menantuku yang kukenal,” ucap Inez. “Kau... berbeda dari sebelumnya.”Aku terjebak kebisuan. Tak tahu harus bagaimana sekarang.Mark di sampingku berdeham pelan. Dia meletakkan sendok dan garpunya, lantas menengahi, “Bisakah Ibu tidak berbicara seperti itu di depan Lily?”Dia menoleh sekilas pada Lily dan melanjutkan, “Lily butuh keadaan yang nyaman, Ibu.”Inez mengembuskan napas panjang. Setelah menenggak sedikit air putihnya, dia melanjutkan sarapannya dan tak membahas persoalan tadi lagi.Aku hampir pura-pura pingsan agar bisa keluar dari ketegangan tadi.Sarapan selesai tepat pukul setengah sembilan. Aku membawa Lily ke kamar untuk menggantikan bajunya yang tadi ketumpahan susu.Lily menyentuh rambut panjangku saat aku sedang merapikan ikatan rambutnya. Selepas memiringkan kepala, Lily bertanya, “Kenapa rambut Ibu warna cokelat?”Aku terdiam.“Bukankah seharusnya rambut Ibu sama denganku? Rambut kita seharusnya mirip, Ibu.”Seulas senyum kutunjukkan padanya. Kub

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   25. Tidak Seperti Menantuku

    Untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan kedua orang tua Mark, bahkan makan satu meja dengan mereka.Ini sangat canggung—setidaknya bagiku—karena setelah mendapatkan sikap tak ramah dari Inez, posisi dudukku kini justru persis berhadapan dengannya, saling berseberangan.“Apakah Kakek dan Nenek akan berlama-lama di sini?” tanya Lily di sela memakan panekuknya.Kuharap tidak. Sungguh. Kuharap mereka tidak berlama-lama.“Hanya hari ini, Sayangku,” jawab Inez. “Nanti malam, kami akan berangkat ke Florida.”Aku membatin bersyukur.“Kemarin, aku bersama ayah dan ibu baru saja pergi ke Florida,” ungkap Lily antusias.Kuyakin Inez sebenarnya sudah tahu, tetapi menyambut antusias cucunya, dia menunjukkan ekspresi terperangah. “Benarkah?”“Benar, Nenek. Aku bermain di pantai bersama ayah dan ibu, lalu membuat istana pasir yang besaaar sekali,” tutur Lily sembari merentangkan kedua lengannya. “Aku juga menemani ayah bekerja. Karena ibu bilang, ayah pergi ke Florida untuk bisnis.”“Kenapa kau ti

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   24. Menantu Palsu

    “Aku ingin seperti Dee Dee, Ibu.” Lily menggenggam rambutnya menjadi dua bagian, lantas melanjutkan, “Diikat dua seperti ini.”“Dee Dee? Hm... baiklah. Biar Ibu coba,” jawabku.Dengan tubuhnya yang sudah terbalut gaun putih bermotif bunga, Lily duduk tenang di kursi bermain berbentuk stroberi di kamarnya, menungguku untuk menata rambutnya seperti yang ia inginkan.Rambut Lily sudah pirang, seperti Dee Dee dalam kartun Dexter’s Laboratory, sehingga tak sulit bagiku untuk menatanya semirip mungkin dengan model ikat dua.“Sudah selesai!” ucapku beberapa menit kemudian.Lily beranjak dari duduknya, bergegas menghampiri cermin di sisi kamar. Senyumnya merekah lebar begitu melihat rambut pirangnya yang panjang sudah terikat.Dia berputar-putar di depan cermin, membiarkan bagian bawah gaunnya mengembang terkena angin, lantas mengagumi penampilannya sendiri pagi ini.Tak lama kemudian, pintu kamar Lily terbuka, Mark muncul.Lily langsung mendekati Mark dan melapor penuh semangat pada ayahnya

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   23. Sentuhan Pembangkit Adrenalin

    Aku ketiduran di kamar Lily, terbangun karena mendengar bel di depan penthouse dibunyikan.Saat kulihat jam dinding berbentuk kepala Hello Kitty di sisi kamar, kudapati kalau sekarang sudah pukul setengah satu malam.Lily tetap nyenyak dalam tidurnya. Dia pasti lelah setelah menunggu kepulangan ayahnya sampai ketiduran bersamaku beberapa jam yang lalu.Aku bergegas keluar dari kamar Lily, lantas membukakan pintu depan.“Mark? David?” Aku mengernyit kaget melihat keberadaan kedua pria itu di depan pintu.Entah apa yang terjadi pada Mark, tetapi bosku itu tampak setengah sadar dan dirangkul oleh David.“Nona Lily sudah tidur, ‘kan? Aku tidak langsung masuk karena khawatir dia belum tidur,” ujar David, melirik ke arah Mark yang dia rangkul, mengisyaratkan kalau dia tak mau Lily melihat kondisi ayahnya saat ini.Aku mengangguk cepat, lalu memegangi lengan Mark dan membantu menuntunnya untuk masuk.“Apa yang terjadi?” tanyaku cemas.“Tuan Lawrence minum terlalu banyak setelah makan malam d

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   22. Seperti Anak Sendiri

    Sudah lima hari berlalu sejak aku, Mark, dan Lily kembali ke New York setelah tiga hari kami berada di Florida.Lily semakin ceria pasca kami pulang. Tingkah manisnya yang penuh semangat, membuatku merasa cukup lega, karena tampaknya dia tak lagi memikirkan mimpi buruknya yang membuatnya histeris waktu itu.Sore ini sebelum pulang dari Lawrence Company, karena Mark harus pergi menemui rekan bisnisnya, aku mampir ke supermarket dan membeli beberapa kotak stroberi untuk Lily, agar Lily tidak murung menantikan kepulangan ayahnya.Gadis kecil itu sangat menyukai stroberi. Apa pun yang ia makan dan minum, jika bisa memiliki rasa stroberi, maka ia akan melahapnya.Tak heran jika di luar warna-warni kamar tidur Lily, ada kursi stroberi besar kesayangan Lily di antara minimalis dan elegannya interior penthouse Mark.“Selamat datang, Ibu!” sapa Lily begitu dia melihatku pulang.Aku tersenyum hangat pada gadis kecil itu. “Apa kau pergi les piano hari ini? David yang mengantar dan menjemputmu, ‘

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status