Share

3. Tinggal Bersama Bos

Author: Nadia Styn
last update Last Updated: 2025-10-20 17:09:47

"Apa?" Aku mundur selangkah. "Tinggal... tinggal di rumah Anda? Itu tidak mungkin, Tuan!"

Wajahku pasti sudah sepucat kertas. Perintahnya sudah melewati batas profesional.

"Saya... saya punya kehidupan sendiri," ujarku, suaraku gemetar. "Saya punya apartemen. Saya tidak bisa—"

"Apartemenmu bisa disewakan," potongnya dingin, seolah aku baru saja membahas masalah sepele soal cuaca. "Dan kehidupanmu, seperti yang kau sebut itu, untuk saat ini, prioritasnya adalah putriku."

Tentu saja aku ingin sekali protes dan menolak mentah-mentah. Bahkan kalau punya keberanian yang cukup, seharusnya aku langsung lari saja dari ruangan ini dan menghindar dari bosku itu.

Hanya saja, terlepas dari perintahnya yang tak masuk akal, aku butuh untuk tetap bekerja di sini. Menjadi sekretaris CEO di perusahaan sebesar Lawrence Company adalah kesempatan yang mungkin tak datang dua kali, ini bisa mengubah hidupku dalam berbagai aspek ke depannya.

Lagi pula, sejak Lily memelukku dan menganggapku ibunya, aku sadar kalau aku sudah kalah.

Mark melangkah melewatiku menuju pintu. "David akan mengantarmu ke apartemenmu. Kemasi barang-barangmu. Dan malam ini, aku mau kau sudah ada di penthouse milikku sebelum Lily tidur."

Aku terpaku saat laki-laki itu bertitah, bahkan aku sendiri baru sadar, dia mengucap ultimatum tanpa melihat wajahku, sama sekali. Jelas dia tak peduli pada reaksiku, apalagi pendapatku.

Perjalanan ke apartemenku di Brooklyn terasa seperti mimpi buruk.

David, si asisten dan bodyguard kaku itu, hanya diam seribu bahasa di kursi pengemudi. Dia mungkin sudah biasa melihat bos besarnya menghancurkan kehidupan orang lain.

Aku masuk ke apartemenku yang kecil dan berantakan. Aku menarik koper, melemparkan beberapa pakaian kerja, pakaian tidur, dan perlengkapan mandi sekenanya.

Saat aku mengambil fotoku bersama Jane, ponselku bergetar di meja.

Nama 'Steven' muncul di layar.

Jantungku mencelos. Steven. Pacarku. “Ya Tuhan, aku bahkan nyaris lupa aku punya pacar!”

Aku tidak punya waktu untuk bicara dengan Steven, apalagi menjelaskan situasiku saat ini. Bagaimana aku bisa menjelaskannya?

Dia pasti mengira aku sudah gila.

Karena itulah, aku membiarkan ponselku berdering sampai lima kali, hingga akhirnya Steven menyerah dan berhenti menelepon.

David membawaku kembali ke Manhattan, ke penthouse milik Mark yang terletak di bilangan Manhattan.

Bak istana di langit, begitu aku memasuki unit penthouse tersebut, aku terkagum-kagum dengan segala yang ada di dalamnya. Lantainya marmer, dindingnya didominasi oleh kaca, interiornya minimalis namun mewah dengan dihiasi oleh penerangan yang hangat, dan pemandangannya mengarah langsung ke penjuru kota.

"Ibu! Ibu di sini!"

Lily berlari menyambutku begitu aku melewati foyer unit, seolah ini hal paling wajar di dunia. Dia memeluk kakiku. "Ibu tidur di sini malam ini? Benar, 'kan, Ayah?"

Mark berdiri di dekat tangga spiral, masih mengenakan kemeja kerjanya yang rapi. Dia mengangguk, tanpa berbincang apapun.

Sampai malam tiba dan Lily hampir tidur pun, Mark tidak memanggilku, tidak bicara padaku, bahkan tidak pula sekedar mengucap ‘selamat datang’ padaku.

Aku membacakan cerita untuk Lily di kamar tidurnya, baru bisa keluar dari sana setelah dia benar-benar tertidur sambil menggenggam tanganku.

Aku menyelinap ke kamar tamu yang ditunjukkan pelayan ketika ponselku bergetar lagi. Steven kembali menelepon, keenam kalinya untuk hari ini. Lalu, percobaan ketujuh, masih tidak kuangkat.

Aku tidak sanggup menjelaskan fakta ini padanya. Dan pada akhirnya, aku hanya berani memberitahu Jane, sahabatku yang sebenarnya merupakan sepupu Steven. Aku mengirim beberapa pesan berisi keluhan padanya.

Entah Mark pergi ke mana, pun sampai pagi tiba, aku tidak melihat batang hidungnya sama sekali.

Saat aku selesai mandi pagi, aku turun ke ruang makan. Lily sudah di sana, memakan sereal. Dan ternyata, di sanalah Mark berada, bersama putrinya. Pikirku dia mungkin sudah berangkat ke kantor.

"Pagi, Ibu!" sapa Lily riang.

"Pa-pagi, Lily," jawabku pelan sembari melirik ke arah Mark.

Pria itu mengisyaratkanku untuk duduk di kursi sebelahnya, supaya berhadapan dengan Lily. Ketika aku meletakkan ponselku ke atas meja makan, pada saat itu juga aku merasakan getaran kuat. Saat kutoleh, ada telepon masuk.

Mark kemudian turut menatap layar ponselku. Matanya menajam melihat nama yang ada di layar.

"Siapa Steven? Kau tidak mau mengangkatnya?" Mark beralih menatapku dengan sebelah alis tebalnya yang terangkat.

"Ah... i-itu bukan siapa-siapa," kataku gugup dan aku merasa, Steven mungkin mengetahui perkataanku. "Promosi iklan biasa, banyak sales yang menelepon belakangan ini.”

Getaran itu berhenti dan aku bisa bernapas lega. Namun, selang beberapa detik, dering itu kembali muncul.

Dering kedua, Mark mulanya biasa, tapi sampai dering keempat, dia mulai curiga. "Kau yakin itu sales? Sepertinya dia benar-benar membutuhkanmu.”

Aku terdiam.

“Jujur saja, siapa dia?"

"Bukan siapa-siapa, Tuan. Saya akan mengangkatnya di luar sebentar dan—"

"Angkat di sini!" potong Mark.

Aku yang sudah berdiri langsung membeku. "Maaf?"

"Angkat teleponnya," ulangnya. Dia tidak lagi menatapku, tapi menatap ponsel di tanganku seolah benda itu adalah ancaman. "Di sini. Sekarang."

"Saya...."

"Angkat," desis Mark, nadanya kini mengancam. "Atau aku yang akan mengangkatnya untukmu."

***

Bersambung .....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   27. Izin yang Tak Akan Diterima

    Setelah sempat mengobrol berdua dengan Inez kemarin—meski bagiku cenderung seperti mendengar hinaan halusnya terhadap Paula daripada mengobrol—aku semakin tidak bisa berhenti memikirkan tentang Paula.Masih kuingat ucapan David kepada Mark yang kudengar di Florida waktu itu, bahwa Paula ada di Berlin. Masih kupertanyakan pula, kalau wanita itu masih hidup, mengapa dia menghilang dua tahun terakhir? Lalu, apa yang sebenarnya Lily ketahui sebelum ibunya itu menghilang?Dan dalam sekejap, semua pertanyaan itu tersingkir dari pikiranku, digantikan oleh pertanyaan tentang Paula dan William Harold.Aku tahu, di dunia ini, nama William Harold bisa saja dimiliki oleh ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang lainnya.Tapi bagaimana kalau ternyata William Harold yang disebut ibunya Mark adalah William Harold yang pernah kudengar disebut oleh ibuku?“Tidak mungkin... memang apa hubungan ibu dengannya?”Saking kencangnya bisikan di kepalaku, aku tak sadar bahwa kalimat barusan bukan kuungkapkan dala

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   26. Nama yang Familier

    “Kau tidak seperti menantuku yang kukenal,” ucap Inez. “Kau... berbeda dari sebelumnya.”Aku terjebak kebisuan. Tak tahu harus bagaimana sekarang.Mark di sampingku berdeham pelan. Dia meletakkan sendok dan garpunya, lantas menengahi, “Bisakah Ibu tidak berbicara seperti itu di depan Lily?”Dia menoleh sekilas pada Lily dan melanjutkan, “Lily butuh keadaan yang nyaman, Ibu.”Inez mengembuskan napas panjang. Setelah menenggak sedikit air putihnya, dia melanjutkan sarapannya dan tak membahas persoalan tadi lagi.Aku hampir pura-pura pingsan agar bisa keluar dari ketegangan tadi.Sarapan selesai tepat pukul setengah sembilan. Aku membawa Lily ke kamar untuk menggantikan bajunya yang tadi ketumpahan susu.Lily menyentuh rambut panjangku saat aku sedang merapikan ikatan rambutnya. Selepas memiringkan kepala, Lily bertanya, “Kenapa rambut Ibu warna cokelat?”Aku terdiam.“Bukankah seharusnya rambut Ibu sama denganku? Rambut kita seharusnya mirip, Ibu.”Seulas senyum kutunjukkan padanya. Kub

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   25. Tidak Seperti Menantuku

    Untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan kedua orang tua Mark, bahkan makan satu meja dengan mereka.Ini sangat canggung—setidaknya bagiku—karena setelah mendapatkan sikap tak ramah dari Inez, posisi dudukku kini justru persis berhadapan dengannya, saling berseberangan.“Apakah Kakek dan Nenek akan berlama-lama di sini?” tanya Lily di sela memakan panekuknya.Kuharap tidak. Sungguh. Kuharap mereka tidak berlama-lama.“Hanya hari ini, Sayangku,” jawab Inez. “Nanti malam, kami akan berangkat ke Florida.”Aku membatin bersyukur.“Kemarin, aku bersama ayah dan ibu baru saja pergi ke Florida,” ungkap Lily antusias.Kuyakin Inez sebenarnya sudah tahu, tetapi menyambut antusias cucunya, dia menunjukkan ekspresi terperangah. “Benarkah?”“Benar, Nenek. Aku bermain di pantai bersama ayah dan ibu, lalu membuat istana pasir yang besaaar sekali,” tutur Lily sembari merentangkan kedua lengannya. “Aku juga menemani ayah bekerja. Karena ibu bilang, ayah pergi ke Florida untuk bisnis.”“Kenapa kau ti

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   24. Menantu Palsu

    “Aku ingin seperti Dee Dee, Ibu.” Lily menggenggam rambutnya menjadi dua bagian, lantas melanjutkan, “Diikat dua seperti ini.”“Dee Dee? Hm... baiklah. Biar Ibu coba,” jawabku.Dengan tubuhnya yang sudah terbalut gaun putih bermotif bunga, Lily duduk tenang di kursi bermain berbentuk stroberi di kamarnya, menungguku untuk menata rambutnya seperti yang ia inginkan.Rambut Lily sudah pirang, seperti Dee Dee dalam kartun Dexter’s Laboratory, sehingga tak sulit bagiku untuk menatanya semirip mungkin dengan model ikat dua.“Sudah selesai!” ucapku beberapa menit kemudian.Lily beranjak dari duduknya, bergegas menghampiri cermin di sisi kamar. Senyumnya merekah lebar begitu melihat rambut pirangnya yang panjang sudah terikat.Dia berputar-putar di depan cermin, membiarkan bagian bawah gaunnya mengembang terkena angin, lantas mengagumi penampilannya sendiri pagi ini.Tak lama kemudian, pintu kamar Lily terbuka, Mark muncul.Lily langsung mendekati Mark dan melapor penuh semangat pada ayahnya

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   23. Sentuhan Pembangkit Adrenalin

    Aku ketiduran di kamar Lily, terbangun karena mendengar bel di depan penthouse dibunyikan.Saat kulihat jam dinding berbentuk kepala Hello Kitty di sisi kamar, kudapati kalau sekarang sudah pukul setengah satu malam.Lily tetap nyenyak dalam tidurnya. Dia pasti lelah setelah menunggu kepulangan ayahnya sampai ketiduran bersamaku beberapa jam yang lalu.Aku bergegas keluar dari kamar Lily, lantas membukakan pintu depan.“Mark? David?” Aku mengernyit kaget melihat keberadaan kedua pria itu di depan pintu.Entah apa yang terjadi pada Mark, tetapi bosku itu tampak setengah sadar dan dirangkul oleh David.“Nona Lily sudah tidur, ‘kan? Aku tidak langsung masuk karena khawatir dia belum tidur,” ujar David, melirik ke arah Mark yang dia rangkul, mengisyaratkan kalau dia tak mau Lily melihat kondisi ayahnya saat ini.Aku mengangguk cepat, lalu memegangi lengan Mark dan membantu menuntunnya untuk masuk.“Apa yang terjadi?” tanyaku cemas.“Tuan Lawrence minum terlalu banyak setelah makan malam d

  • Gadis Mungil CEO: Mommy, Please Jadi Ibuku   22. Seperti Anak Sendiri

    Sudah lima hari berlalu sejak aku, Mark, dan Lily kembali ke New York setelah tiga hari kami berada di Florida.Lily semakin ceria pasca kami pulang. Tingkah manisnya yang penuh semangat, membuatku merasa cukup lega, karena tampaknya dia tak lagi memikirkan mimpi buruknya yang membuatnya histeris waktu itu.Sore ini sebelum pulang dari Lawrence Company, karena Mark harus pergi menemui rekan bisnisnya, aku mampir ke supermarket dan membeli beberapa kotak stroberi untuk Lily, agar Lily tidak murung menantikan kepulangan ayahnya.Gadis kecil itu sangat menyukai stroberi. Apa pun yang ia makan dan minum, jika bisa memiliki rasa stroberi, maka ia akan melahapnya.Tak heran jika di luar warna-warni kamar tidur Lily, ada kursi stroberi besar kesayangan Lily di antara minimalis dan elegannya interior penthouse Mark.“Selamat datang, Ibu!” sapa Lily begitu dia melihatku pulang.Aku tersenyum hangat pada gadis kecil itu. “Apa kau pergi les piano hari ini? David yang mengantar dan menjemputmu, ‘

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status